Jagat berjalan keluar menuju tempat bumbung yang sudah dia sediakan. Tangannya bergerak cekatan mengikat keduanya pada tali tambang yang terkait pada bilah bambu, kemudian di pikulnya empat bumbung bambu yang beda tingginya.
Sebelum mulai melangkah, Jagat membungkuk berniat melihat rendaman kuali yang hancur siang tadi. "Sudah mulai melunak, bagus juga khasiat daun itu."Setelahnya Jagat mulai melangkah tidak lupa memikul bilah bambu yang di kedua ujungnya sudah terikat empat bumbung sama. Pemuda itu bergerak cepat bolak balik sungai dan tandon hingga berulang kali.Suara gemerisik geraknya rumput sesekali menyapa cupingnya, tetapi tidak dia pedulikan. Menurutnya hanya hewan liar yang mencoba mencari makan tidak menyurutkan langkah yang terus maju hingga terlihat bayangan hitam meluncur cepat menuju ke arahnya.Slash!Kilatan cahaya menyentuh tali pada ujung bilah bambu yang dipikul. Sesaat kemudian berdiri sosok pria bertopeng dengan pedang tipis nan panjang. Di belakangnya masih ada tiga sosok pria yang lain. "Apa pria ini yang dimaksud oleh Guru Tripatra? Pria yang lemah."Ketiga pria yang ada di belakang menilik kondisi Jagat yang masih diam terpaku menatap beberapa bumbungnya yang tercerai berai. "Siapa kalian dan mengapa menggangguku di malam gelap?""Aku hanya penasaran akan sosok pangeran Bumi Seloka yang hilang. Apakah kamu sosok itu?" tanya pria yang membawa pedang."Aku rasa kalian salah alamat, aku hanya seorang yatim piatu yang ditemukan di antara tumpukan jerami basah beberapa tahun silam." Jagat menerangkan siapa dirinya sesuai cerita yang dia dengar dari begawan Pandan Alas."Haha, rupanya hanya anak buangan. Tetapi jika menilik kulit dan tampangnya, dia sedikit berbeda dengan yang lainnya, Anupati!" ujar Sasapati."Kau benar, Sasapati.""Apa yang kita lakukan sekarang, semua ciri yang diberikan guru ada pada pemuda ini. Rasanya aku tidak tega untuk membunuhnya, Anupati," papar Dwipati.Anupati merenung sambil berpikir apa yang pantas diberikan pada pemuda di depannya, lalu suaranya keluar dengan lantang, "Bikin dia cacat saja, bagaimana?"Tanpa berpikir lagi, Anupati segera merangsek melayangkan tendangan ke arah dada Jagat. Mendapat serangan yang mendadak membuat lelaki muda mundur beberapa langkah. Namun, sesuatu terjadi pada tubuhnya. Tubuh itu menolak perintah otaknya.Alhasil tendangan Anupati berhasil mendaratkan pukulan bertubi tepat di dada Jagat, tetapi lelaki muda itu tidak merasakan sesak akibat pukulan. Justru Anupati merasakan kebas pada kelima jarinya."Sialan, rupanya cecunguk ini memiliki ilmu kebal. Sasapati keluarkan cambuk bumi milikmu!" Suara Anupati menggelegar memecah kesunyian malam.Sasapati pun segera mengeluarkan cambuknya. Sambil tersenyum dia memutari tubuh Jagat. Bibirnya bergerak seakan sedang membaca mantra lalu berbisik di ujung cuping Jagat, "Cambuk ini anti ilmu kebal. Apakah kau sanggup?""Aku hanya manusia biasa yang tidak tahu akan masa depan. Coba saja jika Anda masih penasaran!" kata Jagat dengan tenang."Sombong!"Dengan gerak cepat Sasapati mulai melancarkan serangan, cambuknya bergerak liar, suaranya yang menyentuh tanah mampu membuat tubuh sekitarnya ikut bergetar. Jagat merasa ngeri jika cambuk itu diarahkan langsung ke tubuhnya."Haha, kau takut, Cunguk?""Tidak, hanya semesta yang tahu kapan tubuh ini hancur," balas Jagat sambil menatap arah cambuk.Sasapati mulai menyerang dengan beberapa pukulan sebelum melayangkan cambuknya. Jagat yang sedikit banyak sudah pernah berlatih beladiri tingkat awal hanya bisa menghindar dan sesekali menghirup oksigen untuk mengisi rongga yang kosong.Saat terlihat celah memasuki jurus ke delapan cambuk milik Sasapati bergerak cepat dan langsung mengenai punggung Jagat.Ctarr! DashBunyi bertemunya cambuk dan punggung