"Kau memang pantas untuk melakukan pekerjaan itu, Dasar Pria Ayu!"
Sosok yang dipanggil Pria Ayu itu menghentikan langkahnya. Dia melirik sebentar ke arah beberapa pemuda yang tengah menertawakan ia yang tengah memanggul dua kuali besar berisi air untuk keperluan memasak."Sudah sana segera isi penuh gentong sebelum koki masak untuk makan malam kami!" tukas pangeran yang memiliki badan paling tinggi dengan mendorong tubuh Jagat.Tubuh Jagat terdorong kebelakang hingga beberapa langkah membuat ketiga pangeran merasa bahagia. Tanpa dia sadari air dalam kuali semakin berkurang isinya."Kau harusnya tahu diri jangan sok kuat, pakai rayu gadis Pandan Alas. Lihat dirimu, berkacalah!" ujar Abimana."Gadis pandan alas, aku tidak kenal. Kalian saja yang tidak paham!"Ketiga pangeran terlihat murka, tatapan nyalang Abimana menghujam Jagat. Dia pun berkata, "Jangan kira kami tidak tahu, Pria Ayu! Dia yang sering memberimu sebungkus nasi sisa dari dapur."Jagat terdiam, dahinya berkerut mengingat sosok perempuan ayu yang selama ini sering membantunya. Lalu bibirnya mengulum senyum, "Ada apa dengan gadis itu?" tanya Jagat polos.Ketiga pemuda itu pun melihat Jagat dengan pandangan meremehkan. "Ingat namaku, Pria Ayu. Aku Abimana, putra mahkota Bumi Seloka. Maka jika aku memberimu perintah jangan menolak. Kelak di masa depan hidupmu akan layak!"Jagat tidak memedulikan apa yang dikatakan oleh Abimana, dia justru berusaha memperbaiki kualinya yang bocor akibat lemparan kerikil antek Abimana. Jemari Jagat sibuk menggulung daun lontar yang kebetulan tumbuh di sekitar sungai. Namun, saat beberapa lubang sudah tertutup menyisakan satu lubang tiba-tiba, pyar!Tawa terbahak terdengar dari kedua pemuda yang berdiri dibelakang Abimana. Jantaka berhasil melempar batu besar hingga dua kuali itu pecah tidak berbentuk.Sedangkan Abimana melotot dengan kedua telapak tangan yang mengepal. Buku jarinya sampai memutih, dia menahan gemuruh emosi yang menyapa jiwa. Pria yang berkuasa merasa direndahkan oleh seorang kasta rendahan."Kurang ajar, berani sekali kau tidak memerhatikan ucapan seorang Abimana, Bocah Tengik!"Jagat mengeram, dia berdiri menatap pada Jantaka yang sudah menendang dua kuali milik paman koki. Pria muda itu terbayang amarah paman itu padanya. Ketakutannya mulai menyapa, tubuh Jagat gemetaran. Hal ini semakin membuat Jantaka tertawa terbahak. "Lihat, tubuhnya bergetar. Dia pasti kena hukum paman koki. Kasian!"Tidak hanya Jantaka yang tertawa, satu pemuda lagi juga ikut tertawa. Agak berbeda cara tawanya membuat Jagat meliriknya. Dia sedikit takut untuk mengeluarkan tawa alhasil suaranya mengambang."Aku tidak takut akan amarah paman koki, dia pasti tahu siapa yang salah mengenai hal ini." Jagat mulai bersuara lantang setelah berhasil menetralkan perasaannya."Haha, di sini aku yang berkuasa. Bahkan pemilik padepokan ini harus bersujud di kakiku hanya sekedar meminta maaf, apalagi kau seorang hina!"Jagat menggeleng kepala melihat kesombongan Abimana. Lalu dia pun berjongkok mulai mengumpulkan pecahan kuali untuk dimasukkan ke dasarnya yang masih utuh. Tatapan nanar dan genangan air mulai tampak pada cokelat madu matanya. "Kasian sekali kamu kuali, tidak punya kuasa untuk membantah!"Abimana makin terbahak melihat sikap Jagat yang melonkolis. Dengan ujung kakinya, didorong Jagat hingga membuat pemuda itu jatuh terjengkag. Tawa mengelegar makin