Gelap dan hanya hewan malam yang bisa didengar. Seonggok daging yang masih bisa bergerak mulai mengeluarkan suara. Iya, dia adalah Jagat. Pemuda malang itu dibuang oleh Abimana dan kawan-kawannya ke jurang terdalam.
Untung tubuh Jagat masih bisa terselamatkan dengan tersangkut di antara tumbuhan menjalar yang menjuntai mulai atas tebing hingga dasar."Haus, air! Aku butuh air ...." Jagat perlahan membuka kolopak matanya, dia memandang sekitar, "Dimana aku?"Jagat berusaha berdiri dan berpijak pada batang yang menjulur dan lumayan besar. Namun, belum sampai kaki menyentuh batang itu dia terpeleset hingga jatuh dengan kecepatan yang lumayan. Tulang punggungnya menghantam ranting beberapa kali hingga terhempas di rerumputan."Argh! Lumayan tinggi juga tebing itu!" kata Jagat sambil melihat ke atas. "Tempat apa ini, begitu lembab dan dingin?"Jagat masih terlihat bingung dan pandangannya menyapu keadaan sekitar. Perlahan dia bangkit dan mulai menyusuri setapak yang sepertinya sudah lama tidak dipakai. "Tempat ini sepertinya sudah lama ditinggalkan. Tetapi oleh siapa?"Jagat masih terus mengikuti jalan itu hngga terlihat mulut goa, "Sepertinya hujan akan turun, aku berteduh di goa itu saja!"Langkah Jagat pun langsung menuju ke pintu goa. Awalnya goa itu terlihat pengap dan kumuh, lalu dengan menggunakan rumput liat lantai goa dibersihkan. "Nah jika sudah bersih jadi nyaman untuk rebahan."Jagat merebahkan tubuhnya pada lempengan hitam yang ada di sisi kanan goa dan menyatu pada dindingnya. Pemuda itu mengeliatkan tubuhnya agar tulang sendi yang kaku sedikit lebih lentur. Namun, telapak tangannya menyenggol batuan yang ada diujung kepala.Batu itu tergeser dan terdengar suara berdesing juga sinar kebiruan, kedua kejadian itu membuat Jagat terpana. Sebuah kujang terbang melayang memutar di atas kepala Jagat. Pemuda itu masih belum bisa menguasai jiwanya, tatapannya tertuju pada kujang tersebut."Kujang Sakti, mendekatlah padaku jika kau merasa nyaman!" Pinta Jagat dengan nada lantang.Seakan kujang itu memiliki perasaan dan hati, dia terbang menuju ke dada Jagat.Blesh!Bagai sebuah senjata siluman, kujang itu memasuki raga Jagat dan pemuda tersebut belum siap. Jagat memegangi dadanya yang terasa nyeri dan panas. Keringat dingin keluar bercucuran, kedua telapak tangannya menekan dada. Sesekali dipukulnya dada dengan tujuan agar kujang itu mau keluarAkan tetapi, sayangnya kujang itu tidak keluar tetapi justru merangsek masuk lebih dalam. Setiap gerakan kujang dapat dirasakan oleh Jagat. Pemuda itu semakin meremat kuat dadanya sendiri. "Ini gila, bagaimana bisa berjalan sesuka hatimu, Kujang. Aku mohon berhentilah!"Jagat masih terus memukul dadanya sendiri, bahkan kini dia mencari batu untuk memukul dadanya. Dia berharap dengan bantuan batu tenaganya bisa lebih kuat. Namun, ternyata semua sia-sia. Kujang tersebut masih berada di tubuh Jagat justru yang ada dadanya membiru akibat pukulannya dengan batu.Rasa panas mulai menjalar ke seluruh tubuh Jagat membuat pemuda itu duduk meringkuk menyatukan lutut dan dadanya. "Panas, ini panas sekali. Hentikan Kujang. Apa yang kau inginkan dariku?"Hening tidak ada jawaban, Jagat pun mulai bergerak tidak