แชร์

Bab 3. Mansion

ผู้เขียน: Yuwen aqsa
last update ปรับปรุงล่าสุด: 2025-03-22 20:14:45

Mobil hitam yang dikendarai Rega berhenti tepat di depan gerbang besi tinggi yang menjulang kokoh, menghalangi pandangan dari luar. Logo AL yang artinya adalah Aldric karna mansion dan seluruh penghuninya adalah keluarga besar Aldric. Tak lama, gerbang itu bergeser perlahan ke samping, membuka akses menuju bagian dalam mansion.

Begitu pintu gerbang terbuka sepenuhnya, Rega kembali menekan pedal gas dengan tenang, membawa mobil masuk ke area utama. Jalanan berpaving merah tua membentang lurus, diapit deretan pohon cemara yang tumbuh rapi di kedua sisi. Lampu-lampu taman menyala temaram, menciptakan bayangan-bayangan panjang di sepanjang jalan. Suasana sepi dan terjaga, seperti mansion ini tak pernah sembarang menerima tamu.

Mobil melambat saat mendekati area garasi, lalu berhenti tepat di tempat yang memang biasa digunakan untuk parkir kendaraan Ghazven.

Rega segera keluar dari kursi kemudi, memutari mobil, dan membukakan pintu belakang. Ghazven keluar tanpa suara, langkahnya mantap seperti biasa. Sebelum melangkah pergi, ia sempat merapikan jaket panjang hitam yang membungkus tubuhnya, mengancingkan satu kancing di bagian tengah.

Tanpa banyak bicara, pria itu mulai melangkah menyusuri teras utama yang panjang, ubin hitam mengilap di bawah sepatunya memantulkan sedikit siluet tubuhnya. Lampu gantung di depan pintu utama bergoyang pelan tertiup angin, namun tak ada suara lain selain gesekan sol sepatunya dengan lantai batu.

Begitu masuk ke dalam mansion, Ghazven langsung disambut dengan atmosfer yang berbeda dari biasanya. Ruangan utama terasa penuh, tidak hanya karena dekorasi mewah yang menghiasi setiap sudutnya, tetapi karena orang-orang yang sudah berkumpul di sana.

Tuan Rakson duduk di kursi utama, tubuhnya tegap dan sorot matanya menusuk seperti biasanya. Pria itu tak pernah berubah, selalu tampak lebih seperti pemimpin perusahaan dibanding seorang ayah.

Di sebelahnya duduk dua wanita. Kedua istri yang masih sah sampai hari ini. Istri kedua, wanita berpenampilan elegan dengan rambut disanggul rapi, adalah ibu kandung Reiven. Namanya Gista. Wajahnya tenang, tapi tatapannya tidak pernah lepas dari Ghazven. Ia bukan tipe yang suka bicara, tapi semua orang tau, dialah yang punya pengaruh besar dalam keputusan rumah tangga Rakson.

Sementara itu, istri ketiga duduk dengan posisi sedikit lebih ke belakang. Usianya lebih muda, wajahnya cantik tapi menyimpan raut yang sulit ditebak. Gaunnya modern dan mencolok, berbeda dengan penampilan kalem istri kedua. Ia terlihat tidak terlalu tertarik dengan kedatangan Ghazven, tapi tatapannya diam-diam mengamati.

Tak jauh dari mereka, Reiven bersandar santai di ujung sofa. “Pulang juga si berandal,” gumamnya lirih, tapi tetap mampu didengar Ghazven.

Ghazven hanya melirik tanpa minat. Langkahnya baru berhenti ketika Nenek Juita berdiri dari kursinya dan menghampirinya. Wanita tua itu masih tampak kuat meski usia sudah lanjut. Ia adalah satu-satunya orang di ruangan itu yang benar-benar tampak tulus menyambut Ghazven.

“Ghaz,” ucapnya pelan, menggenggam tangan cucunya dengan erat. “Kamu pulang juga. Ayok duduk.”

Ghazven menunduk sedikit, memberikan hormat halus yang hanya ia tunjukkan pada wanita ini. Tak mengatakan apa-apa, Ghazven mengikuti nenek untuk duduk tepat di sofa sebelah nenek.

