Ringkik kuda terdengar saling bersahutan membuat beberapa pengunjung Kedai Mawar menoleh keluar. Tampak empat kuda jantan berwarna cokelat dan hitam legam ditambatkan oleh penunggangnya. Empat pendekar kembar melangkah maju masuk ke kedai, mereka langsung berjalan menuju ke meja yang di pakai oleh Abimana. Pimpinan pendekar tersebut seakan sudah merasa bahwa kedatangannya sudah ditunggu oleh Abimana. "Kami sudah penuhi undanganmu, Pangeran." Anupati berkata sambil meraih kendi tuak milik Abimana. Jantaka seketika berdiri dengan kedua mata melotot melihat tingkah, tangannya terulur hendak merebut kendi yang sudah berada di tangan Anupati. Namun, suara Abimana berhasil menghentikan pergerakannya. "Biarkan saja, Jantaka!" Jantaka pun menghentikan uluran tangannya dan dia kembali duduk dengan menahan emosi. Kurubumi menepuk pelan paha sahabatnya agar emosinya segera menurun. Desah napas panjang pun lolos, Jantaka tidak bisa berbuat lebih. Akhirnya dia bungkam melihat interaksi Abiman
"Apa maksud perkataanmu, Jantaka?"Jantaka terdiam, pandangannya tertuju ke luar seakan dia sedang menunggu seseorang yang lagi naik daun beberapa dekade di dunia persilatan. Cukup lama Jantaka melihat pintu masuk hanya ingin memastikan siapa saja yang masuki kedai dan rumah bordir tersebut. "Mungkin dia tidak datang, Jantaka." Kurubumi berbicara sambil mulai menyendok makanan yang sejak tadi terhidang di meja tanpa tersentuh. "Sebenarnya siapa yang kalian maksud?" tanya Abimana. Jantaka menoleh pada Abimana lalu bibirnya menyebut satu nama yang membuat dahi pemuda itu berkerut heran. Nama yang baru saja dia dengar ternyata mampu menggetarkan jiwa. "Dewa Mabuk?" Abimana mengulang nama yang disebut oleh Jantaka. "Benar, Pangeran. Yang aku dengar dia adalah salah satu pendekar pilih tanding dengan koleksi beberapa ilmu kuno," papar Jantaka. "Kau yakin, mengapa tidak sejak awal ini kau ungkap, Jantaka!" geram Abimana. Pangeran Kerajaan Bumi Seloka memilih diam, dia mulai makan meng
Lambat laun suara tawa beberapa pemuda mulai mendekat pendopo. Tampak jelas wajah ketiga murid andalan padepokan, mereka berjalan terseok dengan bau badan yang menyengat. Bau yang sangat dibenci oleh begawan. Tanpa bicara, pria senja itu berdiri dengan sedikit kasar menyingkirkan jemari istrinya. Berjalan menghadang langkah ketiga muridnya dengan emosi yang meluap. Namun, Abimana terlihat acuh berjalan melewati sang begawan. Hanya Kurubumi yang masih berdiri mematung dengan kepala menunduk. "Apa yang kalian lakukan malam ini, Hah?" Hentak begawan dengan kedua tangan berlipat di balik badan. Tatapannya menghunus mata Kurubumi membuat pemuda itu semakin menunduk. Setiaki yang masih mengikuti langkah suaminya seketika terhenyak kaget begitu melihat wajah putranya yang sedikit memerah terkena paparan sinar bulan. Langkahnya maju lebih dekat pada putranya yang diam. Jemari wanita itu terulur menyentuh pipi sang putra, lirih bibirnya bergerak mengeluarkan suara, "Apa gunanya hal ini kam
Apa yang terjadi pada Jagat beberapa hari lalu merubah struktur tulangnya. Kini pemuda itu mulai mampu menerima beberapa sumber daya alam dan tubuhnya terlihat mulai terisi tenaga dalam. Seperti pagi ini, dia terlihat sedang duduk bersila dengan pengaturan napas di dampingi oleh Savitri. "Bagus, mulai tertata, Jagat. Pertahankan dengan frekuensi seperti itu!" kata Savitri memberi arahan. Jagat terus mencoba fokus dan menata napasnya sesuai arahan Savitri, lalu perlahan dia bangkit untuk memulai menirukan gerakan wanita di depannya. Dengan telaten dan perlahan, Savitri memberi arahan pada Jagat cara memperkuat kuda-kuda dalam seni beladiri sederhana. "Buka lebih lebar kaki kamu, Jagat. Tekuk pada lutut membentuk siku dan pusatkan pada pusat inti telapak kaki!"Jagat menyimak semua kalimat yang menjadi arahan Savitri. Cukup lama Jagat mencoba gerakan yang diucap oleh wanita tersebut. Namun, lambat laun gerakannya mulai terlihat kokoh dan kuat "Bagus, sambung dengan gerak tangannya.
