Ternyata pelakunya anak angkat Bang Parlin, berarti aku sudah dihipnotis anak sendiri. Kami pulang dari kantor polisi, emasnya belum bisa dibawa karena dibutuhkan polisi sebagai barang bukti. "Siapa sih Bagira, Bang?" tanyaku saat kami sudah sampai di rumah."Dia dulu anak yang baik, seangkatan sama si Torkis, tapi seingatku aku tak pernah mengajarinya doa tiga baris," kata Bang Parlin.Bang Parlin lalu menelepon Torkis, aku suruh dia hidupkan speaker karena aku mau mendengar."Torkis, ingat Bagira gak?" tanya Bang Parlin."Oh,ingat, Pak, kami pernah berkelahi dulu, dia cemburu padaku," kata Torkis."Cemburu macam mana?""Aku yang mantan pencuri diajari bapak, dia yang katanya baik dan santri tak mau bapak ajari,""Oh, berarti itu masalahnya?""Masalah apa, Pak,""Dia datang ke rumah, dia hipnotis Bu Nia, mungkin dia sakit' hati atau mau pamer kehebatan," kata Bang Parlin."Kurang ajar, memang saat dia pergi, dia mengancam, suatu hari nanti aku akan lebih jago darimu, bahkan dari Pak
"Kan demi kebaikan," Sandy malah berdebat dengan Umar."Itu melanggar hukum, kamu bisa kena UU ITE, mencuri data kepolisian," kata Umar lagi."Sudah, sudah," kata Butet."Bagaimana, Tet, kita bergerak, gak?" tanya Sandy lagi."Ayo, tapi yang mau ditangkap kali ini bukan orang sembarangan, kalau dia misalnya jahat sekali, bisa saja dia hipnotis salah satu polisi' dan menyuruh menembak polisi lain," kata Butet."Udah, sini lihat alamatnya, biar kami saja," kata Torkis."Iya, biar yang tua-tua dulu beraksi," sambung Firman.Sandy kemudian memberikan alamat saudara Bagira tersebut. Para senior sepertinya mau beraksi, Bang Parlin, Torkis Dan Firman naik ke mobil Torkis, di dalam mobil sudah ada teman Torkis yang bertugas sebagai supir."Bang, aku ikut," kataku seraya memberikan Cantik pada Butet."Jangan, Dek, berbahaya," jawab Bang Parlin."Ikutlah, Bang, cuma aku yang pernah lihat wajahnya sekarang ya, kalian semua lihatnya dua puluh tahun lalu," kataku."Baiklah, ayo," kata Bang Parlin.
Tamira, sang tuan rumah mempersilahkan kamu masuk, Bang Parlin, Torkis dan Firman langsung duduk mengelilingi Bagira yang masih tidur."Bagira, bangun, ada tamu!" teriak Tamira.Bagira bangun, dia mengucek-ucek matanya."Wah, ini pasti mimpi," kata Bagira seraya berbaring kembali. Beberapa saat kemudian dia bangun lagi."Bang Parlin, Torkis, Firman!" serunya."Iya, ini kami,""Aku pasti bermimpi," katanya lagi seraya menampar pipinya sendiri."Ini nyata?" pria itu bicara sendiri, dia kemudian melihat Tamira kakaknya."Ada tamu, Bagira,""Bang Parlin," dia lalu salim ke Bang Parlin."Kamu kenal ini?" tanya Bang Parlin seraya menunjuk ke arahku."Oh, aduh," pria itu memegang kepalanya."Dari sekian banyak calon korban, kenapa harus aku?" tanyaku kemudian.Dia sepertinya bingung, mulutnya komat-kamit, dia melihat ke bawah."Gak usah main ilmu kau, Bagira, sama-sama pemainnya kita di sini," kata Torkis seraya menepuk paha Bagira."Kenapa harus aku?" tanyaku lagi."Maafkan aku, Bu," kata B
Kami sampai di rumah saat hari sudah menjelang Magrib, seluruh tamu masih ada, Umar, Hasan dan Sandy masih di rumah. Begitu kami sampai Sandy yang duluan bertanya."Bagaimana, Bu?"Aku melihat Umar, dia polisi, yang menjemput Bagira adalah polisi temannya juga, apa dia tidak tahu?"Udah dijemput polisi, apakah Umar tak tahu?" tanyaku kemudian."Aku lagi bebas tugas, Bu," jawab Umar."Oh, pantasan bisa di sini seharian,""Hehehehe,"Magrib tiba, kami lalu salat Magrib berjamaah. Torkis yang bertindak sebagai imam. Setelah selesai salat, mau makan malam lagi. Ikan yang dibawa Firman sudah habis. Untuk masak sudah tak ada waktu."Kitabmakan di luar, yuk," ajak Torkis."Ayooo," Butet yang duluan menjawab.Ini salah satu masalah di dasa, tak ada rumah makan, rumah makan terdekat ada di ibukota kecamatan, itu milik Ibunya Sandy. Akan tetapi kata Sandy mereka tidak buka hari ini."Kita makan di mana?" tanya Bang Parlin yang jadi supir dadakan. Kami di mobil Torkis, sedangkan Umar, Hasan dan
