Beranda / Pendekar / Jagat Kelana / 1. Pedepokan Pandan Alas

Share

Jagat Kelana
Jagat Kelana
Penulis: Shaveera

1. Pedepokan Pandan Alas

"Kau memang pantas untuk melakukan pekerjaan itu, Dasar Pria Ayu!"

Sosok yang dipanggil Pria Ayu itu menghentikan langkahnya. Dia melirik sebentar ke arah beberapa pemuda yang tengah menertawakan ia yang tengah memanggul dua kuali besar berisi air untuk keperluan memasak.

"Sudah sana segera isi penuh gentong sebelum koki masak untuk makan malam kami!" tukas pangeran yang memiliki badan paling tinggi dengan mendorong tubuh Jagat.

Tubuh Jagat terdorong kebelakang hingga beberapa langkah membuat ketiga pangeran merasa bahagia. Tanpa dia sadari air dalam kuali semakin berkurang isinya.

"Kau harusnya tahu diri jangan sok kuat, pakai rayu gadis Pandan Alas. Lihat dirimu, berkacalah!" ujar Abimana.

"Gadis pandan alas, aku tidak kenal. Kalian saja yang tidak paham!"

Ketiga pangeran terlihat murka, tatapan nyalang Abimana menghujam Jagat. Dia pun berkata, "Jangan kira kami tidak tahu, Pria Ayu! Dia yang sering memberimu sebungkus nasi sisa dari dapur."

Jagat terdiam, dahinya berkerut mengingat sosok perempuan ayu yang selama ini sering membantunya. Lalu bibirnya mengulum senyum, "Ada apa dengan gadis itu?" tanya Jagat polos.

Ketiga pemuda itu pun melihat Jagat dengan pandangan meremehkan. "Ingat namaku, Pria Ayu. Aku Abimana, putra mahkota Bumi Seloka. Maka jika aku memberimu perintah jangan menolak. Kelak di masa depan hidupmu akan layak!"

Jagat tidak memedulikan apa yang dikatakan oleh Abimana, dia justru berusaha memperbaiki kualinya yang bocor akibat lemparan kerikil antek Abimana. Jemari Jagat sibuk menggulung daun lontar yang kebetulan tumbuh di sekitar sungai. Namun, saat beberapa lubang sudah tertutup menyisakan satu lubang tiba-tiba, pyar!

Tawa terbahak terdengar dari kedua pemuda yang berdiri dibelakang Abimana. Jantaka berhasil melempar batu besar hingga dua kuali itu pecah tidak berbentuk.

Sedangkan Abimana melotot dengan kedua telapak tangan yang mengepal. Buku jarinya sampai memutih, dia menahan gemuruh emosi yang menyapa jiwa. Pria yang berkuasa merasa direndahkan oleh seorang kasta rendahan.

"Kurang ajar, berani sekali kau tidak memerhatikan ucapan seorang Abimana, Bocah Tengik!"

Jagat mengeram, dia berdiri menatap pada Jantaka yang sudah menendang dua kuali milik paman koki. Pria muda itu terbayang amarah paman itu padanya. Ketakutannya mulai menyapa, tubuh Jagat gemetaran. Hal ini semakin membuat Jantaka tertawa terbahak. "Lihat, tubuhnya bergetar. Dia pasti kena hukum paman koki. Kasian!"

Tidak hanya Jantaka yang tertawa, satu pemuda lagi juga ikut tertawa. Agak berbeda cara tawanya membuat Jagat meliriknya. Dia sedikit takut untuk mengeluarkan tawa alhasil suaranya mengambang.

"Aku tidak takut akan amarah paman koki, dia pasti tahu siapa yang salah mengenai hal ini." Jagat mulai bersuara lantang setelah berhasil menetralkan perasaannya.

"Haha, di sini aku yang berkuasa. Bahkan pemilik padepokan ini harus bersujud di kakiku hanya sekedar meminta maaf, apalagi kau seorang hina!"

Jagat menggeleng kepala melihat kesombongan Abimana. Lalu dia pun berjongkok mulai mengumpulkan pecahan kuali untuk dimasukkan ke dasarnya yang masih utuh. Tatapan nanar dan genangan air mulai tampak pada cokelat madu matanya. "Kasian sekali kamu kuali, tidak punya kuasa untuk membantah!"

Abimana makin terbahak melihat sikap Jagat yang melonkolis. Dengan ujung kakinya, didorong Jagat hingga membuat pemuda itu jatuh terjengkag. Tawa mengelegar makin membuat hati Jagat serasa di hinakan, tetapi rasa rendahnya mengalahkan emosi.