membuat hati Jagat serasa di hinakan, tetapi rasa rendahnya mengalahkan emosi.Jagat tetap bungkam, tidak satu dua kali Abimana dan kawan memperlakukan dirinya bak pelayan bahkan lebih hina pun juga pernah. "Apakah kalian sudah puas hari ini?""Hah, puas? Tentu saja belum, selagi kau masih ada di sekitar padepokan kata puas itu tidak ada." Abimana berkata sambil mendorong bahu Jagat.Akibat dorongan itu tubuh Jagat jatuh lagi dan semua pecahan kuali yang berhasil dia kumpulkan terjatuh. "Sebenarnya apa inginnya kalian, Hah?!""Haha, lihatlah! Si Pria Ayu mengeluarkan tanduk!" Ejek Jantaka"Tetapi mana tanduk itu, Jantaka?" tanya Kurubumi.Mendengar pertanyaan Kurubumi membuat Jantaka menoleh pada sahabatnya itu, "Apa kau tidak lihat di atas kepalanya mulai ada asap, Kurubumi?"Abimana tidak memedulikan keadaan kedua sahabatnya, pemuda itu pun melancarkan tendangan beruntun dengan sasaran bahu Jagat.Mendapat serangan tanpa jeda membuat Jagat tidak berkutik. Tubuhnya terhuyung ke belakang. "Ayo coba kau lawan aku, Jagat!" Pinta Abimana lantang.Jagat tidak mampu berdiri tegak, tulangnya terasa terlolosi sebelum bertarung. Dalam hati pemuda itu mengumpat dirinya sendiri yang nyata tidak bisa membela saat dihina."Tubuhmu lemah, bahkan struktur tulangmu tidak layak untuk padepokan ini. Maka sudah seharusnya kau mati saja, Jagat!""Hidup matiku bukan di tanganmu, Pangeran. Kelak di masa depan kau yang akan merangkak ke arahku untuk meminta maaf!""Kau berani mengancamku, Cunguk Busuk!" Abimana murka, dengan ganas dipukulnya perut Jagat.Pemuda itu meringis begitu pukulan dan tendangan Abamana bersarang di tubuhnya. Jagat tetap bungkam, bibirnya terkatup rapat tanpa sedikit pun berteriak kesakitan dan minta ampun."Ada apa dengan mulutmu, Cunguk? Ucap kata ampun!" kata Jantaka lantang sambil menendang tungkai Jagat."Be-berhenti-lah kalian sebelum ada yang tahu!" kata Kurubumi sambil melihat sekitar.Pemuda itu terlihat takut dengan perbuatan mereka yang sedang menghajar Jagat. Tidak hanya takut ketahuan saja, Kurubumi juga merasa miris dan ngeri melihat cara Abimana memukuli tubuh lemah Jagat."Pangeran Abi dan Jantaka, tolong he-hentikan!" kata Kurubumi yang sesekali masih gagu."Sudah kau diam di sana dan awasi kalau-kalau ada yang datang!" titah Abimana."Tapi Pangeran, lihatlah kondisi Jagat! Dia sudah babak belur," kilah Kurubumi.Abimana tidak memedulikan peringatan sahabat kecilnya, dia terus memukul dan menendang tubuh Jagat yang meringkuk melindungi dada dan perutnya yang mulai mual.Jantaka yang sesekali ikut menendang menjadi ikut emosi karena kebungkaman Jagat. "Dia tidak mengucap kata ampun sedikit pun, Pangeran. Tunggu, sepertinya dia pingsan! Bagaimana ini, Pangeran?""Buang saja dia ke jurang!" titah Abimana.Jantaka dan Kurubumi pun segera melakukan apa yang diperintah oleh Abimana. Tubuh Jagat mereka bawa ke tepian jurang Hutan Pandan Alas. Dengan wajah penuh bahagia, keduanya mulai berhitung untuk melempar tubuh tidak berdaya milik Jagat."Bagaimana, sudah siap?" tanya Jantaka."Tunggu, apakah ini tidak akan membuat nasib kita sila di masa depan?"Jantaka membeliakkan mata, dia paling tidak suka jika Kurubumi mulai jadi pria pengecut. Tubuh Jagat disentak keras oleh Jantaka membuat Kurubumi sedikit limbung dan hampir ikut terjatuh."Hai, ada apa dengan kalian? Cepat buang!" teriak Abimana.Kedua rekannya itu pun segera melempar