“Ba… bagaimana ini bisa terjadi?” batin Giselle sangat syock menyadari dia tidur bersama pria asing. Wanita itu bergerak perlahan menuruni ranjang tanpa ingin membangunkan pria yang tidur di sampingnya. Kemudian, dia berjalan pelan memungut pakaiannya yang berserakan di lantai dan bergegas masuk ke kamar mandi. “Aku pasti sudah gila,” batin Giselle saat bayangan-bayangan kejadian semalam bermunculan di kepalanya. Pria itu membawa Giselle ke dalam hotel, dan mereka seperti sepasang kekasih yang sedang memadu kasih. Giselle merasakan getaran ketidakpastian di dalam dirinya. Setiap langkah yang diambilnya menuju kamar mandi dihantui oleh ingatan samar tentang malam yang baru saja berlalu. Dia mengusap wajahnya, mencoba mengusir kebingungan yang menggelayuti pikirannya. Di bawah hangatnya air shower, dia berusaha menenangkan diri. "Ini hanya kesalahan," gumamnya pada refleksi di cermin, "Aku hanya terhanyut dalam suasana, mungkin terlalu banyak minum."Namun, saat air mengalir di kul
“ Joel!” Gisella memasuki ruangan Joel tanpa mengetuk pintu. Di dalam ruangan, sedang ada orang dari divisi lain yang sedang berdiskusi dengan Joel. “Apa kamu tidak tau, tata krama memasuki ruangan orang lain?” sindir Joel dengan nada yang sangat dingin membuat Gisella memalingkan wajah antara malu dan rasa bersalah. “Aku akan menunggumu sampai selesai,” jawab Gisella akhirnya dan mengambil duduk di atas sofa yang ada di ruangan itu. Joel tidak mempedulikannya dan kembali melanjutkan diskusinya dengan anak buahnya. Suasana di dalam ruangan kembali hening, kecuali suara diskusi yang terus berlangsung. Gisella merasa seolah ada dinding tak terlihat yang memisahkan dirinya dengan Joel. Dia mencoba untuk tetap tenang dan tidak menunjukan betapa canggungnya situasi itu baginya.Mata Gisella melirik ke arah Joel, yang tampak sangat fokus dan profesional. Namun, di dalam hatinya, ada rasa kekecewaan yang mendalam. Dia tahu bahwa tindakannya masuk tanpa mengetuk pintu adalah kesalahan, te
Aerline menatap ponselnya yang sudah menunjukkan pukul tujuh malam. Dan di apartemen dia hanya sendirian, Freyya sudah kembali sejak sore tadi. “Joel lagi ngapain, ya. Dia masih kerja kayaknya,” gumam Aerline bangkit dari duduknya sambil meletakkan ponselnya ke atas meja. Dia berjalan ke dapur dan membuka kulkas, ternyata sudah penuh dengan sayuran dan beberapabahan masakan. Bahkan ada daging, ikan, udang, bahkan kerang. Joel selalu tau apa yang disukai Aerline. “Dia tau kalau aku sangat suka sangat suka udang dan kerang,” gumamnya tersenyum. Perasaan menghangat saat menyadari kalau Joel sama sekali tidak melupakannya dan masih ingat apa yang dia suka.Aerline tersenyum kecil sambil memandangi isi kulkas yang dipenuhi bahan-bahan makanan favoritnya. Ada perasaan hangat yang muncul saat dia menyadari perhatian kecil yang diberikan Joel. Meskipun tak ada pesan atau kabar langsung dari Joel malam ini, Aerline tahu bahwa tindakan-tindakan kecil seperti ini adalah caranya menunjukkan ra