nyaman. Tiba-tiba seberkas sinar kebiruan meluncur menghujam tubuh Jagat membuat dia menjerit panjang selayaknya lolongan serigala."Sakit, siapa kalian? Apa salahku hingga kau siksa aku seperti ini, keluarlah tunjukkan wujudmu!" Jagat terus berteriak mencari seseorang yang mungkin menjadi pemilik kujang.Rasa sakit dan nyeri datang lagi hingga membuat tubuh Jagat menggelepar terlentang kembali di lempengan batu hitam. Kemudian tubuh Jagat menghadap ke dinding goa. Kedua bola matanya membeliak kala dinding itu juga mengeluarkan sinar kebiruan."Aku mohon keluarlah, Kujang!" Pinta Jagat.Ada benda yang terbuat dari kayu cendana melayang di depan mata membuat Jagat ingin menangkap. Dengan sekuat tenaga Jagat mencoba meraihnya dan blum!Benda yang terbuat dari kayu cendana itu pun ikut masuk dalam raga Jagat, pemuda itu mengerang kesakitan hingga akhirnya pingsan.Sementara di atas tebing, terlihat Abimana tertawa bahagia. Dia dan dua anteknya melihat ke bawah jurang yang sangat dalam."Tubuh pria ayu tadi pasti hancur saat menyentuh tanah, Pangeran," ujar Jantaka."Se-sepertinya begitu, Jantaka. Tidak mungkin jika tubuhnya utuh lihat ke bawa sana! Gelap dan anginnya bertiup begitu kencang," papar Kurubumi."Sebaiknya kita segera balik ke padepokan, ingat jika paman koki menanyakan keberadaan Jagat kalian harus bungkam!" ancam Abimana.Kedua antek pangeran itu mengangguk terutama Kurubumi, pria muda yang sejak kecil sudah bermain dengan Abimana tidak berani membantah. Dia tahu kekuasaan macam apa yang berada di belakang Abimana. Kurubumi yang merupakan putra seorang panglima kerajaan Bumi Seloka selalu mengalah pada Abimana yang merupakan seorang putra mahkota."Ingat Jantaka jangan pernah membuka mulut!"Jantaka hanya menjawab dengan gumaman lirih. Mereka terus berjalan hingga sampai di tempat tandon besar yang terletak di belakang dapur umum. Dari jau Abimana busa melihat bahwa paman koki sudah berdiri di ambang pintu masuk dapur, sepertinya dia sedang menunggu seseorang."Hai Paman Koki, sedang apa Anda berdiri di sana. Segera masuk dan masak makanan untuk kami!" teriak Abimana lantang dan dingin.Paman koki yang bernama Ki Jemblung hanya diam, dia tidak memedulikan pada suara teriakan Abimana yang memberinya perintah. Melihat teriakannya tidak diperhatikan oleh Jemblung membuat Abimana naik pitam, kakinya meluncur berniat untuk menendang empat kaki yang menyangga gentong besar."Aku tidak butuh kalian, pergilah!" Hentak Jemblung."Hai, jangan bikin sakit hati pangeran jika hidupmu ingin nyaman di masa depan!" Jantaka ikut berkata kasar pada koki padepokan itu."Aku tidak peduli pada apapun jua. Kalian yang memulai semua ini, kelak di masa depan merugilah!" Sumpah serapah yang lolos dari bibir Jemblung seketika disambar oleh suara petir yang bersahutan.Seorang gadis berteriak sambil berlari menuju ke perundungan Jagat. Dia tidak memedulikan keadaannya yang masih basah kuyup dan berbelit kain jarit basah. Tubuh rampingnya bahkan terlihat jelas setiap lekuknya. Jagat seketika melempar kain sarungnya yang selalu dililitkan di pinggang pada sang gadis. Savitri menangkap dan membungkus tubuhnya, "Apa yang kalian lakukan pada Jagat? Bukankah sudah