Seorang tabib memeriksa tubuh Jagat, Ki Jemblung dengan setia berdiri di tiang ranjang sambil terus melihat anak didiknya. Terlihat wajah cemas yang membayang diwajahnya. "Bagaimana, Tabib?"
Sang tabib menatap sekilas pada Jemblung, lalu kembali fokus pada tubuh Jagat. Jemari tuanya mulai meraba beberapa lebam dan memar pada beberapa titik vital tubuhnya. Gelengan kepala sesekali terlihat membuat Ki Jemblung menjadi gelisah."Ada apa dengan tubuh Jagat?" tanya Jemblung makin gelisah."Ada keanehan pada struktur tulang pemuda ini, Ki. Apa sebelumnya dia seorang pendekar?" Sang Tabib tidak menjawab pertanyaan koki padepokan, justru dia bertanya padanya.Jemblung mengerutkan dahi, dia juga tidak paham dengan kondisi tulang Jagat di masa silam. Untuk itu dia menjadi bingung sendiri, sejak kecil pun Jagat tidak terlihat sebagai sosok pria yang kuat."Bagaimana, Ki?""Seingatku dia tidak pernah menjadi pria yang kuat. Sejak beberapa hari silam pemuda ini selalu disiksa oleh murid yang lain."Tabib kembali fokus pada tubuh Jagat, kali ini dia mengoleskan beberapa obat herbal yang berasal dari daun-daunan. Setelah semua memar tertutup obat herbal, sang Tabib pun pamit undur diri.Ki Jemblung mengantar tabib tersebut hingga pintu utama gubug miliknya. Setelah sosok tabib menghilang barulah Ki jemblung masuk kembali ke kamar Jagat. Ditatapnya tubuh pemuda itu dengan penuh tanya. "Sebenarnya apa yang terjadi denganmu, Le?"Ki Jemblung berjalan mendekati tubuh Jagat lalu dia menyentuh dahi pemuda itu dengan telapak tangannya. Cahaya biru perlahan keluar dari telapak pria gendut itu. "Aku hanya bisa membantu sedikit, semoga segera membuatmu sadar, Le!"Sinar tersebut membungkus puncak kepala Jagat, tetapi hal itu tidak terlihat dampaknya. Ki Jemblung mendengus lirih. "Suhu tubuhnya begitu tinggi!"Hari terus berjalan, kondisi Jagat masih sama saat pertama kali ditemukan. Bahkan suhu tubuhnya makin naik. Situasi ini membuat Jemblung khawatir. Akhirnya pria tua nan gendut itu terpaksa memanggil nona padepokannya."Paman, oh ... Paman!" Savitri berteriak di depan pagar gubug Jemblung.Mendengar teriakan Savitri, Jemblung pun bangkit dari duduknya dam berjalan untuk membukakan pintu utama, "Masuklah, Nduk!" titahnya.Savitri pun melangkah masuk lebih dalam. Tatapannya terkunci pada tubuh kekar yang tergolek lemas di atas balai bambu. "Jagat!" pekiknya.Lalu badannya berbalik menghadap pada Ki Jemblung, "Apa yang terjadi dengan Jagat, Ki?"Jemblung terdiam sebentar, dia menatap sesaat wajah putri begawan padepokan lalu mengulum senyum dan berkata lirih, "Aku sendiri pun tidak paham, Nona. Hanya tabib berkata bahwa tulang tubuhnya ada yang berbeda.""Berbeda ... maksudnya, Paman? Bukankah kita semua tahu jika tulang Jagat tidak mampu untuk menampung segala aktifitas yang tinggi. Apakah mungkin saat ini ada perubahan ke mada depan?" cerca Savitri.Jemblung mengedikkan bahunya, dia sendiri sejak tadi pun sudah memerhatikan struktur tulang pada Jagat dan hasil masih sama seperti tahun-tahun sebelumnya. Namun, tabib itu berkata beda. Ini yang membuat koki padepokan tersebut memanggil nonanya yang lebih paham dengan ilmu tubuh.Savitri kembali memerhatikan keseluruhan tubuh Jagat. Dia pun sependapat dengan koki bahwa tubuh pemuda itu tidak mengalami perubahan. Akhirnya wanita muda menyalurkan sedikit sumber daya miliknya pada tubuh Jagat."Nah, sudah selesai. Semoga dia segera sadar, Paman. Sudah dua hari masih seperti ini." Savitri bangkit dari duduknya, menepuk pelan pipi Jagat, "Bangun dan segera lekukan tugasmu isi tandon, Teman!""Terima kasih untuk waktunya, Nona!""Tidak apa, di masa depan mungkin dia akan berguna lagi, Paman. Aku pamit undur diri!"Savitri melangkah keluar dari kamar Jagat diikuti Jemblung dari belakang. Keduanya