Jagat seketika melihat pada pusat tubuhnya dan kedua bola matanya membola dengan mulut terbuka. Dia tidak menyangka jika sinar itu bisa keluar dan dilihatnya lagi setelah beberapa hari tidak muncul.
"Aku sendiri juga tidak tahu, Ki. Hanya saja saat aku terjatuh ke kedalaman jurang kemarin keadaanku segera pulih meskipun ada kujang bermata sembilan memasuki aku.""Apa yang kamu katakan, Jagat, kujang bermata sembilan? Kau tidak bohong, 'Kan?"Jagat menggeleng lemah, selama ini dia selalu berkata jujur. Jadi jika ada yang meragukan kejujurannya hatinya bagai dicubit kecil, perihnya tidak terkira."Bukan maksud paman tidak percaya dengan apa yang kamu ungkap. Hanya saja, kujang itu sudah hilang dari kancah dunia persilatan. Bahkan benyak sekali pendekar pilih tanding berlomba untuk dapatkan kujang itu."Jagat meraup wajahnya kasar, dia terlihat begitu ragu dan tidak mengerti dengan maksud kalimat dari Ki Jemblung. Sementara sinar yang berada di pusat tubuhnya perlahan mulai pudar. Seiring sinar itu menghilang, perut Jagat seakan berputar."Sakit!?" desis Jagat. Lalu tatapannya mengarah ke sisi kiri, lebih tepatnya pada keberadaan pria tua yang sudah merawatnya sejak kecil.Jagat diam menatap Ki Jemblung sambil menekan perutnya. Sungguh sakitnya melebihi kala itu, dia tidak bisa berkata lagi hanya ringisan dengan memejam yang mampu ditunjukkan."Jagat, apa yang terjadi padamu?" Ki Jemblung bertanya dengan nada begitu khawatir.Lelaki itu gegas berdiri dan berjalan menuju ke meja kecil dekat jendela. Diraihnya cairan cokelat pemberian tabib kala itu. Setelahnya diangsurkan pada Jagat, "Minumlah cairan ini, semoga bis meredakan sakitmu!"Perlahan Jagat mengulurkan lengannya mengambil gelas yang terbuat dari bambu dan segera menenggaknya hanya sekali. Cairan itu langsung masuk ke tenggorokan, saat itu juga hawa dingin langsung mengalir hingga ke dalam organ tubuhnya."Cairan apa ini, Ki?" tanya Jagat."Aku tidak paham, tetapi hanya cairan ini yang masuk ke tubuhmu saat kamu masih pingsan, Jagat." jelas Ki Jemblung.Jagat merasa sedikit lebih baik, keringat dingin keluar dari tubuhnya dan menimbulkan aroma yang menusuk hidung. Koki itu bangkit sambil menutup jalan masuknya udara miliknya"Sebaiknya kamu lekas bersihkan diri dan lanjutkan pekerjaan yang sudah kau tinggalkan beberapa hari lalu!""Baiklah, Paman. Terima kasih!"Jemblung bangkit dan melangkah meninggalkan kamar Jagat. Sementara setelah ditinggal, Jagat bangkit dan berjalan menuju jendela. Tangannya segera bergerak untuk membuka dua daun jendela.Udara segar langsung menyapa hidungnya, dengan buas dia mulai menghirup oksigen bebas dan segar. Merasa puas, Jagat berjalan keluar kamar dan langsung ke belakang rumah.Dia mulai menadahkan tangannya pada kucuran air yang sudah ada pada gentong khusus. "Seger!"Setelah selesai menyegarkan diri, Jagat melangkah menuju ke dapur umum. Dia langsung menemui koki muda yang biasa dikutinya saat bekerja."Jagat, kau sudah baikan?" tanya Koki muda."Sudah, Paman."Koki menatap sekilas keseluruhan tubuh pemuda di depannya. Dahinya berkerut, ada yang aneh pada pancaran aura Jagat yang bisa dia tangkap. Hingga muncul di otaknya mungkinkah pemuda itu sedang belajar sesuatu."Paman!" panggil Jagat sambil melambaikan telapak tangannya.Koki terkesiap antara kaget dan terpana, untuk sesaat terlihat jelas gerakan Jagat yang mengandung tenaga berbeda. "Apakah kamu sedang belajar olah pernapasan?" tanya Koki muda untuk memastikan."Tidak, Paman. Orang seperti aku yang tidak memiliki struktur tulang manalah mampu melakukan hal itu?""Bagus jika kau sadari itu, bisa bertahan hidup hingga usia segini saja sudah cukup bagimu!" cicit koki muda, kemudian koki itu fokus pada daging