Tamira, sang tuan rumah mempersilahkan kamu masuk, Bang Parlin, Torkis dan Firman langsung duduk mengelilingi Bagira yang masih tidur."Bagira, bangun, ada tamu!" teriak Tamira.Bagira bangun, dia mengucek-ucek matanya."Wah, ini pasti mimpi," kata Bagira seraya berbaring kembali. Beberapa saat kemudian dia bangun lagi."Bang Parlin, Torkis, Firman!" serunya."Iya, ini kami,""Aku pasti bermimpi," katanya lagi seraya menampar pipinya sendiri."Ini nyata?" pria itu bicara sendiri, dia kemudian melihat Tamira kakaknya."Ada tamu, Bagira,""Bang Parlin," dia lalu salim ke Bang Parlin."Kamu kenal ini?" tanya Bang Parlin seraya menunjuk ke arahku."Oh, aduh," pria itu memegang kepalanya."Dari sekian banyak calon korban, kenapa harus aku?" tanyaku kemudian.Dia sepertinya bingung, mulutnya komat-kamit, dia melihat ke bawah."Gak usah main ilmu kau, Bagira, sama-sama pemainnya kita di sini," kata Torkis seraya menepuk paha Bagira."Kenapa harus aku?" tanyaku lagi."Maafkan aku, Bu," kata B
Kami sampai di rumah saat hari sudah menjelang Magrib, seluruh tamu masih ada, Umar, Hasan dan Sandy masih di rumah. Begitu kami sampai Sandy yang duluan bertanya."Bagaimana, Bu?"Aku melihat Umar, dia polisi, yang menjemput Bagira adalah polisi temannya juga, apa dia tidak tahu?"Udah dijemput polisi, apakah Umar tak tahu?" tanyaku kemudian."Aku lagi bebas tugas, Bu," jawab Umar."Oh, pantasan bisa di sini seharian,""Hehehehe,"Magrib tiba, kami lalu salat Magrib berjamaah. Torkis yang bertindak sebagai imam. Setelah selesai salat, mau makan malam lagi. Ikan yang dibawa Firman sudah habis. Untuk masak sudah tak ada waktu."Kitabmakan di luar, yuk," ajak Torkis."Ayooo," Butet yang duluan menjawab.Ini salah satu masalah di dasa, tak ada rumah makan, rumah makan terdekat ada di ibukota kecamatan, itu milik Ibunya Sandy. Akan tetapi kata Sandy mereka tidak buka hari ini."Kita makan di mana?" tanya Bang Parlin yang jadi supir dadakan. Kami di mobil Torkis, sedangkan Umar, Hasan dan
PoV Butet Saat mamak dan ayah pergi, aku tinggal di rumah bersama Tante Rindu dan tiga anaknya. Juga bersama banyak pria. Ada polisi, tentara dan Bang Sandy. Tiga pria itu terus berdebat di rumah. Masih seputar kasus yang menimpa mamak. Bang Umar tetap bersikeras Tentara tidak boleh ikut campur. "Yang nangkap siapa? Yang bikin kabur siapa, kami yang nangkap, karena kami sadar itu tugas polisi, kami serahkan ke polisi, tapi kalian anggap enteng, jadi kabur lagi," jawab Sersan Hasan. "Kamu pun sembarangan retes sistem komputer polisi, kuadukan bisa kena kau," kata Bang Umar sambil menunjuk Bang Sandy. "Gak takut kalian kah?" kata Bang Sandy. "Takut apa?" "Aku bisa meretes sistem komputer polisi, aku punya data semua uang masuk dan keluar polisi, aku punya data kasus yang melibatkan polisi, gak takut kah? Komandanmu saja gak berani macam-macam samaku, karena aku tahu bobroknya," kata Bang Sandy. "Bahaya juga kamu?" "Makanya, jangan main ancam, atau kusebarkan perusahaan mana saj
Bang Sandy benar-benar menghilang, sampai jam sepuluh pagi tidak ada kabarnya. Ibunya justru terus di rumah, katanya dia tidak tahu harus mengadu ke mana.Bang Sandy orangnya sulit bergaul, dia nyaris tak punya teman. Dunianya adalah media sosial, jika media sosialnya tidak aktif. Ini sesuatu yang serius.Aku menemani ibunya Sandy mengadu ke kantor polisi. Akan tetapi pengaduan kami justru ditolak karena katanya belum dua puluh empat jam hilang. Aku sempat berdebat dengan polisi tersebut. Akan tetapi polisi itu tetap pada pendiriannya. Yang katanya sesuai prosedur. Seseorang itu belum dianggap hilang sebelum dua puluh empat jam. Kecuali ada yang melihat dia diculik atau hanyut.Karena Bang Sandy hilang saat kami pergi aku jadi merasa bertanggungjawab. Ayah dan mamak pun tampak khawatir sekali."Tet, apa ada tanda-tanda Sandy galau atau bertengkar?" tanya Ayah."Gak ada, Yah, dia itu gak punya teman, dulu sempat dia koar di kota, tapi balek lagi ke tempat ibunya," kataku."Ingat-ingat
