Joel pun memutar balik mobilnya dan mencari parkiran yang kosong. Saat menenmukannya, Aerline sudah turun dari mobil terlebih dulu.“Sabar, dong.” Joel mengatakan hal itu membuat Aerline tersenyum merekah. Joel memang sangat tau kalau Aerline adalah gadis petakilan yang sangat aktif. Semangatnya tidak pernah surut untuk bermain-main.Ketika mereka berjalan menjauh dari jalan utama, suara bising keramaian semakin jelas terdengar. Bau makanan yang digoreng dan aroma manis dari kue-kue menguar di udara, membuat perut Joel sedikit keroncongan.“Lihat, itu pameran kerajinan tangan!” seru Aerline sambil menunjuk ke arah stan-stan berwarna-warni. Matanya berbinar-binar melihat berbagai barang unik yang dipamerkan. “Ya, itu terlihat menarik,” jawab Joel sambil tersenyum, walaupun hatinya masih merasa khawatir akan kondisi Aerline. Dia berusaha ingat untuk tidak mencemaskan keadaan mereka dan menikmatinya meskipun hanya sejenak.Aerline berlari ke salah satu stan yang menjual gelang handmad
“Akhirnya kamu datang,” sambut Gisella di lobi restoran. “Semua keluarga sudah menunggumu.”Gisella kembali bersikap ramah padanya. Seakan tidak pernah terjadi apapun sebelumnya. Berkali-kali pun Joel menolaknya, wanita itu tetap tidak menganggapnya. Joel tidak merespon Gisella dan berjalan memasuki restoran bersama Gisella. Hingga mereka berdua sampai di ruang pribadi dan terlihat orang tua Joel dan orang tua Gisella duduk di meja itu dengan hangat. “Joel sudah datang,” ucap Ibunya yang bernama Bailee. Wanita itu bukanlah ibu kandung Joel, melainkan ibu tirinya. Ada ayah dan adik laki-lakinya di sana. “Selamat datang, Joel!” sapa ayahnya yang bernama Abraham dengan senyum lebar, meski ada sedikit keraguan di matanya. Joel hanya mengangguk pelan, masih merasa tidak nyaman dengan situasi ini.“Gisella, terima kasih sudah mengantar Joel,” ucap Bailee, dengan nada yang ramah. "Kami sudah menunggu dan menyiapkan semuanya."Gisella tersenyum lebar, bangga bisa menjadi pusat perhatian me
“Siapa kamu?” teriak Aerline benar-benar takut saat melihat sosok pria berjubah hitam dan memegang sebuah pisau di tangannya. Aerline sudah sangat ketakutan di sana, dengan cahaya gelap karena mati lampu. Pria berjubah hitam itu tidak menjawab. Dia hanya berdiri diam, pisau berkilau di tangannya. Aerline bisa merasakan jantungnya berdetak lebih cepat, ingin melarikan diri, tetapi kakinya terasa berat. “Apa yang kamu inginkan?” Aerline berusaha untuk terdengar tenang, meskipun suaranya bergetar. Pria itu mulai mendekat, langkahnya pelan tetapi pasti. Aerline menahan napasnya, mencoba mengingat semua pelajaran bela diri yang pernah dia ikuti, meskipun dia tahu bahwa dalam keadaan panik seperti ini, semua teori itu terasa sia-sia.“Sial!” Aerline melemparkan semua barang yang ada di sekitarnya, tetapi pria itu berhasil menghalaunya satu persatu. Aerline bergerak menjauh darinya dan tanpa pikir panjang, dia naik ke atas mini bar untuk bisa pergi dari sanaBruk! “Ugh!” Aerline meringis
