Share

Bab 2. Villa

Author: Yuwen aqsa
last update Last Updated: 2025-03-22 20:12:03

Naeva mundur sampai punggungnya menyentuh dinding kaca kamar mandi. Uap hangat mulai memenuhi ruangan, membuat kulitnya terasa lembap. Napasnya memburu pelan, sementara matanya terpaku pada sosok pria yang kini berdiri di depannya.

Ghazven mengangkat tangannya, menarik kasar kancing-kancing kemeja putihnya satu per satu, sebelum membiarkannya jatuh ke lantai kamar mandi yang dingin. Suara kain yang menyentuh keramik terdengar begitu nyata, terlalu nyata.

Otot-otot dada dan perutnya terpahat jelas, seolah dipahat dari batu. Lengannya kekar, dengan urat-urat yang menonjol setiap kali dia menggerakkan tangan. Tubuhnya tinggi, besar, dan terlalu intimidatif untuk diabaikan. Naeva menelan ludah yang terasa tercekat di tenggorokan.

Tatapan Ghazven menajam saat melihat ekspresi Naeva yang memucat.

“Takut?” tanyanya rendah, suara bariton itu menggetarkan udara di antara mereka.

Dia melangkah mendekat. Setiap langkahnya menggerus jarak. Naeva tak bisa mundur lebih jauh karena tepat di belakangnya adalah dinding kaca. Nafasnya berhembus tak beraturan dan dadanya jelas terlihat naik turun karna takut.

Naeva masih perawan, dan ini pertama kalinya dia berhadapan dengan seorang pria. Ya, dia memang berpacaran dengan Reiven, tetapi dia tak pernah sampai ketahap yang seperti ini.

Ghazven mengangkat tangannya, menyentuh pipi Naeva dengan punggung jari. Gerakannya pelan, tapi penuh kendali. Lalu, jemarinya turun ke dagu, lalu ke leher, hingga berhenti di tulang selangka.

“Cantik,” gumamnya pelan. “Apa Reiven tak pernah menyentuhmu, hn?”

Mendengar nama pacarnya disebut, kedua mata Naeva melebar. Refleks dia sedikit mendongak untuk bisa menatap wajah Ghazven. “Anda kenal dengan Reiven?”

Satu sudut bibir Ghazven tertarik ke atas. “Pacarmu, kan?”

Wajah Naeva makin menegang. Kepalanya mulai bingung, bagaimana bisa Ghazven mengenal pacarnya itu?

“Eegh—” lengkuh Naeva. Tangannya refeks mencekal pergelangan tangan Ghazven yang mencengkeram leher bagian atas, tepat di bawah dagu, memaksanya untuk lebih mendongak menatap Ghazven. “Tu—tuan…” suara Naeva tercekat karna sedikit tercekik.

Ghazven menjatuhkan bibir, mengecup bibir Naeva yang sedikit terbuka. Hanya kecupan saja, lalu satu tangan lain mulai mengusap pundak Naeva, menyingkirkan tali kecil yang ada di sana.

“Ja—jangan…” lirih Naeva pelan, nyaris tak terdengar. Dia menggeleng dan merintih, sedikit terisak kecil. “Tolong, ja—jangan...”

Ghazven mengecup sisi leher Naeva, sengaja meninggalkan bekas bibir di sana—jejak miliknya, seperti cap kepemilikan. “Menolaklah lebih keras lagi, cantik,” bisiknya, suara beratnya menggetarkan udara di antara mereka. Tangannya yang satu mencengkeram pinggang Naeva, sementara yang lain perlahan menyusuri kulit halus di bahu gadis itu, menarik dressnya.

“Eegh—“ Naeva makin menggerang karena cekikan di lehernya semakin kuat, menyesakkan napasnya. Namun, meski ketakutan, tubuhnya tetap terperangkap, tak mampu melawan dominasi pria itu. Mata Ghazven tak menunjukkan amarah, tak pula gairah berlebihan. Melainkan ketenangan menyeramkan. Tenang, seperti predator yang tau mangsanya tak akan bisa kabur ke mana pun.