sering guru katakan bahwa kita tidak boleh melakukan perundungan!"Abimana menatap tajam pada gadis itu, "Kau hanya perempuan, Savitri. Tidak usah ikut campur!""Cuih! Selalu saja seorang Abimana yang sok berkuasa." Kesempatan ini digunakan Jagat untuk berusaha duduk dan mengatur napasnya yang terasa sesak. Ada keanehan yang dia rasakan, bukankah awalnya dia berada di goa dengan luka dalam. Tapi kini .... Sementara Abimana berjalan mengikis jaraknya dengan Savitri, lengannya yang kekar dan panjang meraih rahang gadis itu. "Bukankah sering pula aku berkata padamu, Savitri! Jauhi pemuda hina in
Jagat berjalan keluar menuju tempat bumbung yang sudah dia sediakan. Tangannya bergerak cekatan mengikat keduanya pada tali tambang yang terkait pada bilah bambu, kemudian di pikulnya empat bumbung bambu yang beda tingginya. Sebelum mulai melangkah, Jagat membungkuk berniat melihat rendaman kuali yang hancur siang tadi. "Sudah mulai melunak, bagus juga khasiat daun itu."Setelahnya Jagat mulai melangkah tidak lupa memikul bilah bambu yang di kedua ujungnya sudah terikat empat bumbung sama. Pemuda itu bergerak cepat bolak balik sungai dan tandon hingga berulang kali. Suara gemerisik geraknya rumput sesekali menyapa cupingnya, tetapi tidak dia pedulikan. Menurutnya hanya hewan liar yang mencoba mencari makan tidak menyurutkan langkah yang terus maju hingga terlihat bayangan hitam meluncur cepat menuju ke arahnya. Slash! Kilatan cahaya menyentuh tali pada ujung bilah bambu yang dipikul. Sesaat kemudian berdiri sosok pria bertopeng dengan pedang tipis nan panjang. Di belakangnya masi
Seorang tabib memeriksa tubuh Jagat, Ki Jemblung dengan setia berdiri di tiang ranjang sambil terus melihat anak didiknya. Terlihat wajah cemas yang membayang diwajahnya. "Bagaimana, Tabib?"Sang tabib menatap sekilas pada Jemblung, lalu kembali fokus pada tubuh Jagat. Jemari tuanya mulai meraba beberapa lebam dan memar pada beberapa titik vital tubuhnya. Gelengan kepala sesekali terlihat membuat Ki Jemblung menjadi gelisah. "Ada apa dengan tubuh Jagat?" tanya Jemblung makin gelisah."Ada keanehan pada struktur tulang pemuda ini, Ki. Apa sebelumnya dia seorang pendekar?" Sang Tabib tidak menjawab pertanyaan koki padepokan, justru dia bertanya padanya. Jemblung mengerutkan dahi, dia juga tidak paham dengan kondisi tulang Jagat di masa silam. Untuk itu dia menjadi bingung sendiri, sejak kecil pun Jagat tidak terlihat sebagai sosok pria yang kuat. "Bagaimana, Ki?""Seingatku dia tidak pernah menjadi pria yang kuat. Sejak beberapa hari silam pemuda ini selalu disiksa oleh murid yang la
Jemblung meninggalkan Jagat dalam keadaan terdiam. Pemuda itu masih tidak percaya dengan keadaannya yang masih bisa selamat terjatuh dari jurang setinggi itu. Kembali dalam ingatannya sebuah kujang bermata sembilan mengelilingi tubuhnya yang sempat terbujur kaku. "Apa yang sedang kamu pikirkan, Pria Muda?" Terdengar suara pria tua yang khas. "Siapa kamu, menilik suara yang kudengar rasanya aku pernah tahu pemilik ini?""Kita pernah bertemu di alam mimpi. Apakah semudah itu kamu lupa?"Jagat mencari sosok yang sedang berbicara, tetapi tidak terlihat bayangan sedikit pun. Helaan napas kasar dia keluarkan dan sungguh sesak di dada. Jagat masih duduk di tepian balai tempat dia biasa merebahkan diri. Tatapannya masih menyapu sekelilingnya untuk mencari pemilik suara tersebut. "Sampai akhir jaman kau tidak akan bisa temukan wujudku." Jagat terdiam, ingatannya mulai berputar mencari secercah peristiwa yang mungkin ada di memorynya. Iya, ingatannya berputar menampilkan sebuah aktifitas p
