Bibir Ghazven mengukir senyum tipis saat matanya jatuh pada leher Naeva yang memerah. Itu bekas bibirnya semalam, tanda milik yang sengaja ia tinggalkan.
Menangkap arah pandangan Ghazven, Naeva langsung mengangkat tangan, menutupi sisi lehernya dengan gerakan cepat. Wajahnya berubah kesal, nyaris masam. Ia membuang pandang, memilih duduk kembali di kursinya tanpa mengeluarkan sepatah kata pun. Ada banyak yang ingin ia lontarkan. Umpatan, protes, atau sekadar ungkapan kesal, tapi semuanya tertahan di tenggorokan. Perkara status dirinya yang kini tak lebih dari 'barang yang dibeli', terlalu pelik untuk dibahas dengan orang yang bahkan tak pernah memberi ruang baginya untuk bersuara.
Tak lama kemudian, Vilan muncul membawa nampan berisi sarapan pagi. Ia meletakkan segelas teh hangat dan sepiring roti isi di meja kecil sebelah kanan tempat duduk Naeva. Gerakannya tenang, seperti sudah biasa menghadapi pagi yang canggung seperti ini. Setelah memberi sedikit anggukan sopan, Vilan melangkah meninggalkan meja makan tanpa suara.
Ghazven menarik kursi dan duduk di sebelah Naeva. Sikapnya santai, nyaris tak terganggu oleh ekspresi Naeva yang penuh penolakan. “Dua hari lagi ikut aku ke pesta pertunangan saudaraku,” katanya datar, sembari menoleh ke arah wanita yang masih tak bergeming di tempat.
Naeva melirik, hanya sekilas, sebelum kembali fokus pada gelas susu yang sejak tadi ada di depannya. Ia mengangkat gelas itu dan meneguk cepat, mencoba mengalihkan perhatian dari laki-laki di sampingnya.
Mata Ghazven tak lepas dari wajah Naeva. Ia memperhatikan cara wanita itu minum, ekspresi wajahnya yang mencoba menahan emosi, dan gerakan kecil tangannya yang terus menggenggam gelas. Sudut bibirnya kembali tertarik ke atas, seolah menikmati kekakuan di antara mereka. “Kamu marah karena aku merampas keperawananmu semalam?”
Pertanyaan itu terdengar begitu ringan keluar dari mulut Ghazven, seolah ia sedang membahas hal sepele. Naeva menoleh cepat, bola matanya membulat marah, dan wajahnya memanas. “Apa kamu nggak tau seberapa penting hal itu bagiku?!” Suaranya naik, meski tidak sampai berteriak.
Ghazven tertawa pelan. Tawa ringan, tanpa rasa bersalah sedikit pun. “Kamu berani membentak tuanmu?” ucapnya santai, nadanya justru seperti menantang.
Naeva menarik napas panjang dan memejamkan mata beberapa detik. Ia menahan dorongan untuk melempar sesuatu ke arah Ghazven. Tangannya mengepal di atas paha, rahangnya mengeras, dan seluruh tubuhnya berusaha menahan emosi yang mendidih dalam diam.
Ghazven meneguk tehnya sedikit, mengambil pisau dan memotong roti panggang. Santai ia memasukkan potongan roti panggang isi telur itu ke mulut. Mengunyah pelan tanpa mempermasalahkan Naeva yang masam, marah dan emosi.
Menit berlalu dan sarapan Ghazven sisa separuh, Naeva bergerak mendorong kursinya. Ia beranjak berdiri.
Ghazven melirik sarapan Naeva yang masih utuh, belum tersentuh. “Apa kamu minta dimasuki lagi?”
Kalimat itu membuat kaki Naeva yang hampir melangkah pergi, jadi mematung di tempatnya.
Ghazven tersenyum kecil. “Aku tidak keberatan.” Dia beranjak dari duduk.
Naeva menggeleng cepat, dia kembali duduk di kursinya dan mengambil pisau serta garpu. Tanpa melirik mana-mana Naeva menyantap sarapannya dengan cepat.