“Selamat makan,” ucap Aerline, berusaha menampilkan semangatnya meski ada sedikit rasa tidak nyaman di dalam. “Selamat makan, Aerly. Aku yakin ini pasti enak,” jawab Joel dengan penuh keyakinan, sambil mengambil sendoknya dan mencicipi masakan yang telah disiapkan Aerline.Saat Joel mengunyah, Aerline memperhatikan ekspresinya dengan penuh harap. Senyuman mulai terbentuk di wajah Joel saat rasa makanan itu menyentuh lidahnya. “Ini, luar biasa! Kamu harus masak lebih sering, bahkan saat kamu tidak sakit,” serunya, membuat Aerline merasa bangga. “Manfaatkan keahlian memasakmu untuk membuat masakan seperti ini, bukan mie instan. Kalau males masak, kamu bisa makan di restoran atau pesan online. Atau, kamu bisa menghubungiku untuk nemenin kamu makan,” ujar Joel. “Benarkah? Aku bisa menghubungimu kapan saja untuk nemenin aku makan?” tanya Aerline menatap Joel dengan intens di depannya.“Ya. Aku akan usahakan untuk selalu nemenin kamu,” ujar Joel tersenyum manis di sana. “Baiklah, aku ak
“Selamat pagi, semuanya.” Aerline menyapa semua rekan kerjanya. “Kamu sudah sehat, Lin?” tanya salah satu rekannya. “Ya, sudah lebih baik,” jawab Aerline melihat ke arah Maya yang hanya diam saja. Aerline tau, rekaman yang tersebar dan membuat banyak orang salah paham. Aerline berjalan mendekati meja Maya di sana. “Maya, soal rekaman video itu, aku benar-benar minta maaf,” ujar Aerline merasa bersalah. “Antara aku dan Leon tidak ada apa-apa.”Maya menoleh ke arah Aerline. “Kamu tidak perlu minta maaf, Lin. Lagipula, aku bukan siapa-siapa Leon. Dan, Leon punya hak memilih, walau itu kamu. Aku beneran gak apa-apa, kok,” ujar Maya tersenyum manis di sana. Tetapi jelas, sorot matanya tidak menunjukkan baik-baik saja. Bahkan tadi dia pun tidak menyapa Aerline. “Tapi, May-”“Kembalilah ke mejamu, Lin. Aku harus pergi ke ruang manager Chris untuk menyerahkan laporan.” Maya bangkit dari duduknya dan meninggalkan Aerline yang terpaku di tempatnya. Aerline merasa hatinya berat saat meliha
“Arlin!” panggil Leon menghentikan langkah Aerline yang hendak pergi ke ruangan wakil Direktur untuk menyerahkan laporan. “Oh, Leon,” jawab Aerline menghentikan langkahnya. Dia cukup canggung berhadapan dengan Leon, mengingat berita yang tersebar tentang dirinya dan Leon. Walau itu bukan perbuatan dan salah Aerline, tetapi dia tetap merasa canggung. Ditambah dengan Maya yang merasa cemburu padanya dan Leon. “Gimana keadaanmu? Apa perutmu masih terasa sakit?” tanya Leon. “Sudah lebih baik, sih. Ngomong-ngomong, maaf soal video itu,” ucap Aerline menatap Leon dengan tatapan rasa bersalah. “Kenapa kamu yang harus minta maaf?” tanya Leon tersenyum manis di sana. “Itu, karena-” Tatapan mereka terpaut satu sama lain. “Ini bukan salah kamu, Arlyn. Jelas ada kesalahanpahaman, dan orang yang menyebar luaskan videonya lah yang salah. Kita hanya korban kesalahpahaman,” ujar Leon. “Tapi karena hal itu, semua orang di kantor menganggap kita berpacaran,” ucap Aerline. “Apa seharusnya kita m
Joel pun memutar balik mobilnya dan mencari parkiran yang kosong. Saat menenmukannya, Aerline sudah turun dari mobil terlebih dulu.“Sabar, dong.” Joel mengatakan hal itu membuat Aerline tersenyum merekah. Joel memang sangat tau kalau Aerline adalah gadis petakilan yang sangat aktif. Semangatnya tidak pernah surut untuk bermain-main.Ketika mereka berjalan menjauh dari jalan utama, suara bising keramaian semakin jelas terdengar. Bau makanan yang digoreng dan aroma manis dari kue-kue menguar di udara, membuat perut Joel sedikit keroncongan.“Lihat, itu pameran kerajinan tangan!” seru Aerline sambil menunjuk ke arah stan-stan berwarna-warni. Matanya berbinar-binar melihat berbagai barang unik yang dipamerkan. “Ya, itu terlihat menarik,” jawab Joel sambil tersenyum, walaupun hatinya masih merasa khawatir akan kondisi Aerline. Dia berusaha ingat untuk tidak mencemaskan keadaan mereka dan menikmatinya meskipun hanya sejenak.Aerline berlari ke salah satu stan yang menjual gelang handmad
