Share

5. Mimpi

Seorang tabib memeriksa tubuh Jagat, Ki Jemblung dengan setia berdiri di tiang ranjang sambil terus melihat anak didiknya. Terlihat wajah cemas yang membayang diwajahnya. "Bagaimana, Tabib?"

Sang tabib menatap sekilas pada Jemblung, lalu kembali fokus pada tubuh Jagat. Jemari tuanya mulai meraba beberapa lebam dan memar pada beberapa titik vital tubuhnya. Gelengan kepala sesekali terlihat membuat Ki Jemblung menjadi gelisah.

"Ada apa dengan tubuh Jagat?" tanya Jemblung makin gelisah.

"Ada keanehan pada struktur tulang pemuda ini, Ki. Apa sebelumnya dia seorang pendekar?" Sang Tabib tidak menjawab pertanyaan koki padepokan, justru dia bertanya padanya.

Jemblung mengerutkan dahi, dia juga tidak paham dengan kondisi tulang Jagat di masa silam. Untuk itu dia menjadi bingung sendiri, sejak kecil pun Jagat tidak terlihat sebagai sosok pria yang kuat.

"Bagaimana, Ki?"

"Seingatku dia tidak pernah menjadi pria yang kuat. Sejak beberapa hari silam pemuda ini selalu disiksa oleh murid yang lain."

Tabib kembali fokus pada tubuh Jagat, kali ini dia mengoleskan beberapa obat herbal yang berasal dari daun-daunan. Setelah semua memar tertutup obat herbal, sang Tabib pun pamit undur diri.

Ki Jemblung mengantar tabib tersebut hingga pintu utama gubug miliknya. Setelah sosok tabib menghilang barulah Ki jemblung masuk kembali ke kamar Jagat. Ditatapnya tubuh pemuda itu dengan penuh tanya. "Sebenarnya apa yang terjadi denganmu, Le?"

Ki Jemblung berjalan mendekati tubuh Jagat lalu dia menyentuh dahi pemuda itu dengan telapak tangannya. Cahaya biru perlahan keluar dari telapak pria gendut itu. "Aku hanya bisa membantu sedikit, semoga segera membuatmu sadar, Le!"

Sinar tersebut membungkus puncak kepala Jagat, tetapi hal itu tidak terlihat dampaknya. Ki Jemblung mendengus lirih. "Suhu tubuhnya begitu tinggi!"

Hari terus berjalan, kondisi Jagat masih sama saat pertama kali ditemukan. Bahkan suhu tubuhnya makin naik. Situasi ini membuat Jemblung khawatir. Akhirnya pria tua nan gendut itu terpaksa memanggil nona padepokannya.

"Paman, oh ... Paman!" Savitri berteriak di depan pagar gubug Jemblung.

Mendengar teriakan Savitri, Jemblung pun bangkit dari duduknya dam berjalan untuk membukakan pintu utama, "Masuklah, Nduk!" titahnya.

Savitri pun melangkah masuk lebih dalam. Tatapannya terkunci pada tubuh kekar yang tergolek lemas di atas balai bambu. "Jagat!" pekiknya.

Lalu badannya berbalik menghadap pada Ki Jemblung, "Apa yang terjadi dengan Jagat, Ki?"

Jemblung terdiam sebentar, dia menatap sesaat wajah putri begawan padepokan lalu mengulum senyum dan berkata lirih, "Aku sendiri pun tidak paham, Nona. Hanya tabib berkata bahwa tulang tubuhnya ada yang berbeda."

"Berbeda ... maksudnya, Paman? Bukankah kita semua tahu jika tulang Jagat tidak mampu untuk menampung segala aktifitas yang tinggi. Apakah mungkin saat ini ada perubahan ke mada depan?" cerca Savitri.

Jemblung mengedikkan bahunya, dia sendiri sejak tadi pun sudah memerhatikan struktur tulang pada Jagat dan hasil masih sama seperti tahun-tahun sebelumnya. Namun, tabib itu berkata beda. Ini yang membuat koki padepokan tersebut memanggil nonanya yang lebih paham dengan ilmu tubuh.

Savitri kembali memerhatikan keseluruhan tubuh Jagat. Dia pun sependapat dengan koki bahwa tubuh pemuda itu tidak mengalami perubahan. Akhirnya wanita muda menyalurkan sedikit sumber daya miliknya pada tubuh Jagat.

"Nah, sudah selesai. Semoga dia segera sadar, Paman. Sudah dua hari masih seperti ini." Savitri bangkit dari duduknya, menepuk pelan pipi Jagat, "Bangun dan segera lekukan tugasmu isi tandon, Teman!"

