Turun dari mobil dengan raut bahagia. Ya, hari ini tak seperti hari biasanya yang pulang kuliah memasang muka cemberut dan sembrawut. Karena sekarang ia tak sendirian, ada seseorang yang pulang bersamanya.
“Kamu yakin akan baik-baik saja?”
“Ya, memangnya kenapa?” tanya Ellina pada Dafa yang berjalan di sampingnya, ketika keduanya melangkah lanjut masuk ke dalam rumah dengan pintu utama yang tampak terbuka lebar.
Dafa merupakan kekasih dari Ellina. Keduanya kuliah di kampus yang sama, hanya saja berbeda jurusan.
Sampai di dalam, Ellina mengajak Dafa masuk dan menuju ke sebuah ruangan yang menjadi tempat favorite keluarganya untuk mengobrol atau menonton TV.
“Loh, Papa di rumah?” Padahal Ellina hendak menyapa mamanya yang tampak duduk di sofa, tapi ternyata papanya juga ada di sana.
Tak menjawab pertanyaan Ellina, pasangan paruh baya itu justru memasang raut tak mengenakkan tertuju pada Dafa yang pulang bersama Ellina.
“Dia siapa, El?” tanya Nadya pada putrinya.
“Tumben pulang sama teman laki-laki, biasanya kamu pulang sama Cindy atau Alika. Palingan ya Arga kalau cowok,” sambung Marion pada perkataan istrinya. Bahkan ia menutup majalah yang saat itu ia baca, karena saking penasarannya.
Kalau Ellina pulang atau kemana-mana dengan Arga mungkin juga tak masalah, karena dia adalah sepupu dari Ellina. Tapi ini orang lain, tentu saja keduanya sedikit mencurigai.
Ellina tak langsung menjawab, justru malah mengedarkan pandangannya pada Dafa yang berdiri di sampingnya. Terlihat sekali jika dia gugup, bahkan dirinya pun juga sama sebenarnya.
Dafa akhirnya mengumbar senyum. Menghampiri Nadya dan Marion, kemudian lanjut menjabat tangan keduanya.
“Salam kenal Om, Tante. Aku Dafa,” ujarnya memperkenalkan diri dengan ramah.
“Teman satu kampusnya Ellina, ya?” tanya Nadya tersenyum, mencoba untuk tetap bersikap ramah.
“Kita pacaran, Tante,” jawab Dafa langsung.
Tadinya Nadya dan Marion masih menunjukkan sikap baik layaknya pada teman Ellina yang lain, tapi ketika mendengar pengakuan Dafa langsung membuat keduanya kaget.
“Maksud kamu apa?” tanya Marion menuntut penjelasan.
“I-iya, Pa, Ma. Aku sama Dafa pacaran. Kita …
Perkataan Ellina seketika terhenti ketika sebuah lemparan buku di meja membuatnya kaget. Iya, itu pertanda ada emosi ketika benda itu menghantam meja.
“Papa marah?” tanya Ellina.
“Kenapa kamu harus bertanya lagi, Ellina! Sudah pernah Papa katakan, kan … jika kamu nggak boleh berhubungan dengan laki-laki lain apalagi sampai pacaran. Kamu pura-pura lupa atau justru dengan sengaja membuat kami marah?!”
“Dan Papa juga harusnya ingat dengan perkataan waktu itu. Aku boleh pacaran jika sudah lulus SMA. Sekarang aku udah kuliah, Pa. Apa Papa masih tetap melarang?”
“Masalahnya bukan itu lagi, Nak,” ujar Nadya ikut ambil suara.
“Apalagi sih, Ma?”
“Papa sama Mama sudah pernah menjelaskaan, kan … bahkan ketika kamu masih duduk di kursi SMA. Jangan berhubungan dekat dengan seorag laki-laki apalagi sampai pacaran karena kamu sudah kami jodohkan”
“Ya ampun, jodoh lagi. Bisa nggak, sih, Pa, Ma. Menggunakan logika anak zaman sekarang. Ini bukan lagi zaman Papa dan Mama dulu, di mana masih ada perjodohan tanpa adanya cinta.”