“Tuan.”

Suara Rega yang terdengar dari balik pintu membuyarkan ketegangan satu sisi itu. Sebening kaca, suara tangan kanan Ghazven itu menembus atmosfer panas di ruangan, membuat tangan sang mafia berhenti tepat sebelum ia menarik habis dress yang menggantung di tubuh Naeva.

“Tuan Rakson kembali dari Amerika dan meminta Anda untuk pulang ke mansion malam ini,” lanjut Rega tenang, seolah tak menyadari apa yang sedang terjadi di dalam kamar mandi itu.

Ghazven memejamkan matanya sejenak. Rahangnya mengeras, napasnya melambat namun berat. Pandangannya turun ke arah dada Naeva yang sudah terekspos sebagian, lalu naik kembali menatap wajah gadis itu yang kini dipenuhi ketakutan, juga kebingungan. Ada rasa kesal yang jelas terlihat, tapi dia pandai menyembunyikannya di balik tatapan dingin yang sama sekali tak menunjukkan belas kasih.

Tanpa sepatah kata, Ghazven melepaskan cekikannya. Naeva terbatuk, mengusap pelan leher bekas cekikan itu. Ghazven tak menoleh lagi, tak mengucapkan satu pun kalimat tambahan. Ia melangkah keluar dari kamar mandi dengan langkah tenang.

“Dia sudah sampai di mansion?” tanya Ghazven.

Rega membuka lemari dan mengambilkan kemeja yang baru lalu menyerahkan ke Ghazven. “Sekarang sepertinya baru sampai di mansion.”

Ghazven memakai kemejanya. Sempat melirik ke arah pintu kamar mandi yang terbuka itu sebelum melanjutkan langkah. Dia pergi meninggalkan Naeva di villa ini sendirian.

“Suruh penjaga wanita ke sini untuk menemaninya.” Perintahnya ke Rega.

Rega menganggukkan kepala. “Baik, nanti saya atur.” Dia membukakan pintu mobil belakang, menutup dengan hati-hati lalu melangkah masuk ke kursi kemudi. Tak lama mobil hitam ini melaju, menjauh dari area villa.

Di dalam kamar mandi, Naeva masih terduduk di lantai, memeluk lutut sendiri. Tubuhnya gemetar, bukan hanya karena dingin dari lantai marmer, tapi juga karena perasaan hampa yang sulit ia jelaskan. Tangisnya nyaris tak bersuara, hanya isakan kecil yang teredam oleh lengan yang menutupi wajahnya. Rasanya seperti harga dirinya hancur, terinjak-injak.

Dia adalah seorang penulis. Naskah-naskah buatannya sudah banyak tayang di televisi, baik dalam bentuk sinetron maupun film. Namanya dikenal, bahkan pernah mendapat penghargaan. Tapi semua itu tak ada artinya sekarang. Entah bagaimana caranya, entah kesalahan siapa, tiba-tiba saja dia berada dalam ruangan gelap itu. Di perlelangan. Dianggap sebagai barang. Dan dijual.

“Reiven, apa kamu mencariku?” bisiknya pelan, di sela tangis yang tak kunjung berhenti.

Pikirannya kembali ke malam itu. Seharusnya mereka bertemu. Reiven sudah berjanji, bahkan sempat bilang akan melamarnya malam itu. Mereka sudah sepakat bertemu di sebuah kafe yang biasa mereka datangi, tempat yang penuh kenangan.

“Rei… maaf aku nggak datang. Aku harap kamu nggak kecewa…” Tangisnya kembali pecah, kali ini lebih dalam.

“Rei, aku mencintaimu… hiks…”

Dia tidak tau berapa lama dirinya terdiam di situ. Waktu terasa lambat. Mungkin beberapa menit, mungkin juga sudah berjam-jam.

“Nona, baju ganti telah saya siapkan.” Suara lembut dari balik pintu membuatnya tersentak.

