Share

BAB 2 : Sikap Yang Berubah

Seperti saran Dafa, mau tak mau Ellina malah masuk lagi ke dalam rumah menemui kedua orang tuanya. Padahal ini rasanya lagi kesal akut, malah diajak balik. Dari sini bisa ia lihat sikap baik Dafa yang belum ia ketahui.

“Jadi?” tanya Marion menatap fokus pada Dafa.

Ya, entah kenapa feelingnya tak baik saja pada anak muda ini. Bukan berpikiran buruk, tapi perasaan sebagai seorang ayah yang begitu menjaga putrinya. Ellina beranggapan dengan perjodohan membawa dia pada sebuah hubungan yang tak diinginkan, tapi menurutnya justru hal seperti itulah yang seharusnya dia lakukan.

“Maaf Om jika saya lancang bertanya. Kalau boleh tahu, kenapa Om ingin menjodohkan Ellina dengan laki-laki itu. Maaf, maksudnya … apa kelebihan dia hingga membuat Om dan Tante begitu yakin,” tanya Dafa membuka pertanyaan.

Kesal nggak sih. Sudah berusah payah mendapatkan gadis seperti Ellina yang bahkan masuk level gadis populer di kampus, tapi malah orang tua dia yang menolak dengan keras. Banyak yang mengejarnya, tapi ketika mendapatkan Ellina, malah ditolak seperti tak ada harga dirinya.

“Sudah Om katakan, kan, tadi. Keluarga kami sangat dekat, bahkan mengenal dari dulu. Orang tua dia adalah sahabat kami, itu artinya dari orang tua dia, kami bisa melihat seperti apa putra mereka.”

“Hanya itu?”

“Kami menginginkan seseorang yang bersikap dewasa sebagai pendamping Ellina.”

“Dewasa dari usia kah, Om? Karena kalau dari sikap, saya juga punya itu.”

“Tentu saja keduanya. Sikap, sifat, kepribadian, bibit, bebet, bobot dan semuanya harus jelas. Ellina itu tak sedewasa yang kamu pikirkan, Dafa. Karena itu, dia harus memiliki pendamping yang benar-benar sabar.”

Ellina mendengkus saat dirinya justru seolah dipandang layaknya anak manja oleh papanya. “Aku anak Papa loh, jangan menjelekkan anak sendiri.”

“Anak Papa, tentu akan menurut dengan apa yang Papa katakan!”

“Tapi aku punya semua yang Om butuhkan,” balas Dafa yakin. “Orang tua ku jelas, keluargaku terpandang, harta juga tentu saja pasti. Itu semua nggak akan membuat Ellina menderita jika denganku. Di kampus, aku merupakan ketua basket, itu pertanda akademik ku juga bagus. Jadi, Om butuh apalagi?”

Marion malah terkekeh mendengar semua penjelasan Dafa. Bukan meledek, tapi kali ini justru terdengar lucu baginya. Tadi sikap Dafa sedikit membuatnya berpikir jika dia memang dewasa. Tapi ketika semua itu dia jelaskan, malah respect nya semakin lenyap. Dewasa nya dia, tak seperti apa yang ia inginkan, apalagi menjadi seseorang yang bisa mengayomi Ellina jadi lebih baik.

“Om tanya sama kamu. Apa uang kuliahmu dari orang tuamu?”

“Tentu saja, Om. Kan pendidikan seorang anak adalah tanggung jawab orang tua. Jelas semua ditanggung orang tuaku.”

“Jadi, makasudmu jika Ellina sama kamu, tanggung jawab dia bagaimana? Nggak mungkin dong orang tua kamu yang nanggung?”

“Keluarga kamu punya harta, jabatan, kekayaan. Iya, itu milik keluarga atau orang tuamu, Nak. Nggak bisa kamu katakan itu milikmu, kecuali jika memang semua itu hasil kerja kerasmu sendiri,” tambah Nadya.

Marion menghela napasnya panjang. Dari sini bisa ia simpulkan bahwa Dafa masih satu pemikiran dengan Ellina. Masih berkutat dengan harta orang tua, tapi pemikiran seolah-olah sudah dewasa.