“Memangnya kenapa, jika justru dengan sebuah perjodohan hidup kamu lebih terjaga.”
“Terjaga dari apa? Itu justru bikin aku seolah terus dalam aturan dan bayang-bayang Papa sama Mama,” bantahnya tetap bersikukuh. Kemudian tersenyum dengan semua itu. “Jangan bercanda terlalu kelewatan tentang seseorang yang akan jadi pendampingku. Mau mendapatkan dari mana seseorang yang terbaik, jika bukan aku sendiri yang menemukannya.”
“Karena pada kenyataannya kami sudah menentukan dan menemukan laki-laki yang akan mendampingimu,” jelas Nadya menjelaskan secara langsung. “Kami sudah menjodohkan kamu dengan seseorang yang jelas-jelas kami kenal.”
“Hah?”
“Dan sekarang kamu malah pulang dengan seseorang yang …” Marion menghentikan kata-katanya.
Beranjak dari posisi duduknya dan berdiri tak jauh dari Dafa. Memasang raut setenang mungkin agar perkataan dan sikapnya tak terlihat begitu emosi. Menatap Dafa dengan serius.
“Maaf, Dafa. Om tahu jika kalian menjalin hubungan khusus. Tapi masalahnya adalah … Ellina sudah kami jodohkan dengan seseorang. Bahkan hal ini sudah kami rencanakan sedari dia kecil. Jadi, sepertinya hubungan kalian cukup sampai di sini saja dan jangan berpikir untuk lanjut,” terang Marion secara langsung.
“Papa nggak bisa gitu dong!” kesal Ellina atas sikap papanya yang dengan seenaknya memutuskan hubungannya dengan Dafa. “Aku sama Dafa saling cinta, nggak mungkin lah kita sampai pisah hanya gara-gara orang yang enggak ku kenal.”
“Kamu memang nggak mengenalnya, tapi dia mengenalmu dengan detail!”
“Aku nggak mau!” tolaknya kukuh.
“Kamu membentak Papa yang nyatanya orang tua kamu?!”
“Sikap Papa keterlaluan! Aku tahu jika diilarang pacaran, tapi bukan berarti aku nggak boleh menentukan laki-laki pilihanku sendiri.”
Tangan Dafa mengepal, ia tahu dari awal jika orangtua Ellina tak menginjinkan gadis ini pacaran. Hanya saja, ia juga tak mengira jika dirinya langsung ditolak ketika pertama kali bertemu seperti ini. Rasanya seperti harga dirinya begitu direndahkan.
“Maaf Om, kalau boleh saya tahu … kenapa saya ditolak dan lebih memilih laki-laki lain yang nyatanya belum Ellina kenal? Bukankah sebuah hubungan akan lebih baik jika saling mengenal,” ujar Dafa dengan raut tenang, tapi padahal hatinya sedang menggerutu.
“Belum kenal?” tanya Marion. “Maaf, Dafa. Kamu salah mengira … justru kedua keluarga kami sudah saling mengenal lama, makanya sebagai orang tua kami yakin memilih dia sebagai pendamping Ellina.”
Ellina makin menjadi-jadi kekesalannya. “Terserah! Aku nggak perduli mau dia kenal atau enggak, yang jelas aku nggak mau pisah sama Dafa. Aku cinta sama Dafa, kenapa malah Papa sama Mama paksa aku sama laki-laki lain! Hargai perasaanku juga dong, Pa!”
“Pilih tetap sama Dafa atau tetap menjadi anak Papa dan Mama?” tanya marion langsung memberikan dua pilihan.
Sontak dong pilihan itu membuat Ellina stress. Bagaimana mungkin ia melepaskan dirinya dari keluarga sendiri, tapi ia juga tak ingin pisah dari Dafa. Dafa yang beberapa bulan terakhir bersamanya, bahkan satu kampus pun tahu bagaimana hubungan keduanya. Sekarang dengan gampangnya dipaksa putus. Rasanya benar-benar terasa tak mungkin.