Jagat seketika melihat pada pusat tubuhnya dan kedua bola matanya membola dengan mulut terbuka. Dia tidak menyangka jika sinar itu bisa keluar dan dilihatnya lagi setelah beberapa hari tidak muncul. "Aku sendiri juga tidak tahu, Ki. Hanya saja saat aku terjatuh ke kedalaman jurang kemarin keadaanku segera pulih meskipun ada kujang bermata sembilan memasuki aku.""Apa yang kamu katakan, Jagat, kujang bermata sembilan? Kau tidak bohong, 'Kan?" Jagat menggeleng lemah, selama ini dia selalu berkata jujur. Jadi jika ada yang meragukan kejujurannya hatinya bagai dicubit kecil, perihnya tidak terkira. "Bukan maksud paman tidak percaya dengan apa yang kamu ungkap. Hanya saja, kujang itu sudah hilang dari kancah dunia persilatan. Bahkan benyak sekali pendekar pilih tanding berlomba untuk dapatkan kujang itu."Jagat meraup wajahnya kasar, dia terlihat begitu ragu dan tidak mengerti dengan maksud kalimat dari Ki Jemblung. Sementara sinar yang berada di pusat tubuhnya perlahan mulai pudar. Se
Jagat masih melangkah mengikuti suara perempuan yang sedang merintih kesakitan. Jantungnya pun ikut berdebar saat suara itu mulai terdengar dekat. Gegas langkahnya dipercepat untuk sampai, saat jarak sudah dekat pandangan menyebar. "Itu ...!""Jagat, akhirnya!""Apa yang terjadi denganmu, Savitri?""Semalaman aku terjebak di sini, aku juga tidak tahu sejak kapan jebakan ini ada," dengus Savitri. Jagat terdiam, tangannya dengan terampil mengurai tali yang melilit pada pergelangan kakinya. Jebakan itu masih untung tidak mengangkatnya ke atas hanya tergolek di tanah. "Sudah selesai. Bagaimana, apakah kamu bisa berjalan?"Savitri mencoba menggerakkan tungkainya perlahan, diputarnya pergelangan kaki lalu dinaik turunkan sesaat. Setelah merasa sedikit lebih baik, perempuan itu mencoba berdiri. Namun, belum sempat tubuhnya berdiri sempurna tiba-tiba otot sendi pada lutut terasa nyeri. "Aough!" Pekik Savitri saat dia terjatuh lagi. "Boleh ke depannya aku bantu?"Tanpa bersuara Savitri lang
Beberapa murid segera menyeret tubuh Jagat dan dilempar begitu saja di hadapan Abimana dan Jantaka. Jagat tersungkur. Namun, bibirnya mengulas senyum sinis membuat Abimana makin naik darah. "Terlentangkan tubuhnya dan ikat kedua kaki juga tangannya!" Suara Abimana memecah kericuhan para murid. Kurubumi melempar tali dadung pada beberapa murid seangkatannya. Bersama mereka, Kurubumi mulai mengikat sesuai arahan dari Jantaka. "Apa yang kalian inginkan atas tubuh lemah ini?" tanya Jagat dengan suara rendah. Abimana berjalan mendekat dan jongkok tepat di depan perut Jagat. Ujung jari tulunjuk mengarah pada pusat tubuh Jagat dan mulai menekan perlahan. Sinar putih kebiruan tidak mau padam justru makin bersinar menyilaukan mata. Abimana memicingkan kedua mata tetapi jari jemarinya masih bergerak di sekitar pusat tubuh Jagat. Bibirnya bergerak ringan seperti membaca mantra. Tiba-tiba, hawa hangat menyebar ke seluruh tubuh Jagat terutama pada bagian perutnya. "Apa yang kamu lakukan pada