tubuh Jagat ke jurang setelah hitungan ke tiga. Tubuh Jagat melayang terjun bebas masuk ke jurang. Namun, ada yang aneh dalam tubuh pemuda itu. Seberkas sinar seakan menyelimuti tubuhnya.Gelap dan hanya hewan malam yang bisa didengar. Seonggok daging yang masih bisa bergerak mulai mengeluarkan suara. Iya, dia adalah Jagat. Pemuda malang itu dibuang oleh Abimana dan kawan-kawannya ke jurang terdalam. Untung tubuh Jagat masih bisa terselamatkan dengan tersangkut di antara tumbuhan menjalar yang menjuntai mulai atas tebing hingga dasar. "Haus, air! Aku butuh air ...." Jagat perlahan membuka kolopak matanya, dia memandang sekitar, "Dimana aku?"Jagat berusaha berdiri dan berpijak pada batang yang menjulur dan lumayan besar. Namun, belum sampai kaki menyentuh batang itu dia terpeleset hingga jatuh dengan kecepatan yang lumayan. Tulang punggungnya menghantam ranting beberapa kali hingga terhempas di rerumputan. "Argh! Lumayan tinggi juga tebing itu!" kata Jagat sambil melihat ke atas. "Tempat apa ini, begitu lembab dan dingin?"Jagat masih terlihat bingung dan pandangannya menyapu keadaan sekitar. Perlahan dia bangkit dan mulai menyusuri setapak yang sepertinya sudah lam
Seorang gadis berteriak sambil berlari menuju ke perundungan Jagat. Dia tidak memedulikan keadaannya yang masih basah kuyup dan berbelit kain jarit basah. Tubuh rampingnya bahkan terlihat jelas setiap lekuknya. Jagat seketika melempar kain sarungnya yang selalu dililitkan di pinggang pada sang gadis. Savitri menangkap dan membungkus tubuhnya, "Apa yang kalian lakukan pada Jagat? Bukankah sudah sering guru katakan bahwa kita tidak boleh melakukan perundungan!"Abimana menatap tajam pada gadis itu, "Kau hanya perempuan, Savitri. Tidak usah ikut campur!""Cuih! Selalu saja seorang Abimana yang sok berkuasa." Kesempatan ini digunakan Jagat untuk berusaha duduk dan mengatur napasnya yang terasa sesak. Ada keanehan yang dia rasakan, bukankah awalnya dia berada di goa dengan luka dalam. Tapi kini .... Sementara Abimana berjalan mengikis jaraknya dengan Savitri, lengannya yang kekar dan panjang meraih rahang gadis itu. "Bukankah sering pula aku berkata padamu, Savitri! Jauhi pemuda hina in
Jagat berjalan keluar menuju tempat bumbung yang sudah dia sediakan. Tangannya bergerak cekatan mengikat keduanya pada tali tambang yang terkait pada bilah bambu, kemudian di pikulnya empat bumbung bambu yang beda tingginya. Sebelum mulai melangkah, Jagat membungkuk berniat melihat rendaman kuali yang hancur siang tadi. "Sudah mulai melunak, bagus juga khasiat daun itu."Setelahnya Jagat mulai melangkah tidak lupa memikul bilah bambu yang di kedua ujungnya sudah terikat empat bumbung sama. Pemuda itu bergerak cepat bolak balik sungai dan tandon hingga berulang kali. Suara gemerisik geraknya rumput sesekali menyapa cupingnya, tetapi tidak dia pedulikan. Menurutnya hanya hewan liar yang mencoba mencari makan tidak menyurutkan langkah yang terus maju hingga terlihat bayangan hitam meluncur cepat menuju ke arahnya. Slash! Kilatan cahaya menyentuh tali pada ujung bilah bambu yang dipikul. Sesaat kemudian berdiri sosok pria bertopeng dengan pedang tipis nan panjang. Di belakangnya masi
