Gavin baru saja keluar dari kamar tempat Yeni dirawat inap. Dia tampak berantakan, rambutnya kusut, matanya juga tampak merah. Jelas sekali terlihat kalau Gavin baru saja melalui malam yang melelahkan sepanjang hidupnya.
Semalaman Yeni tidak bisa tidur, ia terus menangis histeris. Dia bahkan tidak mau memompa ASI-nya dan terpaksa Gavin mengizinkan suster memberi susu formula terlebih dulu untuk putrinya.
Ini semua tidak seindah yang dibayangkannya. Padahal saat hamil kemarin, Yeni begitu menantikan kehadiran buah hatinya namun, begitu lahir dia malah menyia-nyiakan. Meskipun ini bukan kesalahan Yeni, tetapi Gavin sedikit menyesalkannya.
“Vin,” sebuah seruan lembut menyapa telinga Gavin.
Gavin menoleh dan melihat Bu Aminah sedang berjalan mendekat bersama Alya.
“Ibu ... ,” sapa Gavin langsung berhambur memeluknya. Bu Aminah membalas pelukan Gavin dan mengelus punggungnya berulang.
“Kamu pasti lelah semalaman menj
Bu Aminah dan Alya baru saja berpamitan pulang saat malam semakin larut. Yeni juga masih terlelap dalam tidurnya. Gavin menghela napas panjang sambil menatap sosok istrinya yang sedang terbaring pulas. Ia berharap malam ini Yeni sedikit tenang tidak seperti kemarin malam.Sekilas Gavin melirik ke alat pompa ASI yang baru saja diberikan suster untuk Yeni. Lagi-lagi Yeni menolak untuk memompa ASI dan memberikan ke si Kecil. Dia terus berkata kalau bayi tersebut bukan putrinya. Entah apa yang membuat Yeni berpikir seperti itu padahal jelas-jelas makhluk mungil yang tak bersalah itu keluar dari rahimnya.‘Apa memang seperti ini yang terjadi pada ibu yang mengalami baby blues?’ batin Gavin.Sebuah helaan napas panjang lolos keluar dari bibir tipis Gavin. Pria bermata sipit itu sudah menyandarkan kepala ke bantalan sofa dan mulai memejamkan mata seakan sedang melepas kepenatannya. Ia hanya berharap semua yang dialami Yeni cepat berlalu dan si Keci
Sudah lima hari Yeni dirawat di rumah sakit dan kini saatnya ia diperbolehkan pulang. Saat melihat kejadian canggung antara Gavin dan Alya kapan hari, Yeni sama sekali tidak mempermasalahkannya. Yeni beranggapan kalau hubungan antara Gavin dan Alya memang sudah sangat dekat layaknya adik dan kakak. Seperti saat ini, Yeni melihat Alya ikut sibuk membantunya saat akan pulang.Gavin sedang sibuk mengurus administrasi di rumah sakit dan Alya yang menemani Yeni di mobil. Alya tampak kesenangan saat menggendong putri Gavin dan Yeni. Alya terus tersenyum sambil menatap makhluk kecil yang sedang meringkuk dalam gendongannya.“Dia lucu banget, sih,” gumam Alya. Ia sudah berulang kali mengucapkan kata itu dan tentu saja membuat Yeni tersenyum mendengarnya.“Makanya, Al. Buruan nikah, terus bikin sendiri,” seloroh Yeni.Alya hanya meringis dan mengunci tatapan ke makhluk mungil dalam pelukannya.‘Kira-kira si Dedek mengizinka
Yeni tampak terkejut sekaligus kebingungan saat melihat mobil yang mereka tumpangi sudah berhenti di depan sebuah rumah yang tidak ia kenal.“Ini rumah siapa, Mas? Mengapa juga mobilnya berhenti di sini, tidak di apartemen?” tanya Yeni.Gavin tersenyum kemudian sudah melepas seat belt. Dia masih belum menjawab pertanyaan Yeni malah sibuk membantunya keluar dari mobil.“Mas ... kok gak dijawab sih pertanyaanku?” protes Yeni saat melihat Gavin yang masih diam tidak menjawab.Gavin tersenyum kemudian menghentikan aktivitasnya. Ia sudah menatap istrinya yang sedang menggendong putri mereka berdiri di depan mobil.“Ini rumah kita, rumah baru kita hadiah dari Alya untuk si Kecil,” jawab Gavin kemudian.Sontak Yeni membelalakkan matanya terkejut dengan jawaban Gavin.“Alya memberinya untuk kita? Tapi ... ini ‘kan salah satu perumahan elit dengan harga fantastis di kota ini. Apa Alya tidak merug
Gavin mengerjapkan mata berulang kemudian membukanya perlahan saat mendengar isakan tangis Yeni. Ini hampir tengah malam dan Gavin baru saja memejamkan mata namun kini dia harus kembali terjaga. Acara tasyakuran dan selamatan si Kecil seharian tadi membuat Gavin sangat kelelahan. Gavin menggeliatkan tubuh kemudian melihat istrinya sedang duduk di atas kasur sambil menggendong si Kecil dan terus menangis.Sontak Gavin bangun, menyibak selimut dan mendekat ke Yeni.“Ada apa, Sayang?” tanya Gavin dengan suara seraknya khas bangun tidur.Yeni tidak menjawab namun terus menangis. Gavin makin kebingungan melihatnya kemudian dia melirik ke arah si Kecil yang terdiam di pangkuan Yeni. Gavin makin terkejut saat melihat bayi kecil itu sudah membiru badannya.“Sayang, apa yang terjadi?” tanya Gavin sambil menyambar putri kecilnya.Yeni terus menggeleng dan masih dengan isakan tangis tanpa menjawab pertanyaan Gavin. Gavin panik, ia suda