Angin berhembus kencang, dahan dan ranting bergerak seirama arah angin. Jagat merasa ada sesuatu yang bergerak cepat ke arahnya. Deru perpecahan angin akibat gesekan benda begitu terasa membuat pandangannya tertuju pada Kliwon. "Sebaiknya kamu sedikit menjauh, Kliwon!" Pinta Jagat. Kliwon yang tidak mengerti dengan kalimat pengusiran dirinya hanya menanggapi dengan senyuman. Sedangkan Savitri merasa ada yang berbeda dengan Jagat. Perempuan itu juga merasakan perbedaan arah angin. Savitri menatap Jagat, dia mencari sesuatu pada wajah pemuda tersebut. Meski sudah ditelisik mimik wajah Jagat, perempuan itu masih juga belum menemukan hal yang mencurigakan dari keanehan sikap lelaki tersebut. "Apa yang kamu rasakan hingga harus menyuruh Kliwon menjauh, Jagat?" tanya Savitri. Jagat bergeming, sinar putih kebiruan mulai menguar dari tubuhnya. Siluet kujang pun ikut keluar melalui telapak tangan kanan Jagat. Pemuda itu mencengkeram gagang kujang dengan erat, tatapannya luruh ke dalam pe
"Apa yang dikatakan oleh Abimana, Hah?" Hentak Savitri. Anupati melangkah maju lebih dekat pada wanita pendekar. Kembali tangannya terulur, tetapi kali ini dia tidak menuju ke arah pipi mulus Savitri melainkan ingin menjebak reaksi wanita tersebut. Apa yang diperhitungkan oleh Anupati tepat pada sasaran. Namun, bukan pergelangan tangan Savitri yang digenggamnya tetapi milik Jagat. Hal ini membuat amarah Anupati naik, dengan keras tangan pemuda itu dihentak olehnya. Namun, Jagat bergeming. "Rupanya kau sudah berani melawan, Pria Ayu!" geram Anupati. "Bunuh saja sesuai pesan Abimana!" Celetuk Sasapati. Merasa diremehkan, Anupati segera mencabut pedangnya dan menghunuskan pada ujung dagu Jagat. Namun, pemuda itu hanya menatap datar atas kelakuan Anupati. "Bangsat! Kau ingin mati, Bocah!"Dengan gerak cepat ujung pedang itu maju dan seakan mau menusuk pangkal leher Jagat. Namun, secepat kilat Jagat menelengkan kepalanya ke kanan alhasil lehernya terbebas dari tusukan pedang. "Sial
Jerit ketakutan mulai terdengar samar di telinga Jagat. Percikan kecil muncul saat sinar biru dan merah bertemu menambah suasana siang itu semakin terang dan menakutkan. Semua warga yang tersisa berlarian mencari tempat berlindung yang sedikit tersembunyi. Kliwon yang sejak kedatangan Sasapati sudah mulai menepi pun ikut dalam rombongan para warga. Pemuda itu mengikuti instingnya membaur dan membawa semua warga yang tersisa untuk menghindari pertempuran. Sementara Savitri masih terlihat sedang bertempur dengan Sasapati dengan menggunakan pedang tipisnya. Gerakannya yang gemulai bak seorang penari membuat Sasapati mengulum senyum dan meremehkan. "Sebaiknya kau berada di bawahku, Cantik. Aku mampu memberimu kenikmatan yang nyata," ujar Sasapati. "Tutup mulutmu, Bangsat!"Merasa direndahkan oleh lawannya membuat Savitri naik darah. Dengan gerakan yang cepat dan tajam, dia menyerang Sasapati tanpa jeda. Tusukan pedang yang mengayun indah membuat lawannya sedikit mengalami kekalahan.
