"Gitu Abang ya, tadi yang ngajak Abang, giliran kutanya, gak diajak, pake nenek-nenek segala," kataku kesal. "Itu pujian lo, Dek, jadi seorang nenek itu sebuah kebanggaan, gak semua orang bisa, makanya ada doa gini, semoga lenggang sampai kakek nenek, gitu," kata Bang Parlin lagi."Dahlah, capek," kataku kemudian."Cie, cie, marah ni ye," Bang Parlin malah menggoda.Hari Sabtu pagi, Tania masak nasi goreng, nasi goreng yang sederhana, bahkan menurutku terlalu sederhana, bagaimana tidak, nasi gorengnya bahkan tidak pakai minyak. Akan tetapi pakai kelapa parut. Nasi digonseng campur kelapa, lalu ditaburi garam dan bawang mentah yang sudah diiris Hanya begitu, baru kali ini lihat nasi goreng seperti ini.Tak sabar rasanya ingin mencicipi nasi goreng ala Tania ini."Wah, indan caok, warisan nenek moyang, dulu ini makanan favorit," kata Bang Parlin saat sudah dihidangkan. Bang Parlin malah memuji."Iya, Pak, saat mondok dulu sering makan seperti ini, gak ada lauk, hanya kelapa yang ada,"
PoV ButetBiasanya Sabtu Minggu aku pulang ke desa, akan tetapi kali ini tidak bisa pulang karena Mamak dan Ayah ke Jakarta, Bang Ucok ditangkap polisi karena terduga menipu tiga millar.Aku sudah lelah menghadapi ulah Bang Ucok, selalu saja cari masalah, dibilangin marah. Sudah sejak dia menikah kami tak bicara, bicara sekali justru marah-marah lagi padahal Kak Tania-istrinya hanya minta pendapat padaku."Tet, aku bingung, bagaimana menghadapi Bang Ucok, kamu kan tahu, kami dijodohkan," begitu Tania bicara lewat telepon."Oh, dia itu sebenarnya baik, Kak, cuma ada sedikit kelemahannya, satu dia tidak bisa menolak jika ada yang minta tolong," kataku kemudian."Lo, yang begitu kan bukan kelemahan?" kata Kak Tania."Eh, lupa, belum lengkap, dia tidak bisa menolak jika ada cewek cantik minta tolong," kataku memperjelas."Oh, harus cewek pula ya," "Iya, Kak, satu lagi kelemahannya, dia selalu ingin jadi nomor satu," kataku."Oh, itu ciri pejuang," "Iya, Kak, tapi dia kadang tidak ma
Ingin rasanya hari Minggu ini cepat berlalu saja, bosan sendiri di kos-kosan. Aku baru sadar, tiap Sabtu Minggu aku pulang ke desa, Sersan Hasan masih selalu datang, tentu saja Wulan yang terima. Apakah Wulan menikungku? Rasanya tidak, aku gak pacaran sama Sersan Hasan, apanya yang mau ditikung?Ataukah sudah saatnya aku harus membuka diri, akan tetapi pacaran tetap tidak akan kulakukan. Itu sudah komitmen yang kutanamkan dalam diri sejak beberapa tahun lalu. Sampai umur menjelang dua puluh tahun aku masih bisa tetap konsisten, biarpun jauh dari keluarga, biarpun semuanya teman pada pacaran.Aneh memang, ada temanku cerita, dia sudah pacaran sejak masih SD kelas enam, sampai umur dua puluh tahun, pacarnya sudah dua belas, saat kubilang aku tidak pacaran, dia sama sekali tidak percaya, katanya anak pesantren saja pacaran, Masa aku tidak.Kulihat jam masih pukul sebelas, masih lama lagi biar hari Senin, ingin cepat saja hari berganti. HP -ku berdering lagi, aku malas untuk melihat, past
