Jagat mengikis jarak dan mencari tempat untuk sembunyi. Dia ingin melihat lebih dekat pertempuran itu. Saat posisinya sudah dekat, tiba-tiba ada percikan api yang hampir menyambar lengannya. Namun, sekelebat bayangan hitam mendorong tubuhnya. Jagat termangu sesaat, dia justru merasakan hawa dingin yang menyentuh lengannya. "Hawa apa ini, membuat tubuhku menolak?"Setelah sosok itu menghilang kini ganti sosok tubuh terpental dan jatuh tepat di ujung ibu jari kakinya. Jagat seketika menunduk, kedua bola matanya membeliak tidak percaya akan penglihatannya. "Ini ... Bukankah dia pihak yang terluka tadi?" Jagat berkata sambil mulai bersiap jongkok. Jagat membungkuk, tangannya terulur berniat membalik tubuh pria itu. Namun, belum sampai tangannya menyentuh angin besar menerpa wajahnya. Debu yang beterbangan menyapa wajahnya membuat kelopak mata seketika terpejam. Ketika angin sudah mulai berhembus ringan barulah Jagat membuka kedua kelopaknya. Namun, tubuh pria terluka tadi juga ikut me
Kedua bola mata Jagat membola, dia tidak menyangka ini adalah sebuah kitab kuno. Perlahan dibukanya sampul buku, tetapi tenaganya tidak cukup. Akhirnya buku itu diletakkan pada meja dekat rak 12.Segera Jagat membersihkan keseluruhan ruang baca tersebut. Dengan telaten dan hati-hati, semua buku ditata ulang. Butuh waktu cukup lama agar ruang baca tersebut kembali bisa digunakan lagi. Namun, dengan sabar Jagat melakukan semua sesuai dengan isi hati. Tanpa dia sadari ada dua pasang mata yang mengamati cara kerja pemuda itu. Begawan dan Ki Brewok duduk santai di atas kayu balok yang menyangga atap ruang baca. Keduanya saling melihat dan berbincang dengan menggunakan ilmu kebatinan. "Apa yang selama ini aku curigai terbukti sudah, Rayi Begawan. Lihat saja sendiri!" ucap Ki Brewok. "Rasanya ini tidak mungkin, Kakang. Bukankah ratu dan raja saat itu telah terbunuh? Aneh, ada yang tidak beres," jawab Begawan Sanggabumi. Ki Brewok masih terus menatap semua aktifitas dari Jagat. Lelaki usi
Dengan wajah sedih Jagat menatap Ki Jemblung untuk terakhir. Mimik wajah sedih dan langkah gontai, Jagat melangkah meninggalkan padepokan Pandan Alas yang sudah membesarkannya. Dengan modal uang lima keping emas dan lima keping perak kakinya berjalan sesuai arahan begawan. Jagat berjalan menuju ke barat arah kotaraja kerajaan Bumi Seloka. Namun, beru berjalan keluar dari gerbang utama padepokan terdengar suara wanita memanggil namanya. Langkah pemuda itu seketika berhenti dan pandangannya tertuju ke asal suara. Terlihat sosok ayu berlarian menuju ke arahnya dengan senyum mengembang. "Mengapa kau tinggalkan aku, bukannya sudah kubilangi jika pergi bawa serta aku, Jagat!" dengus gadis dewasa di depannya. Jagat tersenyum masam, lalu berbalik badan dan melangkah kembali tanpa memedulikan sosok itu. Iya, gadis itu adalah Savitri--putri begawan pandan alas. Savitri yang merasa terabaikan juga tidak peduli. Dia masih mensejajari langkah Jagat. Baginya hanya dengan pemuda itu dia merasa
Jagat melangkah lebih ke dalam desa Jungkrik, pandangannya melihat sekitar. Banyak mayat dan darah berceceran di sepanjang jalan. Miris, nyeri pada ulu hati membuatnya terus melangkah maju. Savitri masih setia mengikuti langkah lelaki itu. Begitu juga dengan Tugimin. Pria senja yang merupakan tetua desa terpaksa harus kembali masuk ke desanya setelah lari tunggang langgang meninggalkan semua warganya dibantai. Jagat berhenti sesaat di pertigaan jalan yang sepi. Sejauh mata memandang hanya jerit tangis anak kecil yang dia dengar silih berganti. Sungguh memilukan. "Apakah desa ini tidak ada pendekar pilih tanding, Paman?" tanya Jagat. "Tidak ada, Ger. Kami hanya warga biasa dan miskin," jawab Tugimin dengan nada melas. Jagat kembali terlihat fokus, dia seakan konsentrasi pada lingkungan sekitar. Perlahan mulai terdengar gelak tawa beberapa pria dewasa membicarakan sebuah kenikmatan yang telah mereka reguk bersama. Apa yang didengar oleh Jagat seketika memecut emosinya hingga naik.