Aku sangat bersyukur sekali, Sandy ternyata hanya sembunyi. Mungkin dia sudah menduga akan ditangkap, sembunyi dari dunia maya dan dunia nyata memang pilihan bagus untuk sementara. "Udah, Yah, kita pulang," kataku pada ayah."Ok, Tet, siap," ayah malah bergaya bagaikan supir pribadi saja "Kita ke rumah Sandy dulu Yah, kasih tau ibunya,""Iya, Nang,"Aku coba lagi elepon nomor yang tadi, akan tetapi sama sekali tidak aktif."Telepon siapa, Tet?" tanya Ayah."Bang Sandy, Yah, mau nanya dia di mana?""Kamu tahu, Tet, cinta kandang bisa membuat orang bertindak bodoh," kata Ayah."Ish, Ayah, kok ngomongin cinta segala?""Rasa itu bisa membuat tindakan kita berbahaya dan bertindak di luar nalar," kata ayah lagi."Ayah kok tiba-tiba berubah jadi pakar cinta, ini lagi menghubungi Bang Shandy lo, Yah," "Itulah, Butet, tadi kan dia sudah bilang bersembunyi dari dunia nyata dan maya, kamu tanya lagi ada di mana, kan gak logika, bagaimana bisa Butet yang selama ini bertindak logis menanyakan
Ayah bercerita, bukit merah memang sudah disulap seperti tempat wisata, ada pondok kayu penginapan di atas bukit. Akan tetapi tidak jalan. Wisatawan tak ada yang mau datang, hanya sesekali anak sekolah camping di tempat tersebut. Pernah juga ada yang menawar bukit itu jadi pemakaman berbayar. Tanahnya dijual seluas makam. Akan tetapi tidak laku, siapa pula yang mau dikubur di tempat tersebut. Bukit itu kata ayah Bukit bersejarah, Sawit tak tumbuh di tempat itu. Tanahnya berbatu-batu besar, sekarang sudah mulai hijau, ayah menanaminya dengan berbagai pohon yang biasa tumbuh di hutan.Entah bagaimana Sandy bisa memilih tempat tersebut sebagai tempat persembunyian. Dia memang pernah buat konten di bukit itu. Sampai di rumah aku langsung laporan ke mamak."Mak, Bang Syandy tidak apa-apa, dia sembunyi di...""Tet, jangan bilang tempat persembunyiannya, bahaya," ayah memotong."Kok bahaya pula Bang, emang aku penjahat?" Mamak sepertinya merasa tersinggung."Bukan gitu, Dek, dari dulu sud
Pagi itu kami berangkat menuju ibukota kabupaten, selain aku harus kuliah, ada misi khusus, yaitu bertemu dengan Kapolres. Ketika sampai di kos, hari sudah menjelang siang. "Siapa itu, Tet, eksotis sekali?" tanya Wulan saat melihat ayah."Itu ayahku," jawabku kemudian."Wah, pantasan kamu cantik, ternyata ayahnya tampan," kata Wulan lagi. Padahal ayah sudah dua kali datang ke tempat kosku, apakah Wulan memang tidak kenal atau mau bercanda.Saat jam makan siang, Sersan Hasan sudah datang, dia bawa nasi bungkus. "Oh, ada bapak," kata Sersan tersebut seraya salim."Ada acara apa ini?" tanya Sersan lagi."Ini, Bang, kami mau bertemu Kapolres," kataku."Untuk apa?""Itu, temanku jadi buronan,""Oh, si Sandy itu ya?'"Iya, Abang kok tahu,"Ternyata Sersan Hasan juga punya cerita versi tersendiri. Saat kami di pasar malam, mereka singgah ke warung kopi. Sementara Sandy asyik ambil video seputar kegiatan kami. Sersan Hasan dan Umar serta polisi teman Bang Umar itu sempat berdebat.Teman Ban