“Kami nggak terlalu mempermasalahkan seperti apa keluarga calon suaminya Ellina atau apapun jabatan dia. Yang kami butuhkan adalah sikap dia yang dewasa. Jika memiliki harta atau tahta, anggap saja itu jadi bonus.”

“Dan dia?” tanya Dafa penasaran.

“Dia anak tunggal, kamu pun juga. Hanya saja kamu masih anak kuliahan sedangkan dia sudah lebih dewasa. Bukan hidup dari harta orang tua lagi, bukan memikirkan hal-hal yang tak penting lagi. Bukan memikirkan besok mau jalan kemana, main kemana, liburan kemana, besok ujian apa. Dia tipe yang hanya memikirkan hal yang terpenting, bukan lagi main-main.”

Ellina tiba-tiba meringis ketika tangannya yang masih berada dalam pegangan Dafa, tiba-tiba malah dia cengkeram.

“Om benar-benar ingin mencarikan jodoh untuk Ellina atau calon suami?”

“Keduanya,” jawab Marion pasti.

“Ellina masih muda, Om. Apakah tidak terlalu cepat jika dia …”

“20 tahun bukan anak kecil lagi dari segi usia. Dia sudah berada di usia yang layak untuk sebuah pernikahan,” sanggah Nadya. “Makanya kami memilih pendamping yang justru lebih dewasa dari dia. Kami sebagai orang tua Ellina, mencari seorang menantu. Bukan lagi sebuah hubungan yang dinamakan pacaran.”

Nadya kembali mengegaskan agar Dafa paham jika yang sedang ia dan suaminya bahas adalah seorang sosok yang akan menikahi putrinya, bukan lagi hubungan pacaran.

“Papa sama Mama mau jodohin aku sama siapa, sih?” Ellina sampai dibuat ikut berpikir mendengar semua kata-kata papanya. “Sama Om-om mesum, ya?”

“Apa yang kamu pikirkan, Ellina. Nggak mungkinlah kami lakukan hal semacam itu. Kamu anak kami satu-satunya, yang di mana jodoh terbaik lah yang akan kami sodorkan.”

Dafa tersenyum sinis, seolah dengan sengaja meledek penjelasan Marion tentang sebuah pernikahan dan laki-laki yang seolah jadi tokoh utama dalam pembicaraan ini.

“Dia punya perusahaan dan dia juga dosen,” tambah Marion. “Yakin kamu nggak kenal dia, El?” Melirik ke arah Ellina.

Sebenarnya otak Ellina sudah sedikit menjurus pada seseorang, hanya saja berusaha menepis pemikiran itu. Namun semua penjelasan, ciri-ciri yang dikatakan dan dibahas oleh kedua orang tuanya makin terarah pada dia. Yang benar saja kalau iya, auto semaput dah otaknya.

“Terserah! Mau kenal ataupun enggak, tetap saja aku nggak akan mau. Aku maunya sama Dafa.”

Marion tak menjawab perkataan putrinya itu. Mengambil satu lembar lertas yang disodorkan oleh Nadya dan meletakkan di meja, lengkap dengan satu pulpen di atasnya.

“Kalau benar kamu mau tetap bersama Dafa, silakan tanda tangan surat ini.”

Dafa dan Ellina saling pandang, seperti sama-sama bingung dengan apa yang sedang dilakukan oleh pasangan suami istri ini.

“Ini apa?” tanya Ellina pada papanya, tertuju pada kertas di meja.

“Kan kamu mau memilih bersama Dafa, jadi sebagai orang tua kami tentu nggak bisa memaksakan kehendak lagi. Silakan tanda tangan surat ini, pertanda jika mulai detik ini kamu bukan lagi anak kami. Kamu bukan lagi pewaris keluarga Rumano!” tegas Marion.

Berasa diterjang oleh badai dan tsunami secara bersamaan. Membuat dirinya terseret arus dan dihantam ombak besar.

“Papa beneran mau ngusir aku?”  Air matanya mulai menetes, karena berpikir jika semua ancaman itu hanya candaan, tapi ternyata benar-benar dilakukan padanya.