Aerline terbersit kembali ingatan otaknya kata-kata Kaivan saat mengajarinya ilmu bela diri. "Ingat, area sensitif lainnya," bisik suara dalam hatinya. Dengan segenap tenaga yang tersisa, Aerline menendang kaki pria itu dan menancapkan jarinya ke mata pria itu, berharap bisa mendapatkan celah untuk melarikan diri.Pria itu mengeluarkan jeritan kesakitan dan menyingkirkan tangannya dari leher Aerline. Wanita itu terjatuh ke lantai, terengah-engah dan merasa lega bisa bernapas lagi. Namun, dia tahu ini belum berakhir. Dia harus segera pergi sebelum pria itu bisa kembali menyerangnya. Dalam keadaan bergetar, Aerline melompat berdiri dan berlari menuju pintu kamar mandi dan mengunci diri dari dalam. Dia berusaha mengatur napasnya yang masih terbatuk-batuk dan tenggorokannya terasa sangat sakit. Dalam kegelapan kamar mandi yang sempit, Aerline mencoba menenangkan dirinya. Suara detak jantungnya terdengar jelas di telinga, seolah-olah memecah keheningan yang menyesakkan. Dia memandangi
“Aerly?!” Joel sangat terkejut saat tubuh Aerline jatuh ke dalam pelukannya dan tatapan matanya melihat sosok pria di dalam apartemen.Mengetahui ada Joel, pria misterius itu berniat melarikan diri. “Tunggu di sini!” Joel meninggalkan Aerline dan berlari mengejar sosok itu yang hendak melarikan diri melalui jendela yang dia pecahkan. Joel berhasil menangkapnya, hingga terjadi perkelahian sengit di sana. Aerline terdiam di ambang pintu, masih shock melihat kejadian yang berlangsung begitu cepat. Dengar suara benda pecah dan suara gaduh, jantungnya berdegup kencang. Dia bisa merasakan ketegangan di udara, dan rasa khawatir mulai menghantuinya.Sementara itu, Joel berjuang melawan pria misterius itu, masing-masing berusaha mendapatkan keunggulan. Aerline tidak bisa berdiam diri, ia merasa perlu untuk membantu Joel. Meskipun ketakutannya mengganggu, dia berusaha mencari sesuatu yang bisa digunakan.“Joel! Hati-hati!” teriak Aerline, suaranya penuh cemas. Namun, Joel tetap fokus pada
“Apakah kau yakin kau baik-baik saja?” tanya Joel, menggenggam lebih erat tangan Aerline, seolah ingin meyakinkan dirinya bahwa gadis itu dalam keadaan aman.“Ya, aku… aku hanya butuh waktu,” jawab Aerline sambil berusaha menahan air mata. Dia tahu trauma ini tidak akan mudah hilang. Namun satu hal yang pasti, dia merasa terbebas dari ancaman yang menghantuinya selama ini.Joel melihat bekas merah berbentuk tangan di leher Aerline, bahkan ada cakarannya juga. Lutut yang terluka, sudut bibir yang robek dan pelipis yang memar. Dia benar-benar sangat marah. Joel hendak beranjak pergi tetapi dengan cepat, Aerline menahan pergelangan tangannya. “Kamu mau ke mana?” tanya Aerline benar-benar ketakutan di sana. Dia menengadahkan kepalanya menatap Joel. “Aku hanya akan membawakan air untukmu. Tunggu sebentar,” ujar Joel. “Jangan lama… “Joel tersenyum di sana sambil menganggukkan kepalanya. Pria itu pun berlalu pergi untuk mengambil minum di dapur sekalian kotak p3k. Setibanya di dapur,
“Pemandangannya indah sekali. Aku tidak tau kalau Joel tinggal sendirian di sini. Kupikir, dia tinggal bersama orang tuanya,” gumam Aerline menatap pemandangan taman di depannya. Ketukan di pintu membuat wanita itu menoleh ke ambang pintu yang sudah dibuka. “Makanan sudah matang. Ayo, makan malam dulu,” ajak Joel. “Iya,” jawab Aerline tersenyum manis dan berjalan mendekati Joel. Mereka berjalan menuju meja makan yang ada di sana. Mereka duduk di meja makan yang indah itu, sambil menikmati hidangan yang disajikan Joel. Aerline terkesan dengan kemampuan memasak Joel yang ternyata sangat pandai. Makan malam mereka berlangsung dengan suasana yang hangat. "Apa kamu tinggal sendirian di sini, Joel?" tanya Aerline, ingin tahu lebih banyak tentang kehidupan Joel sekarang. Mereka sudah berpisah selama lima tahun sejak Joel dikabarkan pindah ke luar negeri bersama keluarganya dan tidak berada di Indonesia lagi. Joel menganggukkan kepala sambil tersenyum, "Ya, aku tinggal sendiri di sini,”