“Nenek sudah menyuruh bagian dapur untuk membuat sup ayam kesukaanmu. Nanti makan malam di sini.” Nenek menepuk-nepuk punggung tangan Ghazven pelan.

Ghazven tersenyum kecil, dia menganggukkan kepala pelan.

“Ghazven,” panggil Rakson.

Ghazven melirik papanya tanpa kata.

“Reiven sudah selesai kuliah. Ajak dia masuk ke perusahaan. Biarkan dia membantumu.” Tuan Rakson mengutarakan niatnya.

Ghazven melirik ke arah Raiven dengan sudut bibir yang tertarik ke atas. “Jadi security pun dia tak akan mampu.”

“Kamu—“ tuan Rakson naik pitam.

Nyonya Gista menegakkan duduk. “Reiven tak serendah kamu, Ghaz! Dia lulusan terbaik di Prancis!”

“Nggak ada yang tanya.” Santai Ghazven membalas.

Reiven beranjak dengan telunjuk yang menuding Ghazven. “Pa, liat! Dia tidak mau memasukkanku ke perusahaan.”

Rakson menatap Reiven sebentar, lalu kembali mengarah ke Ghazven. Sorot matanya dingin, tapi mengandung tekanan kuat. “Dia adikmu, Ghazven. Kamu harus beri dia tempat.”

Ghazven menyandarkan punggung ke sandaran kursi, menyilangkan kaki santai, tapi matanya tetap menatap ayahnya tanpa gentar. “Kalau memang mau kasih dia tempat, kasih aja perusahaan satelit yang Bapak bangun sama istri ketiga. Jangan usik milik mamaku.”

Wajah Rakson menegang.

“Berani sekali kamu bicara begitu! Reiven berhak mendapat kesempatan, apalagi perusahaan itu milik keluarga—” nyonya Gista yang menyahuti.

“Milik keluarga?” Ghazven menyela. Nadanya datar, tapi cukup untuk membuat ruangan terasa makin dingin. “Perusahaan itu milik mamaku. Lebih tepatnya milik kakekku.” Ghazven melirik nenek Juita. “Kakekku, almarhum suami nenekku ini. Dan kalian semua tau itu.”

“Mamamu sudah meninggal. Dia menyuruh papa mengurusinya dan kamu dengan seenaknya merebut!” seru Reiven, kali ini emosinya meledak. “Aku punya hak!”

Ghazven bangkit dari duduknya. Gerakannya pelan tapi mengintimidasi. Ia melangkah mendekati Reiven, dan ketika jaraknya tinggal satu langkah lagi, ia menunduk sedikit, menatap adik tirinya tepat di mata.

“Sadar diri. Kamu itu anak dari wanita penggoda.” Suaranya rendah, namun penuh tekanan.

Reiven terdiam, dadanya naik-turun menahan emosi.

Ghazven mendekat sedikit, bisikan tajamnya nyaris seperti racun. “Lebih baik tanya ibumu. Bagaimana cara menggoda lelaki yang sudah memiliki istri—”

Braak!

Nyonya Gista berdiri dan menampar meja keras, wajahnya merah padam. “Cukup, Ghazven! Kamu keterlaluan!”

Namun Ghazven sama sekali tidak goyah. Ia menoleh sekilas ke arah wanita itu, lalu menatap Rakson. “Saya tak tertarik dengan obrolan ini.” Dia berbalik dan melangkah santai.

“Ghazven!” bentak Rakson, tapi tak dihiraukan.

Sementara Nenek Juita hanya bisa menghela napas berat. Wajah tuanya dipenuhi kekecewaan dan kesedihan yang tak terucap. Entah dosa apa yang pernah dia lakukan sehingga harus menghadapi situasi yang penuh kebencian begini.

Nenek memilih beranjak dari duduk. Pelayan yang setia menjaga nenek dengan sigap membantu, membawa nenek masuk ke dalam untuk beristirahat.

Reiven mengepalkan tangan melihat tubuh berbalut jaket panjang itu menjauh. Dia beranjak dan melangkah lebar mengejar kakaknya. Tangannya mencekal pundak Ghazven, tapi Rega dengan sigap menyingkirkan tangan itu dari boss-nya.