Naeva buru-buru menghapus air matanya. Ia berdiri pelan, membetulkan tali dress-nya yang sempat terlepas, lalu melangkah keluar dari kamar mandi dengan langkah kecil. Wajahnya masih sembab, tapi dia berusaha tetap tegak.

Di depan pintu, berdiri seorang wanita dengan setelan abu-abu rapi. Rambutnya disanggul, ekspresinya tenang. Ia tersenyum sopan sambil sedikit membungkukkan badan. “Saya Vilan. Saya yang akan menemani Nona Naeva selama tinggal di villa ini. Jika Nona membutuhkan sesuatu, mohon jangan ragu memberi tahu saya.”

Naeva menghela nafas mendengar penjelasan itu. Dia melirik ke arah pintu kamar yang terbuka, tepatnya di luar kamar. “Ghazven pergi?”

Vilan mengangguk. “Tuan Ghazven kembali ke mansion karna tuan besar memanggilnya.”

Naeva menjatuhkan pantat di tepian ranjang. “Keluarlah. Aku mau ganti baju.”

“Perlu saya siapkan makanan? Minuman hangat?” Vilan menawari.

Naeva menggelengkan kepala. “Aku ingin istirahat.”

“Baik, nona.” Vilan kembali membungkuk dan melangkah keluar dari kamar.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Related chapters

  • Jadi Simpanan Mafia   Bab 3. Mansion

    Mobil hitam yang dikendarai Rega berhenti tepat di depan gerbang besi tinggi yang menjulang kokoh, menghalangi pandangan dari luar. Logo AL yang artinya adalah Aldric karna mansion dan seluruh penghuninya adalah keluarga besar Aldric. Tak lama, gerbang itu bergeser perlahan ke samping, membuka akses menuju bagian dalam mansion.Begitu pintu gerbang terbuka sepenuhnya, Rega kembali menekan pedal gas dengan tenang, membawa mobil masuk ke area utama. Jalanan berpaving merah tua membentang lurus, diapit deretan pohon cemara yang tumbuh rapi di kedua sisi. Lampu-lampu taman menyala temaram, menciptakan bayangan-bayangan panjang di sepanjang jalan. Suasana sepi dan terjaga, seperti mansion ini tak pernah sembarang menerima tamu.Mobil melambat saat mendekati area garasi, lalu berhenti tepat di tempat yang memang biasa digunakan untuk parkir kendaraan Ghazven.Rega segera keluar dari kursi kemudi, memutari mobil, dan membukakan pintu belakang. Ghazven keluar tanpa suara, langkahnya mantap se

    Last Updated : 2025-03-22
  • Jadi Simpanan Mafia   Bab 4. Kerjaan

    Mobil melaju pelan meninggalkan mansion. Hanya suara mesin dan deru angin malam yang menemani suasana dalam kabin. Rega melirik tuannya dari kaca spion, dia tau seperti apa hubungan Ghazven dengan papanya dan istri-istri papanya itu. Tidak pernah baik semenjak nyonya Emila meninggal. Terlebih papanya yang menikah lagi dan lagi walau tau istri pertamanya sedang sakit dan butuh didampingi.“Tuan, apa memasukkan tuan Reiven perlu dipertimbangkan?” tanya Rega setelah beberapa menit berlalu dengan keheningan.Ghazven tak angsung menjawab. Dia terlihat sedang berfikir. Satu sudut bibirnya tertarik ke atas. “Kurasa untuk membunuh lalat akan lebih mudah jika dimasukkan ke dalam kandang.”Rega tersenyum. Dia sudah paham maksudnya. “Baik. Saya akan mengaturnya, tuan.”Ddrt... ddrtt....Ponsel milik Ghazven berdering. Ghazven merogoh saku jaket dan menatap layarnya yang ada panggilan masuk dari salah satu anak buahnya. Dia menggeser tombol sebelum menempelkan hp ke telinga.“Boss, yang menjual