Ketika pukulan dan kujang bertemu saat itu juga terdengar suara letusan yang begitu memekakkan telinga. Tubuh Abimana terlempar hingga beberapa depa ke belakang, sedangkan tubuh Jagat hanya tergolek lemas mundur satu depa. Semua terpana melihat keadaan Jagat yang hanya duduk diam sambil menatap satu per satu murid padepokan. Hanya mata yang bergerak, bibir masih tetap bungkam. Dari jauh terlihat sang begawan berjalan mendekat dan berhenti tepat di depan Jagat. "Apa yang terjadi, bukankah tadi aku suruh kau untuk lenjutkan pekerjaanmu. Mengapa justru di sini membuat ulah hingga terjadi luka dalam pada pangeran?" Begawan Sanggabumi berkata dengan nada dingin. "Awal mula bukan ulahku, Begawan. Mereka yang lebih dulu," jawab Jagat dengan sikap sopan. "Dia mencuri kujang mata sembilan, Bopo!" tuduh Jantaka. Begawan menoleh menatap pada putranya dari istri kedua, ada sorot tanya pada sinar kedua mata cokelat pekat. Hal ini membuat Jantaka menghela napas panjang terlebih dahulu baru men
Akshita masih menatap wajah Jagat dengan lembut, kedua tangannya melingkar di leher kekar itu. Napasnya yang harum telah menyapa kulit leher Jagat. Sentuhan yang lama tidak menyapa kini mulai membangkitkan hasrat terpendam. Semilir angin telah mengganggu jiwa Jagat, dia tidak bisa menolak pesona sang dewi. Akshita masih mengumbar senyum manisnya dengan jari jemari berjalan naik turun di sepanjang leher kekasihnya. Jagat mulai bergolak, jakunnya naik turun dengan cepat membuat senyum Akshita makin memabukkan. "Bukan tidak rela, Kang. Tetapi lebih ingin memiliki seutuhnya semua milikmu termasuk jiwamu."Jagat bergerak merapatkan tubuhnya hingga membuat Akshita terduduk di pinggiran kolam. Selendang merah yang membungkus dadanya berkibar bersentuhan dengan angin hingga menampilkan tulang selangka yang indah. Jagat sudah tidak tahan lagi, maka dia menundukkan kepalanya dan melabuhkan kecupan ringan pada tulang selangka itu. Kecupan yang lembut dan penuh kasih belum mampu membangkitkan
Jagat Kelana menatap sosok pria muda di depannya. Bibirnya melengkung sempurna, lalu tangannya terangkat untuk memberi restu pada pria muda itu. Pria muda itu pun membujuk sesaat lalu terangkat menatap langsung pada manik mata Raja muda itu. Dia tersenyum tipis. "Bagaimana pola latihan mereka, Anakmas?"Pria muda itu mulai menjelaskan kemajuan latihan para prajurit yang selama ini dia latih. Semua telah berhasil hingga ke tingkat tengah kelas dua. "Apakah jadi mereka dipilih dan dikirim ke kerajaan sebelah, Ayahanda?""Iya, kerajaan itu belum memiliki prajurit handal satu pun. Siapa nama kamu, Anakmas?"Pria muda itu menatap pada Raja Singgalang, lalu bibirnya tersenyum dengan menyuarakan, " Airlangga Batinara."Jagat tersenyum, "berapa usiamu?""25 tahun masa alam kami."Jagat Kelana tersenyum, dia berdiri dan terbang mendekati sosok pria muda itu. Lalu dia berdiri di depan Airlangga, memeluknya erat. "Sudah sebesar ini baru kamu datang ke sini. Apakah tidak ingin tahu ayahmu?""
