Gelap dan hanya hewan malam yang bisa didengar. Seonggok daging yang masih bisa bergerak mulai mengeluarkan suara. Iya, dia adalah Jagat. Pemuda malang itu dibuang oleh Abimana dan kawan-kawannya ke jurang terdalam.
Untung tubuh Jagat masih bisa terselamatkan dengan tersangkut di antara tumbuhan menjalar yang menjuntai mulai atas tebing hingga dasar."Haus, air! Aku butuh air ...." Jagat perlahan membuka kolopak matanya, dia memandang sekitar, "Dimana aku?"Jagat berusaha berdiri dan berpijak pada batang yang menjulur dan lumayan besar. Namun, belum sampai kaki menyentuh batang itu dia terpeleset hingga jatuh dengan kecepatan yang lumayan. Tulang punggungnya menghantam ranting beberapa kali hingga terhempas di rerumputan."Argh! Lumayan tinggi juga tebing itu!" kata Jagat sambil melihat ke atas. "Tempat apa ini, begitu lembab dan dingin?"Jagat masih terlihat bingung dan pandangannya menyapu keadaan sekitar. Perlahan dia bangkit dan mulai menyusuri setapak yang sepertinya sudah lama tidak dipakai. "Tempat ini sepertinya sudah lama ditinggalkan. Tetapi oleh siapa?"Jagat masih terus mengikuti jalan itu hngga terlihat mulut goa, "Sepertinya hujan akan turun, aku berteduh di goa itu saja!"Langkah Jagat pun langsung menuju ke pintu goa. Awalnya goa itu terlihat pengap dan kumuh, lalu dengan menggunakan rumput liat lantai goa dibersihkan. "Nah jika sudah bersih jadi nyaman untuk rebahan."Jagat merebahkan tubuhnya pada lempengan hitam yang ada di sisi kanan goa dan menyatu pada dindingnya. Pemuda itu mengeliatkan tubuhnya agar tulang sendi yang kaku sedikit lebih lentur. Namun, telapak tangannya menyenggol batuan yang ada diujung kepala.Batu itu tergeser dan terdengar suara berdesing juga sinar kebiruan, kedua kejadian itu membuat Jagat terpana. Sebuah kujang terbang melayang memutar di atas kepala Jagat. Pemuda itu masih belum bisa menguasai jiwanya, tatapannya tertuju pada kujang tersebut."Kujang Sakti, mendekatlah padaku jika kau merasa nyaman!" Pinta Jagat dengan nada lantang.Seakan kujang itu memiliki perasaan dan hati, dia terbang menuju ke dada Jagat.Blesh!Bagai sebuah senjata siluman, kujang itu memasuki raga Jagat dan pemuda tersebut belum siap. Jagat memegangi dadanya yang terasa nyeri dan panas. Keringat dingin keluar bercucuran, kedua telapak tangannya menekan dada. Sesekali dipukulnya dada dengan tujuan agar kujang itu mau keluarAkan tetapi, sayangnya kujang itu tidak keluar tetapi justru merangsek masuk lebih dalam. Setiap gerakan kujang dapat dirasakan oleh Jagat. Pemuda itu semakin meremat kuat dadanya sendiri. "Ini gila, bagaimana bisa berjalan sesuka hatimu, Kujang. Aku mohon berhentilah!"Jagat masih terus memukul dadanya sendiri, bahkan kini dia mencari batu untuk memukul dadanya. Dia berharap dengan bantuan batu tenaganya bisa lebih kuat. Namun, ternyata semua sia-sia. Kujang tersebut masih berada di tubuh Jagat justru yang ada dadanya membiru akibat pukulannya dengan batu.Rasa panas mulai menjalar ke seluruh tubuh Jagat membuat pemuda itu duduk meringkuk menyatukan lutut dan dadanya. "Panas, ini panas sekali. Hentikan Kujang. Apa yang kau inginkan dariku?"Hening tidak ada jawaban, Jagat pun mulai bergerak tidak nyaman. Tiba-tiba seberkas sinar kebiruan meluncur menghujam tubuh Jagat membuat dia menjerit panjang selayaknya lolongan serigala."Sakit, siapa kalian? Apa salahku hingga kau siksa aku seperti ini, keluarlah tunjukkan wujudmu!" Jagat terus berteriak mencari seseorang yang mungkin menjadi pemilik