terlihat khawatir mengenai keadaan pemuda tersebut. Akhir-akhir ini pangeran dan anteknya selalu mengganggu hidupnya. Namun, mereka berdua tidak ada kuasa.Sementara di dalam tidurnya, Jagat seakan sedang terdampar di daerah yang sangat asing. Penduduknya saja hampir tidak ada entitas berjenis betina. Semua berwujud binatang, berbagai jenis hewan berkaki empat ada di negeri itu.Jagat berkelana di sepanjang jalan setapak, tatapannya selalu waspada. Dia tidak ingin terperosok untuk kedua kalinya. Namun, hingga kakinya terasa pegal tidak satu pun entitas yang berkaki dua seperti dirinya. Hingga tatapannya berhenti pada sosok pria tua berjenggot putih."Kakek, bolehkah saya bertanya. Ini daerah apa namannya?" tanya Jagat."Sedang apa kamu masuki dunia tanpa batas ini, Anak Muda?" Pria berjenggot itu tidak menjawab pertanyaan Jagat, dia justru melempar pertanyaan."Aku di sini pun juga tidak paham, untuk alasan apa aku bisa bertemu dengan Anda, Kek."Pria tua itu yang berwujud harimau putih hanya menatap sendu. Kemudian dia melangkah lebih dekat dengan Jagat, dihirupnya aroma tubuh pemuda yang sedang berdiri mematung. "Aroma bangsawan dan darah suci. Rupanya kamu lah sosok yang dinantikan oleh sebuah kerajaan," tutur pria tua bertubuh separo harimau.Jagat tidak mengerti dengan semua perkataan pria tua itu. Dia masih mematung melihat keseluruhan wujud pak tua. Dengan mengumpulkan keberanian, Jagat pun bertanya, "Saat ini saya sedang berhadapan dengan siapa?""Aku hanya seorang bawahan, untuk saat ini kembalilah ke dalam ragamu. Belum saatnya kamu mati, di dunia kemampuan mu sedang dibutuhkan. Sinar jingga di ujung sana adalah jalanmu dan jika sudah kembali maka carilah pria tua bernama Singolangit. Pemabuk terkenal dengan sebutan Dewa Mabuk!"Setelah berkata, pria tua itu lenyap tidak tersisa. Hal itu membuat Jagat termangu. Kemudian bagai tersentil, Jagat terhenyak dan tersadar dari lamunanmu. Dia segera melihat arah yang ditunjuk oleh pria tadi.Jagat dengan cepat melangkah menuju ke sinar jingga yang mulai redup. Langkahnya seakan begitu lama untuk gapai sinar tersebut. "Aneh, makin aku berjalan maju, sinar itu makin meredup. Sepertinya aku harus segera masuki sinar itu!"Jagat mulai berlari menuju sinar jingga. Dengan segala upaya, pemuda itu berusaha menjangkau sinar. Napasnya sudah terlihat ngos-ngosan saat tubuhnya melompat masuk dalam sinar.Tubuh lemah yang terbaring di atas balai bambu mulai bergerak perlahan. Ki Jemblung melihat langsung terdiam menunggu gerakan yang lain. Kelopak mata Jagat mulai bergerak, bibirnya pun tampak bergetar.Samar Ki Jemblung mendengar suara meminta air. Gegas pria gendut itu berdiri dan berjalan menuju ke meja kecil di sudut kamar. Dia menuangkan air ke dalam gelas bambu lalu membawanya pada balai bambu."Ini, minumlah!" kata Ki Jemblung menyodorkan gelas bambu pada Jagat yang berhasil membuka kedua kelopak matanya, "Apa yang terjadi denganmu, Jagat?"Jagat masih bungkam, bahkan untuk menerima gelas bambu pun gerakannya masih terbilang sangat pelan dan berat. Setelah berhasil maka segera ditenggaknya air dalam gelas. "Te-terima ka-kasih, Paman!" ujar Jagat masih susah memulai kata.Jemblung mengangguk, lalu menerima uluran tangan Jagat yang menyerahkan gelas kosong, "Apa masih kurang?""Tidak, Paman. Berapa hari saya tertidur?"Jemblung meninggalkan Jagat dalam keadaan terdiam. Pemuda itu masih tidak percaya dengan keadaannya yang masih bisa selamat terjatuh dari jurang setinggi itu. Kembali dalam ingatannya sebuah kujang bermata sembilan mengelilingi tubuhnya yang sempat terbujur kaku. "Apa yang sedang kamu pikirkan, Pria Muda?" Terdengar suara pria tua yang khas. "Siapa kamu, menilik suara yang kudengar rasanya aku pernah tahu pemilik ini?""Kita pernah bertemu di alam mimpi. Apakah semudah itu kamu lupa?"Jagat mencari sosok yang sedang berbicara, tetapi tidak terlihat bayangan sedikit pun. Helaan napas kasar dia keluarkan dan sungguh sesak di dada. Jagat masih duduk di tepian balai tempat dia biasa merebahkan diri. Tatapannya masih menyapu sekelilingnya untuk mencari pemilik suara tersebut. "Sampai akhir jaman kau tidak akan bisa temukan wujudku." Jagat terdiam, ingatannya mulai berputar mencari secercah peristiwa yang mungkin ada di memorynya. Iya, ingatannya berputar menampilkan sebuah aktifitas p