“Akhirnya kamu datang,” sambut Gisella di lobi restoran. “Semua keluarga sudah menunggumu.”Gisella kembali bersikap ramah padanya. Seakan tidak pernah terjadi apapun sebelumnya. Berkali-kali pun Joel menolaknya, wanita itu tetap tidak menganggapnya. Joel tidak merespon Gisella dan berjalan memasuki restoran bersama Gisella. Hingga mereka berdua sampai di ruang pribadi dan terlihat orang tua Joel dan orang tua Gisella duduk di meja itu dengan hangat. “Joel sudah datang,” ucap Ibunya yang bernama Bailee. Wanita itu bukanlah ibu kandung Joel, melainkan ibu tirinya. Ada ayah dan adik laki-lakinya di sana. “Selamat datang, Joel!” sapa ayahnya yang bernama Abraham dengan senyum lebar, meski ada sedikit keraguan di matanya. Joel hanya mengangguk pelan, masih merasa tidak nyaman dengan situasi ini.“Gisella, terima kasih sudah mengantar Joel,” ucap Bailee, dengan nada yang ramah. "Kami sudah menunggu dan menyiapkan semuanya."Gisella tersenyum lebar, bangga bisa menjadi pusat perhatian me
“Joel, bertahanlah, kumohon... “ Aerline terus memegang tangan Joel yang saat ini berada di atas brankar rumah sakit. Para perawat berjalan cepat sambil mendorong brankar yang ditempati Joel, tangan Aerline yang penuh dengan darah, tidak kunjung terlepas dari tangan Joel. “Kumohon bertahanlah, Joel. Jangan tinggalkan aku,” isaknya.Aerline tak bisa menghentikan tangisnya, suara isakan yang keluar dari tenggorokannya begitu dalam dan penuh penderitaan. Semua yang ada di sekelilingnya seolah menghilang, hanya ada Joel, dan ia ingin sekali menyelamatkannya, meski ia tahu ini adalah hal yang di luar kekuatannya.Mereka sampai di ruang gawat darurat, dan para dokter segera bergerak cepat, memindahkan Joel ke meja perawatan. Aerline dipaksa untuk mundur, namun tangannya tetap terulur, berharap ada sesuatu yang bisa menghubungkannya dengan Joel, yang kini terbaring lemah.Seorang dokter mendekat, mencoba menenangkan Aerline. “Coba tenang, Nona. Kami akan melakuk
“Pak, apa ini masih lama?” tanya Aerline begitu gelisah sambil melihat jam tangan di pergelangan tangannya. Ya, sejak kemarin dia terus merasa bimbang, sampai akhirnya dia memutuskan untuk menemui Joel dan bicara kembali. Ini adalah kesempatan terakhir dari Aerline untuk perasaannya sendiri. Kalau, sekarang situasi kembali seperti sebelumnya, dia memutuskan untuk menyerah walau sebenarnya hatinya masih begitu keras kepala dan ingin terus bersama Joel. “Sepertinya ada perbaikan jalan di depan sana,” ucap sopir taksi. Aerline menyesal karena tidak memakai ojeg online. “Kalau begitu saya turun di sini saja, Pak,” ucap Aerline. “Saya tahu jalan alternatif, Bu. Kalau buru-buru, saya akan coba ambil jalan itu,” ucapnya. “Boleh, Pak, terima kasih.”Aerline membuka tasnya dan mengeluarkan ponsel, mengetikkan pesan singkat kepada Lyman untuk memberi tahu bahwa dia akan segera menuju bandara. Rasanya berat sekali, tetapi dia tahu ini a
