PoV NiaOrang-orang tua dulu sering berpesan, punya anak perempuan menjelang dewasa itu membuat kita sering was-was, khawatir dia bergaul dengan siapa, pergi dengan siapa. Akan tetapi yang terjadi dengan kami justru sebaliknya, anak laki-laki yang sering bikin rasa was-was. Aku selalu khawatir Ucok bertemu lagi dengan cewek cantik yang butuh bantuan. Dia sepertinya tak bisa menolak, beda dengan Butet, bertemu polisi tampan, ustadz ganteng, sampai tentara mapan pun dia dengan tegas bisa menolak. Membuat kami orang tuannya merasa nyaman.Dua anakku kini jauh dari kami, rasanya memang seperti muda lagi, punya anak balita. Kegiatanku kini hanya ibu rumah tangga biasa. "Dek, Adek itu durhaka lo sama suami," kata Bang Parlindungan di suatu malam. Saat itu kami lagi tidur berduaan. Cantik sudah tidur di ranjang bayi."Durhaka macam mana, Bang?" tanyaku."Ini, rambut pirang ini," Kata Bang Parlin seraya meremas rambutku."Hmmm,""Gini, Dek, seharusnya Adek sebagai istri yang saleha mintala
Kadang aku sangat kesal dengan prinsip suamiku ini, jika berhubungan dengan harta atau uang yang hilang, dia merasa tenang saja. Pernah kami kehilangan sapi seharga tiga ratus juta, dia tidak menggunakan ilmunya. Bahkan pernah bangkrut sampai kembali' ke titik nol. Dia tetap tenang. Kini, uang dan perhiasanku hilang, aku telah jadi korban hipnotis, akan tetapi Bang Parlin terlihat tetap tenang, tidak panik, tidak berusaha juga untuk mencari, padahal dia bisa dengan mudah membuat orang sakit perut."Bang!" aku membentak."Sabar, Dek, ini lagi Abang berusaha," jawab Bang Parlin sambil memegang HP -nya."Perhiasan itu ada yang kumiliki dari gadis, Bang, bukan soal harganya, Tapi ada anting yang dibeli almarhum ayah, ada cincin almarhum ibu," kataku kemudian."Iya, Dek, Abang tahu,""Ambil wudhu sana, zikirkan," aku makin kesal."Dek, Adek kan tahu, harus milik Abang yang hilang," kata Bang Parlin lagi.Ada tamu datang, ternyata Sandy yang datang lengkap dengan peralatannya. Ternyata B
PoV ButetSersan Hasan sepertinya tidak menyerah, dia masih juga datang. Seperti hari itu dia bawa oleh-oleh nasi kotak. Aku memang sudah berpesan jika bawa makanan harus bisa dibagi pada teman satu kosku. Kali ini dia bawa nasi kotak empat porsi. Aku kurang suka nasi kotak, bukan karena lauknya tidak enak, akan tetapi nasinya yang sangat sedikit, hanya segenggaman orang dewasa, itu sangat kurang untukku. Akan tetapi tentu saja aku harus jaga image, gak mungkin kumakan dua porsi."Kalau kamu gak mau pacaran, kita berteman saja ya," kata Tentara itu saat kami makan."Boleh, boleh," jawabku. "Ada pepatah lama, tak kenal maka tak sayang, karena belum kenal aku makanya kamu menolak," kata Sersan itu lagi."Bukan, Bang, aku memang tidak pacaran, berteman boleh, tapi tidak pacaran, agama melarangnya," kataku lagi."Hebat, baru kali ini aku bertemu cewek dengan pendirian yang teguh seperti ini, aku jadi makin jauh cinta ini, hehehe." katanya lagi. Wulan yang duduk di sampingku justru yang
PoV NiaButet memang selalu bisa diandalkan, tidak sampai lima jam dia sudah berhasil memecahkan kasus tersebut. Tak tanggung-tanggung langsung ditahan polisi."Kita ke sana, Bang," tanyaku pada Bang Parlin."Tapi kita baru dari sana, Dek," jawab Bang Parlin."Tapi emasku, Bang,""Udahlah, Dek, lagian emasnya akan jadi barang bukti dulu, lama baru dipulangkan," kata Bang Parlin lagi."Bang, kenapa Abang seperti gak peduli jika barangku yang hilang, anak gadis lebih bisa diandalkan dari pada suami sendiri," aku mulai kesal."Bukan begitu, Dek kita kam baru dari kota, terus pelaku sudah ditahan, emasmu pasti' aman," kata Bang Parlin."Terserahlah, punya suami gak bisa diandalkan lagi," kataku sambil cemberut.Aku makin kesal pada Bang Parlin, saat pagi hari tiba, dia pergi ke kebun seperti biasa, tidak seperti orang yang baru kehilangan emas seharga ratusan juta. Aku di rumah bersama Cantik seperti biasa.Sekira jam setengah sebelas, Bang Parlindungan pulang, ini tak biasa, biasanya d