    Last Updated : 2025-03-22
  • Jadi Simpanan Mafia   Bab 5. Pertama Kali

    Ruangan itu hanya diterangi lampu temaram dari sudut meja. Naeva terlihat terlelap, tubuhnya menggulung di balik selimut. Rambut pirang itu tergerai ke bantal, berantakan namun tetap terlihat manis di mata Ghazven. Wajahnya terlihat damai. Untuk sesaat tak terlihat jika Naeva memiliki masalah.Ghazven tak mengucap apa pun. Pelan ia mendudukkan diri di tepi ranjang, salah satu sikunya bertumpu pada lutut, menunduk, memperhatikan Naeva dalam diam. Telunjuk Ghazven terangkat, menyingkirkan helaian rambut Naeva yang menutupi wajah.Gerakan kecil itu membuat Naeva terusik. Kelopak matanya bergerak dan ia terbangun. Kedua mata melebar saat melihat sosok Ghazven ada di sebelahnya. Dengan refleks ia bangkit sambil menarik selimut menutupi tubuhnya.Satu sudut bibir Ghazven tertarik ke atas melihat reaksi Naeva yang takut.Sementara Naeva hanya diam dengan wajah yang kebingungan.“Ayo kita lanjutkan hal yang tadi belum kita selesaikan,” ucap Ghazven dengan suara yang sedikit serak.Naeva mengg

    Last Updated : 2025-03-22
  • Jadi Simpanan Mafia   Bab 6. Pagi

    Bibir Ghazven mengukir senyum tipis saat matanya jatuh pada leher Naeva yang memerah. Itu bekas bibirnya semalam, tanda milik yang sengaja ia tinggalkan.Menangkap arah pandangan Ghazven, Naeva langsung mengangkat tangan, menutupi sisi lehernya dengan gerakan cepat. Wajahnya berubah kesal, nyaris masam. Ia membuang pandang, memilih duduk kembali di kursinya tanpa mengeluarkan sepatah kata pun. Ada banyak yang ingin ia lontarkan. Umpatan, protes, atau sekadar ungkapan kesal, tapi semuanya tertahan di tenggorokan. Perkara status dirinya yang kini tak lebih dari 'barang yang dibeli', terlalu pelik untuk dibahas dengan orang yang bahkan tak pernah memberi ruang baginya untuk bersuara.Tak lama kemudian, Vilan muncul membawa nampan berisi sarapan pagi. Ia meletakkan segelas teh hangat dan sepiring roti isi di meja kecil sebelah kanan tempat duduk Naeva. Gerakannya tenang, seperti sudah biasa menghadapi pagi yang canggung seperti ini. Setelah memberi sedikit anggukan sopan, Vilan melangkah

    Last Updated : 2025-04-12
  • Jadi Simpanan Mafia   Bab 1. Dibeli

    Suara denting gelas dan bisikan penuh hasrat memenuhi ruangan remang-remang itu. Semua mata menatap panggung kecil di ujung ruangan. Di sana, seorang wanita berdiri dengan gaun hitam tipis yang tak mampu menutupi ketakutannya. Sorot matanya penuh luka, tapi tubuhnya berusaha tetap tegak.“Nomor 23,” suara pria tua berjas hitam menggema. “Seorang penulis lagu muda. Cantik, berdarah campuran, dan... dijual dengan harga pembuka lima ratus ribu yuan.”Naeva Lioren menelan ludah. Jantungnya berdegup tak karuan. Ia bahkan tidak tau siapa yang akan membelinya malam ini. Yang ia tau, keluarga yang seharusnya melindunginya justru menjualnya seperti barang tak bernyawa.“Satu juta!” teriak seseorang dari tengah ruangan. Disusul tawa dan bisik-bisik.“Dua juta!”“Empat juta.”“Sepuluh juta,” suara berat dan dingin itu memotong semua kegaduhan.Hening.Semua kepala menoleh. Termasuk Naeva. Sorot matanya bertemu dengan pria berpakaian serba hitam di kursi VIP. Tatapannya tajam, tak bersisa empati.