“Kok cepet banget udah balik?” tanya Lyman saat Joel sudah kembali ke apartemen temannya itu. Di sana juga ada Richard yang sedang duduk dan bermain kartu dengan Lyman. Mereka sama-sama memperhatikan Joel yang menghela napas panjang sambil duduk di sofa. “Kalian udah bicara? Kaivan sudah kasih izin, loh,” ucap Richard menimpali. “Dia gak mau bicara padaku dan memilih menghindar,” jawab Joel. “Dia benar-benar sudah menyerah padaku dan memutuskan untuk berkomunikasi lagi denganku,” Lyman dan Richard saling bertukar pandang. Keduanya memahami situasi sulit yang sedang dialami Joel, tetapi tidak tahu harus berkata apa. Mereka tahu betapa keras kepala Joel dalam mempertahankan perasaannya untuk Aerline."Ya, setidaknya kamu udah coba, bro," ujar Lyman mencoba menenangkan. "Kalau dia butuh waktu atau emang gak bisa lagi, mungkin kamu harus belajar nerima."Joel menyandarkan punggungnya ke sofa, menatap langit-langit apartemen dengan pandanga
Aerline masih membeku di tempatnya saat Joel berjalan mendekatinya. Wanita itu merasa ini hanya khayalannya saja, tetapi sosoknya begitu nyata, bahkan debaran jantungnya berdebar sangat cepat sekali. “Hei...” sapa Joel saat sudah berdiri di hadapan Aerline yang masih menatapnya dengan tatapan terkejut. “Joel?” gumamnya. Joel tersenyum canggung di sana. Dan situasinya semakin menegangkan, tatapan keduanya menyiratkan kerinduan yang begitu mendalam. “Aku udah izin sama Abangmu, katanya tidak boleh lebih dari jam sembilan,” ucap Joel membuka suaranya sambil melihat jam tangan yang melingkar di pergelangan tangannya. “Masih ada waktu satu jam lagi.” Joel kembali melihat ke arah Aerline di hadapannya. “Apa kamu bisa memberiku waktu untukku, Aerly?” tanya Joel. Aerline memalingkan wajahnya, tanpa mengatakan apa pun dia berjalan mendekati bibir pantai. Dia masih berpikir, kalau sosok Joel hanya halusinasinya saja.Namun, langkah Aerl
Tiga Bulan Kemudian... Aerline tidak menyangka kalau dia akan melewati waktu selama ini dengan segala kesibukannya bekerja, tanpa mengenal lelah dan waktu. Dia ingin seluruh pikirannya, hanya terfokus pada apa yang sedang dia kerjakan sekarang, walau terkadang, dia merasa lelah dan kembali teringat tentang sosok Joel. Kadang, dia ingin sekali bertanya pada Kaivan, apa mereka benar-benar menikah. Atau dia ingin bertanya pada Lyman, bagaimana kabar Joel di sana, apa dia sehat, apa dia bahagia. Sayangnya, Aerline sudah bertekad untuk benar-benar menghilangkannya dari pikiran, walau sangat sulit untuk menghilangkan nama Joel dari hatinya. Saat ini, Aerline sedang berjalan seorang diri menyusuri bibir pantai dengan menenteng tas tangannya. Sepulang meeting di luar kantor dengan klien, dia memutuskan untuk berjalan-jalan ke pantai dan menikmati waktu kesendiriannya. Aerline berjalan menyusuri dermaga yang terbuat dari kayu, berjalan sampai ke bagian u
“Gimana hari pertamamu, Lin?” tanya Kaivan sambil bersandar di pintu. Ini sudah jam pulang dan sebagian rekan kerjanya sudah pulang.Aerline menoleh dan tersenyum kecil. “Lelah, tapi aku menikmatinya.”“Bagus. Itu yang penting,” ujar Kaivan dengan bangga.Hari pertama Aerline di kantor berakhir dengan perasaan lega dan puas. Meski masih banyak yang harus dipelajari, dia tahu bahwa dia sudah mengambil langkah besar untuk keluar dari masa-masa sulitnya. Malam itu, saat dia pulang ke rumah, Aerline merasa lebih percaya diri dan penuh harapan untuk hari esok.“Kalau sudah selesai, ayo pulang. Kebetulan Khayra masak banyak, kamu makan malam di rumah Abang saja,” ucap Kaivan.“Dalam rangka apa nih?” tanya Aerline.“Tidak ada, hanya makan malam bersama saja,” jawabnya tersenyum merekah.“Baiklah.” Aerline membereskan meja kerjanya, mematikan laptop dan memasukkan ponsel ke dalam tas tangannya, Kemudian dia bangkit dari duduknya.“Yuk, Bang.”Kaivan mengangguk dan berjalan di samping Aerline