kujang.Rasa sakit dan nyeri datang lagi hingga membuat tubuh Jagat menggelepar terlentang kembali di lempengan batu hitam. Kemudian tubuh Jagat menghadap ke dinding goa. Kedua bola matanya membeliak kala dinding itu juga mengeluarkan sinar kebiruan."Aku mohon keluarlah, Kujang!" Pinta Jagat.Ada benda yang terbuat dari kayu cendana melayang di depan mata membuat Jagat ingin menangkap. Dengan sekuat tenaga Jagat mencoba meraihnya dan blum!Benda yang terbuat dari kayu cendana itu pun ikut masuk dalam raga Jagat, pemuda itu mengerang kesakitan hingga akhirnya pingsan.Sementara di atas tebing, terlihat Abimana tertawa bahagia. Dia dan dua anteknya melihat ke bawah jurang yang sangat dalam."Tubuh pria ayu tadi pasti hancur saat menyentuh tanah, Pangeran," ujar Jantaka."Se-sepertinya begitu, Jantaka. Tidak mungkin jika tubuhnya utuh lihat ke bawa sana! Gelap dan anginnya bertiup begitu kencang," papar Kurubumi."Sebaiknya kita segera balik ke padepokan, ingat jika paman koki menanyakan keberadaan Jagat kalian harus bungkam!" ancam Abimana.Kedua antek pangeran itu mengangguk terutama Kurubumi, pria muda yang sejak kecil sudah bermain dengan Abimana tidak berani membantah. Dia tahu kekuasaan macam apa yang berada di belakang Abimana. Kurubumi yang merupakan putra seorang panglima kerajaan Bumi Seloka selalu mengalah pada Abimana yang merupakan seorang putra mahkota."Ingat Jantaka jangan pernah membuka mulut!"Jantaka hanya menjawab dengan gumaman lirih. Mereka terus berjalan hingga sampai di tempat tandon besar yang terletak di belakang dapur umum. Dari jau Abimana busa melihat bahwa paman koki sudah berdiri di ambang pintu masuk dapur, sepertinya dia sedang menunggu seseorang."Hai Paman Koki, sedang apa Anda berdiri di sana. Segera masuk dan masak makanan untuk kami!" teriak Abimana lantang dan dingin.Paman koki yang bernama Ki Jemblung hanya diam, dia tidak memedulikan pada suara teriakan Abimana yang memberinya perintah. Melihat teriakannya tidak diperhatikan oleh Jemblung membuat Abimana naik pitam, kakinya meluncur berniat untuk menendang empat kaki yang menyangga gentong besar."Aku tidak butuh kalian, pergilah!" Hentak Jemblung."Hai, jangan bikin sakit hati pangeran jika hidupmu ingin nyaman di masa depan!" Jantaka ikut berkata kasar pada koki padepokan itu."Aku tidak peduli pada apapun jua. Kalian yang memulai semua ini, kelak di masa depan merugilah!" Sumpah serapah yang lolos dari bibir Jemblung seketika disambar oleh suara petir yang bersahutan.Seorang gadis berteriak sambil berlari menuju ke perundungan Jagat. Dia tidak memedulikan keadaannya yang masih basah kuyup dan berbelit kain jarit basah. Tubuh rampingnya bahkan terlihat jelas setiap lekuknya. Jagat seketika melempar kain sarungnya yang selalu dililitkan di pinggang pada sang gadis. Savitri menangkap dan membungkus tubuhnya, "Apa yang kalian lakukan pada Jagat? Bukankah sudah sering guru katakan bahwa kita tidak boleh melakukan perundungan!"Abimana menatap tajam pada gadis itu, "Kau hanya perempuan, Savitri. Tidak usah ikut campur!""Cuih! Selalu saja seorang Abimana yang sok berkuasa." Kesempatan ini digunakan Jagat untuk berusaha duduk dan mengatur napasnya yang terasa sesak. Ada keanehan yang dia rasakan, bukankah awalnya dia berada di goa dengan luka dalam. Tapi kini .... Sementara Abimana berjalan mengikis jaraknya dengan Savitri, lengannya yang kekar dan panjang meraih rahang gadis itu. "Bukankah sering pula aku berkata padamu, Savitri! Jauhi pemuda hina in