Sinar yang melesat menuju ke Linggapati terus menuju ke posisi Dwipati. Ketiga sinar telah bersatu pada porosnya hinga terbentuk sebuah tombak. Savitri semakin mengeratkan pelukannya, sementara Jagat rohnya melayang masuk ke alam bawah sadarnya. Dia mencari sosok pria tua berjenggot. Namun, sosok tersebut justru dalam keadaan duduk sila sambil pajamkan kedua matanya. "Ki Cadek, bisakah kau pinjamkan sumber dayamu?""Tenaga yang kamu miliki masih belu. Mampu menyerap intiku, Pangeran. Sebaiknya gunakan kujang tanpa permata kerucut biru!"Jagat hanya diam, lalu dia berbalik menuju ke titik cahaya putih yang berada di ujung. Namun, saat kakinya menginjak sebuah batu mungil suara dentuman terdengar nyata. Gegas dia berlari menuju portal perpindahan alam dalam raganya. Saat roh nya kembali pada raga, tubuh Savitri terkulai lemah tidak berdaya. Jagat mendengus kasar. Kedua matanya memejam dengan tangan mengepal hingga ruasnya memutih. "Apakah kamu masih sanggup berdiri di sisiku, Savitri
Roro Wening berjalan kembali ke paviliunnya. Dia membuka pintu dan langsung melihat suaminya sudah duduk sila di atas ranjang. Melihat Jagat Kelana sudah duduk sila seketika Roro Wening mempercepat langkahnya. Ada kekhawatiran yang muncul dalam sorot mata sendu, dia merasakan adanya aura lain yang merasuki tubuh suaminya. "Suamiku, ada apa dengan tubuhmu?" ucap Roro Wening sambil duduk di belakang Jagat Kelana. Jemarinya yang lentik menyentuh kulit suaminya, lalu terjadi sengatan begitu kulit keduanya saling bersentuhan. "Jangan ganggu aku dulu, Nyai. Biarkan semua energi ini masuk dalam tubuhku!"Suara Jagat menghentikan gerakan Roro Wening. Wanita itu memilih bangkit dari ranjang dan berjalan menuju ke kursi yang menghadap pada posisi suaminya. Dahi selir agung berkerut kala mendapati tubuh Jagat mulai berkeringat besar dan bergetar. Tubuh telanjang dada itu perlahan mulai terlihat segar dan menggoda akibat lelehan air bening. Beberapa kali Wening menelan air liurnya. Dia send
Pitaloka terdiam, dia tidak berani berkata lagi. Tatapan selir agung begitu tajam hingga terasa sesak dada Pitaloka. "Pergilah, Sasti. Segera siapkan apa yang aku pinta!"Sasti pun segera berlalu meninggalkan kedua selir raja yang saling berseteru. Melihat dayang pribadi selir agung pergi kedua mata Pitaloka menyipit, dia meraup wajahnya sendiri "Apa maksud kamu menghalangi pekerjaan dayangku, hem?""Bukan begitu, Yunda Selir. Aku hanya bertanya pada dayang itu, tidak ada maksud lain," jawab Pitaloka. "Iya sudah, lupakan saja. Ini bukan urusan kamu." Usai berkata Wening berlalu meninggalkan tempat itu. Pitaloka mengepalkan kedua tapak tangan sambil menghela napas berat. Dia tidak terima dengan perlakuan selir agung, dia ingin saat ini menjadi permaisuri raja. Setidaknya menjadi wanita di hati raja itu. "Sialan kau, Wanita Tua. Lihat saja nanti!" Pitaloka kembali ke paviliun miliknya, dia memanggil dayang pribadi yang khusus dipilihnya sendiri. Mendengar namanya dipanggil dayang