menimbulkan sebuah percikan api kecil. Hal ini membuat Sasapati mundur beberapa langkah. Kedua bola matanya membeliak tidak percaya."Ada apa dengan cambukmu itu, Sasapati?""Tubuh pria ini mengeluarkan sinar yang berbeda. Seperti ada kekuatan lain yang melindungi tubuh lemahnya," jawab Sasapati.Seorang dari mereka masih ada yang belum mencoba keanehan pada tubuh Jagat. Dwipati pun maju, tanpa aba-aba dia langsung menyerang Jagat dengan pedang tipis miliknya.Pedang itu mengeluarkan cahaya kemerahan saat menyentuh kulot luar Jagat. Dengan napas terenggah Jagat masih mampu meladeni serangan Dwipati beberapa jurus. Memasuki jurus yang ke sepuluh kekuatan Jagat mulai melemah.Sejatinya Jagat tidak pernah langsung berguru untuk ilmu kanuragan, dia hanya mempelajari secara sembunyi sehingga gerakannya terlihat kaku dan mudah ditebak. Jual beli jurus pun menjadi tidak imbang.Dwipati memanfaatkan melemahnya tubuh Jagat. Dengan gerak bertubi pedangnya menyabet beberapa tempat pada tubuh Jagat."Haha, akhirnya kekuatanmu cukup sampai di sini, Anak Muda!" Dwipati berkata sambil mengangkat pedangnya dan menghunuskan pada perut Jagat.JlebPedang Dwipati berhasil menusuk sasaran, terapi tidak pada perut Jagat. Pedang itu menancap pada bahu kanan Jagat. Darah mengucur perlahan dari luka tusuk membuat pemilik tubuh menoleh sesaat lalu mengulum senyum."Apakah hanya segini kemampuan kalian memghadapi cecunguk ini, Tuan Pendekar?"Tiba-tiba, dari arah belakang Dwipati ada pergerakan yang penuh dengan kekuatan besar dengan sumber daya berlebih. Si bungsu Pati tidak terima melihat semua kakaknya dihina, dia melancarkan pukulan yang dilambari dengan ilmu pemecah raga.BlamSuara dentuman yang memekakkan telinga terdengar sangat mengerikan. Tubuh Jagat terlempar beberapa langkah ke belakang dengan dada mengepul mengeluarkan asap putih. Anupati berjalan menuju ke tubuh Jagat dan menendang tubuh yang tergolek tidak berdaya."Tubuh ini sudah tamat!""Sebaiknya segera kita tinggalkan tubuh tidak berharga ini!" ucap Sasapati.Tanpa menjawab, ketiga pemuda bertopeng itu pun melesat meninggalkan lokasi dan Sasapati yang masih berdiri membolak balik tubuh Jagat. Dia hanya memastikan keadaan tubuh itu.Setelah kepergian keempat pendekar pati itu tiba-tiba, sinar biru keluar daro tubuh Jagat. Sinar itu membentuk kujang berlubang sembilan. Kujang itu memutar dengan suara berdesing memekakkan telinga.Hingga beberapa saat tubuh Jagat masih tergolek lemah. Kemudian tubuh itu terangkat melayang dan jatuh tepat di belakang dapur umum. "Suara apa itu?" tanya Ki Jemblung lirih."Ada apa, Ki?" Seorang kok muda datang menghampiri sang pimpinan koki."Di luar seperti ada suara benda berat jatuh. Satu lagi hingga larut malam tidak terdengar langkah Jagat membawa balik air dalam bumbung. Ada apa ini?""Apa perlu saya periksa keadaan di luar, Ki?"Ki jemblung yang masih sibuk mengaduk rebusan daging babi hutan pun memilih mengangguk sebagai ijin untuk juniornya. Sang koki muda itu segera berbalik badan dan berjalan keluar melihat apa yang terjadi di belakang dapur.Suasana gelap susah buat sang koki untuk melihat sekitar, akhirnya dia mengambil oncor yang terbuat dari bilah bambu. Cahaya api menyinari daerah sekitar tandon. Kedua bola matanya membeliak tidak percaya, dengan lantang bibirnya berkata, "Aki Jemblung, lihatlah!"Seorang tabib memeriksa tubuh Jagat, Ki Jemblung dengan setia berdiri di tiang ranjang sambil terus melihat anak didiknya. Terlihat wajah cemas yang membayang diwajahnya. "Bagaimana, Tabib?"Sang tabib menatap sekilas pada Jemblung, lalu kembali fokus pada tubuh Jagat. Jemari tuanya mulai meraba beberapa lebam dan memar pada beberapa titik vital tubuhnya. Gelengan kepala sesekali terlihat membuat Ki Jemblung menjadi gelisah. "Ada apa dengan tubuh Jagat?" tanya Jemblung makin gelisah."Ada keanehan pada struktur tulang pemuda ini, Ki. Apa sebelumnya dia seorang pendekar?" Sang Tabib tidak menjawab pertanyaan koki padepokan, justru dia bertanya padanya. Jemblung mengerutkan dahi, dia juga tidak paham dengan kondisi tulang Jagat di masa silam. Untuk itu dia menjadi bingung sendiri, sejak kecil pun Jagat tidak terlihat sebagai sosok pria yang kuat. "Bagaimana, Ki?""Seingatku dia tidak pernah menjadi pria yang kuat. Sejak beberapa hari silam pemuda ini selalu disiksa oleh murid yang la