Usai menemani Naeva sarapan, Ghazven keluar dari villa. Tentunya ada Rega yang membawa kemudi. Diam-diam Rega melirik Ghazven dari spion tengah, sedang memahami ekspresi wajah yang tidak seperti biasanya.
“Tuan,” panggilnya dan itu membuat Ghazven menatap depan. “Hari ini tuan Reiven masuk ke kantor.”
Mendengar itu Ghazven menghela nafasnya.
“Saya sudah mengatur seperti yang Tuan inginkan. Menempatkan Tuan Reiven di bagian keamanan internal,” ucap Rega hati-hati, tetap fokus pada jalanan.
Ghazven menyandarkan punggung ke jok kursi, satu siku bertumpu di sandaran pintu, jari-jarinya mengetuk dengan anggukan pelan dan senyum kecil.
Rega melirik spion, memperhatikan ekspresi yang datar tapi mata Ghazven terlihat puas.
“Dia akan bertugas di lantai bawah. Harus ikut briefing dan pelatihan juga, sama seperti anak baru lainnya,” lanjut Rega pelan, seolah ingin memastikan dia melakukan semuanya sesuai perintah.
Ghazven mengangguk sekali. “Biarkan dia paham dunia kerja dari bawah. Biar dia tau, gelar dari Prancis itu bukan tiket khusus buat duduk santai di belakang meja.”
Rega tidak menanggapi. Dia hanya diam, tau bahwa kalimat itu bukan untuk didiskusikan. Udara di dalam mobil kembali hening, hanya suara AC dan deru mesin yang terdengar.
Kurang lebih dua puluh lima menit mobil yang dikendarai Rega berhenti di depan lobi gedung BM crop. Security yang sudah hafal, melangkah membukakan pintu bagian belakang tanpa diminta.
Ghazven membenarkan posisi dasinya lebih dulu sebelum melangkah turun. Sepatunya beradu dengan lantai marmer yang mengilap. Beberapa staf yang kebetulan lewat langsung menunduk memberi hormat.
Tanpa suara, langkah Ghazven terus melaju ke arah lift eksekutif yang memang hanya bisa diakses oleh jajaran atas. Begitu pintu terbuka, dia masuk sendirian, satu tangannya dimasukkan ke saku celana, sementara tangan lainnya menekan tombol lantai paling atas.
Lift bergerak naik, sunyi. Pantulan dirinya di dinding logam membuat matanya sempat menyipit. Tidak ada ekspresi, seperti biasa. Tapi siapa pun yang mengenal Ghazven tahu, diamnya itu lebih tajam dari bentakan.
Begitu sampai, pintu lift terbuka dan seorang staf wanita langsung membungkuk kecil menyambut. “Selamat pagi, Tuan Ghazven.”
Ghazven hanya mengangguk singkat, lalu berjalan ke arah ruangannya yang berada di ujung koridor. Setiap meja yang dilewati mendadak sunyi. Tak ada bisik-bisik, hanya suara keyboard yang sengaja ditekan perlahan-lahan seolah kehadirannya membawa ketegangan otomatis.
Sampai di depan pintu ruangan, asistennya langsung membukakan. “Ada beberapa berkas yang perlu ditandatangani pagi ini, Tuan. Dan satu meeting dengan tim legal jam sebelas.”
“Taruh di meja,” ucap Ghazven singkat sambil masuk.
Pintu ruangan kembali tertutup rapat. Dia menggantung jas dan melonggarkan dasi, lalu melangkah ke arah kursi kerjanya. Matanya menatap keluar jendela besar yang menyuguhkan pemandangan kota.
Tangannya mulai membuka laptop warna silver di meja. Dia diam menunggu laptop itu menyala. Sudut bibirnya tertarik, menciptakan sebuah senyuman mengingat wajah kesal Naeva. Bukan hanya wajahnya, tetapi kejadian tadi malam pun seperti melekat di kepala. Susah hilang, apa lagi rasa yang timbul dari tiap sentuhan inci tubuh Naeva sangat berbeda dari beberapa wanita yang sudah pernah Ghazven rasakan.
