Blarrrr! Petir menyambar gubug milik Kliwon membuat keempat wanita desa saling berpelukan dan memandang penuh tanya. Anehnya gubug tersebut sama sekali tidak ada perubahan, masih berdiri tegak. Kemuning memberanikan diri melangkah mendekat pada pintu masuk dan mendorongnya. "Apa yang terjadi di dalam sana, Kemuning?" tanya Nyai Arum. Kemuning memasukkan kepalanya lebih dalam agar bisa melihat apa yang terjadi. Namun, sesaat kemudian hanya gelengan kepala yang dia lakukan sambil menatap pada wanita senja di belakangnya. Napas lega terdengar secara bersamaan pada ketiga wanita desa tersebut. Sedangkan Kemuning melanjutkan langkahnya masuk lebih dalam, dia ingin memastikan keadaan tubuh Jagat. Perlahan langkah Kemuning mulai mengikis jarak, dari jauh terlihat tubuh Jagat yang bergerak ke kanan dan kiri membuat langkahnya dipercepat. "Apa yang terjadi dengan tubuh pemuda ini, mengapa begitu deras keringatnya?" Kemuning berkata lirih saat melihat derasnya peluh yang keluar dari pelipi
Gubrak! Suara benda jatuh kembali didengar oleh keempat wanita desa. Mereka saling pandang dan mengangguk bersama. Perlahan Nyai Arum mendorong tubuh Kemuning untuk maju ke pintu utama dan menyuruh gadis itu untuk membuka. Pintu perlahan terbuka, empat pasang mata seketika membeliak kaget saat dilihatnya tubuh Jagat tergolek di tanah dalam keadaan telungkup. Gegas merek berlarian mendekat untuk memastikan keadaan tubuh itu. Jemari lentik Kemuning terulur mendorong tubuh Jagat agar bisa berbalik terlentang. Namun, usahanya yang ragu membuat tenaganya tidak dalam kondisi penuh sehingga tubuh itu masih telungkup. "Yang kuat dong dorongnya, Kemuning!" geram Nyai Arum sambil membantu Kemuning mendorong tubuh Jagat. Akhirnya tubuh itu bisa dibalik dan tampaklah kondisi wajah Jagat yang ada lebam dan beberapa bekas sayatan yang tidak terlalu dalam. Apa yang terlihat membuat mereka membekap mulut bersamaan. "Apa yang terjadi pada pemuda ini sebenarnya ya, Nyai?" tanya Kemuning. "Sudahl
Savitri terdiam, sesekali napasnya turun naik dengan ritme cepat pertanda perempuan itu menahan emosi. Namun, semua sudah terjadi dan sangat sulit untuk dihindari. Savitri pun membasuh wajah perempuan muda tanpa sehelai benang tersebut agar kedua kelopak matanya menutup. Setelah dirasa cukup, Savitri mengangkat tubuh perempuan itu untuk dibaringkan pada balai bambu bersama mayat yang lain. Dengan air seadanya, Savitri mulai memandikan keempat mayat sekeluarga. Sedangkan Kliwon dan yang lainnya mulai menggali satu lubang untuk memendam mayat. Semua prosesi pemakaman sederhana selesai sudah. Angin berhembus begitu kencang dan disertai petir yang beberapa kali terlihat jatuh menukik ke gubug Kliwon. Savitri menatap arah petir itu jatuh, dia ingat bahwa tubuh Jagat ada di rumah tersebut. "Nona, apakah perlu kita pulang?" tanya Kliwon. "Tidak perlu, mungkin sudah jalannya harus seperti ini. Kita lanjut!"Rombongan pun melanjutkan perjalanan menuju ke gubug lainnya. Sementara rombongan
Ringkik kuda terdengar saling bersahutan membuat beberapa pengunjung Kedai Mawar menoleh keluar. Tampak empat kuda jantan berwarna cokelat dan hitam legam ditambatkan oleh penunggangnya. Empat pendekar kembar melangkah maju masuk ke kedai, mereka langsung berjalan menuju ke meja yang di pakai oleh Abimana. Pimpinan pendekar tersebut seakan sudah merasa bahwa kedatangannya sudah ditunggu oleh Abimana. "Kami sudah penuhi undanganmu, Pangeran." Anupati berkata sambil meraih kendi tuak milik Abimana. Jantaka seketika berdiri dengan kedua mata melotot melihat tingkah, tangannya terulur hendak merebut kendi yang sudah berada di tangan Anupati. Namun, suara Abimana berhasil menghentikan pergerakannya. "Biarkan saja, Jantaka!" Jantaka pun menghentikan uluran tangannya dan dia kembali duduk dengan menahan emosi. Kurubumi menepuk pelan paha sahabatnya agar emosinya segera menurun. Desah napas panjang pun lolos, Jantaka tidak bisa berbuat lebih. Akhirnya dia bungkam melihat interaksi Abiman