“Dasar anjing!” umpat Reiven, meledek Rega.

Rega tak beraksi, dia sedikit mundur karna Ghazven sudah menoleh dan berdiri berhadapan dengan Reiven.

“Aku akan meminta papa menghancurkan makam ibumu!” ancam Reiven.

Kedua mata Ghazven melebar. Hampir terpancing tapi dia berusaha untuk tenang. “Apa kamu mengenal Naeva? Naeva Lioren.”

Kedua mata Reiven melebar.

Ghazven menatap telapak tangannya. “Kulitnya sangat halus. Dadanya… seukuran genggaman tanganku.” Dia tersenyum, senyum yang memprovokasi. “Masih kencang, empuk dan… kenyal.”

Tangan Reivan refleks mencekal kerah kemeja Ghazven. “Kamu apakan Naeva, hn?!”

Rega menarik kuat tubuh Reiven, mejauhkan dari boss-nya dan berdiri sebagai pelindung Ghazven.

Tak peduli Reiven yang emosi, Ghazven hanya menghela nafas dan melanjutkan langkah meninggalkan mansion.

อ่านหนังสือเล่มนี้ต่อได้ฟรี
สแกนรหัสเพื่อดาวน์โหลดแอป

บทที่เกี่ยวข้อง

  • Jadi Simpanan Mafia   Bab 4. Kerjaan

    Mobil melaju pelan meninggalkan mansion. Hanya suara mesin dan deru angin malam yang menemani suasana dalam kabin. Rega melirik tuannya dari kaca spion, dia tau seperti apa hubungan Ghazven dengan papanya dan istri-istri papanya itu. Tidak pernah baik semenjak nyonya Emila meninggal. Terlebih papanya yang menikah lagi dan lagi walau tau istri pertamanya sedang sakit dan butuh didampingi.“Tuan, apa memasukkan tuan Reiven perlu dipertimbangkan?” tanya Rega setelah beberapa menit berlalu dengan keheningan.Ghazven tak angsung menjawab. Dia terlihat sedang berfikir. Satu sudut bibirnya tertarik ke atas. “Kurasa untuk membunuh lalat akan lebih mudah jika dimasukkan ke dalam kandang.”Rega tersenyum. Dia sudah paham maksudnya. “Baik. Saya akan mengaturnya, tuan.”Ddrt... ddrtt....Ponsel milik Ghazven berdering. Ghazven merogoh saku jaket dan menatap layarnya yang ada panggilan masuk dari salah satu anak buahnya. Dia menggeser tombol sebelum menempelkan hp ke telinga.“Boss, yang menjual

    ปรับปรุงล่าสุด : 2025-03-22
  • Jadi Simpanan Mafia   Bab 5. Pertama Kali

    Ruangan itu hanya diterangi lampu temaram dari sudut meja. Naeva terlihat terlelap, tubuhnya menggulung di balik selimut. Rambut pirang itu tergerai ke bantal, berantakan namun tetap terlihat manis di mata Ghazven. Wajahnya terlihat damai. Untuk sesaat tak terlihat jika Naeva memiliki masalah.Ghazven tak mengucap apa pun. Pelan ia mendudukkan diri di tepi ranjang, salah satu sikunya bertumpu pada lutut, menunduk, memperhatikan Naeva dalam diam. Telunjuk Ghazven terangkat, menyingkirkan helaian rambut Naeva yang menutupi wajah.Gerakan kecil itu membuat Naeva terusik. Kelopak matanya bergerak dan ia terbangun. Kedua mata melebar saat melihat sosok Ghazven ada di sebelahnya. Dengan refleks ia bangkit sambil menarik selimut menutupi tubuhnya.Satu sudut bibir Ghazven tertarik ke atas melihat reaksi Naeva yang takut.Sementara Naeva hanya diam dengan wajah yang kebingungan.“Ayo kita lanjutkan hal yang tadi belum kita selesaikan,” ucap Ghazven dengan suara yang sedikit serak.Naeva mengg