“Sudah selesai bicaranya?” Aerline menolehkan kepalanya saat mendengar itu. Dia mun berjalan mendekati Joel dengan senyuman terukir di bibirnya. “Sudah selesai,” jawab Aerline. “Apa semua baik-baik saja?” tanya Joel membelai rambut Aerline lembut. “Ya. Semua baik-baik saja,” jawab Aerline tersenyum manis. “Kalau begitu, habiskan makanannya.”Joel dan Aerline kembali ke meja makan. Di sana Aerline kembali menikmati makanannya, sedangkan Joel duduk memperhatikan Aerline dengan meneguk minumannya. “Yang barusan menghubungimu, Freyya teman sekolahmu?” tanya Joel. “Ya, benar. Dia merantau lebih dulu ke sini, dan aku mengikutinya sambil ambil kuliah s2 di sini,” jawab Aerline membuat Joel menganggukkan kepalanya. “Kelihatannya, dia sangat mengkhawatirkanmu,” ujar Joel. “Ya, dia memang selalu seperti itu. Sangat heboh dan berisik, tapi dia paling mengerti dan menyayangiku,” jawab Aerline. Joel tersenyum di sana. “Syukurlah, kamu memiliki sahabat yang baik.” Joel tersenyum sambil men
“Sebenarnya apa yang tadi dimaksud Leon, ya. Dia tidak melihat dan mendengar apa pun, kan?” batin Aerline merasa terusik dengan apa yang dikatakan Leon tadi. “Sudahlah, mungkin hanya salah paham. Sebaiknya aku kembali fokus bekerja,” gumamnya mulai fokus menatap layar laptop di depannya. Aerline berusaha mengalihkan pikirannya dari ucapan Leon yang menggantung dan penuh tanda tanya. Namun, rasa penasaran tetap membayang di benaknya, membuatnya sulit benar-benar fokus. Dia mengetik beberapa baris dokumen di laptopnya, tapi pikirannya terus berputar pada kemungkinan-kemungkinan yang dimaksud Leon.“Apa dia mendengar sesuatu waktu aku bicara dengan Joel tadi? Atau… apa mungkin dia benar-benar tahu?” Aerline bergumam pelan, menggigit bibir bawahnya dengan cemas. Dia merasa bahwa Leon bukan tipe orang yang bicara sembarangan. Jika dia mengatakan sesuatu, pasti ada alasan di baliknya.Namun, Aerline menggelengkan kepala, mencoba mengusir pikiran-pikiran itu. "Fokus, Aerl
“Jadi, aku sebrengsek itu di matamu?” Aerline terkejut saat mendengar bisikan seseorang di belakangnya. Dia langsung membalikkan badannya dan melihat Joel berdiri di belakangnya. “Joel? Apa yang kamu lakukan di sini? Pergilah, nanti ada yang lihat. Kita lagi ada di kantor,” ujar Aerline melihat kanan dan kiri dengan khawatir. “Kenapa begitu gelisah? Memangnya kenapa kalau ketahuan?” goda Joel. “Apa kamu akan memakiku lagi?” Aerline merasa tubuhnya membeku, otaknya berputar cepat mencoba mencari alasan atau cara untuk keluar dari situasi ini. "Joel, aku nggak bermaksud... Maksudku, voice note itu... Aku... Aku mabuk waktu itu!" katanya terbata-bata, wajahnya memerah.Joel menyeringai kecil, tangannya dimasukkan ke saku celananya dengan santai. "Oh, jadi kalau mabuk, semua hal yang kamu sembunyikan keluar begitu saja, ya?" tanyanya dengan nada yang menggoda namun matanya tajam mengamati reaksi Aerline.Aerline menelan ludah, hatinya semakin kalut.