Ayah sudah berada di sampingku, Kapolres itu sepertinya sudah mulai khawatir. Dia kemudian berbisik-bisik dengan polisi yang lain yang sepertinya ajudannya."Ayo kita makan siang, kita bicarakan sambil makan," kata Kapolres itu kemudian.Mendengar kata makan, aku langsung setuju saja. Aku dan Ayah naik ke mobil sendiri, mengikuti mobil dinas Kapolres tersebut. Ternyata kami makan di restoran mewah. "Kita bicarakan harga," kata Kapolres tersebut di sela-sela makan."Oh, harga makanan di sini sepertinya mahal, Pak, kita bertiga bisa lima ratus ribu, luar biasa," kataku kemudian."Bu, tolong serius, karena apa bia tunjukkan kertas' itu pada saya, kenapa bukan langsung adukan atau viralkan, ayolah, semua itu pasti karena harga," katanya lagi."Maaf, Pak, apa bapak berpikir semua bisa dihargai dengan uang?" tanya ayah."Uang memang bukan segalanya, tapi segalanya butuh uang, hahaha, udah, bilang saja harganya," katanya lagi."Teman saya jadi buronan karena data ini, jadi saya minta dia
PoV Nia Sangat sedih melepas Butet untuk mengarungi rumah tangga barunya. Rasanya baru kemarin dia kugendong. Dia teman diskusi yang sangat asyik. Selama ini dia memang sudah tinggal jauh dari kami, akan tetapi tetap berat juga untuk melepasnya. Bang Parlin juga terlihat sangat sedih, pesta ini justru jadi ajang tangis bagi suamiku. Dia justru sering menangis. Tamu yang datang sangat beragam, mulai dari pekerja kami, sampai toke sawit, sampai bupati pun datang. Akan tetapi aku sedikit kecewa, menantuku tidak datang dengan alasan tak bisa meninggalkan warungnya. Karena Menantu tidak datang, otomatis cucu kamI juga tidak datang. Padahal ini hari bersejarah. Aku ingin berfoto seluruh keluarga. Akan tetapi menantu dan satu-satunya cucu tidak datang. Aku sudah coba hubungi menantu, akan tetapi jawaban dia adalah tidak bisa meninggalkan warungnya. Katanya jika ditinggalkan, terpaksa ditutup dan pelanggan akan lari. Sementara warung itu belum bisa diserahkan kepada karyawan. Resep
Aku bangun pagi seiring azan subuh berkumandang dari mesjid desa. Lalu mandi dan pergi ke mesjid untuk salat subuh berjamaah, kami sekeluarga pergi ke mesjid. Cantik juga ikut, kami mau sekalian membicarakan proses akad nikah di masjid tersebut. Penghulunya juga masih Abang angkatku, yang dulu pernah jadi guru mengaji di rumah kami. Setelah membicarakan semua, kami pulang ke rumah. Mulai ada kesibukan di rumah. Para Bapak-bapak memasak rendang, para ibu-ibu memasak nasi. Jam delapan pagi sudah bisa makan. Satu kampung makan di rumah kami. Kebanyakan bawa baskom masing-masing. Ibunya Bang Sandi datang, begitu datang dia langsung salaman. "Kok lama kali datangnya?" tanya mamak."Itu tadi, Bu, ngantar Sandy mau pulang," jawab Ibu tersebut."Kok cepat kali dia pulang?" tanya mamak lagi."Katanya mau tugas,"Ternyata Bang Sandy memang di sini, ingin aku bertanya pada ibunya, akan tetapi aku tahan, tak ingin merusak suasana hati yang beberapa jam lagi akan menikah. Bang Sandy bohong soal