kijang muda dan mulai memotong. "Pergilah ke hutan dan carikan aku daun suji!"Tanpa bersuara Jagat pun melangkah menuju ke belakang, dia segera menyiapkan semua alat untuk panen daun suji. "Ayo kita mulai kerja!" ujarnya lirih sambil memasukkan clurit pada pinggang kanan.Beberapa helai tali dari pelepah pisang yang sudah dikeringkan juga dibawanya. Langkah Jagat terlihat begitu ringan berbeda dengan beberapa hari lalu.Jagat terus melangkah masuk hutan, senyumnya mengembang kala di hadapannya terlihat tanaman yang dicari. Namun, suara perempuan minta tolong makin jelas didengarnya. "Suara siapa ya, jelas sekali. Tetapi siapa?"Jagat menyapu sekitar mungkin ada mahkluk berjenis wanita, tetapi hingga melangkah lagi sejauh tiga meter tetap tidak ditemukan. Akhirnya Jagat memutuskan segera memanen beberapa daun suji.Setelah mendapat seikat daun suji, Jagat melanjutkan langkahnya. Pemuda itu sengaja melalui jalan memutar, dia ingin melihat seniornya berlatih ilmu kanuragan tingkat awal. "Semoga masih ada yang sedang berlatih pagi ini!"Samar terdengar suara jerit serempak beberapa murid. Jagat berhenti di antara dua pohon besar untuk menutupi tubuhnya. Dia berniat mengintip apa yang dilakukan oleh beberapa murid pemula. "Ah, aku amati dan tiru saja gerakan kuda-kuda mereka siapa tahu suatu hari nanti bisa berguna!"Jagat meletakkan ikatan daun suji dan disandarkan pada salah satu pohon. Setelahnya dia mulai mengintip lagi, dengan cermat dan seksama kedua lengannya sedikit meniru. "Kedua tungkai dibuka lebar sedikit ditekuk dan pusatkan tenaga dalam pada satu titik. Pakai napas perut!"Deretan kata yang berhasil ditangkap oleh pendengaran segera dipraktekkan oleh pemuda itu. Bibirnya mengulas senyum, sepertinya dia merasa ada yang berbeda pada suhu tubuhnya."Hai, hawa apa ini? Terasa begitu nyaman. Mungkinkah kujang itu ... rasanya tidak mungkin." Jagat terus saja berbicara sendiri hingga seberkas sinar menerpa wajahnya, "Ah, rupanya mentari makin naik. Aku segera pulang saja."Jagat pun tersenyum sendiri mengingat apa yang dia ucapkan baru saja, tetapi selain paparan sinar mentari pagi juga ada jerit minta tolong yang masih sesekali dia dengar. Dengan langkah ragu, Jagat melanjutkan perjalanannya menuju ke dapur umum tempat pemesan daun suji.Dari jauh dapat dilihat seorang koki lapis dua sudah berdiri menanti kedatangannya, dia pun berteriak lantang, "Woi jalan yang cepat, itu daun segera aku butuhkan. Dasar lelet!"Jagat berhenti melangkah di jarak dua meter, dia diam terpaku menerima hinaan di pagi buta yang bahkan berasal dari seorang koki kelas awal."Malah berhenti di sana, bawa ke sini, Cepat!"Tanpa bicara, Jagat memberi daun suji pada pria muda itu. Tidak dia letakkan dengan benar tetapi daun suji itu dilemparnya hingga tepat dibawah kaki pria tersebut. Begitu daun suji jatuh kedua bola mata pria itu melotot tajam, lalu berkata lantang, "Woi, yang sopan dong!"Jagat tidak memedulikan teriakan pria muda itu, dia terus melangkah mengikuti suara perempuan yang seakan menuntunnya. Sungguh suara itu begitu mengikat otaknya hingga sulit untuk mengabaikan. "Suara ini, begitu familiar."Jagat masih melangkah mengikuti suara perempuan yang sedang merintih kesakitan. Jantungnya pun ikut berdebar saat suara itu mulai terdengar dekat. Gegas langkahnya dipercepat untuk sampai, saat jarak sudah dekat pandangan menyebar. "Itu ...!""Jagat, akhirnya!""Apa yang terjadi denganmu, Savitri?""Semalaman aku terjebak di sini, aku juga tidak tahu sejak kapan jebakan ini ada," dengus Savitri. Jagat terdiam, tangannya dengan terampil mengurai tali yang melilit pada pergelangan kakinya. Jebakan itu masih untung tidak mengangkatnya ke atas hanya tergolek di tanah. "Sudah selesai. Bagaimana, apakah kamu bisa berjalan?"Savitri mencoba menggerakkan tungkainya perlahan, diputarnya pergelangan kaki lalu dinaik turunkan sesaat. Setelah merasa sedikit lebih baik, perempuan itu mencoba berdiri. Namun, belum sempat tubuhnya berdiri sempurna tiba-tiba otot sendi pada lutut terasa nyeri. "Aough!" Pekik Savitri saat dia terjatuh lagi. "Boleh ke depannya aku bantu?"Tanpa bersuara Savitri lang