Jagat berjalan keluar menuju tempat bumbung yang sudah dia sediakan. Tangannya bergerak cekatan mengikat keduanya pada tali tambang yang terkait pada bilah bambu, kemudian di pikulnya empat bumbung bambu yang beda tingginya. Sebelum mulai melangkah, Jagat membungkuk berniat melihat rendaman kuali yang hancur siang tadi. "Sudah mulai melunak, bagus juga khasiat daun itu."Setelahnya Jagat mulai melangkah tidak lupa memikul bilah bambu yang di kedua ujungnya sudah terikat empat bumbung sama. Pemuda itu bergerak cepat bolak balik sungai dan tandon hingga berulang kali. Suara gemerisik geraknya rumput sesekali menyapa cupingnya, tetapi tidak dia pedulikan. Menurutnya hanya hewan liar yang mencoba mencari makan tidak menyurutkan langkah yang terus maju hingga terlihat bayangan hitam meluncur cepat menuju ke arahnya. Slash! Kilatan cahaya menyentuh tali pada ujung bilah bambu yang dipikul. Sesaat kemudian berdiri sosok pria bertopeng dengan pedang tipis nan panjang. Di belakangnya masi
Seorang tabib memeriksa tubuh Jagat, Ki Jemblung dengan setia berdiri di tiang ranjang sambil terus melihat anak didiknya. Terlihat wajah cemas yang membayang diwajahnya. "Bagaimana, Tabib?"Sang tabib menatap sekilas pada Jemblung, lalu kembali fokus pada tubuh Jagat. Jemari tuanya mulai meraba beberapa lebam dan memar pada beberapa titik vital tubuhnya. Gelengan kepala sesekali terlihat membuat Ki Jemblung menjadi gelisah. "Ada apa dengan tubuh Jagat?" tanya Jemblung makin gelisah."Ada keanehan pada struktur tulang pemuda ini, Ki. Apa sebelumnya dia seorang pendekar?" Sang Tabib tidak menjawab pertanyaan koki padepokan, justru dia bertanya padanya. Jemblung mengerutkan dahi, dia juga tidak paham dengan kondisi tulang Jagat di masa silam. Untuk itu dia menjadi bingung sendiri, sejak kecil pun Jagat tidak terlihat sebagai sosok pria yang kuat. "Bagaimana, Ki?""Seingatku dia tidak pernah menjadi pria yang kuat. Sejak beberapa hari silam pemuda ini selalu disiksa oleh murid yang la
Jemblung meninggalkan Jagat dalam keadaan terdiam. Pemuda itu masih tidak percaya dengan keadaannya yang masih bisa selamat terjatuh dari jurang setinggi itu. Kembali dalam ingatannya sebuah kujang bermata sembilan mengelilingi tubuhnya yang sempat terbujur kaku. "Apa yang sedang kamu pikirkan, Pria Muda?" Terdengar suara pria tua yang khas. "Siapa kamu, menilik suara yang kudengar rasanya aku pernah tahu pemilik ini?""Kita pernah bertemu di alam mimpi. Apakah semudah itu kamu lupa?"Jagat mencari sosok yang sedang berbicara, tetapi tidak terlihat bayangan sedikit pun. Helaan napas kasar dia keluarkan dan sungguh sesak di dada. Jagat masih duduk di tepian balai tempat dia biasa merebahkan diri. Tatapannya masih menyapu sekelilingnya untuk mencari pemilik suara tersebut. "Sampai akhir jaman kau tidak akan bisa temukan wujudku." Jagat terdiam, ingatannya mulai berputar mencari secercah peristiwa yang mungkin ada di memorynya. Iya, ingatannya berputar menampilkan sebuah aktifitas p