Seorang tabib memeriksa tubuh Jagat, Ki Jemblung dengan setia berdiri di tiang ranjang sambil terus melihat anak didiknya. Terlihat wajah cemas yang membayang diwajahnya. "Bagaimana, Tabib?"Sang tabib menatap sekilas pada Jemblung, lalu kembali fokus pada tubuh Jagat. Jemari tuanya mulai meraba beberapa lebam dan memar pada beberapa titik vital tubuhnya. Gelengan kepala sesekali terlihat membuat Ki Jemblung menjadi gelisah. "Ada apa dengan tubuh Jagat?" tanya Jemblung makin gelisah."Ada keanehan pada struktur tulang pemuda ini, Ki. Apa sebelumnya dia seorang pendekar?" Sang Tabib tidak menjawab pertanyaan koki padepokan, justru dia bertanya padanya. Jemblung mengerutkan dahi, dia juga tidak paham dengan kondisi tulang Jagat di masa silam. Untuk itu dia menjadi bingung sendiri, sejak kecil pun Jagat tidak terlihat sebagai sosok pria yang kuat. "Bagaimana, Ki?""Seingatku dia tidak pernah menjadi pria yang kuat. Sejak beberapa hari silam pemuda ini selalu disiksa oleh murid yang la
Jemblung meninggalkan Jagat dalam keadaan terdiam. Pemuda itu masih tidak percaya dengan keadaannya yang masih bisa selamat terjatuh dari jurang setinggi itu. Kembali dalam ingatannya sebuah kujang bermata sembilan mengelilingi tubuhnya yang sempat terbujur kaku. "Apa yang sedang kamu pikirkan, Pria Muda?" Terdengar suara pria tua yang khas. "Siapa kamu, menilik suara yang kudengar rasanya aku pernah tahu pemilik ini?""Kita pernah bertemu di alam mimpi. Apakah semudah itu kamu lupa?"Jagat mencari sosok yang sedang berbicara, tetapi tidak terlihat bayangan sedikit pun. Helaan napas kasar dia keluarkan dan sungguh sesak di dada. Jagat masih duduk di tepian balai tempat dia biasa merebahkan diri. Tatapannya masih menyapu sekelilingnya untuk mencari pemilik suara tersebut. "Sampai akhir jaman kau tidak akan bisa temukan wujudku." Jagat terdiam, ingatannya mulai berputar mencari secercah peristiwa yang mungkin ada di memorynya. Iya, ingatannya berputar menampilkan sebuah aktifitas p
Jagat seketika melihat pada pusat tubuhnya dan kedua bola matanya membola dengan mulut terbuka. Dia tidak menyangka jika sinar itu bisa keluar dan dilihatnya lagi setelah beberapa hari tidak muncul. "Aku sendiri juga tidak tahu, Ki. Hanya saja saat aku terjatuh ke kedalaman jurang kemarin keadaanku segera pulih meskipun ada kujang bermata sembilan memasuki aku.""Apa yang kamu katakan, Jagat, kujang bermata sembilan? Kau tidak bohong, 'Kan?" Jagat menggeleng lemah, selama ini dia selalu berkata jujur. Jadi jika ada yang meragukan kejujurannya hatinya bagai dicubit kecil, perihnya tidak terkira. "Bukan maksud paman tidak percaya dengan apa yang kamu ungkap. Hanya saja, kujang itu sudah hilang dari kancah dunia persilatan. Bahkan benyak sekali pendekar pilih tanding berlomba untuk dapatkan kujang itu."Jagat meraup wajahnya kasar, dia terlihat begitu ragu dan tidak mengerti dengan maksud kalimat dari Ki Jemblung. Sementara sinar yang berada di pusat tubuhnya perlahan mulai pudar. Se
Jagat masih melangkah mengikuti suara perempuan yang sedang merintih kesakitan. Jantungnya pun ikut berdebar saat suara itu mulai terdengar dekat. Gegas langkahnya dipercepat untuk sampai, saat jarak sudah dekat pandangan menyebar. "Itu ...!""Jagat, akhirnya!""Apa yang terjadi denganmu, Savitri?""Semalaman aku terjebak di sini, aku juga tidak tahu sejak kapan jebakan ini ada," dengus Savitri. Jagat terdiam, tangannya dengan terampil mengurai tali yang melilit pada pergelangan kakinya. Jebakan itu masih untung tidak mengangkatnya ke atas hanya tergolek di tanah. "Sudah selesai. Bagaimana, apakah kamu bisa berjalan?"Savitri mencoba menggerakkan tungkainya perlahan, diputarnya pergelangan kaki lalu dinaik turunkan sesaat. Setelah merasa sedikit lebih baik, perempuan itu mencoba berdiri. Namun, belum sempat tubuhnya berdiri sempurna tiba-tiba otot sendi pada lutut terasa nyeri. "Aough!" Pekik Savitri saat dia terjatuh lagi. "Boleh ke depannya aku bantu?"Tanpa bersuara Savitri lang