“Pilih, Ellina!” bentak Marion dengan tegas. “Kamu bilang kamu yang menentukan pilihanmu sendiri. Sekarang tinggal kamu pilih, orang tuamu atau dia!” tunjuk Marion pada Dafa.
Tadi masih memasang rasa sopan karena tak enak jika Dafa merasa direndahkan. Tapi sekarang kebaikannya justru makin dibuat candaan oleh putrinya sendiri.
“Ma …”
“Mama tahu jika itu pilihan yang sulit. Hanya saja itu resiko kamu sebagai seorang anak yang baik. Karena orang tua yang benar-benar sayang pada anaknya, nggak akan mungkin menjerumuskan anaknya sendiri pada sebuah hal yang buruk, kan,” tambah Nadya makin membuat Ellina tersudut.
Berada di usia 20 tahun, mungkin bagi sebagian orang angka itu sudah memasuki level dewasa. Hanya saja Ellina bukanlah sejenis gadis seperti itu. Makanya Marion dan Nadya begitu khawatir jika anak mereka satu-satunya jatuh pada laki-laki yang salah.
Ellina menyambar tangan Dafa. “Aku nggak mau ngikutin saran Mama dan Papa. Iya, aku tahu kalian sayang padaku, tapi bukan berarti mengatur dengan siapa aku berhubungan.”
Setelah mengatakan hal itu, Ellina langsung memaksa Dafa pergi dari sana. Rasanya seperti menghadapi ujian terberat dalam hidupnya, karena baru kali ini ia melanggar aturan orang tuanya sendiri.
“Ellina! Kamu mau kemana?!”
Teriakan Marion tak dihiraukan oleh Ellina. Dia tetap berlalu dari sana dan keluar dari rumah dengan Dafa yang ia bawa pergi. Sampai di teras, Dafa menghentikan langkah. Membuat langkah Ellina juga terhenti.
“Ayo, Dafa. Kita pergi dari sini.”
“El, kamu nggak boleh begitu.”
“Kenapa? Bukankah kamu harusnya senang, ketika aku memilih kamu.”
“Iya, aku senang. Tapi bukan dengan cara nggak sopan begini. Kalau begini, sama saja dengan aku mengajak kamu jadi seorang anak yang nggak berbakti.”
“Lalu menurutmu aku harus melakukan apa yang papa suruh. Begitukah?”
“Kan kita belum tahu alasan papa kamu menolakku. Lagian, beliau juga belum mengenalku dengan dekat. Siapa tahu jika kami lebih dekat, semua bisa berubah,” terangnya pada Ellina yang sepertinya berada dalam rasa kesal akut.
Ellina memutar bola matanya jengah dengan perkataan Dafa. Iya, karena cowok ini nggak tahu dan nggak mengenal seperti apa watak papanya. Kalau sudah bilang tidak, itu artinya tak bisa diganggu gugat. Jangan berharap ada negosiasi.
“Jadi sekarang kita gimana? Mau beneran putus?!”
“Aku mau bicara sama papa kamu, siapa tahu jika bicara dengan tenang akan merubah keputusan beliau.”