    ปรับปรุงล่าสุด : 2025-03-22
  • Jadi Simpanan Mafia   Bab 6. Pagi

    Bibir Ghazven mengukir senyum tipis saat matanya jatuh pada leher Naeva yang memerah. Itu bekas bibirnya semalam, tanda milik yang sengaja ia tinggalkan.Menangkap arah pandangan Ghazven, Naeva langsung mengangkat tangan, menutupi sisi lehernya dengan gerakan cepat. Wajahnya berubah kesal, nyaris masam. Ia membuang pandang, memilih duduk kembali di kursinya tanpa mengeluarkan sepatah kata pun. Ada banyak yang ingin ia lontarkan. Umpatan, protes, atau sekadar ungkapan kesal, tapi semuanya tertahan di tenggorokan. Perkara status dirinya yang kini tak lebih dari 'barang yang dibeli', terlalu pelik untuk dibahas dengan orang yang bahkan tak pernah memberi ruang baginya untuk bersuara.Tak lama kemudian, Vilan muncul membawa nampan berisi sarapan pagi. Ia meletakkan segelas teh hangat dan sepiring roti isi di meja kecil sebelah kanan tempat duduk Naeva. Gerakannya tenang, seperti sudah biasa menghadapi pagi yang canggung seperti ini. Setelah memberi sedikit anggukan sopan, Vilan melangkah

    ปรับปรุงล่าสุด : 2025-04-12
  • Jadi Simpanan Mafia   Bab 1. Dibeli

    Suara denting gelas dan bisikan penuh hasrat memenuhi ruangan remang-remang itu. Semua mata menatap panggung kecil di ujung ruangan. Di sana, seorang wanita berdiri dengan gaun hitam tipis yang tak mampu menutupi ketakutannya. Sorot matanya penuh luka, tapi tubuhnya berusaha tetap tegak.“Nomor 23,” suara pria tua berjas hitam menggema. “Seorang penulis lagu muda. Cantik, berdarah campuran, dan... dijual dengan harga pembuka lima ratus ribu yuan.”Naeva Lioren menelan ludah. Jantungnya berdegup tak karuan. Ia bahkan tidak tau siapa yang akan membelinya malam ini. Yang ia tau, keluarga yang seharusnya melindunginya justru menjualnya seperti barang tak bernyawa.“Satu juta!” teriak seseorang dari tengah ruangan. Disusul tawa dan bisik-bisik.“Dua juta!”“Empat juta.”“Sepuluh juta,” suara berat dan dingin itu memotong semua kegaduhan.Hening.Semua kepala menoleh. Termasuk Naeva. Sorot matanya bertemu dengan pria berpakaian serba hitam di kursi VIP. Tatapannya tajam, tak bersisa empati.

    ปรับปรุงล่าสุด : 2025-03-22
  • Jadi Simpanan Mafia   Bab 2. Villa

    Naeva mundur sampai punggungnya menyentuh dinding kaca kamar mandi. Uap hangat mulai memenuhi ruangan, membuat kulitnya terasa lembap. Napasnya memburu pelan, sementara matanya terpaku pada sosok pria yang kini berdiri di depannya.Ghazven mengangkat tangannya, menarik kasar kancing-kancing kemeja putihnya satu per satu, sebelum membiarkannya jatuh ke lantai kamar mandi yang dingin. Suara kain yang menyentuh keramik terdengar begitu nyata, terlalu nyata.Otot-otot dada dan perutnya terpahat jelas, seolah dipahat dari batu. Lengannya kekar, dengan urat-urat yang menonjol setiap kali dia menggerakkan tangan. Tubuhnya tinggi, besar, dan terlalu intimidatif untuk diabaikan. Naeva menelan ludah yang terasa tercekat di tenggorokan.Tatapan Ghazven menajam saat melihat ekspresi Naeva yang memucat.“Takut?” tanyanya rendah, suara bariton itu menggetarkan udara di antara mereka.Dia melangkah mendekat. Setiap langkahnya menggerus jarak. Naeva tak bisa mundur lebih jauh karena tepat di belakang