Jemblung meninggalkan Jagat dalam keadaan terdiam. Pemuda itu masih tidak percaya dengan keadaannya yang masih bisa selamat terjatuh dari jurang setinggi itu. Kembali dalam ingatannya sebuah kujang bermata sembilan mengelilingi tubuhnya yang sempat terbujur kaku. "Apa yang sedang kamu pikirkan, Pria Muda?" Terdengar suara pria tua yang khas. "Siapa kamu, menilik suara yang kudengar rasanya aku pernah tahu pemilik ini?""Kita pernah bertemu di alam mimpi. Apakah semudah itu kamu lupa?"Jagat mencari sosok yang sedang berbicara, tetapi tidak terlihat bayangan sedikit pun. Helaan napas kasar dia keluarkan dan sungguh sesak di dada. Jagat masih duduk di tepian balai tempat dia biasa merebahkan diri. Tatapannya masih menyapu sekelilingnya untuk mencari pemilik suara tersebut. "Sampai akhir jaman kau tidak akan bisa temukan wujudku." Jagat terdiam, ingatannya mulai berputar mencari secercah peristiwa yang mungkin ada di memorynya. Iya, ingatannya berputar menampilkan sebuah aktifitas p
Jagat seketika melihat pada pusat tubuhnya dan kedua bola matanya membola dengan mulut terbuka. Dia tidak menyangka jika sinar itu bisa keluar dan dilihatnya lagi setelah beberapa hari tidak muncul. "Aku sendiri juga tidak tahu, Ki. Hanya saja saat aku terjatuh ke kedalaman jurang kemarin keadaanku segera pulih meskipun ada kujang bermata sembilan memasuki aku.""Apa yang kamu katakan, Jagat, kujang bermata sembilan? Kau tidak bohong, 'Kan?" Jagat menggeleng lemah, selama ini dia selalu berkata jujur. Jadi jika ada yang meragukan kejujurannya hatinya bagai dicubit kecil, perihnya tidak terkira. "Bukan maksud paman tidak percaya dengan apa yang kamu ungkap. Hanya saja, kujang itu sudah hilang dari kancah dunia persilatan. Bahkan benyak sekali pendekar pilih tanding berlomba untuk dapatkan kujang itu."Jagat meraup wajahnya kasar, dia terlihat begitu ragu dan tidak mengerti dengan maksud kalimat dari Ki Jemblung. Sementara sinar yang berada di pusat tubuhnya perlahan mulai pudar. Se
Jagat masih melangkah mengikuti suara perempuan yang sedang merintih kesakitan. Jantungnya pun ikut berdebar saat suara itu mulai terdengar dekat. Gegas langkahnya dipercepat untuk sampai, saat jarak sudah dekat pandangan menyebar. "Itu ...!""Jagat, akhirnya!""Apa yang terjadi denganmu, Savitri?""Semalaman aku terjebak di sini, aku juga tidak tahu sejak kapan jebakan ini ada," dengus Savitri. Jagat terdiam, tangannya dengan terampil mengurai tali yang melilit pada pergelangan kakinya. Jebakan itu masih untung tidak mengangkatnya ke atas hanya tergolek di tanah. "Sudah selesai. Bagaimana, apakah kamu bisa berjalan?"Savitri mencoba menggerakkan tungkainya perlahan, diputarnya pergelangan kaki lalu dinaik turunkan sesaat. Setelah merasa sedikit lebih baik, perempuan itu mencoba berdiri. Namun, belum sempat tubuhnya berdiri sempurna tiba-tiba otot sendi pada lutut terasa nyeri. "Aough!" Pekik Savitri saat dia terjatuh lagi. "Boleh ke depannya aku bantu?"Tanpa bersuara Savitri lang