Jagat seketika melihat pada pusat tubuhnya dan kedua bola matanya membola dengan mulut terbuka. Dia tidak menyangka jika sinar itu bisa keluar dan dilihatnya lagi setelah beberapa hari tidak muncul. "Aku sendiri juga tidak tahu, Ki. Hanya saja saat aku terjatuh ke kedalaman jurang kemarin keadaanku segera pulih meskipun ada kujang bermata sembilan memasuki aku.""Apa yang kamu katakan, Jagat, kujang bermata sembilan? Kau tidak bohong, 'Kan?" Jagat menggeleng lemah, selama ini dia selalu berkata jujur. Jadi jika ada yang meragukan kejujurannya hatinya bagai dicubit kecil, perihnya tidak terkira. "Bukan maksud paman tidak percaya dengan apa yang kamu ungkap. Hanya saja, kujang itu sudah hilang dari kancah dunia persilatan. Bahkan benyak sekali pendekar pilih tanding berlomba untuk dapatkan kujang itu."Jagat meraup wajahnya kasar, dia terlihat begitu ragu dan tidak mengerti dengan maksud kalimat dari Ki Jemblung. Sementara sinar yang berada di pusat tubuhnya perlahan mulai pudar. Se
Jagat masih melangkah mengikuti suara perempuan yang sedang merintih kesakitan. Jantungnya pun ikut berdebar saat suara itu mulai terdengar dekat. Gegas langkahnya dipercepat untuk sampai, saat jarak sudah dekat pandangan menyebar. "Itu ...!""Jagat, akhirnya!""Apa yang terjadi denganmu, Savitri?""Semalaman aku terjebak di sini, aku juga tidak tahu sejak kapan jebakan ini ada," dengus Savitri. Jagat terdiam, tangannya dengan terampil mengurai tali yang melilit pada pergelangan kakinya. Jebakan itu masih untung tidak mengangkatnya ke atas hanya tergolek di tanah. "Sudah selesai. Bagaimana, apakah kamu bisa berjalan?"Savitri mencoba menggerakkan tungkainya perlahan, diputarnya pergelangan kaki lalu dinaik turunkan sesaat. Setelah merasa sedikit lebih baik, perempuan itu mencoba berdiri. Namun, belum sempat tubuhnya berdiri sempurna tiba-tiba otot sendi pada lutut terasa nyeri. "Aough!" Pekik Savitri saat dia terjatuh lagi. "Boleh ke depannya aku bantu?"Tanpa bersuara Savitri lang
Beberapa murid segera menyeret tubuh Jagat dan dilempar begitu saja di hadapan Abimana dan Jantaka. Jagat tersungkur. Namun, bibirnya mengulas senyum sinis membuat Abimana makin naik darah. "Terlentangkan tubuhnya dan ikat kedua kaki juga tangannya!" Suara Abimana memecah kericuhan para murid. Kurubumi melempar tali dadung pada beberapa murid seangkatannya. Bersama mereka, Kurubumi mulai mengikat sesuai arahan dari Jantaka. "Apa yang kalian inginkan atas tubuh lemah ini?" tanya Jagat dengan suara rendah. Abimana berjalan mendekat dan jongkok tepat di depan perut Jagat. Ujung jari tulunjuk mengarah pada pusat tubuh Jagat dan mulai menekan perlahan. Sinar putih kebiruan tidak mau padam justru makin bersinar menyilaukan mata. Abimana memicingkan kedua mata tetapi jari jemarinya masih bergerak di sekitar pusat tubuh Jagat. Bibirnya bergerak ringan seperti membaca mantra. Tiba-tiba, hawa hangat menyebar ke seluruh tubuh Jagat terutama pada bagian perutnya. "Apa yang kamu lakukan pada