Sinar biru keemasan melesat membungkus tubuh tua Ki Cadek. Tanpa permisi, Jagat Kelana melempar tubuh tua itu kembali ke alamnya. Mau tidak mau Ki Cadek mengikuti semua perintah pemiliknya, dia terbang menuju ke alamnya. Setelah kepergian Ki Cadek tubuh Jagat tiba-tiba terasa lemas, tulang sendinya seakan tidak mampu menopang. Bahunya naik turun hingga terdengar isak tangis lirih. 'Maafkan aku, Ki. Ini yang terbaik untukmu setelah pertempuran dengan Pasopati,' kata Jagat tak mampu bersuara. Raja muda Singgalang terlihat begitu terluka secara fisik dan rohani. Baru saja dia berpisah dengan istri tercinta kini sebuah keputusan harus diambil dengan paksa. Cukup lama Jagat tertunduk dengan kedua telapak tangannya menyentuh tanah. Perlahan ada aliran hangat menjalar memasuki lengan. Hal itu tidak dipedulikan oleh Jagat. Dia justru makin menunduk hingga dahinya menyentuh tanah. Jagat bersujud. 'Jangan tinggalkan aku, Hyang Widi Agung!'Samar terdengar langkah pelan dan lembut mendekati
Usai mengaku kalah, Panglima Pasopati berjalan tertatih dengan menarik pedangnya. Wajahnya tertekuk dalam. Dia tidak berani menatap bulan yang sedang bersinar malu. Angin malam menembus tulang, tetapi Jagat masih berdiri tegak menatap kepergian Panglima Galunggung. Ada sedih yang membayang di wajah raja muda itu, tetapi tidak semua orang bisa tahu apa yang sedang berkecamuk dalam hatinya. Akshita berjalan mendekati suaminya, dia memeluk pinggang Jagat dari belakang dengan kepala bersandar pada punggungnya. "Sebaiknya kita jalani di dunia yang berbeda, Kang!"Mendengar bisikan istrinya, Jagat segera berbalik badan. Dia menangkap wajah kekasihnya, "jika aku merindukanmu, bagaimana?""Bukanlah Kakang bisa masuk ke duniaku meskipun tanpa portal?" tanya Akshita lembut. Jagat masih menangkap wajah ayu istrinya tanpa berkedip. Hal ini membuat Akshita menjadi salah tingkah. "Kang...." Tatapan Jagat mulai berkabut, napasnya terdengar berat tetapi dia masih enggan untuk mengeluarkan suara.
Jagat segera berdiri dan menatap pada Panglima itu, dia terlihat lebih tenang dari sebelumnya. Apalagi saat ini sudah ada kekasihnya yang berdiri di samping kanan sambil memeluknya. "Apa kabar, Tuan Pasopati?" Suara lembut Akshita memecah keheningan malam. Suara yang mampu membuat Pasopati berhenti bernapas untuk sesaat. Dia terkejut melihat sosok wanita itu hingga jantungnya sempat berhenti. 'Tidak mungkin.'Pasopati masih tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Wanita yang dulu begitu membuatnya gila kini telah berdiri di sisi Jagat. "Rupanya apa yang aku dengar bukan kabar angin. Ini kenyataannyakah, Nyai?" tanya Pasopati dengan nada bergetar. Hatinya melesat, emosinya seketika berhenti. Sungguh dia tidak mengerti bagaimana wanitanya kini memeluk mesra lengan musuhnya. "Iya, seperti ini hidup, Pasopati. Apakah kamu menyesal?""Buat apa menyesali atas hubungan dengamu, Jalang. Sekali jalang selamanya tetap, Jalang!"Mendengar satu kata yang sudah biasa didengarnya tidak memb
Sesuai dengan apa yang diperkirakan oleh Jagat, Panglima Pasopati menyiapkan kedua telapak tangannya yang dipenuhi dengan sinar merah. Gagang pedang itu digenggam erat, lalu diangkat tinggi. "Kali ini nyawamu tidak akan selamat, Jagat!" Pasopati melompat tinggi, kedua kakinya berjalan di udara dengan ujung pedang terhunus ke depan. Jagat masih diam dengan kujangnya di tangan. Pada ujung kujang itu muncul sinar perak dan dua permatanya keluar dari lubang. Angin malam bertiup makin kencang membuat jubah Jagat beterbangan, tetapi tidak membuat fokus raja itu terputus. "Rasakan jurus terbaruku, pedang pendek penghancur raga!" teriak Pasopati. Bersamaan itu, pedang panjangnya pun terayun dengan sasaran lengan kiri Jagat. Melihat gerakan itu membuat Jagat melakukan tubuhnya ke samping menghadap datangnya pedang. Kedua jarinya menjepit ujung pedang dan menggerakkan ke belakang. Akibat gerakan itu pedang milik Pasopati pun patah di ujungnya. Seketika kedua mata Panglima itu