Beberapa murid segera menyeret tubuh Jagat dan dilempar begitu saja di hadapan Abimana dan Jantaka. Jagat tersungkur. Namun, bibirnya mengulas senyum sinis membuat Abimana makin naik darah. "Terlentangkan tubuhnya dan ikat kedua kaki juga tangannya!" Suara Abimana memecah kericuhan para murid. Kurubumi melempar tali dadung pada beberapa murid seangkatannya. Bersama mereka, Kurubumi mulai mengikat sesuai arahan dari Jantaka. "Apa yang kalian inginkan atas tubuh lemah ini?" tanya Jagat dengan suara rendah. Abimana berjalan mendekat dan jongkok tepat di depan perut Jagat. Ujung jari tulunjuk mengarah pada pusat tubuh Jagat dan mulai menekan perlahan. Sinar putih kebiruan tidak mau padam justru makin bersinar menyilaukan mata. Abimana memicingkan kedua mata tetapi jari jemarinya masih bergerak di sekitar pusat tubuh Jagat. Bibirnya bergerak ringan seperti membaca mantra. Tiba-tiba, hawa hangat menyebar ke seluruh tubuh Jagat terutama pada bagian perutnya. "Apa yang kamu lakukan pada
Ketika pukulan dan kujang bertemu saat itu juga terdengar suara letusan yang begitu memekakkan telinga. Tubuh Abimana terlempar hingga beberapa depa ke belakang, sedangkan tubuh Jagat hanya tergolek lemas mundur satu depa. Semua terpana melihat keadaan Jagat yang hanya duduk diam sambil menatap satu per satu murid padepokan. Hanya mata yang bergerak, bibir masih tetap bungkam. Dari jauh terlihat sang begawan berjalan mendekat dan berhenti tepat di depan Jagat. "Apa yang terjadi, bukankah tadi aku suruh kau untuk lenjutkan pekerjaanmu. Mengapa justru di sini membuat ulah hingga terjadi luka dalam pada pangeran?" Begawan Sanggabumi berkata dengan nada dingin. "Awal mula bukan ulahku, Begawan. Mereka yang lebih dulu," jawab Jagat dengan sikap sopan. "Dia mencuri kujang mata sembilan, Bopo!" tuduh Jantaka. Begawan menoleh menatap pada putranya dari istri kedua, ada sorot tanya pada sinar kedua mata cokelat pekat. Hal ini membuat Jantaka menghela napas panjang terlebih dahulu baru men
Jagat yang sudah mendapatkan tempat nyaman bagi gerombolan ular pun segera kembali menuju jalan pulang. Pemuda itu ingat akan tugas dari Ki Jemblung yang inginkan kualinya berbentuk seperti semula. Maka, dengan alasan itu dia gegas pulang. Sepanjang perjalanan pulang, terdengar suara yang memekakkan telinga. Desingnya sangat dikenal. "Sudahlah jangan ganggu aku!" Pinta Jagat dengan nada rendah dan menekan. "Cepat cari pria itu, dia bernama Ki Banasraga. Hanya dia yang mampu membuatmu menjadi pendekar pilih tanding." Suara yang sangat dihafal oleh Jagat kembali terdengar. Pemuda itu terus berjalan tanpa memedulikan suara tersebut. Dia sama sekali tidak berminat mengikuti arahan dari pemilik suara. "Jika kamu memang ada, tunjukkan wujudmu!" Pinta Jagat. "Bukankah wujudku sudah ada dalam tubuhmu, Pangeran?""Pangeran, siapa itu yang kau sebut?""Tantu saja kamu, Pangeran."Seketika Jagat menghentikan langkahnya kala suara itu kembali menyebutnya dengan Pangeran. Ingatannya kembali p