Jagat tetap bungkam, tidak satu dua kali Abimana dan kawan memperlakukan dirinya bak pelayan bahkan lebih hina pun juga pernah. "Apakah kalian sudah puas hari ini?"

"Hah, puas? Tentu saja belum, selagi kau masih ada di sekitar padepokan kata puas itu tidak ada." Abimana berkata sambil mendorong bahu Jagat.

Akibat dorongan itu tubuh Jagat jatuh lagi dan semua pecahan kuali yang berhasil dia kumpulkan terjatuh. "Sebenarnya apa inginnya kalian, Hah?!"

"Haha, lihatlah! Si Pria Ayu mengeluarkan tanduk!" Ejek Jantaka

"Tetapi mana tanduk itu, Jantaka?" tanya Kurubumi.

Mendengar pertanyaan Kurubumi membuat Jantaka menoleh pada sahabatnya itu, "Apa kau tidak lihat di atas kepalanya mulai ada asap, Kurubumi?"

Abimana tidak memedulikan keadaan kedua sahabatnya, pemuda itu pun melancarkan tendangan beruntun dengan sasaran bahu Jagat.

Mendapat serangan tanpa jeda membuat Jagat tidak berkutik. Tubuhnya terhuyung ke belakang. "Ayo coba kau lawan aku, Jagat!" Pinta Abimana lantang.

Jagat tidak mampu berdiri tegak, tulangnya terasa terlolosi sebelum bertarung. Dalam hati pemuda itu mengumpat dirinya sendiri yang nyata tidak bisa membela saat dihina.

"Tubuhmu lemah, bahkan struktur tulangmu tidak layak untuk padepokan ini. Maka sudah seharusnya kau mati saja, Jagat!"

"Hidup matiku bukan di tanganmu, Pangeran. Kelak di masa depan kau yang akan merangkak ke arahku untuk meminta maaf!"

"Kau berani mengancamku, Cunguk Busuk!" Abimana murka, dengan ganas dipukulnya perut Jagat.

Pemuda itu meringis begitu pukulan dan tendangan Abamana bersarang di tubuhnya. Jagat tetap bungkam, bibirnya terkatup rapat tanpa sedikit pun berteriak kesakitan dan minta ampun.

"Ada apa dengan mulutmu, Cunguk? Ucap kata ampun!" kata Jantaka lantang sambil menendang tungkai Jagat.

"Be-berhenti-lah kalian sebelum ada yang tahu!" kata Kurubumi sambil melihat sekitar.

Pemuda itu terlihat takut dengan perbuatan mereka yang sedang menghajar Jagat. Tidak hanya takut ketahuan saja, Kurubumi juga merasa miris dan ngeri melihat cara Abimana memukuli tubuh lemah Jagat.

"Pangeran Abi dan Jantaka, tolong he-hentikan!" kata Kurubumi yang sesekali masih gagu.

"Sudah kau diam di sana dan awasi kalau-kalau ada yang datang!" titah Abimana.

"Tapi Pangeran, lihatlah kondisi Jagat! Dia sudah babak belur," kilah Kurubumi.

Abimana tidak memedulikan peringatan sahabat kecilnya, dia terus memukul dan menendang tubuh Jagat yang meringkuk melindungi dada dan perutnya yang mulai mual.

Jantaka yang sesekali ikut menendang menjadi ikut emosi karena kebungkaman Jagat. "Dia tidak mengucap kata ampun sedikit pun, Pangeran. Tunggu, sepertinya dia pingsan! Bagaimana ini, Pangeran?"

"Buang saja dia ke jurang!" titah Abimana.

Jantaka dan Kurubumi pun segera melakukan apa yang diperintah oleh Abimana. Tubuh Jagat mereka bawa ke tepian jurang Hutan Pandan Alas. Dengan wajah penuh bahagia, keduanya mulai berhitung untuk melempar tubuh tidak berdaya milik Jagat.

"Bagaimana, sudah siap?" tanya Jantaka.

"Tunggu, apakah ini tidak akan membuat nasib kita sila di masa depan?"

Jantaka membeliakkan mata, dia paling tidak suka jika Kurubumi mulai jadi pria pengecut. Tubuh Jagat disentak keras oleh Jantaka membuat Kurubumi sedikit limbung dan hampir ikut terjatuh.

"Hai, ada apa dengan kalian? Cepat buang!" teriak Abimana.

Kedua rekannya itu pun segera melempar tubuh Jagat ke jurang setelah hitungan ke tiga. Tubuh Jagat melayang terjun bebas masuk ke jurang. Namun, ada yang aneh dalam tubuh pemuda itu. Seberkas sinar seakan menyelimuti tubuhnya.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Arya. P
wowow sang pemayung mulai menampakkan diri
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status