Gavin terkejut mendengar ucapan Yeni barusan. Ini seperti petir menyambar pohon di siang bolong. Tanpa hujan dan tanpa angin, tiba-tiba Yeni meminta bercerai darinya.“Sayang ... kau tidak sungguh-sungguh mengatakannya, ‘kan?” lirih Gavin bertutur.Ia sangat berharap kalau kata-kata yang baru keluar dari mulut Yeni tadi adalah sebuah gurauan saja. Namun, sepertinya Gavin salah duga karena tidak tampak sedikit pun nada bergurau di ucapan Yeni.“Aku sungguh-sungguh. Aku ingin cerai darimu,” tandas Yeni.Gavin menghela napas panjang. Padahal baru saja kemarin Yeni bersikap manis dan baik kepadanya kenapa hari ini dia sudah berubah seratus delapan puluh derajat. Apa seperti ini ibu yang sedang mengalami baby blues.Gavin terdiam kemudian mengulurkan tangan membelai rambut Yeni, merapikan anak rambutnya lalu menyelipkan ke belakang telinga dengan lembut. Kini tangannya sudah beralih membelai pipi Yeni yang tampak lembab kar
Pagi yang sendu menyambut Alya dengan mendung yang bergelayut. Alya baru saja memarkir mobilnya di rumah sakit. Hari ini sebelum berangkat ngantor Alya sengaja mampir ke tempat Putri dirawat. Sudah hampir lima hari Gavin tidak masuk kerja karena harus menjaga putrinya. Kondisi Yeni sama dengan sebelumnya, dia tidak peduli dengan Gavin apalagi dengan keadaan buah hatinya. Ini sangat miris, tetapi Gavin menerimanya dengan lapang dada.Usai kejadian beberapa hari semakin membuat Alya yakin untuk memperhatikan kakak angkatnya. Secara tidak sadar Gavin sudah menyesali pilihannya untuk menerima perjodohan dengan Yeni. Mungkin ini tidak patut ditiru, tetapi Alya cukup senang saat Gavin menuturkan penyesalannya. Dengan begitu ada sedikit celah untuk masuk ke hati Gavin dan mendapatkannya.Alya membuka pintu kamar rawat inap perlahan, ia melihat Gavin sedang menggendong Putri sambil mendendangkan sebuah lagu. Alya tersenyum dan tampak senang melihat pemandangan yang mengharukan
Sisa hujan tadi pagi masih terlihat di pelataran rumah Gavin dengan genangan-genangan di beberapa bagian. Sepertinya hujan pagi ini merata menyiram bumi di mana saja. Gavin sudah memarkir dengan rapi mobilnya di garasi. Siang ini dia memang menyempatkan pulang ke rumah saat babysitter putrinya datang ke rumah sakit. Gavin berjalan keluar mobil dan langsung masuk ke dalam rumah. Bu Aminah langsung menyambut Gavin yang datang dengan sebuah senyuman teduhnya. “Gimana keadaan Putri, Vin?” tanya Bu Aminah kemudian. Gavin tersenyum kemudian sudah mendekat ke Bu Aminah. “Alhamdulillah, Bu. Besok Putri boleh pulang,” jelas Gavin. Sontak raut kegembiraan langsung terpancar dari wajah tua Bu Aminah. Ia senang akhirnya bisa melihat cucunya lagi. “Yeni mana, Bu?” tanya Gavin kini sambil sibuk celinggukan. “Tadi di kamar, tapi gak tahu lagi,” ucap Bu Aminah. “Ya sudah, biar Gavin lihat di kamar. Oh ya, Ibu sudah makan?” kembali Gavin bertanya.
Hujan baru saja mengguyur kota malam ini, memberi kesejukan dan sedikit angin segar pada daun-daun yang kering. Memang sudah memasuki musim hujan di awal bulan ini maka tak jarang bila hujan akan semakin sering turun.Alya terdiam duduk di sofa penunggu sambil melirik sosok pria yang sedang menunduk di sampingnya. Gavin baru saja reda menghentikan tangisnya. Alya tidak tahu apa yang sedang terjadi, yang pasti pria bermata sipit di sebelahnya ini sedang terpuruk. Alya hanya diam menurut saat kakak angkatnya itu memintanya memeluk erat tanpa banyak bicara.“Aku akan masuk kerja mulai besok, Al,” tiba-tiba Gavin bersuara.Ia sudah mengangkat kepala dan menatap Alya dengan sendu. Alya hanya menghela napas sambil mengangguk.“Apa tidak masalah, Mas? Kalau memang masih diperlukan Mas boleh ambil cuti, kok,” urai Alya.Secepat kilat Gavin menggelengkan kepala.“Gak, Al. Aku lebih baik masuk kerja saja dan tidak larut s