Acara itu berjalan lancar, sampai jam enam baru selesai, dilanjutkan dengan salat Magrib berjamaah, baru makan malam bersama. Masing-masing makanannya hanya nasi kotak. Sebelum aku pulang, Pak Johan memberikan amplop padaku. Ketika kubuka isinya lima lembar uang merah. Ini pekerjaan yang mudah dan mengasikkan. Saat aku tiba di kos, Wulan ternyata sudah pulang, Sersan Hasan juga ada di situ.. "Dari mana, Tet" tanya Wulan."Kerja," jawabku singkat."Kerja apaan? eh, ini ada sate, makan yuk," kata Wulan lagi."Udah makan aku, Wulan, kenyang kali, aku istirahat dulu ya," kataku kemudian, seraya masuk kamar, aku memang lelah sekali. Begitu aku rebahkan diri sudah terlelap.Pagi harinya aku cepat bangun seperti biasa, akan tetapi aku terkejut saat keluar kamar, Sersan Hasan masih di situ, dia duduk di ruang tengah sambil main HP."Wulan!" aku berteriak.Wulan lalu keluar dari kamarnya."Dia menginapnya di sini?" tanyaku lagi."Iya, Tet, tapi kami gak ngapa-ngapain kok?""Astaghfirulla
Sersan Hasan tak kalah ketus, lagi-lagi dia bicara tentang cemburu. Ini yang paling tidak kusuka."Kau berubah, Tet, cemburu terus," kata Sersan Hasan."Heh, sekali lagi kubilang ya, aku tidak cemburu!" "Ya, udah," katanya seraya pergi.Saat di kampus pun lagi-lagi Wulan seperti menghindar dariku, ah, cinta memang bisa membuat orang bertingkah aneh, biarlah, biar saja itu urusan mereka.Pagi itu aku dapat telepon dari mamak, katanya mereka sudah dalam perjalanan pulang, Bang Ucok dan Kak Tania juga ikut. Saat ini mereka sudah mau sampai ke kotaku. Kata mamak mau gelar acara resepsi di desa kami.Aku pun tak pergi kuliah lagi hari itu, menunggu keluargaku tiba di kota ini. "Tet, kok gak masuk kuliah kau hari ini?" Wulan meneleponku, aku malas untuk menjelaskan, karena masih benci perbuatan mereka. "Malas," jawabku singkat saja."Tet, kamu baik-baik sajalah kan?""Iya,""Tet, sekali lagi aku minta maaf, Hasan pilih aku, bukan salahku, kamu jangan sampai gak masuk kuliah karena itu, T
Kukira mamak bercanda, ternyata mamak benar-benar marah. Bukan karena Ayah memotong pembicaraan, mamak sudah paham jika bicara' tentang orang yang mau lamar aku, ayah suka tegas, seperti istilah ayah punya hak veto. Bukan demokrasi, tapi otoriter, dalam hal ini hanya pendapat ayah yang berlaku. Kata mamak bukan karena itu, tapi karena justru karena ayah luluh setelah Kak Tania bicara. Entahlah aku tidak mengerti."Dari pada ayah gitu terus, sudah Syukur ada yang mau mengingatkan, Mak," aku coba memberikan pengertian ke mamak."Bukan masalah itu, Tet, masalahnya mamak merasa tak dihargai, lebih didengar omongan menantu dari pada istri sendiri," kata Mamak."Waduh, aku kok gak paham, Mak,'"Kalau sudah punya mantu kau nanti baru paham," kata mamak."Duh, lama, nikahnya saja baru rencana tiga tahun lagi, aduh, gini amat untuk paham," kataku kemudian.Sebenarnya aku paham perasaan mamak, akan tetapi aku hanya pura-pura, entah kenapa aku melihatnya sebagai sesuatu yang lucu. Ayah yang b
Saat menyalami tamu yang terus berdatangan, kulihat Kak Tania sudah sangat kelelahan. Dia hamil muda, berdiri lama pasti membuat dia lelah. Aku segera mendekati Kak Tania.“Kakak tidak apa-apa?” tanyaku.“Capek kali, Butet,” suara Kak Tania sudah kedengaran lemah.“Istirahat, Kak kalau capek,” “Gimana mau istirahat, tamu gak habis-habis,” Kata Kak Tania.Aku jadi khawatir sekali dengan keadaan kakak iparku ini, kondisinya yang lagi hamil muda mungkin membuat dia cepat lelah, tetapi untuk istirahat tidak memungkinkan. Kulihat Bang Ucok yang berdiri di ujung nasib terus semangat menyalamiku tamu.Kulihat Salsabila juga mau naik untuk salaman dengan kedua mempelai. Akan tetapi tiba-tiba Kak Tania bersandar padaku, sesaat kemudian dia tumbang. untung juga aku cepat memegangi. Kak Tania pingsan. Bersama mamak dan Ibunya Tania kami mengangkat Kak Tania masuk ke rumah. Bang Ucok menyusul, beberapa saat kemudian Kak Tania sudah sadar kembali.“Udah, aku gak apa-apa,” katanya seraya berdiri.