“Harusnya kamu tahu kapan kami bercanda dan kapan kami berada dalam posisi serius. Kehidupan kamu, pasangan yang cocok untuk kamu … itu serius kami pikirkan dan pilihkan. Tapi apa? Kamu menolak, kan. Jadi silakan, tanda tangan saja jika kamu memang mau bebas dari Papa dan Mama.”

Bukan hanya Ellina, tapi Dafa juga dibuat berpikir keras dengan semua ini. Ia masih terlalu muda untuk memikul beban yang bahkan bebannya sendiri masih ditanggung oleh orang tuanya. Jika Ellina terdepak dari keluarga ini, apa untungnya ia bersama dia.

“Terkadang cinta bisa membuat apa yang benar justru terlihat salah. Kamu bilang mencintai Dafa, kan … jadi anggap saja saat ini justru Papa dan Mama yang salah karena memaksamu tentang perjodohan!”

Marion beranjak dari posisi duduknya. Berjalan dan berlalu pergi dari sana. Dadanya terasa sesak jika harus menghadapi Ellina yang merupakan putri semata wayangnya. Tapi jika tak begini, sepertinya dia hanya akan terus menganggap dirinya bercanda.

Nadya menghela napasnya panjang. Sebenarnya sebagai seorang Ibu, ia merasa salah melakukan ini. Hanya saja tak semua bisa dibenarkan karena rasa cinta dalam sebuah hubungan pacaran tak berkejelasan.

“Pilihan ada di tanganmu, Nak. Kamu memilih Dafa, kan … jadi silakan tanda tangan. Setelah itu, semua kehidupanmu bukan tanggung jawab kami lagi. Pun dengan status anak dari keluarga Rumano.”

Ikut berlalu pergi meninggalkan Ellina yang masih diam mematung menatap satu lembar kertas di depan matanya. Iya, hanya satu tanda tangan sudah membuat dirinya terbuang. Rasanya sesak sekali, bahkan tak pernah terpikirkan jika pilihan berat diberikan padanya.

Dafa berdecak dengan nada kesal. “Orang tua yang benar-benar tak punya hati nurani. Dikira anak kucing yang main buang saja!” emosi Dafa.

Seketika pandangan Ellina langsung terarah pada Dafa yang berada di sampingnya, ketika kalimat itu dia ucapkan. “Maksud kamu apa mengatakan orang tuaku begitu?”

Dafa tersenyum sinis menanggapi pertanyaan Ellina.

“Mana ada orang tua yang dengan begitu gampangnya membuang anak hanya karena menolak sebuah aturan dan ketetapan. Aku bahkan berulang kali melanggar aturan yang diberikan padaku, tapi orang tua ku fine-fine saja tuh.”

“Kamu cowok, Dafa. Tentu saja pengawasan dan aturan berbeda dengan cewek.”

“Kenapa kamu malah belain orang tuamu?”

“Aku bukan membela, tapi ...”

“Udah!” bentak Dafa. “Aku tahu jika aku tak ada apa-apanya dibandingkan dia yang di maksud oleh orang tuamu.  Dia dosen, punya perusahaan, dedangkan aku hanya anak kuliahan yang suka hura-hura. Tapi, haruskah sekarang kamu juga ikut merendahkanku?!”

Tadi fokusnya hanya pada sikap orang tuanya, tapi kenapa tiba-tiba sikap Dafa yang justru membuatnya malah kaget. Iya, bahkan dia tak pernah tuh mengeluarkan bentakan, tapi ini malah membentaknya yang masih berdiri di dalam rumahnya.

Ellina menatap tajam pada Dafa yang berdiri dihadapannya.

“Katakan, mana kata-kataku yang merendahkanmu?” tanyanya.

“Intinya tetap ke arah situ, kan.”

“Kenapa kamu jadi seweot, sih? Kamu nggak terima dengan semua perkataan orang tuaku? Kalau kamu tak seburuk itu, kenapa juga harus tersinggung. Jangan-jangan feeling papaku ada benarnya. Pemikiranmu jauh dari kata dewasa!”

Merasa direndahkan Dafa yang tersulut emosi, langsung melayangkan sebuah tamparan ke arah pipi Ellina.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status