"Apa maksud perkataanmu, Jantaka?"Jantaka terdiam, pandangannya tertuju ke luar seakan dia sedang menunggu seseorang yang lagi naik daun beberapa dekade di dunia persilatan. Cukup lama Jantaka melihat pintu masuk hanya ingin memastikan siapa saja yang masuki kedai dan rumah bordir tersebut. "Mungkin dia tidak datang, Jantaka." Kurubumi berbicara sambil mulai menyendok makanan yang sejak tadi terhidang di meja tanpa tersentuh. "Sebenarnya siapa yang kalian maksud?" tanya Abimana. Jantaka menoleh pada Abimana lalu bibirnya menyebut satu nama yang membuat dahi pemuda itu berkerut heran. Nama yang baru saja dia dengar ternyata mampu menggetarkan jiwa. "Dewa Mabuk?" Abimana mengulang nama yang disebut oleh Jantaka. "Benar, Pangeran. Yang aku dengar dia adalah salah satu pendekar pilih tanding dengan koleksi beberapa ilmu kuno," papar Jantaka. "Kau yakin, mengapa tidak sejak awal ini kau ungkap, Jantaka!" geram Abimana. Pangeran Kerajaan Bumi Seloka memilih diam, dia mulai makan meng
Lambat laun suara tawa beberapa pemuda mulai mendekat pendopo. Tampak jelas wajah ketiga murid andalan padepokan, mereka berjalan terseok dengan bau badan yang menyengat. Bau yang sangat dibenci oleh begawan. Tanpa bicara, pria senja itu berdiri dengan sedikit kasar menyingkirkan jemari istrinya. Berjalan menghadang langkah ketiga muridnya dengan emosi yang meluap. Namun, Abimana terlihat acuh berjalan melewati sang begawan. Hanya Kurubumi yang masih berdiri mematung dengan kepala menunduk. "Apa yang kalian lakukan malam ini, Hah?" Hentak begawan dengan kedua tangan berlipat di balik badan. Tatapannya menghunus mata Kurubumi membuat pemuda itu semakin menunduk. Setiaki yang masih mengikuti langkah suaminya seketika terhenyak kaget begitu melihat wajah putranya yang sedikit memerah terkena paparan sinar bulan. Langkahnya maju lebih dekat pada putranya yang diam. Jemari wanita itu terulur menyentuh pipi sang putra, lirih bibirnya bergerak mengeluarkan suara, "Apa gunanya hal ini kam
Apa yang terjadi pada Jagat beberapa hari lalu merubah struktur tulangnya. Kini pemuda itu mulai mampu menerima beberapa sumber daya alam dan tubuhnya terlihat mulai terisi tenaga dalam. Seperti pagi ini, dia terlihat sedang duduk bersila dengan pengaturan napas di dampingi oleh Savitri. "Bagus, mulai tertata, Jagat. Pertahankan dengan frekuensi seperti itu!" kata Savitri memberi arahan. Jagat terus mencoba fokus dan menata napasnya sesuai arahan Savitri, lalu perlahan dia bangkit untuk memulai menirukan gerakan wanita di depannya. Dengan telaten dan perlahan, Savitri memberi arahan pada Jagat cara memperkuat kuda-kuda dalam seni beladiri sederhana. "Buka lebih lebar kaki kamu, Jagat. Tekuk pada lutut membentuk siku dan pusatkan pada pusat inti telapak kaki!"Jagat menyimak semua kalimat yang menjadi arahan Savitri. Cukup lama Jagat mencoba gerakan yang diucap oleh wanita tersebut. Namun, lambat laun gerakannya mulai terlihat kokoh dan kuat "Bagus, sambung dengan gerak tangannya.
Angin berhembus kencang, dahan dan ranting bergerak seirama arah angin. Jagat merasa ada sesuatu yang bergerak cepat ke arahnya. Deru perpecahan angin akibat gesekan benda begitu terasa membuat pandangannya tertuju pada Kliwon. "Sebaiknya kamu sedikit menjauh, Kliwon!" Pinta Jagat. Kliwon yang tidak mengerti dengan kalimat pengusiran dirinya hanya menanggapi dengan senyuman. Sedangkan Savitri merasa ada yang berbeda dengan Jagat. Perempuan itu juga merasakan perbedaan arah angin. Savitri menatap Jagat, dia mencari sesuatu pada wajah pemuda tersebut. Meski sudah ditelisik mimik wajah Jagat, perempuan itu masih juga belum menemukan hal yang mencurigakan dari keanehan sikap lelaki tersebut. "Apa yang kamu rasakan hingga harus menyuruh Kliwon menjauh, Jagat?" tanya Savitri. Jagat bergeming, sinar putih kebiruan mulai menguar dari tubuhnya. Siluet kujang pun ikut keluar melalui telapak tangan kanan Jagat. Pemuda itu mencengkeram gagang kujang dengan erat, tatapannya luruh ke dalam pe