Beberapa murid segera menyeret tubuh Jagat dan dilempar begitu saja di hadapan Abimana dan Jantaka. Jagat tersungkur. Namun, bibirnya mengulas senyum sinis membuat Abimana makin naik darah. "Terlentangkan tubuhnya dan ikat kedua kaki juga tangannya!" Suara Abimana memecah kericuhan para murid. Kurubumi melempar tali dadung pada beberapa murid seangkatannya. Bersama mereka, Kurubumi mulai mengikat sesuai arahan dari Jantaka. "Apa yang kalian inginkan atas tubuh lemah ini?" tanya Jagat dengan suara rendah. Abimana berjalan mendekat dan jongkok tepat di depan perut Jagat. Ujung jari tulunjuk mengarah pada pusat tubuh Jagat dan mulai menekan perlahan. Sinar putih kebiruan tidak mau padam justru makin bersinar menyilaukan mata. Abimana memicingkan kedua mata tetapi jari jemarinya masih bergerak di sekitar pusat tubuh Jagat. Bibirnya bergerak ringan seperti membaca mantra. Tiba-tiba, hawa hangat menyebar ke seluruh tubuh Jagat terutama pada bagian perutnya. "Apa yang kamu lakukan pada
Akshita masih menatap wajah Jagat dengan lembut, kedua tangannya melingkar di leher kekar itu. Napasnya yang harum telah menyapa kulit leher Jagat. Sentuhan yang lama tidak menyapa kini mulai membangkitkan hasrat terpendam. Semilir angin telah mengganggu jiwa Jagat, dia tidak bisa menolak pesona sang dewi. Akshita masih mengumbar senyum manisnya dengan jari jemari berjalan naik turun di sepanjang leher kekasihnya. Jagat mulai bergolak, jakunnya naik turun dengan cepat membuat senyum Akshita makin memabukkan. "Bukan tidak rela, Kang. Tetapi lebih ingin memiliki seutuhnya semua milikmu termasuk jiwamu."Jagat bergerak merapatkan tubuhnya hingga membuat Akshita terduduk di pinggiran kolam. Selendang merah yang membungkus dadanya berkibar bersentuhan dengan angin hingga menampilkan tulang selangka yang indah. Jagat sudah tidak tahan lagi, maka dia menundukkan kepalanya dan melabuhkan kecupan ringan pada tulang selangka itu. Kecupan yang lembut dan penuh kasih belum mampu membangkitkan
Jagat Kelana menatap sosok pria muda di depannya. Bibirnya melengkung sempurna, lalu tangannya terangkat untuk memberi restu pada pria muda itu. Pria muda itu pun membujuk sesaat lalu terangkat menatap langsung pada manik mata Raja muda itu. Dia tersenyum tipis. "Bagaimana pola latihan mereka, Anakmas?"Pria muda itu mulai menjelaskan kemajuan latihan para prajurit yang selama ini dia latih. Semua telah berhasil hingga ke tingkat tengah kelas dua. "Apakah jadi mereka dipilih dan dikirim ke kerajaan sebelah, Ayahanda?""Iya, kerajaan itu belum memiliki prajurit handal satu pun. Siapa nama kamu, Anakmas?"Pria muda itu menatap pada Raja Singgalang, lalu bibirnya tersenyum dengan menyuarakan, " Airlangga Batinara."Jagat tersenyum, "berapa usiamu?""25 tahun masa alam kami."Jagat Kelana tersenyum, dia berdiri dan terbang mendekati sosok pria muda itu. Lalu dia berdiri di depan Airlangga, memeluknya erat. "Sudah sebesar ini baru kamu datang ke sini. Apakah tidak ingin tahu ayahmu?""