Jagat seketika melihat pada pusat tubuhnya dan kedua bola matanya membola dengan mulut terbuka. Dia tidak menyangka jika sinar itu bisa keluar dan dilihatnya lagi setelah beberapa hari tidak muncul. "Aku sendiri juga tidak tahu, Ki. Hanya saja saat aku terjatuh ke kedalaman jurang kemarin keadaanku segera pulih meskipun ada kujang bermata sembilan memasuki aku.""Apa yang kamu katakan, Jagat, kujang bermata sembilan? Kau tidak bohong, 'Kan?" Jagat menggeleng lemah, selama ini dia selalu berkata jujur. Jadi jika ada yang meragukan kejujurannya hatinya bagai dicubit kecil, perihnya tidak terkira. "Bukan maksud paman tidak percaya dengan apa yang kamu ungkap. Hanya saja, kujang itu sudah hilang dari kancah dunia persilatan. Bahkan benyak sekali pendekar pilih tanding berlomba untuk dapatkan kujang itu."Jagat meraup wajahnya kasar, dia terlihat begitu ragu dan tidak mengerti dengan maksud kalimat dari Ki Jemblung. Sementara sinar yang berada di pusat tubuhnya perlahan mulai pudar. Se
Jagat masih melangkah mengikuti suara perempuan yang sedang merintih kesakitan. Jantungnya pun ikut berdebar saat suara itu mulai terdengar dekat. Gegas langkahnya dipercepat untuk sampai, saat jarak sudah dekat pandangan menyebar. "Itu ...!""Jagat, akhirnya!""Apa yang terjadi denganmu, Savitri?""Semalaman aku terjebak di sini, aku juga tidak tahu sejak kapan jebakan ini ada," dengus Savitri. Jagat terdiam, tangannya dengan terampil mengurai tali yang melilit pada pergelangan kakinya. Jebakan itu masih untung tidak mengangkatnya ke atas hanya tergolek di tanah. "Sudah selesai. Bagaimana, apakah kamu bisa berjalan?"Savitri mencoba menggerakkan tungkainya perlahan, diputarnya pergelangan kaki lalu dinaik turunkan sesaat. Setelah merasa sedikit lebih baik, perempuan itu mencoba berdiri. Namun, belum sempat tubuhnya berdiri sempurna tiba-tiba otot sendi pada lutut terasa nyeri. "Aough!" Pekik Savitri saat dia terjatuh lagi. "Boleh ke depannya aku bantu?"Tanpa bersuara Savitri lang
Beberapa murid segera menyeret tubuh Jagat dan dilempar begitu saja di hadapan Abimana dan Jantaka. Jagat tersungkur. Namun, bibirnya mengulas senyum sinis membuat Abimana makin naik darah. "Terlentangkan tubuhnya dan ikat kedua kaki juga tangannya!" Suara Abimana memecah kericuhan para murid. Kurubumi melempar tali dadung pada beberapa murid seangkatannya. Bersama mereka, Kurubumi mulai mengikat sesuai arahan dari Jantaka. "Apa yang kalian inginkan atas tubuh lemah ini?" tanya Jagat dengan suara rendah. Abimana berjalan mendekat dan jongkok tepat di depan perut Jagat. Ujung jari tulunjuk mengarah pada pusat tubuh Jagat dan mulai menekan perlahan. Sinar putih kebiruan tidak mau padam justru makin bersinar menyilaukan mata. Abimana memicingkan kedua mata tetapi jari jemarinya masih bergerak di sekitar pusat tubuh Jagat. Bibirnya bergerak ringan seperti membaca mantra. Tiba-tiba, hawa hangat menyebar ke seluruh tubuh Jagat terutama pada bagian perutnya. "Apa yang kamu lakukan pada
Ketika pukulan dan kujang bertemu saat itu juga terdengar suara letusan yang begitu memekakkan telinga. Tubuh Abimana terlempar hingga beberapa depa ke belakang, sedangkan tubuh Jagat hanya tergolek lemas mundur satu depa. Semua terpana melihat keadaan Jagat yang hanya duduk diam sambil menatap satu per satu murid padepokan. Hanya mata yang bergerak, bibir masih tetap bungkam. Dari jauh terlihat sang begawan berjalan mendekat dan berhenti tepat di depan Jagat. "Apa yang terjadi, bukankah tadi aku suruh kau untuk lenjutkan pekerjaanmu. Mengapa justru di sini membuat ulah hingga terjadi luka dalam pada pangeran?" Begawan Sanggabumi berkata dengan nada dingin. "Awal mula bukan ulahku, Begawan. Mereka yang lebih dulu," jawab Jagat dengan sikap sopan. "Dia mencuri kujang mata sembilan, Bopo!" tuduh Jantaka. Begawan menoleh menatap pada putranya dari istri kedua, ada sorot tanya pada sinar kedua mata cokelat pekat. Hal ini membuat Jantaka menghela napas panjang terlebih dahulu baru men