Pertanyaan Bang Sandy ini sepertinya tidak masuk akal, mengajak tinggal di Brunei, pekerjaan membobol bank. "Bagaimana, Tet, kita akan bahagia bersama," kaya Bang Sandy lagi."Hei, Bang Sandy, kamu masih waras gak? masa ajak aku jadi penjahat, kerja membobol bank, emangnya kamu pikir aku penjahat ya," kataku kemudian."Itu hanya perumpamaan, Tet, intinya aku bisa lebih baik dari si Cina itu," "Hei, Bang, kamu sudah rasis, gak boleh manggil orang dengan sukunya,""Bukan maksud rasis ya, Tet, hanya kesal, ayolah, Tet, kita akan hidup makmur di Brunei, Kamu tahu gak, pemerintah Brunei pernah mengajak aku pindah ke sana, sebagai tenaga ahli bidang IT," kata Bang Sandy lagi."Wah,""Iya, Butet, aku bisa lebih baik dari si sipit itu, percayalah," Lama-lama omongan Bang Sandy makin melantur saja, padahal biasanya dia orang yang santun, jarang bicara, ini sudah rasis segala. "Kok kamu jadi rasis sih, ini bukan Bang Sandy yang kukenal,""Cinta, Tet," Oh, seperti kata ayah, cinta bisa mem
Sekitar jam 10.00 malam, Ayah akhirnya pulang ke rumah. Ini kesempatanku untuk bertanya apakah Ayah setuju. Bang Ucok, mamak dan bahkan Cantik tidak setuju aku pergi kuliah di Amerika. Tinggal Ayah yang belum kutanyakan."Papa, Kak Butet mau pergi ke Amerika," belum sempat aku bertanya Cantik sudah mengadu duluan. "Amerika," Ayah melihatku."Iya, jauhhh,""Hahaha," ayah malah tertawa, mungkin ayah mengira ini lelucon."Ayah, Cantik benar, aku mau pergi ke Amerika," kataku kemudian."Waw, mau ngapain?""Kuliah pascasarjana, Yah," "Jauh sekali ke Amerika?""Aku dapat beasiswa, Yah," Ayah' terdiam, dia melihat mamak, lalu kembali melihatku."Boleh, Yah?" tanyaku lagi."Kamu sudah dewasa, Butet sudah tahu mana yang baik dan mana yang buruk," kata Ayah."Ayah dukung apapun keputusanmu, tapi Ayah berikan sedikit gambaran, Amerika itu jauh, jika sekiranya ayah meninggal kamu gak akan bisa kejar, terus adikmu suka' kangen kakaknya, kamu satu bulan tidak pulang saja Cantik sudah sering be
Aku justru makin bingung, Ini kesempatan langka, beasiswa di Amerika. Akan tetapi aku dan Pak Johan sudah membuat semacam kesepakatan. Tiga tahun lagi kami akan menikah, itu 2 tahun yang lalu. Apakah kesepakatan itu sudah janji? "Bagaimana, Butet? kok malah bengong?" kata Pak Dosen."Saya berpikir dulu, Pak," jawabku akhirnya."Butet, ini kesempatan langka, Jangan disia-siakan, aku yakin kamu bisa berkarir di luar negeri," kata Pak Dosen."Cita-cita saya bukan seperti itu, Pak, cita-cita saya buka kantor pengacara publik, yang memberikan layanan hukum' gratis untuk masyarakat miskin," kataku kemudian."Jika memang itu cita-citamu, cocok juga, tapi ambil S-2 ini juga, paling dua tahun," kata Pak Dosen."Saya pikirkan dulu, Pak," kataku kemudian."Kupikir tadi kamu akan sujud sukur sambil menamgis karena dapat beasiswa penuh," kata seorang pengacara yang lain."Iya, gak nyangka kamu masih berpikir, padahal ini kesempatan emas, dari propinsi ini hanya dua orang, kamu salah' satunya," ka
Bertanya ke Bang Ucok ternyata jawabannya sangat logika, ini sesuatu yang berubah pada diri Bang Ucok. Setelah dia menikah bicaranya sekarang sudah banyak yang secara logika. Atau karena dia sekarang sudah sarjana psikologi. "Memangnya siapa yang orang Cina siapa yang orang Padang?" Tanya Bang Ucok lagi."Adalah,""Biar kutebak, kalau Cina itu yang pemilik hotel itu ya?" "Iya, Bang,""Yang orang Padang siapa?" "Coba tebak?" tanyaku kemudian.Heran juga Bang Ucok tidak ingat kepada Bang Sandy, Padahal kami dulu sering memecahkan kasus bersama. Bahkan kudengar Bang Sandi setelah jadi polisi pernah pergi ke tempat Bang Ucok. Kenapa dia tidak ingat?"Umar ya?" "Bukan?""Jadi siapa?""Ah, payah Bang Ucok."Aku memutuskan panggilan telepon karena Bang Ucok tidak ingat kepada Sandy. Aku makin bingung entah memilih siapa. Cari jawaban Bang Ucok juga mengambang, masalah umur dia pilih pada Sandy, di masalah profesi dia pilih Pak Johan. Sedangkan masalah suku dia tidak memberikan pilihan.