Kedua pemimpin sudah saling berhadapan. Jagat masih berdiri tegak dengan tatapan dingin, sementara Panglima Pasopati berdiri dengan senyum samar. Keduanya dalam mode tenaga full dengan senjata masing-masing. Pasopati menggenggam pedang panjang dengan gerigi bak gergaji yang tajam. Jagat hanya memegang kujangnya dengan sembilan permata. "Apa sebenarnya hingga seorang Panglima datang ke tanah milikku?""Aku inginkan nyawamu, Jagat Kelana!""Bukankah kamu baru menatapku hari ini, bagaimana bisa sudah inginkan tanah Singgalang?"Panglima Pasopati seketika tertawa terbahak, dia meludah di depan Jagat Kelana. "Cuih, jangan kau kira aku tidak miliki kekuasaan mutlak hingga kau rendahkan aku, Jagar!""Baik, jika ini inginmu, Pasopati. Tunjukkan digdayamu!"Begitu mendengar kalimat tantangan dari Jagat, saat itu juga Panglima mengeluarkan seluruh kekuatannya. Dia menggerakkan pedang panjang yang terlihat begitu berat. Gerakannya yang terlihat begitu piawai membuat Jagat sedikit nyeri. Dia m
Hempasan jubah Jagat seketika melenyapkan beberapa anak panah berapi. Tidak hanya senjata, pemakainya pun juga ikut terpental. Apa yang terjadi dengan prajurit pilihannya membuat Panglima Pasopati melongo tidak percaya. Sosok yang menyibakkan jubahnya saja masih berdiri tegak di ujung menara. "Bagaimana mungkin, rasanya hanya sang terpilih yang mampu melakukan hal itu." Panglima Pasopati berbicara sendiri tanpa berniat untuk berbagi. Sesungguhnya Jagat hanya memainkan trik kecil saja tanpa berniat untuk melenyapkan seluruh pasukan panah berapi. Semua hanya permainan saja. "Kang, jangan permainkan mereka seperti itu! Semua ada batasnya!" kata Akshita. "Mereka sudah mengira aku hanya raja rendahan saja hingga mereka berani merendahkan Kerajaan Singgalang. Alasan ini yang tidak aku suka, Aks.""Lalu, apa yang akan kamu lakukan? Mereka hanya bawahan yang tidak mengerti alasan apa meruntuhkan Singgalang," kata Akshita. Jagat hanya tersenyum, dia mengurai pelukan dan kini menatap pada
Suara terompet panjang tanda penyerangan dimulai. Pasukan Kerajaan Galunggung bertolak menuju ke perbatasan Karajaan Singgalang. Paling depan Panglima Pasopati terlihat berkuda dengan gagah berani. Ujung tombaknya terangkat ke udara memberi semangat pada para prajuritnya. Pasukan dibagi menjadi tiga bagian. Mereka memiliki pemimpin sendiri dengan kekuatan dan kapasitas yang memadai. Panglima Pasopati terlihat memimpin di depan dengan kuda jantan hitam dan tombak panjang di tangan kanannya. "Serang!"Semua prajurit Galunggung bergerak dengan senyap dan cepat, tetapi aura yang mereka timbulkan. Jagat sendiri masih terlena dengan sentuhan akhir Roro Wening hingga tubuhnya bermandikan keringat. "Kang, aura ini begitu membahayakan rakyat dan penghuni Kerajaan. Tidakkah ingin sudahi semua?" tanya Roro Wening dengan suara rendah dan sesekali mendesah akibat serangan beruntun dari suaminya yang begitu nikmat. Jagat tidak memedulikan apa yang dikatakan oleh istrinya, dia terus menggerakk