Ini Bang Parlin keterlaluan, berlebihan urus menantu, sampai tidak mau kerja karena menantunya. Takut menantunya kenapa-kenapa, dia bahkan biarkan aku pergi ke kebun sendiri. Kini menantunya sedih dia langsung ajak ke tempat Firman. Jok khusus buat menantu, lucu juga, padahal aku sudah tiga kali hamil, belum pernah dibuat jok khusus seperti ini. Kursi di belakang itu pakai sabuk pengaman yang dilapis busa. Kiri kanannya ada bantal, benar-benar istimewa menantu ini.Kami sampai di tempat Firman, Rindu-istri Firman menyambut kami dengan ramah. Langsung disuguhi teh manis hangat. Sedangkan Tania minta air putih saja. Kebiasaan Tania adalah langsung akrab dengan saudara yang baru. Begitu juga dengan Rindu mereka seperti saudara yang lama tidak bertemu saja, padahal kenalnya pun baru di acara resepsi kami."Mana si Firman?" tanya Bang Parlin."Pergi ke kota, Bang, bentar lagi sampai," jawab Rindu.Tempat rekreasi Rindu Alam ini makin maju saja, karyawan mereka makin banyak. Kini sudah a
PoV Nia Sangat sedih melepas Butet untuk mengarungi rumah tangga barunya. Rasanya baru kemarin dia kugendong. Dia teman diskusi yang sangat asyik. Selama ini dia memang sudah tinggal jauh dari kami, akan tetapi tetap berat juga untuk melepasnya. Bang Parlin juga terlihat sangat sedih, pesta ini justru jadi ajang tangis bagi suamiku. Dia justru sering menangis. Tamu yang datang sangat beragam, mulai dari pekerja kami, sampai toke sawit, sampai bupati pun datang. Akan tetapi aku sedikit kecewa, menantuku tidak datang dengan alasan tak bisa meninggalkan warungnya. Karena Menantu tidak datang, otomatis cucu kamI juga tidak datang. Padahal ini hari bersejarah. Aku ingin berfoto seluruh keluarga. Akan tetapi menantu dan satu-satunya cucu tidak datang. Aku sudah coba hubungi menantu, akan tetapi jawaban dia adalah tidak bisa meninggalkan warungnya. Katanya jika ditinggalkan, terpaksa ditutup dan pelanggan akan lari. Sementara warung itu belum bisa diserahkan kepada karyawan. Resep
Aku bangun pagi seiring azan subuh berkumandang dari mesjid desa. Lalu mandi dan pergi ke mesjid untuk salat subuh berjamaah, kami sekeluarga pergi ke mesjid. Cantik juga ikut, kami mau sekalian membicarakan proses akad nikah di masjid tersebut. Penghulunya juga masih Abang angkatku, yang dulu pernah jadi guru mengaji di rumah kami. Setelah membicarakan semua, kami pulang ke rumah. Mulai ada kesibukan di rumah. Para Bapak-bapak memasak rendang, para ibu-ibu memasak nasi. Jam delapan pagi sudah bisa makan. Satu kampung makan di rumah kami. Kebanyakan bawa baskom masing-masing. Ibunya Bang Sandi datang, begitu datang dia langsung salaman. "Kok lama kali datangnya?" tanya mamak."Itu tadi, Bu, ngantar Sandy mau pulang," jawab Ibu tersebut."Kok cepat kali dia pulang?" tanya mamak lagi."Katanya mau tugas,"Ternyata Bang Sandy memang di sini, ingin aku bertanya pada ibunya, akan tetapi aku tahan, tak ingin merusak suasana hati yang beberapa jam lagi akan menikah. Bang Sandy bohong soal