PoV ButetSidang meja hijau berjalan lancar, cerita orang tentang seramnya sidang itu tak berlaku padaku. Bahkan dosen memujiku. Semua berjalan mulus, aku akan jadi wisudawan termuda di perguruan tinggi tersebut. Setelah selesai sidang, kegiatanku kini lebih lapang, aku bisa pulang ke desa setiap Minggu. Tinggal menunggu jadwal wisuda, tidak lama lagi aku akan jadi seorang sarjana hukum, seperti cita-citaku selama ini.Hari itu aku terkejut dengan kedatangan Pak Johan, dia datang bersama Ibunya ke tempat kos-ku. Ini tidak biasa, biarpun kami sudah berjanji akan menikah nanti, kami tidak pacaran, tidak bertemu rutin selayaknya pasangan kekasih."Ada apa ya, Pak?" tanyaku seraya mempersilahkan duduk.Ibunya Johan sudah jauh berubah penampilannya, dulu beliau selalu memakai pakaian ketat, kini beliau memakai pakaian Muslim, jilbabnya juga panjang."Butet, kamu datang mau menanyakan sesuatu," kata Ibunya Johan."Iya, Bu,""Jadi begini, kamu sebentar lagi kan akan diwisuda, jadi kamu akan
Keesokan harinya Pak Dullah datang lagi, kali ini dia minta Bang Parlin yang jadi saksi pernikahan anaknya dan Agus. Mereka gerak cepat, katanya akad nikah akan dilaksanakan jam sepuluh pagi. Nikah duluan dan suratnya diurus belakangan. Karena kebetulan Butet masih di rumah, aku ikut Bang Parlin ke rumah Pak Dullah. Agus sudah datang, anak Pak Dullah juga sudah didandani ala kadarnya. Petugas pencatat nikah yang juga guru di pesantren kami yang menikahkan. Acara berjalan lancar, diakhiri doa bersama yang dipinpin Bang Parlin. Lalu makan bersama.Agus lalu salim ke semua orang, saat salim ke Bang Parlin dia menangis. "Terimakasih kasih, Pak, aku ada permintaan satu lagi," kata Agus."Apa lagi, Gus?""Aku ingin pekerjaan tetap, Pak, aku sudah punya istri sekarang," katanya.Selama ini dia kami pekerjakan memang tidak tetap, hanya jika panen saja. "Baiklah, ngurusi sapi bisa?" tanya Bang Parlin."Bisa, Pak, bisa," jawabnya kemudian.Padahal mertuanya juga punya kebun sawit, biarpun ti
Aku dan Bang Parlin langsung saja ke rumah Pak Dollah. Ketika kami tiba sudah ramai orang di situ. Kami segera masuk, di dalam rumah ada putrinya Pak Dollah dipegangi oleh dua orang. "Dia mau gantung diri, untung cepat' ketahuan," kata seorang ibu-ibu sambil menunjuk tali yang sudah terikat di kamar gadis tersebut."Mungkin sudah saatnya gunakan ilmu, Bang, luluhkan dia," kataku pada Bang Parlin. Yang sebenarnya adalah aku lelah, ingin istirahat selalu saja ada masalah. Mungkin jika Bang Parlin menggunakan ilmunya meluluhkan gadis itu, masalah akan selesai.Gadis itu terus meronta-ronta, dia dipegangi dua orang perempuan. Ayahnya tampak sudah gelisah. "Aku harus bagaimana lagi, Pak Kades?" kata Pak Dollah. "Bagaimana lagi mau kubilang, sudah ada penyelesaian mudah, nikahkan mereka, tapi bapak tidak mau, sekarang mau bagaimana lagi, satu di penjara, satu bunuh diri, begitu lah kisah cinta mereka," kata Bang Parlin."Aku lakukan ini demi anakku juga""Mirip Romeo dan Juliet, Agus j