Savitri terdiam, sesekali napasnya turun naik dengan ritme cepat pertanda perempuan itu menahan emosi. Namun, semua sudah terjadi dan sangat sulit untuk dihindari. Savitri pun membasuh wajah perempuan muda tanpa sehelai benang tersebut agar kedua kelopak matanya menutup. Setelah dirasa cukup, Savitri mengangkat tubuh perempuan itu untuk dibaringkan pada balai bambu bersama mayat yang lain. Dengan air seadanya, Savitri mulai memandikan keempat mayat sekeluarga. Sedangkan Kliwon dan yang lainnya mulai menggali satu lubang untuk memendam mayat. Semua prosesi pemakaman sederhana selesai sudah. Angin berhembus begitu kencang dan disertai petir yang beberapa kali terlihat jatuh menukik ke gubug Kliwon. Savitri menatap arah petir itu jatuh, dia ingat bahwa tubuh Jagat ada di rumah tersebut. "Nona, apakah perlu kita pulang?" tanya Kliwon. "Tidak perlu, mungkin sudah jalannya harus seperti ini. Kita lanjut!"Rombongan pun melanjutkan perjalanan menuju ke gubug lainnya. Sementara rombongan
Ringkik kuda terdengar saling bersahutan membuat beberapa pengunjung Kedai Mawar menoleh keluar. Tampak empat kuda jantan berwarna cokelat dan hitam legam ditambatkan oleh penunggangnya. Empat pendekar kembar melangkah maju masuk ke kedai, mereka langsung berjalan menuju ke meja yang di pakai oleh Abimana. Pimpinan pendekar tersebut seakan sudah merasa bahwa kedatangannya sudah ditunggu oleh Abimana. "Kami sudah penuhi undanganmu, Pangeran." Anupati berkata sambil meraih kendi tuak milik Abimana. Jantaka seketika berdiri dengan kedua mata melotot melihat tingkah, tangannya terulur hendak merebut kendi yang sudah berada di tangan Anupati. Namun, suara Abimana berhasil menghentikan pergerakannya. "Biarkan saja, Jantaka!" Jantaka pun menghentikan uluran tangannya dan dia kembali duduk dengan menahan emosi. Kurubumi menepuk pelan paha sahabatnya agar emosinya segera menurun. Desah napas panjang pun lolos, Jantaka tidak bisa berbuat lebih. Akhirnya dia bungkam melihat interaksi Abiman
"Apa maksud perkataanmu, Jantaka?"Jantaka terdiam, pandangannya tertuju ke luar seakan dia sedang menunggu seseorang yang lagi naik daun beberapa dekade di dunia persilatan. Cukup lama Jantaka melihat pintu masuk hanya ingin memastikan siapa saja yang masuki kedai dan rumah bordir tersebut. "Mungkin dia tidak datang, Jantaka." Kurubumi berbicara sambil mulai menyendok makanan yang sejak tadi terhidang di meja tanpa tersentuh. "Sebenarnya siapa yang kalian maksud?" tanya Abimana. Jantaka menoleh pada Abimana lalu bibirnya menyebut satu nama yang membuat dahi pemuda itu berkerut heran. Nama yang baru saja dia dengar ternyata mampu menggetarkan jiwa. "Dewa Mabuk?" Abimana mengulang nama yang disebut oleh Jantaka. "Benar, Pangeran. Yang aku dengar dia adalah salah satu pendekar pilih tanding dengan koleksi beberapa ilmu kuno," papar Jantaka. "Kau yakin, mengapa tidak sejak awal ini kau ungkap, Jantaka!" geram Abimana. Pangeran Kerajaan Bumi Seloka memilih diam, dia mulai makan meng
Lambat laun suara tawa beberapa pemuda mulai mendekat pendopo. Tampak jelas wajah ketiga murid andalan padepokan, mereka berjalan terseok dengan bau badan yang menyengat. Bau yang sangat dibenci oleh begawan. Tanpa bicara, pria senja itu berdiri dengan sedikit kasar menyingkirkan jemari istrinya. Berjalan menghadang langkah ketiga muridnya dengan emosi yang meluap. Namun, Abimana terlihat acuh berjalan melewati sang begawan. Hanya Kurubumi yang masih berdiri mematung dengan kepala menunduk. "Apa yang kalian lakukan malam ini, Hah?" Hentak begawan dengan kedua tangan berlipat di balik badan. Tatapannya menghunus mata Kurubumi membuat pemuda itu semakin menunduk. Setiaki yang masih mengikuti langkah suaminya seketika terhenyak kaget begitu melihat wajah putranya yang sedikit memerah terkena paparan sinar bulan. Langkahnya maju lebih dekat pada putranya yang diam. Jemari wanita itu terulur menyentuh pipi sang putra, lirih bibirnya bergerak mengeluarkan suara, "Apa gunanya hal ini kam
Apa yang terjadi pada Jagat beberapa hari lalu merubah struktur tulangnya. Kini pemuda itu mulai mampu menerima beberapa sumber daya alam dan tubuhnya terlihat mulai terisi tenaga dalam. Seperti pagi ini, dia terlihat sedang duduk bersila dengan pengaturan napas di dampingi oleh Savitri. "Bagus, mulai tertata, Jagat. Pertahankan dengan frekuensi seperti itu!" kata Savitri memberi arahan. Jagat terus mencoba fokus dan menata napasnya sesuai arahan Savitri, lalu perlahan dia bangkit untuk memulai menirukan gerakan wanita di depannya. Dengan telaten dan perlahan, Savitri memberi arahan pada Jagat cara memperkuat kuda-kuda dalam seni beladiri sederhana. "Buka lebih lebar kaki kamu, Jagat. Tekuk pada lutut membentuk siku dan pusatkan pada pusat inti telapak kaki!"Jagat menyimak semua kalimat yang menjadi arahan Savitri. Cukup lama Jagat mencoba gerakan yang diucap oleh wanita tersebut. Namun, lambat laun gerakannya mulai terlihat kokoh dan kuat "Bagus, sambung dengan gerak tangannya.