    Last Updated : 2025-03-22

Latest chapter

  • Jadi Simpanan Mafia   Bab 6. Pagi

    Bibir Ghazven mengukir senyum tipis saat matanya jatuh pada leher Naeva yang memerah. Itu bekas bibirnya semalam, tanda milik yang sengaja ia tinggalkan.Menangkap arah pandangan Ghazven, Naeva langsung mengangkat tangan, menutupi sisi lehernya dengan gerakan cepat. Wajahnya berubah kesal, nyaris masam. Ia membuang pandang, memilih duduk kembali di kursinya tanpa mengeluarkan sepatah kata pun. Ada banyak yang ingin ia lontarkan. Umpatan, protes, atau sekadar ungkapan kesal, tapi semuanya tertahan di tenggorokan. Perkara status dirinya yang kini tak lebih dari 'barang yang dibeli', terlalu pelik untuk dibahas dengan orang yang bahkan tak pernah memberi ruang baginya untuk bersuara.Tak lama kemudian, Vilan muncul membawa nampan berisi sarapan pagi. Ia meletakkan segelas teh hangat dan sepiring roti isi di meja kecil sebelah kanan tempat duduk Naeva. Gerakannya tenang, seperti sudah biasa menghadapi pagi yang canggung seperti ini. Setelah memberi sedikit anggukan sopan, Vilan melangkah

  • Jadi Simpanan Mafia   Bab 5. Pertama Kali

    Ruangan itu hanya diterangi lampu temaram dari sudut meja. Naeva terlihat terlelap, tubuhnya menggulung di balik selimut. Rambut pirang itu tergerai ke bantal, berantakan namun tetap terlihat manis di mata Ghazven. Wajahnya terlihat damai. Untuk sesaat tak terlihat jika Naeva memiliki masalah.Ghazven tak mengucap apa pun. Pelan ia mendudukkan diri di tepi ranjang, salah satu sikunya bertumpu pada lutut, menunduk, memperhatikan Naeva dalam diam. Telunjuk Ghazven terangkat, menyingkirkan helaian rambut Naeva yang menutupi wajah.Gerakan kecil itu membuat Naeva terusik. Kelopak matanya bergerak dan ia terbangun. Kedua mata melebar saat melihat sosok Ghazven ada di sebelahnya. Dengan refleks ia bangkit sambil menarik selimut menutupi tubuhnya.Satu sudut bibir Ghazven tertarik ke atas melihat reaksi Naeva yang takut.Sementara Naeva hanya diam dengan wajah yang kebingungan.“Ayo kita lanjutkan hal yang tadi belum kita selesaikan,” ucap Ghazven dengan suara yang sedikit serak.Naeva mengg

  • Jadi Simpanan Mafia   Bab 4. Kerjaan

    Mobil melaju pelan meninggalkan mansion. Hanya suara mesin dan deru angin malam yang menemani suasana dalam kabin. Rega melirik tuannya dari kaca spion, dia tau seperti apa hubungan Ghazven dengan papanya dan istri-istri papanya itu. Tidak pernah baik semenjak nyonya Emila meninggal. Terlebih papanya yang menikah lagi dan lagi walau tau istri pertamanya sedang sakit dan butuh didampingi.“Tuan, apa memasukkan tuan Reiven perlu dipertimbangkan?” tanya Rega setelah beberapa menit berlalu dengan keheningan.Ghazven tak angsung menjawab. Dia terlihat sedang berfikir. Satu sudut bibirnya tertarik ke atas. “Kurasa untuk membunuh lalat akan lebih mudah jika dimasukkan ke dalam kandang.”Rega tersenyum. Dia sudah paham maksudnya. “Baik. Saya akan mengaturnya, tuan.”Ddrt... ddrtt....Ponsel milik Ghazven berdering. Ghazven merogoh saku jaket dan menatap layarnya yang ada panggilan masuk dari salah satu anak buahnya. Dia menggeser tombol sebelum menempelkan hp ke telinga.“Boss, yang menjual