Seperti saran Dafa, mau tak mau Ellina malah masuk lagi ke dalam rumah menemui kedua orang tuanya. Padahal ini rasanya lagi kesal akut, malah diajak balik. Dari sini bisa ia lihat sikap baik Dafa yang belum ia ketahui.“Jadi?” tanya Marion menatap fokus pada Dafa.Ya, entah kenapa feelingnya tak baik saja pada anak muda ini. Bukan berpikiran buruk, tapi perasaan sebagai seorang ayah yang begitu menjaga putrinya. Ellina beranggapan dengan perjodohan membawa dia pada sebuah hubungan yang tak diinginkan, tapi menurutnya justru hal seperti itulah yang seharusnya dia lakukan.“Maaf Om jika saya lancang bertanya. Kalau boleh tahu, kenapa Om ingin menjodohkan Ellina dengan laki-laki itu. Maaf, maksudnya … apa kelebihan dia hingga membuat Om dan Tante begitu yakin,” tanya Dafa membuka pertanyaan.Kesal nggak sih. Sudah berusah payah mendapatkan gadis seperti Ellina yang bahkan masuk level gadis populer di kampus, tapi malah orang tua dia yang menolak dengan keras. Banyak yang mengejarnya, tap
Berpikir jika tamparan itu akan berakhir di pipinya, tapi ternyata tidak. Seseorang tiba-tiba muncul dan menahan serangan Dafa pada Ellina, bahkan dengan sengaja memberikan sebuah pukulan tepat mengenai rahang Dafa.“Cowok bajingan!”“Udah, Ga.” Ellina menahan Arga yang hendak kembali menghajar Dafa. “Aku nggak kenap-kenapa.”Di saat bersamaan, Dafa memilih untuk segera pergi dari sana. Ia muak dengan semua keluarga ini. Orang tua Ellina, Ellina dan sekarang Arga.Seperginya Dafa, Arga melempar tas nya di sofa. Menatap Ellian dengan raut kesal. Iya, rasanya benar-benar kesal karena gadis yang ada dihadapannya ini keras kepala.“Udah ku peringatkan padamu kan, El … tapi ternyata kamu beneran masih lanjut sama Dafa?”Ellina membuang muka dari tatapan kesal Arga yang merupakan sepupunya. Anak dari Om, adik dari papanya yang seumuran dengannya. Hanya saja sikap dia terlalu dewasa menurutnya. Iya, cowok yang satu ini sama saja dengan orang tuanya. Memberikan segudang aturan, bahkan Arga me
Bik Ani segera turun dan menuju ke arah ruang makan, di mana majikannya berada.“El mana, Bik?” tanya Nadya ketika wanita paruh baya itu kembali datang tapi hanya sendirian.“Itu, Nyonya. Non katanya lagi nggak enak badan, jadi nggak mau turun dan katanya nggak lapar.”“Kok nggak enak badan? Perasaan tadi juga baik-baik saja,” pikir Nadya berpikir sejenak tentang keadaan Ellina.“Biarkan saja, mungkin Ellina memang ingin istirahat. Ya namanya anak kuliah, otomatis ada kalanya capek, kan,” respon Eva santai menanggapi pemikiran Nadya.“Lebih tepatnya, lagi nggak enak hati, Tante,” tambah Arga mengarah pada Nadya. “Masa iya hal tadi sore nggak bikin dia kepikiran, nangis tuh pasti,” terangnya seolah mengingatkan Marion dan Nadya tentang masalah dengan Dafa.Pernyataan Arga sukses membuat Marion dan Nadya agak kikuk. Ya, takutnya Eva dan Darwin malah mempertanyakan hal yang di maksud oleh Arga. Hanya saja ketakutan keduanya buyar saat seseorang datang.“Ya ampun, akhirnya Kak Zian datang