    ปรับปรุงล่าสุด : 2025-03-22

บทล่าสุด

  • Jadi Simpanan Mafia   Bab 6. Pagi

    Bibir Ghazven mengukir senyum tipis saat matanya jatuh pada leher Naeva yang memerah. Itu bekas bibirnya semalam, tanda milik yang sengaja ia tinggalkan.Menangkap arah pandangan Ghazven, Naeva langsung mengangkat tangan, menutupi sisi lehernya dengan gerakan cepat. Wajahnya berubah kesal, nyaris masam. Ia membuang pandang, memilih duduk kembali di kursinya tanpa mengeluarkan sepatah kata pun. Ada banyak yang ingin ia lontarkan. Umpatan, protes, atau sekadar ungkapan kesal, tapi semuanya tertahan di tenggorokan. Perkara status dirinya yang kini tak lebih dari 'barang yang dibeli', terlalu pelik untuk dibahas dengan orang yang bahkan tak pernah memberi ruang baginya untuk bersuara.Tak lama kemudian, Vilan muncul membawa nampan berisi sarapan pagi. Ia meletakkan segelas teh hangat dan sepiring roti isi di meja kecil sebelah kanan tempat duduk Naeva. Gerakannya tenang, seperti sudah biasa menghadapi pagi yang canggung seperti ini. Setelah memberi sedikit anggukan sopan, Vilan melangkah

  • Jadi Simpanan Mafia   Bab 5. Pertama Kali

    Ruangan itu hanya diterangi lampu temaram dari sudut meja. Naeva terlihat terlelap, tubuhnya menggulung di balik selimut. Rambut pirang itu tergerai ke bantal, berantakan namun tetap terlihat manis di mata Ghazven. Wajahnya terlihat damai. Untuk sesaat tak terlihat jika Naeva memiliki masalah.Ghazven tak mengucap apa pun. Pelan ia mendudukkan diri di tepi ranjang, salah satu sikunya bertumpu pada lutut, menunduk, memperhatikan Naeva dalam diam. Telunjuk Ghazven terangkat, menyingkirkan helaian rambut Naeva yang menutupi wajah.Gerakan kecil itu membuat Naeva terusik. Kelopak matanya bergerak dan ia terbangun. Kedua mata melebar saat melihat sosok Ghazven ada di sebelahnya. Dengan refleks ia bangkit sambil menarik selimut menutupi tubuhnya.Satu sudut bibir Ghazven tertarik ke atas melihat reaksi Naeva yang takut.Sementara Naeva hanya diam dengan wajah yang kebingungan.“Ayo kita lanjutkan hal yang tadi belum kita selesaikan,” ucap Ghazven dengan suara yang sedikit serak.Naeva mengg

  • Jadi Simpanan Mafia   Bab 4. Kerjaan

    Mobil melaju pelan meninggalkan mansion. Hanya suara mesin dan deru angin malam yang menemani suasana dalam kabin. Rega melirik tuannya dari kaca spion, dia tau seperti apa hubungan Ghazven dengan papanya dan istri-istri papanya itu. Tidak pernah baik semenjak nyonya Emila meninggal. Terlebih papanya yang menikah lagi dan lagi walau tau istri pertamanya sedang sakit dan butuh didampingi.“Tuan, apa memasukkan tuan Reiven perlu dipertimbangkan?” tanya Rega setelah beberapa menit berlalu dengan keheningan.Ghazven tak angsung menjawab. Dia terlihat sedang berfikir. Satu sudut bibirnya tertarik ke atas. “Kurasa untuk membunuh lalat akan lebih mudah jika dimasukkan ke dalam kandang.”Rega tersenyum. Dia sudah paham maksudnya. “Baik. Saya akan mengaturnya, tuan.”Ddrt... ddrtt....Ponsel milik Ghazven berdering. Ghazven merogoh saku jaket dan menatap layarnya yang ada panggilan masuk dari salah satu anak buahnya. Dia menggeser tombol sebelum menempelkan hp ke telinga.“Boss, yang menjual