  • Jadi Simpanan Mafia   Bab 3. Mansion

    Mobil hitam yang dikendarai Rega berhenti tepat di depan gerbang besi tinggi yang menjulang kokoh, menghalangi pandangan dari luar. Logo AL yang artinya adalah Aldric karna mansion dan seluruh penghuninya adalah keluarga besar Aldric. Tak lama, gerbang itu bergeser perlahan ke samping, membuka akses menuju bagian dalam mansion.Begitu pintu gerbang terbuka sepenuhnya, Rega kembali menekan pedal gas dengan tenang, membawa mobil masuk ke area utama. Jalanan berpaving merah tua membentang lurus, diapit deretan pohon cemara yang tumbuh rapi di kedua sisi. Lampu-lampu taman menyala temaram, menciptakan bayangan-bayangan panjang di sepanjang jalan. Suasana sepi dan terjaga, seperti mansion ini tak pernah sembarang menerima tamu.Mobil melambat saat mendekati area garasi, lalu berhenti tepat di tempat yang memang biasa digunakan untuk parkir kendaraan Ghazven.Rega segera keluar dari kursi kemudi, memutari mobil, dan membukakan pintu belakang. Ghazven keluar tanpa suara, langkahnya mantap se

  • Jadi Simpanan Mafia   Bab 2. Villa

    Naeva mundur sampai punggungnya menyentuh dinding kaca kamar mandi. Uap hangat mulai memenuhi ruangan, membuat kulitnya terasa lembap. Napasnya memburu pelan, sementara matanya terpaku pada sosok pria yang kini berdiri di depannya.Ghazven mengangkat tangannya, menarik kasar kancing-kancing kemeja putihnya satu per satu, sebelum membiarkannya jatuh ke lantai kamar mandi yang dingin. Suara kain yang menyentuh keramik terdengar begitu nyata, terlalu nyata.Otot-otot dada dan perutnya terpahat jelas, seolah dipahat dari batu. Lengannya kekar, dengan urat-urat yang menonjol setiap kali dia menggerakkan tangan. Tubuhnya tinggi, besar, dan terlalu intimidatif untuk diabaikan. Naeva menelan ludah yang terasa tercekat di tenggorokan.Tatapan Ghazven menajam saat melihat ekspresi Naeva yang memucat.“Takut?” tanyanya rendah, suara bariton itu menggetarkan udara di antara mereka.Dia melangkah mendekat. Setiap langkahnya menggerus jarak. Naeva tak bisa mundur lebih jauh karena tepat di belakang

  • Jadi Simpanan Mafia   Bab 1. Dibeli

    Suara denting gelas dan bisikan penuh hasrat memenuhi ruangan remang-remang itu. Semua mata menatap panggung kecil di ujung ruangan. Di sana, seorang wanita berdiri dengan gaun hitam tipis yang tak mampu menutupi ketakutannya. Sorot matanya penuh luka, tapi tubuhnya berusaha tetap tegak.“Nomor 23,” suara pria tua berjas hitam menggema. “Seorang penulis lagu muda. Cantik, berdarah campuran, dan... dijual dengan harga pembuka lima ratus ribu yuan.”Naeva Lioren menelan ludah. Jantungnya berdegup tak karuan. Ia bahkan tidak tau siapa yang akan membelinya malam ini. Yang ia tau, keluarga yang seharusnya melindunginya justru menjualnya seperti barang tak bernyawa.“Satu juta!” teriak seseorang dari tengah ruangan. Disusul tawa dan bisik-bisik.“Dua juta!”“Empat juta.”“Sepuluh juta,” suara berat dan dingin itu memotong semua kegaduhan.Hening.Semua kepala menoleh. Termasuk Naeva. Sorot matanya bertemu dengan pria berpakaian serba hitam di kursi VIP. Tatapannya tajam, tak bersisa empati.

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status