Angin berhembus kencang, dahan dan ranting bergerak seirama arah angin. Jagat merasa ada sesuatu yang bergerak cepat ke arahnya. Deru perpecahan angin akibat gesekan benda begitu terasa membuat pandangannya tertuju pada Kliwon. "Sebaiknya kamu sedikit menjauh, Kliwon!" Pinta Jagat. Kliwon yang tidak mengerti dengan kalimat pengusiran dirinya hanya menanggapi dengan senyuman. Sedangkan Savitri merasa ada yang berbeda dengan Jagat. Perempuan itu juga merasakan perbedaan arah angin. Savitri menatap Jagat, dia mencari sesuatu pada wajah pemuda tersebut. Meski sudah ditelisik mimik wajah Jagat, perempuan itu masih juga belum menemukan hal yang mencurigakan dari keanehan sikap lelaki tersebut. "Apa yang kamu rasakan hingga harus menyuruh Kliwon menjauh, Jagat?" tanya Savitri. Jagat bergeming, sinar putih kebiruan mulai menguar dari tubuhnya. Siluet kujang pun ikut keluar melalui telapak tangan kanan Jagat. Pemuda itu mencengkeram gagang kujang dengan erat, tatapannya luruh ke dalam pe
"Apa yang dikatakan oleh Abimana, Hah?" Hentak Savitri. Anupati melangkah maju lebih dekat pada wanita pendekar. Kembali tangannya terulur, tetapi kali ini dia tidak menuju ke arah pipi mulus Savitri melainkan ingin menjebak reaksi wanita tersebut. Apa yang diperhitungkan oleh Anupati tepat pada sasaran. Namun, bukan pergelangan tangan Savitri yang digenggamnya tetapi milik Jagat. Hal ini membuat amarah Anupati naik, dengan keras tangan pemuda itu dihentak olehnya. Namun, Jagat bergeming. "Rupanya kau sudah berani melawan, Pria Ayu!" geram Anupati. "Bunuh saja sesuai pesan Abimana!" Celetuk Sasapati. Merasa diremehkan, Anupati segera mencabut pedangnya dan menghunuskan pada ujung dagu Jagat. Namun, pemuda itu hanya menatap datar atas kelakuan Anupati. "Bangsat! Kau ingin mati, Bocah!"Dengan gerak cepat ujung pedang itu maju dan seakan mau menusuk pangkal leher Jagat. Namun, secepat kilat Jagat menelengkan kepalanya ke kanan alhasil lehernya terbebas dari tusukan pedang. "Sial
Jerit ketakutan mulai terdengar samar di telinga Jagat. Percikan kecil muncul saat sinar biru dan merah bertemu menambah suasana siang itu semakin terang dan menakutkan. Semua warga yang tersisa berlarian mencari tempat berlindung yang sedikit tersembunyi. Kliwon yang sejak kedatangan Sasapati sudah mulai menepi pun ikut dalam rombongan para warga. Pemuda itu mengikuti instingnya membaur dan membawa semua warga yang tersisa untuk menghindari pertempuran. Sementara Savitri masih terlihat sedang bertempur dengan Sasapati dengan menggunakan pedang tipisnya. Gerakannya yang gemulai bak seorang penari membuat Sasapati mengulum senyum dan meremehkan. "Sebaiknya kau berada di bawahku, Cantik. Aku mampu memberimu kenikmatan yang nyata," ujar Sasapati. "Tutup mulutmu, Bangsat!"Merasa direndahkan oleh lawannya membuat Savitri naik darah. Dengan gerakan yang cepat dan tajam, dia menyerang Sasapati tanpa jeda. Tusukan pedang yang mengayun indah membuat lawannya sedikit mengalami kekalahan.