Aerline berdiri di depan cermin besar di sudut kamarnya. Matanya menatap lekat pantulan dirinya, seolah mencari keyakinan di balik sosok yang tampak elegan namun sedikit gelisah. Kemeja putih dengan potongan simpel yang dipadukan blazer abu-abu terang membalut tubuhnya, memberikan kesan profesional yang biasa dia kenakan saat bekerja bersama Joel. Ya, sekali lagi nama Joelio terlintas di kepalanya.Dia menghela napasnya sambil merapikan helaian rambut yang tergerai di bahunya, memastikan setiap detail terlihat sempurna. Sepatu hak rendah yang berwarna senada dengan blazernya sudah siap di kaki. Aerline menarik napas panjang, mencoba menenangkan debaran di dadanya."Memulai aktivitas baru. Ya, aku harus fokus dan bisa beradaptasi dengan baik," gumamnya pelan, suaranya hampir tenggelam di ruangan yang sunyi. "Aku bisa melakukannya."Namun, di balik senyum tipis yang ia coba paksakan, ada perasaan ragu yang tak bisa sepenuhnya ia hilangkan. Apakah dia cukup mampu? Apa
“Jadi, harus kembali sekarang?” tanya Aerline yang saat ini berada di bandara mengantar Leon untuk kembali. “Ya, aku harus kembali sekarang. Aku harap Mr. Hainer memberiku tambahan cuti, sayangnya sejak kemarin dia terus menghubungiku,” keluh Leon dengan ekspresi berpura-pura sebal membuat Aerline tersenyum di sana. “Ya, jangan sampai kamu jadi pengangguran karena aku,” kekeh Aerline. “Mungkin aku bisa numpang hidup padamu, Nona besar,” goda Leon. Aerline terkekeh di sana. “Tapi aku tidak biasa memelihara seorang pria.”Leon tertawa kecil mendengar jawaban Aerline, lalu mengangkat bahu seolah tidak tersinggung. “Kamu benar, aku terlalu mahal untuk dipelihara,” balasnya dengan nada bercanda, membuat Aerline menggeleng pelan.“Tapi, serius, terima kasih sudah meluangkan waktu untuk menemaniku. Rasanya seperti recharge penuh sebelum kembali ke rutinitas,” ujar Leon dengan nada tulus.Aerline tersenyum lembut. “Sama-sama. Aku juga senang b
“Hei...” sapa Leon yang sudah berdiri di depan gerbang rumah Aerline. “Hei... Waw! Apa ini?” tanya Aerline terkejut melihat Leon menaiki sebuah motor sport di sana. “Bagaimana penampilanku? Menarik, bukan?” kekehnya dengan menaikkan bahunya penuh rasa bangga. “Oke, ya kau seperti anak muda sekarang,” kekeh Aerline. “Tapi ngomong-ngomong, bagaimana kamu mendapatkan motor ini?” tanya Aerline menyentuh bagian depan motor. “Kau tidak mencurikannya, kan?”Leon tertawa keras, menunjukkan senyum lebarnya. “Tentu saja tidak, Nona detektif! Aku menyewanya. Ternyata cukup mudah mendapatkan motor sport seperti ini di sini. Dan, aku rasa ini cara terbaik untuk menikmati jalanan Indonesia,” ujarnya sambil menepuk jok motor dengan penuh rasa bangga.Aerline menggeleng pelan sambil tersenyum. “Kau benar-benar serius ingin merasakan sensasi jadi anak motor di Indonesia, ya?” candanya.Leon menanggapi dengan anggukan percaya diri. “Tentu saja. Aku ingin merasakan seperti