“Apa yang kamu lakukan di rumahku?” tanya Joel merasa kesal karena kehadiran Bailee di sana. Ibu tiri Joel itu berjalan masuk dengan langkah angkuh memasuki rumah Joel. “Apa seperti itu, kamu menyapa ibumu?” tanya Bailee. Joel menatap Bailee dengan sinis. “Kalau tidak ada hal penting. Keluar!” usir Joel tanpa belas kasih. “Kamu selalu saja bersikap dingin padaku, Joel. Padahal dulu kita sangat dekat,” ujarnya dengan seringai. “Keluar!” usir Joel. “Ada jadwal untuk bertemu wedding organizer dan persiapan foto pra wedding dengan Gisella. Luangkanlah waktumu,” ujar Bailee. “Aku sibuk!”“Sibuk berkencan maksudmu?” ujar Bailee tersenyum meremehkan Joel. Bailee mengayunkan kakinya dengan santai, duduk di sofa ruang tamu Joel seolah rumah itu miliknya. Wajahnya tidak menunjukkan rasa terganggu oleh sikap dingin putra tirinya.“Kamu memang keras kepala seperti ayahmu,” kata Bailee dengan nada menyindir. “Tapi ingat, Joel, pernikahanmu dengan Gisella ini bukan hanya untukmu. Ini tenta
“Baru pulang?” tanya Freyya yang ternyata sedang sibuk di dapur saat Aerline sampai di apartemen. “Ya. Apa yang sedang kamu lakukan, Frey?” tanya Aerline berjalan perlahan mendekati dapur. “Aku sedang menghancurkan dapur. Apa kamu tidak lihat kalau aku sedang memasak!” ucap Freyya dengan mendengus. Aerline terkekeh di sana. “Sensi amat, Bu… ““Pergilah mandi, aku akan siapkan makan malam untuk kita berdua,” ujar Freyya. “Oke.”Aerline tersenyum kecil mendengar jawaban Freyya yang ketus tapi hangat. Freyya selalu seperti itu, penuh kehebohan tapi diam-diam peduli. Langkah Aerline melambat sejenak saat melihat kekacauan di dapur, tepung yang tumpah, beberapa alat masak berserakan, dan aroma masakan yang entah berhasil atau gagal tercium samar-samar.“Jangan terlalu lama mandinya, nanti makan malamnya dingin!” seru Freyya dari dapur sambil mengaduk sesuatu di wajan.Aerline hanya mengangguk sambil melangkah ke kamar mandi. Setelah hari yang panjang dan emosional, suara dan kehadiran
“Saya, batalkan pembeliannya,” ujar Gisella yang bergegas pergi dari sana meninggalkan Kyle. Pelayan di sana dibuat terkejut dan hanya bisa melihat kepergian Gisella. “Nona Gisella, tunggu! Apa anda sangat handal menghindar? Bahkan tidak bertanggung jawab atas apa yang terjadi di malam itu,” ujar Kyle masih mengejar Gisella. “Apa yang harus aku pertanggungjawabankan? Itu terjadi, karena kita sama-sama mabuk,” ujar Gisella masih terus berjalan cepat, berharap Kyle pergi. Kyle menghentikan langkahnya dan menatap punggung Gisella dengan tatapan tajam. “Kamu pikir itu alasan yang cukup? Mengabaikan semuanya hanya karena kita mabuk?”Gisella menghentikan langkahnya, menghela napas panjang sebelum berbalik menghadap Kyle. “Lalu apa yang kamu mau dariku, Tuan Kyle? Penyesalan? Permintaan maaf? Atau... tanggung jawab seperti yang kamu katakan?” tanya Gisella dengan kesal. Kyle mendekat, nadanya berubah lebih lembut. “Aku hanya ingin kita bicara, Nona. Bukan seperti ini, terus menghindar
“Hei, Lin. Ada apa denganmu? kedua matamu sembab, apa kamu habis menangis?” tanya Agnes. “Aku baik-baik saja,” jawab Aerline di sana. “Aku hanya merasa sedih saja.” “Apa kamu ada masalah? katakanlah, jangan memendamnya sendiri,” ucap Agnes. “Bukan hal besar. Hanya merasa kecewa karena orang yang sangat kupercaya membohongiku,” ucap Aerline.Agnes menatap Aerline dengan penuh perhatian. Ia bisa melihat dengan jelas bahwa ada sesuatu yang mengganggu temannya. Meski Aerline mencoba tersenyum, matanya yang sembab dan wajah yang tampak lelah mengkhianati perasaan yang sebenarnya."Lin, kamu tahu kan aku selalu ada buat kamu? Kalau kamu mau cerita, aku siap mendengarkan," ujar Agnes lembut, mencoba membuat Aerline merasa nyaman.Aerline menghela napas panjang, pandangannya menerawang ke arah jendela. "Bukan hal besar, Agnes. Aku hanya... kecewa," ucapnya dengan nada datar, meskipun rasa sakit di hatinya terdengar jelas dalam suaranya.Agnes mengerutkan alis. "K