Mendengar Susukjiwo menyebut nama ilmu yang baru saja digunakan oleh Jagat membuat Savitri mengerutkan dahi. Perempuan muda itu tidak pernah mendengar ada ilmu tersebut dalam tatanan padepokan milik ayahnya. Selama ini hanya ilmu halimun dan nagapati yang menjadi andalan ayahnya selain ilmu tenaga dalam pada umumnya. Savitri sendiri masih berada di tingkat medium dalam range tenaga dalam. Sementara Jagat sama sekali belum menyentuh tata cara penggunaan tenaga dalam. Hal ini membuat Savitri terpaku menatap semua gerakan Jagat dalam diam. Dia terus mengamati semua, sejujurnya ada rasa penasaran hingga menimbulkan sebuah tanya dalam hatinya. Bagaimana cara pemuda itu menyerap ilmu jika susunan tulang dan sumber tenaga dia tidak mampu. Savitri makin terlihat kagum akan gerak Jagat. Dengan lembut pemuda itu membuka serangan menggunakan tangan kosong, tetapi gerakannya sudah dilambari tenaga dalam tingkat lima. Tingkat yang tidak semua murid padepokan bisa kuasai. "Aneh, sejak kapan pem
Secara naluri Jagat bergerak memberi kode pada warga agar berkumpul di suatu tempat aman dan jauh dari jangkauan Susukjiwo. Setelah merasa sudah cukup, maka Jagat mulai memfokuskan pikirannya dan menutup beberapa jalan darahnya. Kali ini pemuda itu mencoba beberapa tulisan yang dia baca pada buku beladiri pemula. Tulisan yang terbaca dengan huruf jawa kuno memberi inspirasi dia untuk menutup jalan darah di beberapa titik. Namun, belum juga semua tertutup sebuah sapuan angin kencang membuyarkan konsentrasinya. Blarrrrr! Suara bertemunya ilmu sireppati dengan tenaga dalam Jagat menimbulkan dentuman yang sangat keras hingga tubuh pemuda itu terpental beberapa depa ke belakang. Sementara tubuh Susukjiwo masih berdiri meski terhuyung dan memuntahkan darah segar. "Sebaiknya kita mundur untuk sementara, pemuda itu lambat laun pasti akan binasa!" perintah Susukjiwo pada anak buahnya. "Tapi, percuma dong kita tarung, Kang." "Sudah jangan banyak bacot, segera tinggalkan desa ini sebelum p
Blarrrr! Petir menyambar gubug milik Kliwon membuat keempat wanita desa saling berpelukan dan memandang penuh tanya. Anehnya gubug tersebut sama sekali tidak ada perubahan, masih berdiri tegak. Kemuning memberanikan diri melangkah mendekat pada pintu masuk dan mendorongnya. "Apa yang terjadi di dalam sana, Kemuning?" tanya Nyai Arum. Kemuning memasukkan kepalanya lebih dalam agar bisa melihat apa yang terjadi. Namun, sesaat kemudian hanya gelengan kepala yang dia lakukan sambil menatap pada wanita senja di belakangnya. Napas lega terdengar secara bersamaan pada ketiga wanita desa tersebut. Sedangkan Kemuning melanjutkan langkahnya masuk lebih dalam, dia ingin memastikan keadaan tubuh Jagat. Perlahan langkah Kemuning mulai mengikis jarak, dari jauh terlihat tubuh Jagat yang bergerak ke kanan dan kiri membuat langkahnya dipercepat. "Apa yang terjadi dengan tubuh pemuda ini, mengapa begitu deras keringatnya?" Kemuning berkata lirih saat melihat derasnya peluh yang keluar dari pelipi
Gubrak! Suara benda jatuh kembali didengar oleh keempat wanita desa. Mereka saling pandang dan mengangguk bersama. Perlahan Nyai Arum mendorong tubuh Kemuning untuk maju ke pintu utama dan menyuruh gadis itu untuk membuka. Pintu perlahan terbuka, empat pasang mata seketika membeliak kaget saat dilihatnya tubuh Jagat tergolek di tanah dalam keadaan telungkup. Gegas merek berlarian mendekat untuk memastikan keadaan tubuh itu. Jemari lentik Kemuning terulur mendorong tubuh Jagat agar bisa berbalik terlentang. Namun, usahanya yang ragu membuat tenaganya tidak dalam kondisi penuh sehingga tubuh itu masih telungkup. "Yang kuat dong dorongnya, Kemuning!" geram Nyai Arum sambil membantu Kemuning mendorong tubuh Jagat. Akhirnya tubuh itu bisa dibalik dan tampaklah kondisi wajah Jagat yang ada lebam dan beberapa bekas sayatan yang tidak terlalu dalam. Apa yang terlihat membuat mereka membekap mulut bersamaan. "Apa yang terjadi pada pemuda ini sebenarnya ya, Nyai?" tanya Kemuning. "Sudahl