Jagat mengikis jarak dan mencari tempat untuk sembunyi. Dia ingin melihat lebih dekat pertempuran itu. Saat posisinya sudah dekat, tiba-tiba ada percikan api yang hampir menyambar lengannya. Namun, sekelebat bayangan hitam mendorong tubuhnya. Jagat termangu sesaat, dia justru merasakan hawa dingin yang menyentuh lengannya. "Hawa apa ini, membuat tubuhku menolak?"Setelah sosok itu menghilang kini ganti sosok tubuh terpental dan jatuh tepat di ujung ibu jari kakinya. Jagat seketika menunduk, kedua bola matanya membeliak tidak percaya akan penglihatannya. "Ini ... Bukankah dia pihak yang terluka tadi?" Jagat berkata sambil mulai bersiap jongkok. Jagat membungkuk, tangannya terulur berniat membalik tubuh pria itu. Namun, belum sampai tangannya menyentuh angin besar menerpa wajahnya. Debu yang beterbangan menyapa wajahnya membuat kelopak mata seketika terpejam. Ketika angin sudah mulai berhembus ringan barulah Jagat membuka kedua kelopaknya. Namun, tubuh pria terluka tadi juga ikut me
Kedua bola mata Jagat membola, dia tidak menyangka ini adalah sebuah kitab kuno. Perlahan dibukanya sampul buku, tetapi tenaganya tidak cukup. Akhirnya buku itu diletakkan pada meja dekat rak 12.Segera Jagat membersihkan keseluruhan ruang baca tersebut. Dengan telaten dan hati-hati, semua buku ditata ulang. Butuh waktu cukup lama agar ruang baca tersebut kembali bisa digunakan lagi. Namun, dengan sabar Jagat melakukan semua sesuai dengan isi hati. Tanpa dia sadari ada dua pasang mata yang mengamati cara kerja pemuda itu. Begawan dan Ki Brewok duduk santai di atas kayu balok yang menyangga atap ruang baca. Keduanya saling melihat dan berbincang dengan menggunakan ilmu kebatinan. "Apa yang selama ini aku curigai terbukti sudah, Rayi Begawan. Lihat saja sendiri!" ucap Ki Brewok. "Rasanya ini tidak mungkin, Kakang. Bukankah ratu dan raja saat itu telah terbunuh? Aneh, ada yang tidak beres," jawab Begawan Sanggabumi. Ki Brewok masih terus menatap semua aktifitas dari Jagat. Lelaki usi
Dengan wajah sedih Jagat menatap Ki Jemblung untuk terakhir. Mimik wajah sedih dan langkah gontai, Jagat melangkah meninggalkan padepokan Pandan Alas yang sudah membesarkannya. Dengan modal uang lima keping emas dan lima keping perak kakinya berjalan sesuai arahan begawan. Jagat berjalan menuju ke barat arah kotaraja kerajaan Bumi Seloka. Namun, beru berjalan keluar dari gerbang utama padepokan terdengar suara wanita memanggil namanya. Langkah pemuda itu seketika berhenti dan pandangannya tertuju ke asal suara. Terlihat sosok ayu berlarian menuju ke arahnya dengan senyum mengembang. "Mengapa kau tinggalkan aku, bukannya sudah kubilangi jika pergi bawa serta aku, Jagat!" dengus gadis dewasa di depannya. Jagat tersenyum masam, lalu berbalik badan dan melangkah kembali tanpa memedulikan sosok itu. Iya, gadis itu adalah Savitri--putri begawan pandan alas. Savitri yang merasa terabaikan juga tidak peduli. Dia masih mensejajari langkah Jagat. Baginya hanya dengan pemuda itu dia merasa
Jagat melangkah lebih ke dalam desa Jungkrik, pandangannya melihat sekitar. Banyak mayat dan darah berceceran di sepanjang jalan. Miris, nyeri pada ulu hati membuatnya terus melangkah maju. Savitri masih setia mengikuti langkah lelaki itu. Begitu juga dengan Tugimin. Pria senja yang merupakan tetua desa terpaksa harus kembali masuk ke desanya setelah lari tunggang langgang meninggalkan semua warganya dibantai. Jagat berhenti sesaat di pertigaan jalan yang sepi. Sejauh mata memandang hanya jerit tangis anak kecil yang dia dengar silih berganti. Sungguh memilukan. "Apakah desa ini tidak ada pendekar pilih tanding, Paman?" tanya Jagat. "Tidak ada, Ger. Kami hanya warga biasa dan miskin," jawab Tugimin dengan nada melas. Jagat kembali terlihat fokus, dia seakan konsentrasi pada lingkungan sekitar. Perlahan mulai terdengar gelak tawa beberapa pria dewasa membicarakan sebuah kenikmatan yang telah mereka reguk bersama. Apa yang didengar oleh Jagat seketika memecut emosinya hingga naik.