Saat Ucok pulang sore harinya, Bang Parlin malah ajak aku nguping pembicaraan Ucok dan Tania, rasanya kini terbalik, rasa kepo membuat kami jadi nguping."Bang, tadi Amanda datang,' kata Tania. Mereka sedang bicara' di dalam kamar. Aku dan Bang Parlin duduk dekat pintu."Oh, ngapain?""Abang diundang ke rumahnya, sama ibu juga, bapak juga," kata Tania lagi."Ngapain kira-kira ya?""Entahlah, Bang, terus apa Abang blokir nomornya?" tanya Tania lagi."Iya, Dek, Abang ingin lepas dari masa lalu, Abang tak ingin seperti ayah yang terjebak masa lalunya sampai sekarang," kata Ucok.Kulihat Bang Parllin, wajahnya seperti merah padam."Oh, makasih, Bang," "Oh, ya, kapan undangannya?' "Gak tau, Bang, lagian aku gak diundang," kata Tania."Lo, kok bisa gitu, masa suaminya diundang istrinya nggak, gak ngerti dia suami istri itu setubuh," kata Ucok."Abang genit," "Kok genit sih,""Masak bicara' setubuh, masih sore lo,"Bang Parlin lalu menarikku untuk menjauh dari pintu tersebut, dengan jalan
"Gitu Abang ya, tadi yang ngajak Abang, giliran kutanya, gak diajak, pake nenek-nenek segala," kataku kesal. "Itu pujian lo, Dek, jadi seorang nenek itu sebuah kebanggaan, gak semua orang bisa, makanya ada doa gini, semoga lenggang sampai kakek nenek, gitu," kata Bang Parlin lagi."Dahlah, capek," kataku kemudian."Cie, cie, marah ni ye," Bang Parlin malah menggoda.Hari Sabtu pagi, Tania masak nasi goreng, nasi goreng yang sederhana, bahkan menurutku terlalu sederhana, bagaimana tidak, nasi gorengnya bahkan tidak pakai minyak. Akan tetapi pakai kelapa parut. Nasi digonseng campur kelapa, lalu ditaburi garam dan bawang mentah yang sudah diiris Hanya begitu, baru kali ini lihat nasi goreng seperti ini.Tak sabar rasanya ingin mencicipi nasi goreng ala Tania ini."Wah, indan caok, warisan nenek moyang, dulu ini makanan favorit," kata Bang Parlin saat sudah dihidangkan. Bang Parlin malah memuji."Iya, Pak, saat mondok dulu sering makan seperti ini, gak ada lauk, hanya kelapa yang ada,"
PoV ButetBiasanya Sabtu Minggu aku pulang ke desa, akan tetapi kali ini tidak bisa pulang karena Mamak dan Ayah ke Jakarta, Bang Ucok ditangkap polisi karena terduga menipu tiga millar.Aku sudah lelah menghadapi ulah Bang Ucok, selalu saja cari masalah, dibilangin marah. Sudah sejak dia menikah kami tak bicara, bicara sekali justru marah-marah lagi padahal Kak Tania-istrinya hanya minta pendapat padaku."Tet, aku bingung, bagaimana menghadapi Bang Ucok, kamu kan tahu, kami dijodohkan," begitu Tania bicara lewat telepon."Oh, dia itu sebenarnya baik, Kak, cuma ada sedikit kelemahannya, satu dia tidak bisa menolak jika ada yang minta tolong," kataku kemudian."Lo, yang begitu kan bukan kelemahan?" kata Kak Tania."Eh, lupa, belum lengkap, dia tidak bisa menolak jika ada cewek cantik minta tolong," kataku memperjelas."Oh, harus cewek pula ya," "Iya, Kak, satu lagi kelemahannya, dia selalu ingin jadi nomor satu," kataku."Oh, itu ciri pejuang," "Iya, Kak, tapi dia kadang tidak ma
Ingin rasanya hari Minggu ini cepat berlalu saja, bosan sendiri di kos-kosan. Aku baru sadar, tiap Sabtu Minggu aku pulang ke desa, Sersan Hasan masih selalu datang, tentu saja Wulan yang terima. Apakah Wulan menikungku? Rasanya tidak, aku gak pacaran sama Sersan Hasan, apanya yang mau ditikung?Ataukah sudah saatnya aku harus membuka diri, akan tetapi pacaran tetap tidak akan kulakukan. Itu sudah komitmen yang kutanamkan dalam diri sejak beberapa tahun lalu. Sampai umur menjelang dua puluh tahun aku masih bisa tetap konsisten, biarpun jauh dari keluarga, biarpun semuanya teman pada pacaran.Aneh memang, ada temanku cerita, dia sudah pacaran sejak masih SD kelas enam, sampai umur dua puluh tahun, pacarnya sudah dua belas, saat kubilang aku tidak pacaran, dia sama sekali tidak percaya, katanya anak pesantren saja pacaran, Masa aku tidak.Kulihat jam masih pukul sebelas, masih lama lagi biar hari Senin, ingin cepat saja hari berganti. HP -ku berdering lagi, aku malas untuk melihat, past