Ketika pukulan dan kujang bertemu saat itu juga terdengar suara letusan yang begitu memekakkan telinga. Tubuh Abimana terlempar hingga beberapa depa ke belakang, sedangkan tubuh Jagat hanya tergolek lemas mundur satu depa. Semua terpana melihat keadaan Jagat yang hanya duduk diam sambil menatap satu per satu murid padepokan. Hanya mata yang bergerak, bibir masih tetap bungkam. Dari jauh terlihat sang begawan berjalan mendekat dan berhenti tepat di depan Jagat. "Apa yang terjadi, bukankah tadi aku suruh kau untuk lenjutkan pekerjaanmu. Mengapa justru di sini membuat ulah hingga terjadi luka dalam pada pangeran?" Begawan Sanggabumi berkata dengan nada dingin. "Awal mula bukan ulahku, Begawan. Mereka yang lebih dulu," jawab Jagat dengan sikap sopan. "Dia mencuri kujang mata sembilan, Bopo!" tuduh Jantaka. Begawan menoleh menatap pada putranya dari istri kedua, ada sorot tanya pada sinar kedua mata cokelat pekat. Hal ini membuat Jantaka menghela napas panjang terlebih dahulu baru men
Jagat yang sudah mendapatkan tempat nyaman bagi gerombolan ular pun segera kembali menuju jalan pulang. Pemuda itu ingat akan tugas dari Ki Jemblung yang inginkan kualinya berbentuk seperti semula. Maka, dengan alasan itu dia gegas pulang. Sepanjang perjalanan pulang, terdengar suara yang memekakkan telinga. Desingnya sangat dikenal. "Sudahlah jangan ganggu aku!" Pinta Jagat dengan nada rendah dan menekan. "Cepat cari pria itu, dia bernama Ki Banasraga. Hanya dia yang mampu membuatmu menjadi pendekar pilih tanding." Suara yang sangat dihafal oleh Jagat kembali terdengar. Pemuda itu terus berjalan tanpa memedulikan suara tersebut. Dia sama sekali tidak berminat mengikuti arahan dari pemilik suara. "Jika kamu memang ada, tunjukkan wujudmu!" Pinta Jagat. "Bukankah wujudku sudah ada dalam tubuhmu, Pangeran?""Pangeran, siapa itu yang kau sebut?""Tantu saja kamu, Pangeran."Seketika Jagat menghentikan langkahnya kala suara itu kembali menyebutnya dengan Pangeran. Ingatannya kembali p
Jagat mengikis jarak dan mencari tempat untuk sembunyi. Dia ingin melihat lebih dekat pertempuran itu. Saat posisinya sudah dekat, tiba-tiba ada percikan api yang hampir menyambar lengannya. Namun, sekelebat bayangan hitam mendorong tubuhnya. Jagat termangu sesaat, dia justru merasakan hawa dingin yang menyentuh lengannya. "Hawa apa ini, membuat tubuhku menolak?"Setelah sosok itu menghilang kini ganti sosok tubuh terpental dan jatuh tepat di ujung ibu jari kakinya. Jagat seketika menunduk, kedua bola matanya membeliak tidak percaya akan penglihatannya. "Ini ... Bukankah dia pihak yang terluka tadi?" Jagat berkata sambil mulai bersiap jongkok. Jagat membungkuk, tangannya terulur berniat membalik tubuh pria itu. Namun, belum sampai tangannya menyentuh angin besar menerpa wajahnya. Debu yang beterbangan menyapa wajahnya membuat kelopak mata seketika terpejam. Ketika angin sudah mulai berhembus ringan barulah Jagat membuka kedua kelopaknya. Namun, tubuh pria terluka tadi juga ikut me
Kedua bola mata Jagat membola, dia tidak menyangka ini adalah sebuah kitab kuno. Perlahan dibukanya sampul buku, tetapi tenaganya tidak cukup. Akhirnya buku itu diletakkan pada meja dekat rak 12.Segera Jagat membersihkan keseluruhan ruang baca tersebut. Dengan telaten dan hati-hati, semua buku ditata ulang. Butuh waktu cukup lama agar ruang baca tersebut kembali bisa digunakan lagi. Namun, dengan sabar Jagat melakukan semua sesuai dengan isi hati. Tanpa dia sadari ada dua pasang mata yang mengamati cara kerja pemuda itu. Begawan dan Ki Brewok duduk santai di atas kayu balok yang menyangga atap ruang baca. Keduanya saling melihat dan berbincang dengan menggunakan ilmu kebatinan. "Apa yang selama ini aku curigai terbukti sudah, Rayi Begawan. Lihat saja sendiri!" ucap Ki Brewok. "Rasanya ini tidak mungkin, Kakang. Bukankah ratu dan raja saat itu telah terbunuh? Aneh, ada yang tidak beres," jawab Begawan Sanggabumi. Ki Brewok masih terus menatap semua aktifitas dari Jagat. Lelaki usi