Pertanyaan Bang Sandy ini sepertinya tidak masuk akal, mengajak tinggal di Brunei, pekerjaan membobol bank. "Bagaimana, Tet, kita akan bahagia bersama," kaya Bang Sandy lagi."Hei, Bang Sandy, kamu masih waras gak? masa ajak aku jadi penjahat, kerja membobol bank, emangnya kamu pikir aku penjahat ya," kataku kemudian."Itu hanya perumpamaan, Tet, intinya aku bisa lebih baik dari si Cina itu," "Hei, Bang, kamu sudah rasis, gak boleh manggil orang dengan sukunya,""Bukan maksud rasis ya, Tet, hanya kesal, ayolah, Tet, kita akan hidup makmur di Brunei, Kamu tahu gak, pemerintah Brunei pernah mengajak aku pindah ke sana, sebagai tenaga ahli bidang IT," kata Bang Sandy lagi."Wah,""Iya, Butet, aku bisa lebih baik dari si sipit itu, percayalah," Lama-lama omongan Bang Sandy makin melantur saja, padahal biasanya dia orang yang santun, jarang bicara, ini sudah rasis segala. "Kok kamu jadi rasis sih, ini bukan Bang Sandy yang kukenal,""Cinta, Tet," Oh, seperti kata ayah, cinta bisa mem
Sekitar jam 10.00 malam, Ayah akhirnya pulang ke rumah. Ini kesempatanku untuk bertanya apakah Ayah setuju. Bang Ucok, mamak dan bahkan Cantik tidak setuju aku pergi kuliah di Amerika. Tinggal Ayah yang belum kutanyakan."Papa, Kak Butet mau pergi ke Amerika," belum sempat aku bertanya Cantik sudah mengadu duluan. "Amerika," Ayah melihatku."Iya, jauhhh,""Hahaha," ayah malah tertawa, mungkin ayah mengira ini lelucon."Ayah, Cantik benar, aku mau pergi ke Amerika," kataku kemudian."Waw, mau ngapain?""Kuliah pascasarjana, Yah," "Jauh sekali ke Amerika?""Aku dapat beasiswa, Yah," Ayah' terdiam, dia melihat mamak, lalu kembali melihatku."Boleh, Yah?" tanyaku lagi."Kamu sudah dewasa, Butet sudah tahu mana yang baik dan mana yang buruk," kata Ayah."Ayah dukung apapun keputusanmu, tapi Ayah berikan sedikit gambaran, Amerika itu jauh, jika sekiranya ayah meninggal kamu gak akan bisa kejar, terus adikmu suka' kangen kakaknya, kamu satu bulan tidak pulang saja Cantik sudah sering be
Aku justru makin bingung, Ini kesempatan langka, beasiswa di Amerika. Akan tetapi aku dan Pak Johan sudah membuat semacam kesepakatan. Tiga tahun lagi kami akan menikah, itu 2 tahun yang lalu. Apakah kesepakatan itu sudah janji? "Bagaimana, Butet? kok malah bengong?" kata Pak Dosen."Saya berpikir dulu, Pak," jawabku akhirnya."Butet, ini kesempatan langka, Jangan disia-siakan, aku yakin kamu bisa berkarir di luar negeri," kata Pak Dosen."Cita-cita saya bukan seperti itu, Pak, cita-cita saya buka kantor pengacara publik, yang memberikan layanan hukum' gratis untuk masyarakat miskin," kataku kemudian."Jika memang itu cita-citamu, cocok juga, tapi ambil S-2 ini juga, paling dua tahun," kata Pak Dosen."Saya pikirkan dulu, Pak," kataku kemudian."Kupikir tadi kamu akan sujud sukur sambil menamgis karena dapat beasiswa penuh," kata seorang pengacara yang lain."Iya, gak nyangka kamu masih berpikir, padahal ini kesempatan emas, dari propinsi ini hanya dua orang, kamu salah' satunya," ka
Bertanya ke Bang Ucok ternyata jawabannya sangat logika, ini sesuatu yang berubah pada diri Bang Ucok. Setelah dia menikah bicaranya sekarang sudah banyak yang secara logika. Atau karena dia sekarang sudah sarjana psikologi. "Memangnya siapa yang orang Cina siapa yang orang Padang?" Tanya Bang Ucok lagi."Adalah,""Biar kutebak, kalau Cina itu yang pemilik hotel itu ya?" "Iya, Bang,""Yang orang Padang siapa?" "Coba tebak?" tanyaku kemudian.Heran juga Bang Ucok tidak ingat kepada Bang Sandy, Padahal kami dulu sering memecahkan kasus bersama. Bahkan kudengar Bang Sandi setelah jadi polisi pernah pergi ke tempat Bang Ucok. Kenapa dia tidak ingat?"Umar ya?" "Bukan?""Jadi siapa?""Ah, payah Bang Ucok."Aku memutuskan panggilan telepon karena Bang Ucok tidak ingat kepada Sandy. Aku makin bingung entah memilih siapa. Cari jawaban Bang Ucok juga mengambang, masalah umur dia pilih pada Sandy, di masalah profesi dia pilih Pak Johan. Sedangkan masalah suku dia tidak memberikan pilihan.