  • Jadi Simpanan Mafia   Bab 3. Mansion

    Mobil hitam yang dikendarai Rega berhenti tepat di depan gerbang besi tinggi yang menjulang kokoh, menghalangi pandangan dari luar. Logo AL yang artinya adalah Aldric karna mansion dan seluruh penghuninya adalah keluarga besar Aldric. Tak lama, gerbang itu bergeser perlahan ke samping, membuka akses menuju bagian dalam mansion.Begitu pintu gerbang terbuka sepenuhnya, Rega kembali menekan pedal gas dengan tenang, membawa mobil masuk ke area utama. Jalanan berpaving merah tua membentang lurus, diapit deretan pohon cemara yang tumbuh rapi di kedua sisi. Lampu-lampu taman menyala temaram, menciptakan bayangan-bayangan panjang di sepanjang jalan. Suasana sepi dan terjaga, seperti mansion ini tak pernah sembarang menerima tamu.Mobil melambat saat mendekati area garasi, lalu berhenti tepat di tempat yang memang biasa digunakan untuk parkir kendaraan Ghazven.Rega segera keluar dari kursi kemudi, memutari mobil, dan membukakan pintu belakang. Ghazven keluar tanpa suara, langkahnya mantap se

  • Jadi Simpanan Mafia   Bab 2. Villa

    Naeva mundur sampai punggungnya menyentuh dinding kaca kamar mandi. Uap hangat mulai memenuhi ruangan, membuat kulitnya terasa lembap. Napasnya memburu pelan, sementara matanya terpaku pada sosok pria yang kini berdiri di depannya.Ghazven mengangkat tangannya, menarik kasar kancing-kancing kemeja putihnya satu per satu, sebelum membiarkannya jatuh ke lantai kamar mandi yang dingin. Suara kain yang menyentuh keramik terdengar begitu nyata, terlalu nyata.Otot-otot dada dan perutnya terpahat jelas, seolah dipahat dari batu. Lengannya kekar, dengan urat-urat yang menonjol setiap kali dia menggerakkan tangan. Tubuhnya tinggi, besar, dan terlalu intimidatif untuk diabaikan. Naeva menelan ludah yang terasa tercekat di tenggorokan.Tatapan Ghazven menajam saat melihat ekspresi Naeva yang memucat.“Takut?” tanyanya rendah, suara bariton itu menggetarkan udara di antara mereka.Dia melangkah mendekat. Setiap langkahnya menggerus jarak. Naeva tak bisa mundur lebih jauh karena tepat di belakang

  • Jadi Simpanan Mafia   Bab 1. Dibeli

    Suara denting gelas dan bisikan penuh hasrat memenuhi ruangan remang-remang itu. Semua mata menatap panggung kecil di ujung ruangan. Di sana, seorang wanita berdiri dengan gaun hitam tipis yang tak mampu menutupi ketakutannya. Sorot matanya penuh luka, tapi tubuhnya berusaha tetap tegak.“Nomor 23,” suara pria tua berjas hitam menggema. “Seorang penulis lagu muda. Cantik, berdarah campuran, dan... dijual dengan harga pembuka lima ratus ribu yuan.”Naeva Lioren menelan ludah. Jantungnya berdegup tak karuan. Ia bahkan tidak tau siapa yang akan membelinya malam ini. Yang ia tau, keluarga yang seharusnya melindunginya justru menjualnya seperti barang tak bernyawa.“Satu juta!” teriak seseorang dari tengah ruangan. Disusul tawa dan bisik-bisik.“Dua juta!”“Empat juta.”“Sepuluh juta,” suara berat dan dingin itu memotong semua kegaduhan.Hening.Semua kepala menoleh. Termasuk Naeva. Sorot matanya bertemu dengan pria berpakaian serba hitam di kursi VIP. Tatapannya tajam, tak bersisa empati.

สำรวจและอ่านนวนิยายดีๆ ได้ฟรี
เข้าถึงนวนิยายดีๆ จำนวนมากได้ฟรีบนแอป GoodNovel ดาวน์โหลดหนังสือที่คุณชอบและอ่านได้ทุกที่ทุกเวลา
อ่านหนังสือฟรีบนแอป
สแกนรหัสเพื่ออ่านบนแอป
DMCA.com Protection Status