Bik Ani segera turun dan menuju ke arah ruang makan, di mana majikannya berada.“El mana, Bik?” tanya Nadya ketika wanita paruh baya itu kembali datang tapi hanya sendirian.“Itu, Nyonya. Non katanya lagi nggak enak badan, jadi nggak mau turun dan katanya nggak lapar.”“Kok nggak enak badan? Perasaan tadi juga baik-baik saja,” pikir Nadya berpikir sejenak tentang keadaan Ellina.“Biarkan saja, mungkin Ellina memang ingin istirahat. Ya namanya anak kuliah, otomatis ada kalanya capek, kan,” respon Eva santai menanggapi pemikiran Nadya.“Lebih tepatnya, lagi nggak enak hati, Tante,” tambah Arga mengarah pada Nadya. “Masa iya hal tadi sore nggak bikin dia kepikiran, nangis tuh pasti,” terangnya seolah mengingatkan Marion dan Nadya tentang masalah dengan Dafa.Pernyataan Arga sukses membuat Marion dan Nadya agak kikuk. Ya, takutnya Eva dan Darwin malah mempertanyakan hal yang di maksud oleh Arga. Hanya saja ketakutan keduanya buyar saat seseorang datang.“Ya ampun, akhirnya Kak Zian datang
Berpikir jika tamparan itu akan berakhir di pipinya, tapi ternyata tidak. Seseorang tiba-tiba muncul dan menahan serangan Dafa pada Ellina, bahkan dengan sengaja memberikan sebuah pukulan tepat mengenai rahang Dafa.“Cowok bajingan!”“Udah, Ga.” Ellina menahan Arga yang hendak kembali menghajar Dafa. “Aku nggak kenap-kenapa.”Di saat bersamaan, Dafa memilih untuk segera pergi dari sana. Ia muak dengan semua keluarga ini. Orang tua Ellina, Ellina dan sekarang Arga.Seperginya Dafa, Arga melempar tas nya di sofa. Menatap Ellian dengan raut kesal. Iya, rasanya benar-benar kesal karena gadis yang ada dihadapannya ini keras kepala.“Udah ku peringatkan padamu kan, El … tapi ternyata kamu beneran masih lanjut sama Dafa?”Ellina membuang muka dari tatapan kesal Arga yang merupakan sepupunya. Anak dari Om, adik dari papanya yang seumuran dengannya. Hanya saja sikap dia terlalu dewasa menurutnya. Iya, cowok yang satu ini sama saja dengan orang tuanya. Memberikan segudang aturan, bahkan Arga me
Seperti saran Dafa, mau tak mau Ellina malah masuk lagi ke dalam rumah menemui kedua orang tuanya. Padahal ini rasanya lagi kesal akut, malah diajak balik. Dari sini bisa ia lihat sikap baik Dafa yang belum ia ketahui.“Jadi?” tanya Marion menatap fokus pada Dafa.Ya, entah kenapa feelingnya tak baik saja pada anak muda ini. Bukan berpikiran buruk, tapi perasaan sebagai seorang ayah yang begitu menjaga putrinya. Ellina beranggapan dengan perjodohan membawa dia pada sebuah hubungan yang tak diinginkan, tapi menurutnya justru hal seperti itulah yang seharusnya dia lakukan.“Maaf Om jika saya lancang bertanya. Kalau boleh tahu, kenapa Om ingin menjodohkan Ellina dengan laki-laki itu. Maaf, maksudnya … apa kelebihan dia hingga membuat Om dan Tante begitu yakin,” tanya Dafa membuka pertanyaan.Kesal nggak sih. Sudah berusah payah mendapatkan gadis seperti Ellina yang bahkan masuk level gadis populer di kampus, tapi malah orang tua dia yang menolak dengan keras. Banyak yang mengejarnya, tap
Turun dari mobil dengan raut bahagia. Ya, hari ini tak seperti hari biasanya yang pulang kuliah memasang muka cemberut dan sembrawut. Karena sekarang ia tak sendirian, ada seseorang yang pulang bersamanya.“Kamu yakin akan baik-baik saja?”“Ya, memangnya kenapa?” tanya Ellina pada Dafa yang berjalan di sampingnya, ketika keduanya melangkah lanjut masuk ke dalam rumah dengan pintu utama yang tampak terbuka lebar.Dafa merupakan kekasih dari Ellina. Keduanya kuliah di kampus yang sama, hanya saja berbeda jurusan.Sampai di dalam, Ellina mengajak Dafa masuk dan menuju ke sebuah ruangan yang menjadi tempat favorite keluarganya untuk mengobrol atau menonton TV.“Loh, Papa di rumah?” Padahal Ellina hendak menyapa mamanya yang tampak duduk di sofa, tapi ternyata papanya juga ada di sana.Tak menjawab pertanyaan Ellina, pasangan paruh baya itu justru memasang raut tak mengenakkan tertuju pada Dafa yang pulang bersama Ellina.“Dia siapa, El?” tanya Nadya pada putrinya.“Tumben pulang sama tema