PoV Butet Saat mamak dan ayah pergi, aku tinggal di rumah bersama Tante Rindu dan tiga anaknya. Juga bersama banyak pria. Ada polisi, tentara dan Bang Sandy. Tiga pria itu terus berdebat di rumah. Masih seputar kasus yang menimpa mamak. Bang Umar tetap bersikeras Tentara tidak boleh ikut campur. "Yang nangkap siapa? Yang bikin kabur siapa, kami yang nangkap, karena kami sadar itu tugas polisi, kami serahkan ke polisi, tapi kalian anggap enteng, jadi kabur lagi," jawab Sersan Hasan. "Kamu pun sembarangan retes sistem komputer polisi, kuadukan bisa kena kau," kata Bang Umar sambil menunjuk Bang Sandy. "Gak takut kalian kah?" kata Bang Sandy. "Takut apa?" "Aku bisa meretes sistem komputer polisi, aku punya data semua uang masuk dan keluar polisi, aku punya data kasus yang melibatkan polisi, gak takut kah? Komandanmu saja gak berani macam-macam samaku, karena aku tahu bobroknya," kata Bang Sandy. "Bahaya juga kamu?" "Makanya, jangan main ancam, atau kusebarkan perusahaan mana saj
Bang Sandy benar-benar menghilang, sampai jam sepuluh pagi tidak ada kabarnya. Ibunya justru terus di rumah, katanya dia tidak tahu harus mengadu ke mana.Bang Sandy orangnya sulit bergaul, dia nyaris tak punya teman. Dunianya adalah media sosial, jika media sosialnya tidak aktif. Ini sesuatu yang serius.Aku menemani ibunya Sandy mengadu ke kantor polisi. Akan tetapi pengaduan kami justru ditolak karena katanya belum dua puluh empat jam hilang. Aku sempat berdebat dengan polisi tersebut. Akan tetapi polisi itu tetap pada pendiriannya. Yang katanya sesuai prosedur. Seseorang itu belum dianggap hilang sebelum dua puluh empat jam. Kecuali ada yang melihat dia diculik atau hanyut.Karena Bang Sandy hilang saat kami pergi aku jadi merasa bertanggungjawab. Ayah dan mamak pun tampak khawatir sekali."Tet, apa ada tanda-tanda Sandy galau atau bertengkar?" tanya Ayah."Gak ada, Yah, dia itu gak punya teman, dulu sempat dia koar di kota, tapi balek lagi ke tempat ibunya," kataku."Ingat-ingat
Aku sangat bersyukur sekali, Sandy ternyata hanya sembunyi. Mungkin dia sudah menduga akan ditangkap, sembunyi dari dunia maya dan dunia nyata memang pilihan bagus untuk sementara. "Udah, Yah, kita pulang," kataku pada ayah."Ok, Tet, siap," ayah malah bergaya bagaikan supir pribadi saja "Kita ke rumah Sandy dulu Yah, kasih tau ibunya,""Iya, Nang,"Aku coba lagi elepon nomor yang tadi, akan tetapi sama sekali tidak aktif."Telepon siapa, Tet?" tanya Ayah."Bang Sandy, Yah, mau nanya dia di mana?""Kamu tahu, Tet, cinta kandang bisa membuat orang bertindak bodoh," kata Ayah."Ish, Ayah, kok ngomongin cinta segala?""Rasa itu bisa membuat tindakan kita berbahaya dan bertindak di luar nalar," kata ayah lagi."Ayah kok tiba-tiba berubah jadi pakar cinta, ini lagi menghubungi Bang Shandy lo, Yah," "Itulah, Butet, tadi kan dia sudah bilang bersembunyi dari dunia nyata dan maya, kamu tanya lagi ada di mana, kan gak logika, bagaimana bisa Butet yang selama ini bertindak logis menanyakan
Ayah bercerita, bukit merah memang sudah disulap seperti tempat wisata, ada pondok kayu penginapan di atas bukit. Akan tetapi tidak jalan. Wisatawan tak ada yang mau datang, hanya sesekali anak sekolah camping di tempat tersebut. Pernah juga ada yang menawar bukit itu jadi pemakaman berbayar. Tanahnya dijual seluas makam. Akan tetapi tidak laku, siapa pula yang mau dikubur di tempat tersebut. Bukit itu kata ayah Bukit bersejarah, Sawit tak tumbuh di tempat itu. Tanahnya berbatu-batu besar, sekarang sudah mulai hijau, ayah menanaminya dengan berbagai pohon yang biasa tumbuh di hutan.Entah bagaimana Sandy bisa memilih tempat tersebut sebagai tempat persembunyian. Dia memang pernah buat konten di bukit itu. Sampai di rumah aku langsung laporan ke mamak."Mak, Bang Syandy tidak apa-apa, dia sembunyi di...""Tet, jangan bilang tempat persembunyiannya, bahaya," ayah memotong."Kok bahaya pula Bang, emang aku penjahat?" Mamak sepertinya merasa tersinggung."Bukan gitu, Dek, dari dulu sud