Beberapa murid segera menyeret tubuh Jagat dan dilempar begitu saja di hadapan Abimana dan Jantaka. Jagat tersungkur. Namun, bibirnya mengulas senyum sinis membuat Abimana makin naik darah. "Terlentangkan tubuhnya dan ikat kedua kaki juga tangannya!" Suara Abimana memecah kericuhan para murid. Kurubumi melempar tali dadung pada beberapa murid seangkatannya. Bersama mereka, Kurubumi mulai mengikat sesuai arahan dari Jantaka. "Apa yang kalian inginkan atas tubuh lemah ini?" tanya Jagat dengan suara rendah. Abimana berjalan mendekat dan jongkok tepat di depan perut Jagat. Ujung jari tulunjuk mengarah pada pusat tubuh Jagat dan mulai menekan perlahan. Sinar putih kebiruan tidak mau padam justru makin bersinar menyilaukan mata. Abimana memicingkan kedua mata tetapi jari jemarinya masih bergerak di sekitar pusat tubuh Jagat. Bibirnya bergerak ringan seperti membaca mantra. Tiba-tiba, hawa hangat menyebar ke seluruh tubuh Jagat terutama pada bagian perutnya. "Apa yang kamu lakukan pada
Ketika pukulan dan kujang bertemu saat itu juga terdengar suara letusan yang begitu memekakkan telinga. Tubuh Abimana terlempar hingga beberapa depa ke belakang, sedangkan tubuh Jagat hanya tergolek lemas mundur satu depa. Semua terpana melihat keadaan Jagat yang hanya duduk diam sambil menatap satu per satu murid padepokan. Hanya mata yang bergerak, bibir masih tetap bungkam. Dari jauh terlihat sang begawan berjalan mendekat dan berhenti tepat di depan Jagat. "Apa yang terjadi, bukankah tadi aku suruh kau untuk lenjutkan pekerjaanmu. Mengapa justru di sini membuat ulah hingga terjadi luka dalam pada pangeran?" Begawan Sanggabumi berkata dengan nada dingin. "Awal mula bukan ulahku, Begawan. Mereka yang lebih dulu," jawab Jagat dengan sikap sopan. "Dia mencuri kujang mata sembilan, Bopo!" tuduh Jantaka. Begawan menoleh menatap pada putranya dari istri kedua, ada sorot tanya pada sinar kedua mata cokelat pekat. Hal ini membuat Jantaka menghela napas panjang terlebih dahulu baru men
Jagat yang sudah mendapatkan tempat nyaman bagi gerombolan ular pun segera kembali menuju jalan pulang. Pemuda itu ingat akan tugas dari Ki Jemblung yang inginkan kualinya berbentuk seperti semula. Maka, dengan alasan itu dia gegas pulang. Sepanjang perjalanan pulang, terdengar suara yang memekakkan telinga. Desingnya sangat dikenal. "Sudahlah jangan ganggu aku!" Pinta Jagat dengan nada rendah dan menekan. "Cepat cari pria itu, dia bernama Ki Banasraga. Hanya dia yang mampu membuatmu menjadi pendekar pilih tanding." Suara yang sangat dihafal oleh Jagat kembali terdengar. Pemuda itu terus berjalan tanpa memedulikan suara tersebut. Dia sama sekali tidak berminat mengikuti arahan dari pemilik suara. "Jika kamu memang ada, tunjukkan wujudmu!" Pinta Jagat. "Bukankah wujudku sudah ada dalam tubuhmu, Pangeran?""Pangeran, siapa itu yang kau sebut?""Tantu saja kamu, Pangeran."Seketika Jagat menghentikan langkahnya kala suara itu kembali menyebutnya dengan Pangeran. Ingatannya kembali p
Jagat mengikis jarak dan mencari tempat untuk sembunyi. Dia ingin melihat lebih dekat pertempuran itu. Saat posisinya sudah dekat, tiba-tiba ada percikan api yang hampir menyambar lengannya. Namun, sekelebat bayangan hitam mendorong tubuhnya. Jagat termangu sesaat, dia justru merasakan hawa dingin yang menyentuh lengannya. "Hawa apa ini, membuat tubuhku menolak?"Setelah sosok itu menghilang kini ganti sosok tubuh terpental dan jatuh tepat di ujung ibu jari kakinya. Jagat seketika menunduk, kedua bola matanya membeliak tidak percaya akan penglihatannya. "Ini ... Bukankah dia pihak yang terluka tadi?" Jagat berkata sambil mulai bersiap jongkok. Jagat membungkuk, tangannya terulur berniat membalik tubuh pria itu. Namun, belum sampai tangannya menyentuh angin besar menerpa wajahnya. Debu yang beterbangan menyapa wajahnya membuat kelopak mata seketika terpejam. Ketika angin sudah mulai berhembus ringan barulah Jagat membuka kedua kelopaknya. Namun, tubuh pria terluka tadi juga ikut me