"Terima kasih untuk waktunya, Nona!"

"Tidak apa, di masa depan mungkin dia akan berguna lagi, Paman. Aku pamit undur diri!"

Savitri melangkah keluar dari kamar Jagat diikuti Jemblung dari belakang. Keduanya terlihat khawatir mengenai keadaan pemuda tersebut. Akhir-akhir ini pangeran dan anteknya selalu mengganggu hidupnya. Namun, mereka berdua tidak ada kuasa.

Sementara di dalam tidurnya, Jagat seakan sedang terdampar di daerah yang sangat asing. Penduduknya saja hampir tidak ada entitas berjenis betina. Semua berwujud binatang, berbagai jenis hewan berkaki empat ada di negeri itu.

Jagat berkelana di sepanjang jalan setapak, tatapannya selalu waspada. Dia tidak ingin terperosok untuk kedua kalinya. Namun, hingga kakinya terasa pegal tidak satu pun entitas yang berkaki dua seperti dirinya. Hingga tatapannya berhenti pada sosok pria tua berjenggot putih.

"Kakek, bolehkah saya bertanya. Ini daerah apa namannya?" tanya Jagat.

"Sedang apa kamu masuki dunia tanpa batas ini, Anak Muda?" Pria berjenggot itu tidak menjawab pertanyaan Jagat, dia justru melempar pertanyaan.

"Aku di sini pun juga tidak paham, untuk alasan apa aku bisa bertemu dengan Anda, Kek."

Pria tua itu yang berwujud harimau putih hanya menatap sendu. Kemudian dia melangkah lebih dekat dengan Jagat, dihirupnya aroma tubuh pemuda yang sedang berdiri mematung. "Aroma bangsawan dan darah suci. Rupanya kamu lah sosok yang dinantikan oleh sebuah kerajaan," tutur pria tua bertubuh separo harimau.

Jagat tidak mengerti dengan semua perkataan pria tua itu. Dia masih mematung melihat keseluruhan wujud pak tua. Dengan mengumpulkan keberanian, Jagat pun bertanya, "Saat ini saya sedang berhadapan dengan siapa?"

"Aku hanya seorang bawahan, untuk saat ini kembalilah ke dalam ragamu. Belum saatnya kamu mati, di dunia kemampuan mu sedang dibutuhkan. Sinar jingga di ujung sana adalah jalanmu dan jika sudah kembali maka carilah pria tua bernama Singolangit. Pemabuk terkenal dengan sebutan Dewa Mabuk!"

Setelah berkata, pria tua itu lenyap tidak tersisa. Hal itu membuat Jagat termangu. Kemudian bagai tersentil, Jagat terhenyak dan tersadar dari lamunanmu. Dia segera melihat arah yang ditunjuk oleh pria tadi.

Jagat dengan cepat melangkah menuju ke sinar jingga yang mulai redup. Langkahnya seakan begitu lama untuk gapai sinar tersebut. "Aneh, makin aku berjalan maju, sinar itu makin meredup. Sepertinya aku harus segera masuki sinar itu!"

Jagat mulai berlari menuju sinar jingga. Dengan segala upaya, pemuda itu berusaha menjangkau sinar. Napasnya sudah terlihat ngos-ngosan saat tubuhnya melompat masuk dalam sinar.

Tubuh lemah yang terbaring di atas balai bambu mulai bergerak perlahan. Ki Jemblung melihat langsung terdiam menunggu gerakan yang lain. Kelopak mata Jagat mulai bergerak, bibirnya pun tampak bergetar.

Samar Ki Jemblung mendengar suara meminta air. Gegas pria gendut itu berdiri dan berjalan menuju ke meja kecil di sudut kamar. Dia menuangkan air ke dalam gelas bambu lalu membawanya pada balai bambu.

"Ini, minumlah!" kata Ki Jemblung menyodorkan gelas bambu pada Jagat yang berhasil membuka kedua kelopak matanya, "Apa yang terjadi denganmu, Jagat?"

Jagat masih bungkam, bahkan untuk menerima gelas bambu pun gerakannya masih terbilang sangat pelan dan berat. Setelah berhasil maka segera ditenggaknya air dalam gelas. "Te-terima ka-kasih, Paman!" ujar Jagat masih susah memulai kata.

Jemblung mengangguk, lalu menerima uluran tangan Jagat yang menyerahkan gelas kosong, "Apa masih kurang?"

"Tidak, Paman. Berapa hari saya tertidur?"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status