Aerline membuka laptopnya, jemarinya dengan cekatan mengetikkan beberapa dokumen yang perlu disiapkan untuk meeting Joel bersama Manager. Tatapannya fokus, sesekali dia memeriksa ulang setiap detail untuk memastikan semuanya sempurna. Setelah selesai, dia menekan tombol *print* dan mendengar suara lembut printer yang mulai bekerja.Tumpukan kertas hasil cetakan segera ia ambil, lalu ia beranjak dari kursinya. Langkah Aerline terarah menuju ruang fotokopi, sebuah ruangan kecil yang terletak di sisi kosong dekat gudang kantor. Suasana di sana terasa sepi, hanya terdengar bunyi halus pendingin ruangan dan deru mesin penghancur kertas yang baru saja digunakan oleh seseorang.Aerline menyalakan mesin fotokopi dan mulai menggandakan dokumen-dokumen yang tadi diprint. Sambil menunggu, pikirannya sedikit melayang ke kejadian saat Joel bersama Gisella yang tampak serasi. Hal itu, seakan membuat Aerline sadar, kalau Joel lebih cocok dengannya dibanding dengan Aerline. “Apa kamu akan terus men
“Kamu yakin akan masuk kerja?” tanya Freyya saat Aerline sudah bersiap dengan setelan kerjanya. Dia memakai pakaian milik Freyya yang memang seukuran dengannya.“Ya, aku akan masuk kerja. Gimana pun, aku tidak bisa terus menerus menghindar. Aku harus menghadapinya,” ujar Aerline. “Baiklah, kalau memang sudah merasa lebih baik,” ujar Freyya. “Ya, seharian kemarin aku sudah menenangkan diri. Dan kurasa, aku akan bisa dan sanggup menghadapinya sekarang,” ujar Aerline. “Apa rencanamu selanjutnya? Apa kamu akan kembali tinggal bersamanya?” tanya Freyya. “Tidak. Aku sudah pernah memutuskan kalau aku hanya tinggal di sana selama tiga hari. Lalu pindah ke sini,” ucap Aerline. “Ya, lebih baik begitu. Setidaknya, menjaga jaraklah, supaya Joel bisa lebih melihatmu,” ujar Freyya membuat Aerline terdiam. “Sarapan dulu sebelum berangkat. Aku sudah membuatkan roti panggang isi,” ujar Freyya. Mereka pun berjalan menuju mini bar dan duduk berhadapan. Aerline melihat piring berisi roti panggang
Tok! tok! tok!“Ya, sebentar,” jawab Freyya berjalan membuka pintu apartemennya. Dia cukup terkejut melihat siapa yang berdiri di depan pintu.“Lin?” panggil Freyya.Aerline berjalan mendekati Freyya dan memeluk sahabatnya dengan perasaan sakit bukan main. Walau dia sadar, hal ini pasti terjadi, tetapi entah kenapa rasanya jauh lebih sakit dari yang dibayangkan.Freyya yang mengetahui apa yang terjadi, hanya diam dan mengelus punggung Aerline dengan lembut di sana.“Kita masuk, ya,” ucap Fretta membuat Aerline menganggukkan kepalanya.Freyya menutup pintu perlahan setelah Aerline masuk ke apartemennya. Ruangan itu hangat, namun suasana yang dibawa Aerline terasa berat, seolah setiap langkahnya meninggalkan jejak kesedihan. Freyya memandu Aerline menuju sofa di ruang tengah. “Duduklah dulu,” ujar Freyya lembut, sambil menuangkan segelas air untuk Aerline. Dia meletakkannya di meja dan duduk di sebelah sahabatnya.Aerline menghela napas panjang, mencoba menenangkan diri, tetapi matanya