Ternyata pelakunya anak angkat Bang Parlin, berarti aku sudah dihipnotis anak sendiri. Kami pulang dari kantor polisi, emasnya belum bisa dibawa karena dibutuhkan polisi sebagai barang bukti. "Siapa sih Bagira, Bang?" tanyaku saat kami sudah sampai di rumah."Dia dulu anak yang baik, seangkatan sama si Torkis, tapi seingatku aku tak pernah mengajarinya doa tiga baris," kata Bang Parlin.Bang Parlin lalu menelepon Torkis, aku suruh dia hidupkan speaker karena aku mau mendengar."Torkis, ingat Bagira gak?" tanya Bang Parlin."Oh,ingat, Pak, kami pernah berkelahi dulu, dia cemburu padaku," kata Torkis."Cemburu macam mana?""Aku yang mantan pencuri diajari bapak, dia yang katanya baik dan santri tak mau bapak ajari,""Oh, berarti itu masalahnya?""Masalah apa, Pak,""Dia datang ke rumah, dia hipnotis Bu Nia, mungkin dia sakit' hati atau mau pamer kehebatan," kata Bang Parlin."Kurang ajar, memang saat dia pergi, dia mengancam, suatu hari nanti aku akan lebih jago darimu, bahkan dari Pak
"Kan demi kebaikan," Sandy malah berdebat dengan Umar."Itu melanggar hukum, kamu bisa kena UU ITE, mencuri data kepolisian," kata Umar lagi."Sudah, sudah," kata Butet."Bagaimana, Tet, kita bergerak, gak?" tanya Sandy lagi."Ayo, tapi yang mau ditangkap kali ini bukan orang sembarangan, kalau dia misalnya jahat sekali, bisa saja dia hipnotis salah satu polisi' dan menyuruh menembak polisi lain," kata Butet."Udah, sini lihat alamatnya, biar kami saja," kata Torkis."Iya, biar yang tua-tua dulu beraksi," sambung Firman.Sandy kemudian memberikan alamat saudara Bagira tersebut. Para senior sepertinya mau beraksi, Bang Parlin, Torkis Dan Firman naik ke mobil Torkis, di dalam mobil sudah ada teman Torkis yang bertugas sebagai supir."Bang, aku ikut," kataku seraya memberikan Cantik pada Butet."Jangan, Dek, berbahaya," jawab Bang Parlin."Ikutlah, Bang, cuma aku yang pernah lihat wajahnya sekarang ya, kalian semua lihatnya dua puluh tahun lalu," kataku."Baiklah, ayo," kata Bang Parlin.
Tamira, sang tuan rumah mempersilahkan kamu masuk, Bang Parlin, Torkis dan Firman langsung duduk mengelilingi Bagira yang masih tidur."Bagira, bangun, ada tamu!" teriak Tamira.Bagira bangun, dia mengucek-ucek matanya."Wah, ini pasti mimpi," kata Bagira seraya berbaring kembali. Beberapa saat kemudian dia bangun lagi."Bang Parlin, Torkis, Firman!" serunya."Iya, ini kami,""Aku pasti bermimpi," katanya lagi seraya menampar pipinya sendiri."Ini nyata?" pria itu bicara sendiri, dia kemudian melihat Tamira kakaknya."Ada tamu, Bagira,""Bang Parlin," dia lalu salim ke Bang Parlin."Kamu kenal ini?" tanya Bang Parlin seraya menunjuk ke arahku."Oh, aduh," pria itu memegang kepalanya."Dari sekian banyak calon korban, kenapa harus aku?" tanyaku kemudian.Dia sepertinya bingung, mulutnya komat-kamit, dia melihat ke bawah."Gak usah main ilmu kau, Bagira, sama-sama pemainnya kita di sini," kata Torkis seraya menepuk paha Bagira."Kenapa harus aku?" tanyaku lagi."Maafkan aku, Bu," kata B
Kami sampai di rumah saat hari sudah menjelang Magrib, seluruh tamu masih ada, Umar, Hasan dan Sandy masih di rumah. Begitu kami sampai Sandy yang duluan bertanya."Bagaimana, Bu?"Aku melihat Umar, dia polisi, yang menjemput Bagira adalah polisi temannya juga, apa dia tidak tahu?"Udah dijemput polisi, apakah Umar tak tahu?" tanyaku kemudian."Aku lagi bebas tugas, Bu," jawab Umar."Oh, pantasan bisa di sini seharian,""Hehehehe,"Magrib tiba, kami lalu salat Magrib berjamaah. Torkis yang bertindak sebagai imam. Setelah selesai salat, mau makan malam lagi. Ikan yang dibawa Firman sudah habis. Untuk masak sudah tak ada waktu."Kitabmakan di luar, yuk," ajak Torkis."Ayooo," Butet yang duluan menjawab.Ini salah satu masalah di dasa, tak ada rumah makan, rumah makan terdekat ada di ibukota kecamatan, itu milik Ibunya Sandy. Akan tetapi kata Sandy mereka tidak buka hari ini."Kita makan di mana?" tanya Bang Parlin yang jadi supir dadakan. Kami di mobil Torkis, sedangkan Umar, Hasan dan