Malam yang begitu dingin membuat Jagat segera membawa tubuh istrinya masuk ke dalam. Apa yang dia lakukan pun berlanjut hingga berulang kali. Ternyata tubuh yang memiliki struktur tulang yang rentan itu mampu menampung gairahnya hingga berulang kali. Prameswari merasa begitu bahagia telah membuat suaminya tersenyum puas. Akan tetapi, tubuh itu juga memiliki daya tahan yang rendah. Penyatuan yang dilakukan hingga menjelang pagi membuat tulang Prameswari seakan lepas kontrol. Tubuhnya menjadi lemas. "Tuan, Suamiku, maafkan aku! Rasanya tubuh ini sudah tidak mampu," kata Prameswari dengan tatapan memohon. "Baiklah, kita sudahi dulu. Sekarang tidurlah!" balas Jagat. Setelah berkata itu, kedua mata Prameswari terpejam. Hal ini membuat Jagat khawatir, dia pun segera memeriksa kondisi tubuh istrinya. "Bagaimana bisa seperti ini, Nyai? Aku baru saja merasakan nyaman bersama tubuhmu, kamu terlanjur pingsan. Hadeh!"Jagat segera memakai jubahnya, lalu dia duduk sila di sisi ranjang. Kedua
Malam ini waktunya Jagat bersama Prameswari. Keduanya duduk di teras belakang paviliun. Jagat memilih duduk di tanah beralaskan rumput, sementara Prameswari duduk diam di sisi kanannya. "Duduk dekat sinilah, Istriku!" Prameswari menggeser tubuhnya dengan senyum yang dia sembunyikan. Kepalanya menunduk dalam, dia malu dengan pendekatan suaminya. Berbeda dengan Jagat, dia justru mulai merebahkan kepalanya pada paha Prameswari membuat wanita itu terdiam seketika. "Suami!" pekik Prameswari ringan. Dengan santainya Jagat mencari tempat ternyaman untuk kepalanya, lalu tangannya meraih jemari istrinya itu dan meletakkan pada kepalanya. "Bisa pijat di sini sebentar, Nyai!" Pinta Jagat dengan tatapan penuh harap. Prameswari tidak bisa bersuara, jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya. Tangannya pun gemetaran menyentuh kepala suaminya. Perlahan disentuhnya rambut bergelombang pendek milik suaminya. 'Jantungku sepertinya mulai sakit," batin Prameswari merasa hatinya begitu senang be
"Nyai, kok malah melamun," kata Jagat lembut sambil melabuhkan sebuah kecupan hangat pada bibir istrinya. Mendapat sentuhan lembut seketika lamunan Akshita menghilang, lalu dia membalas ciuman Jagat lebih meminta. Keduanya larut dalam ciuman yang dalam. Cukup lama keduanya saling berbagi saliva, bahkan Jagat mulai menekan tubuh Akshita pada sandaran kursi kemudian dia duduk menyilang agar lebih dekat. "Kang!" panggil Akshita dengan nada berat. "Hemm."Jagat tidak melepaskan pelukannya dia justru mengangkat tubuh istrinya dan membawanya ke ayunan yang biasa di gunakan Jagat saat mengingat kenangan bersama Akshita. "Apakah di sini tidak akan mengganggu yang lainnya, Kang? Aku merindukanmu," bisik Akshita yang membuat gairah Jagat memuncak. "Tidak. Dan jangan remehkan kekuatanku saat ini, Nyai."Akshita tersenyum, jari jemarinya mulai bergerak perlahan membuka satu per satu kain penutup tubuh suaminya. Jagat membiarkan semua inginnya Akshita. Dia terlihat begitu menikmati apa pun y
Mendengar niat suaminya, Roro Wening pun menyiapkan segalanya yang biasa dilakukan Jahat sebelum penyatuan. Kali ini selir itu tidak mau ada yang tertinggal. Ini adalah pelajaran yang sudah dia pahami selama hidup bersama Jagat baik sebelum miliki kerajaan ataupun sudah. "Jangan sampai ada yang tertinggal, Asih!" kata Roro Wening sambil menata beberapa benda yang harus dipakai oleh selir utama. "Nggeh, siap."Seorang dayang senior ikut membantu selur agung menyiapkan semua. Mulai dari aroma cendana hingga kain penutup kala penyatuan dimulai. Roro Wening juga memberikan beberapa catatan apa saja yang akan diucapkan sebelum tubuh Prameswari tersentuh. "Semua sudah siap, Kanjeng Ratu.""Jangan sebut nama itu, Asih. Semua belum resmi meskipun Yunda Akshita sudah datang menemaniku semalam.""Jika sudah seperti ini tidak mungkin akan lupa, Kanjeng Ratu. Niat Nyai Akshita sudah jelas bahkan putranya sendiri ditugaskan untuk menjaga kedamaian kerajaan ini lho," papar Asih--dayang senior.