Acara itu berjalan lancar, sampai jam enam baru selesai, dilanjutkan dengan salat Magrib berjamaah, baru makan malam bersama. Masing-masing makanannya hanya nasi kotak. Sebelum aku pulang, Pak Johan memberikan amplop padaku. Ketika kubuka isinya lima lembar uang merah. Ini pekerjaan yang mudah dan mengasikkan. Saat aku tiba di kos, Wulan ternyata sudah pulang, Sersan Hasan juga ada di situ.. "Dari mana, Tet" tanya Wulan."Kerja," jawabku singkat."Kerja apaan? eh, ini ada sate, makan yuk," kata Wulan lagi."Udah makan aku, Wulan, kenyang kali, aku istirahat dulu ya," kataku kemudian, seraya masuk kamar, aku memang lelah sekali. Begitu aku rebahkan diri sudah terlelap.Pagi harinya aku cepat bangun seperti biasa, akan tetapi aku terkejut saat keluar kamar, Sersan Hasan masih di situ, dia duduk di ruang tengah sambil main HP."Wulan!" aku berteriak.Wulan lalu keluar dari kamarnya."Dia menginapnya di sini?" tanyaku lagi."Iya, Tet, tapi kami gak ngapa-ngapain kok?""Astaghfirulla
Sersan Hasan tak kalah ketus, lagi-lagi dia bicara tentang cemburu. Ini yang paling tidak kusuka."Kau berubah, Tet, cemburu terus," kata Sersan Hasan."Heh, sekali lagi kubilang ya, aku tidak cemburu!" "Ya, udah," katanya seraya pergi.Saat di kampus pun lagi-lagi Wulan seperti menghindar dariku, ah, cinta memang bisa membuat orang bertingkah aneh, biarlah, biar saja itu urusan mereka.Pagi itu aku dapat telepon dari mamak, katanya mereka sudah dalam perjalanan pulang, Bang Ucok dan Kak Tania juga ikut. Saat ini mereka sudah mau sampai ke kotaku. Kata mamak mau gelar acara resepsi di desa kami.Aku pun tak pergi kuliah lagi hari itu, menunggu keluargaku tiba di kota ini. "Tet, kok gak masuk kuliah kau hari ini?" Wulan meneleponku, aku malas untuk menjelaskan, karena masih benci perbuatan mereka. "Malas," jawabku singkat saja."Tet, kamu baik-baik sajalah kan?""Iya,""Tet, sekali lagi aku minta maaf, Hasan pilih aku, bukan salahku, kamu jangan sampai gak masuk kuliah karena itu, T
Kukira mamak bercanda, ternyata mamak benar-benar marah. Bukan karena Ayah memotong pembicaraan, mamak sudah paham jika bicara' tentang orang yang mau lamar aku, ayah suka tegas, seperti istilah ayah punya hak veto. Bukan demokrasi, tapi otoriter, dalam hal ini hanya pendapat ayah yang berlaku. Kata mamak bukan karena itu, tapi karena justru karena ayah luluh setelah Kak Tania bicara. Entahlah aku tidak mengerti."Dari pada ayah gitu terus, sudah Syukur ada yang mau mengingatkan, Mak," aku coba memberikan pengertian ke mamak."Bukan masalah itu, Tet, masalahnya mamak merasa tak dihargai, lebih didengar omongan menantu dari pada istri sendiri," kata Mamak."Waduh, aku kok gak paham, Mak,'"Kalau sudah punya mantu kau nanti baru paham," kata mamak."Duh, lama, nikahnya saja baru rencana tiga tahun lagi, aduh, gini amat untuk paham," kataku kemudian.Sebenarnya aku paham perasaan mamak, akan tetapi aku hanya pura-pura, entah kenapa aku melihatnya sebagai sesuatu yang lucu. Ayah yang b
Saat menyalami tamu yang terus berdatangan, kulihat Kak Tania sudah sangat kelelahan. Dia hamil muda, berdiri lama pasti membuat dia lelah. Aku segera mendekati Kak Tania.“Kakak tidak apa-apa?” tanyaku.“Capek kali, Butet,” suara Kak Tania sudah kedengaran lemah.“Istirahat, Kak kalau capek,” “Gimana mau istirahat, tamu gak habis-habis,” Kata Kak Tania.Aku jadi khawatir sekali dengan keadaan kakak iparku ini, kondisinya yang lagi hamil muda mungkin membuat dia cepat lelah, tetapi untuk istirahat tidak memungkinkan. Kulihat Bang Ucok yang berdiri di ujung nasib terus semangat menyalamiku tamu.Kulihat Salsabila juga mau naik untuk salaman dengan kedua mempelai. Akan tetapi tiba-tiba Kak Tania bersandar padaku, sesaat kemudian dia tumbang. untung juga aku cepat memegangi. Kak Tania pingsan. Bersama mamak dan Ibunya Tania kami mengangkat Kak Tania masuk ke rumah. Bang Ucok menyusul, beberapa saat kemudian Kak Tania sudah sadar kembali.“Udah, aku gak apa-apa,” katanya seraya berdiri.