Malam yang begitu dingin membuat Jagat segera membawa tubuh istrinya masuk ke dalam. Apa yang dia lakukan pun berlanjut hingga berulang kali. Ternyata tubuh yang memiliki struktur tulang yang rentan itu mampu menampung gairahnya hingga berulang kali. Prameswari merasa begitu bahagia telah membuat suaminya tersenyum puas. Akan tetapi, tubuh itu juga memiliki daya tahan yang rendah. Penyatuan yang dilakukan hingga menjelang pagi membuat tulang Prameswari seakan lepas kontrol. Tubuhnya menjadi lemas. "Tuan, Suamiku, maafkan aku! Rasanya tubuh ini sudah tidak mampu," kata Prameswari dengan tatapan memohon. "Baiklah, kita sudahi dulu. Sekarang tidurlah!" balas Jagat. Setelah berkata itu, kedua mata Prameswari terpejam. Hal ini membuat Jagat khawatir, dia pun segera memeriksa kondisi tubuh istrinya. "Bagaimana bisa seperti ini, Nyai? Aku baru saja merasakan nyaman bersama tubuhmu, kamu terlanjur pingsan. Hadeh!"Jagat segera memakai jubahnya, lalu dia duduk sila di sisi ranjang. Kedua
Malam ini waktunya Jagat bersama Prameswari. Keduanya duduk di teras belakang paviliun. Jagat memilih duduk di tanah beralaskan rumput, sementara Prameswari duduk diam di sisi kanannya. "Duduk dekat sinilah, Istriku!" Prameswari menggeser tubuhnya dengan senyum yang dia sembunyikan. Kepalanya menunduk dalam, dia malu dengan pendekatan suaminya. Berbeda dengan Jagat, dia justru mulai merebahkan kepalanya pada paha Prameswari membuat wanita itu terdiam seketika. "Suami!" pekik Prameswari ringan. Dengan santainya Jagat mencari tempat ternyaman untuk kepalanya, lalu tangannya meraih jemari istrinya itu dan meletakkan pada kepalanya. "Bisa pijat di sini sebentar, Nyai!" Pinta Jagat dengan tatapan penuh harap. Prameswari tidak bisa bersuara, jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya. Tangannya pun gemetaran menyentuh kepala suaminya. Perlahan disentuhnya rambut bergelombang pendek milik suaminya. 'Jantungku sepertinya mulai sakit," batin Prameswari merasa hatinya begitu senang be
"Nyai, kok malah melamun," kata Jagat lembut sambil melabuhkan sebuah kecupan hangat pada bibir istrinya. Mendapat sentuhan lembut seketika lamunan Akshita menghilang, lalu dia membalas ciuman Jagat lebih meminta. Keduanya larut dalam ciuman yang dalam. Cukup lama keduanya saling berbagi saliva, bahkan Jagat mulai menekan tubuh Akshita pada sandaran kursi kemudian dia duduk menyilang agar lebih dekat. "Kang!" panggil Akshita dengan nada berat. "Hemm."Jagat tidak melepaskan pelukannya dia justru mengangkat tubuh istrinya dan membawanya ke ayunan yang biasa di gunakan Jagat saat mengingat kenangan bersama Akshita. "Apakah di sini tidak akan mengganggu yang lainnya, Kang? Aku merindukanmu," bisik Akshita yang membuat gairah Jagat memuncak. "Tidak. Dan jangan remehkan kekuatanku saat ini, Nyai."Akshita tersenyum, jari jemarinya mulai bergerak perlahan membuka satu per satu kain penutup tubuh suaminya. Jagat membiarkan semua inginnya Akshita. Dia terlihat begitu menikmati apa pun y
Mendengar niat suaminya, Roro Wening pun menyiapkan segalanya yang biasa dilakukan Jahat sebelum penyatuan. Kali ini selir itu tidak mau ada yang tertinggal. Ini adalah pelajaran yang sudah dia pahami selama hidup bersama Jagat baik sebelum miliki kerajaan ataupun sudah. "Jangan sampai ada yang tertinggal, Asih!" kata Roro Wening sambil menata beberapa benda yang harus dipakai oleh selir utama. "Nggeh, siap."Seorang dayang senior ikut membantu selur agung menyiapkan semua. Mulai dari aroma cendana hingga kain penutup kala penyatuan dimulai. Roro Wening juga memberikan beberapa catatan apa saja yang akan diucapkan sebelum tubuh Prameswari tersentuh. "Semua sudah siap, Kanjeng Ratu.""Jangan sebut nama itu, Asih. Semua belum resmi meskipun Yunda Akshita sudah datang menemaniku semalam.""Jika sudah seperti ini tidak mungkin akan lupa, Kanjeng Ratu. Niat Nyai Akshita sudah jelas bahkan putranya sendiri ditugaskan untuk menjaga kedamaian kerajaan ini lho," papar Asih--dayang senior.