PoV ButetSidang meja hijau berjalan lancar, cerita orang tentang seramnya sidang itu tak berlaku padaku. Bahkan dosen memujiku. Semua berjalan mulus, aku akan jadi wisudawan termuda di perguruan tinggi tersebut. Setelah selesai sidang, kegiatanku kini lebih lapang, aku bisa pulang ke desa setiap Minggu. Tinggal menunggu jadwal wisuda, tidak lama lagi aku akan jadi seorang sarjana hukum, seperti cita-citaku selama ini.Hari itu aku terkejut dengan kedatangan Pak Johan, dia datang bersama Ibunya ke tempat kos-ku. Ini tidak biasa, biarpun kami sudah berjanji akan menikah nanti, kami tidak pacaran, tidak bertemu rutin selayaknya pasangan kekasih."Ada apa ya, Pak?" tanyaku seraya mempersilahkan duduk.Ibunya Johan sudah jauh berubah penampilannya, dulu beliau selalu memakai pakaian ketat, kini beliau memakai pakaian Muslim, jilbabnya juga panjang."Butet, kamu datang mau menanyakan sesuatu," kata Ibunya Johan."Iya, Bu,""Jadi begini, kamu sebentar lagi kan akan diwisuda, jadi kamu akan
Keesokan harinya Pak Dullah datang lagi, kali ini dia minta Bang Parlin yang jadi saksi pernikahan anaknya dan Agus. Mereka gerak cepat, katanya akad nikah akan dilaksanakan jam sepuluh pagi. Nikah duluan dan suratnya diurus belakangan. Karena kebetulan Butet masih di rumah, aku ikut Bang Parlin ke rumah Pak Dullah. Agus sudah datang, anak Pak Dullah juga sudah didandani ala kadarnya. Petugas pencatat nikah yang juga guru di pesantren kami yang menikahkan. Acara berjalan lancar, diakhiri doa bersama yang dipinpin Bang Parlin. Lalu makan bersama.Agus lalu salim ke semua orang, saat salim ke Bang Parlin dia menangis. "Terimakasih kasih, Pak, aku ada permintaan satu lagi," kata Agus."Apa lagi, Gus?""Aku ingin pekerjaan tetap, Pak, aku sudah punya istri sekarang," katanya.Selama ini dia kami pekerjakan memang tidak tetap, hanya jika panen saja. "Baiklah, ngurusi sapi bisa?" tanya Bang Parlin."Bisa, Pak, bisa," jawabnya kemudian.Padahal mertuanya juga punya kebun sawit, biarpun ti
Aku dan Bang Parlin langsung saja ke rumah Pak Dollah. Ketika kami tiba sudah ramai orang di situ. Kami segera masuk, di dalam rumah ada putrinya Pak Dollah dipegangi oleh dua orang. "Dia mau gantung diri, untung cepat' ketahuan," kata seorang ibu-ibu sambil menunjuk tali yang sudah terikat di kamar gadis tersebut."Mungkin sudah saatnya gunakan ilmu, Bang, luluhkan dia," kataku pada Bang Parlin. Yang sebenarnya adalah aku lelah, ingin istirahat selalu saja ada masalah. Mungkin jika Bang Parlin menggunakan ilmunya meluluhkan gadis itu, masalah akan selesai.Gadis itu terus meronta-ronta, dia dipegangi dua orang perempuan. Ayahnya tampak sudah gelisah. "Aku harus bagaimana lagi, Pak Kades?" kata Pak Dollah. "Bagaimana lagi mau kubilang, sudah ada penyelesaian mudah, nikahkan mereka, tapi bapak tidak mau, sekarang mau bagaimana lagi, satu di penjara, satu bunuh diri, begitu lah kisah cinta mereka," kata Bang Parlin."Aku lakukan ini demi anakku juga""Mirip Romeo dan Juliet, Agus j