Sinar mentari masuk di sela jendela kamar Roro Wening, hangatnya mampu membangunkan selir cantik dan seksi itu. Melihat istrinya mulai bangkit dari ranjang Jagat segera mendekat dan membantu istrinya itu. Perlakuan Jagat yang hangat membuat hati Roro Wening terharu. "Duduk sini dulu, tunggu kusiapkan air untuk kamu mandi!" kata Jagat. Roro Wening pun mengikuti apa yang dikatakan oleh Jagat. Kemudian pria itu berdiri menuju ke balik pembatas anyaman bambu. Terdengar suara gemericik air yang dialirkan oleh Jagat. Setelah semua persiapan mandi istri selesai, Jagat keluar dari dalam lalu melangkah mengikis jarak dengan istrinya. Kemudian dengan lengannya diangkat tubuh istrinya ala bridal. "Turunkan aku, Suamiku!""Jangan banyak bergerak biar ndak jatuh!"Mendengar hal itu membuat Roro Wening mempererat pegangannya pada leher Jagat. Pria itu tersenyum melihat sikap istrinya, lalu dimasukkan perlahan tubuh Roro Wening ke dalam bak mandi. Tangan Jagat mulai bergerak membasuh punggung i
Udara dingin membuat tubuh Roro Wening menggigil parah. Bahkan muncul ruam merah hingga membuat salah satu dayang berlarian di sepanjang lorong peraduan raja. Dayang itu mendengar suara sang Raja berbicara dengan seorang wanita, bahkan suaranya begitu membuat bulu kuduk berdiri. Sebagai wanita dewasa dayang itu pasti paham suara apa yang dia dengar. Namun, dia lebih memilih tetap diam berdiri di depan pintu hingga suara itu menghilang. Cukup lama dayang itu berdiri di sana hingga pintu kamar Raja terbuka menampilkan sosok wanita yang begitu cantik dengan wajah bercahaya. "Masuklah!" Usia berkata wanita itu pergi sambil menarik selendang merahnya hingga membuat tubuhnya terbang. Peristiwa yang langka membuat wanita itu terpana dan takjub. Sungguh kejadian itu teramat langka. Suara Raja yang memanggilnya pun tidak mampu membuatnya lepas meninggalkan pemandangan itu. "Dayang, ada apa hingga larut malam kamu tidak istirahat?" Suara Jagat sudah begitu dekat dengan telinga dayang membu
Hari terus berlalu, kasim yang dipergoki oleh Roro Wening akhirnya dia mengaku mengapa perbuatan itu dilakukan. Dia juga mengaku semua dilakukan hanya untuk mengukur waktu. "Baik, jika semua ini atas perintah Raja sendiri maka mana buktinya?" tanya Nyai Ratu Zavia. Pemuda itu diam dengan kepala menunduk dalam. Dia memang diperintah oleh Raja Jagat tanpa ada surat tertulis. Hal ini membuat bibirnya bungkam, tetapi dalam hati menyalahkan tugas rahasia yang telah terungkap. "Jika untuk mengukur waktu, lalu semua itu atas tujuan apa?""Sebenarnya Raja Jagat Kelana sudah pulang, Ibu Ratu. Tetapi hal ini masih dalam mimpi semua penghuni kerajaan, maka dari itu saya tidak berani ungkap hanya bisa mengulur waktu sesuai perintah."Roro Wening yang melihat cara bercerita pemuda di depannya merasakan aura yang begitu kuat menyebar di ruang pendopo agung. Aura ini begitu familiar. "Baik, apakah dengan begini kamu lah yang akan menikahi selir Pitaloka, begitu?"Pemuda itu masih diam, kedua tan