Sinar mentari masuk di sela jendela kamar Roro Wening, hangatnya mampu membangunkan selir cantik dan seksi itu. Melihat istrinya mulai bangkit dari ranjang Jagat segera mendekat dan membantu istrinya itu. Perlakuan Jagat yang hangat membuat hati Roro Wening terharu. "Duduk sini dulu, tunggu kusiapkan air untuk kamu mandi!" kata Jagat. Roro Wening pun mengikuti apa yang dikatakan oleh Jagat. Kemudian pria itu berdiri menuju ke balik pembatas anyaman bambu. Terdengar suara gemericik air yang dialirkan oleh Jagat. Setelah semua persiapan mandi istri selesai, Jagat keluar dari dalam lalu melangkah mengikis jarak dengan istrinya. Kemudian dengan lengannya diangkat tubuh istrinya ala bridal. "Turunkan aku, Suamiku!""Jangan banyak bergerak biar ndak jatuh!"Mendengar hal itu membuat Roro Wening mempererat pegangannya pada leher Jagat. Pria itu tersenyum melihat sikap istrinya, lalu dimasukkan perlahan tubuh Roro Wening ke dalam bak mandi. Tangan Jagat mulai bergerak membasuh punggung i
Udara dingin membuat tubuh Roro Wening menggigil parah. Bahkan muncul ruam merah hingga membuat salah satu dayang berlarian di sepanjang lorong peraduan raja. Dayang itu mendengar suara sang Raja berbicara dengan seorang wanita, bahkan suaranya begitu membuat bulu kuduk berdiri. Sebagai wanita dewasa dayang itu pasti paham suara apa yang dia dengar. Namun, dia lebih memilih tetap diam berdiri di depan pintu hingga suara itu menghilang. Cukup lama dayang itu berdiri di sana hingga pintu kamar Raja terbuka menampilkan sosok wanita yang begitu cantik dengan wajah bercahaya. "Masuklah!" Usia berkata wanita itu pergi sambil menarik selendang merahnya hingga membuat tubuhnya terbang. Peristiwa yang langka membuat wanita itu terpana dan takjub. Sungguh kejadian itu teramat langka. Suara Raja yang memanggilnya pun tidak mampu membuatnya lepas meninggalkan pemandangan itu. "Dayang, ada apa hingga larut malam kamu tidak istirahat?" Suara Jagat sudah begitu dekat dengan telinga dayang membu
Hari terus berlalu, kasim yang dipergoki oleh Roro Wening akhirnya dia mengaku mengapa perbuatan itu dilakukan. Dia juga mengaku semua dilakukan hanya untuk mengukur waktu. "Baik, jika semua ini atas perintah Raja sendiri maka mana buktinya?" tanya Nyai Ratu Zavia. Pemuda itu diam dengan kepala menunduk dalam. Dia memang diperintah oleh Raja Jagat tanpa ada surat tertulis. Hal ini membuat bibirnya bungkam, tetapi dalam hati menyalahkan tugas rahasia yang telah terungkap. "Jika untuk mengukur waktu, lalu semua itu atas tujuan apa?""Sebenarnya Raja Jagat Kelana sudah pulang, Ibu Ratu. Tetapi hal ini masih dalam mimpi semua penghuni kerajaan, maka dari itu saya tidak berani ungkap hanya bisa mengulur waktu sesuai perintah."Roro Wening yang melihat cara bercerita pemuda di depannya merasakan aura yang begitu kuat menyebar di ruang pendopo agung. Aura ini begitu familiar. "Baik, apakah dengan begini kamu lah yang akan menikahi selir Pitaloka, begitu?"Pemuda itu masih diam, kedua tan