Ghazven mengambil hp, mengusap layar dan menghubungi salah satu kontak di hp-nya.
“Selamat pagi, Tuan Ghazven,” sapa seorang manajer butik yang ada di bawah kendalinya.
“Kirim gaun terbaik yang tidak terlalu terbuka ke villa BM milikku di Verdancia Hills,” ucap Ghazven, menyebut nama villanya yang berada di kawasan pinggir kota, cukup tersembunyi tapi mewah.
“Baik, Tuan. Warna khusus?”
“Putih. Jangan terlalu ramai. Kirimkan sekarang.”
“Saya mengerti, Tuan. Akan sampai dalam satu jam.”
Ghazven tak langsung menutup panggilan. Jari telunjuknya mengetuk pinggiran meja.
“Ada lagi, tuan?” tanya manager butik karna Ghazven belum mematikan panggilan.
“Aku butuh lingerie yang indah. Kirim beberapa ke alamat yang sama.”
“Baik, tuan. Akan saya pilihkan yang terbaik.”
Tanpa menunggu lebih lama, Ghazven menutup telepon lalu meletakkan ponselnya kembali ke meja. Senyum lebar terukir di bibir Ghazven. ‘Naeva, kamu harus menjadi bidak terbaikku. Tubuhmu akan kugunakan dengan baik, sesuai dengan Reiven yang menjualmu.’
.
12/04/2025
Suara denting gelas dan bisikan penuh hasrat memenuhi ruangan remang-remang itu. Semua mata menatap panggung kecil di ujung ruangan. Di sana, seorang wanita berdiri dengan gaun hitam tipis yang tak mampu menutupi ketakutannya. Sorot matanya penuh luka, tapi tubuhnya berusaha tetap tegak.“Nomor 23,” suara pria tua berjas hitam menggema. “Seorang penulis lagu muda. Cantik, berdarah campuran, dan... dijual dengan harga pembuka lima ratus ribu yuan.”Naeva Lioren menelan ludah. Jantungnya berdegup tak karuan. Ia bahkan tidak tau siapa yang akan membelinya malam ini. Yang ia tau, keluarga yang seharusnya melindunginya justru menjualnya seperti barang tak bernyawa.“Satu juta!” teriak seseorang dari tengah ruangan. Disusul tawa dan bisik-bisik.“Dua juta!”“Empat juta.”“Sepuluh juta,” suara berat dan dingin itu memotong semua kegaduhan.Hening.Semua kepala menoleh. Termasuk Naeva. Sorot matanya bertemu dengan pria berpakaian serba hitam di kursi VIP. Tatapannya tajam, tak bersisa empati.
Naeva mundur sampai punggungnya menyentuh dinding kaca kamar mandi. Uap hangat mulai memenuhi ruangan, membuat kulitnya terasa lembap. Napasnya memburu pelan, sementara matanya terpaku pada sosok pria yang kini berdiri di depannya.Ghazven mengangkat tangannya, menarik kasar kancing-kancing kemeja putihnya satu per satu, sebelum membiarkannya jatuh ke lantai kamar mandi yang dingin. Suara kain yang menyentuh keramik terdengar begitu nyata, terlalu nyata.Otot-otot dada dan perutnya terpahat jelas, seolah dipahat dari batu. Lengannya kekar, dengan urat-urat yang menonjol setiap kali dia menggerakkan tangan. Tubuhnya tinggi, besar, dan terlalu intimidatif untuk diabaikan. Naeva menelan ludah yang terasa tercekat di tenggorokan.Tatapan Ghazven menajam saat melihat ekspresi Naeva yang memucat.“Takut?” tanyanya rendah, suara bariton itu menggetarkan udara di antara mereka.Dia melangkah mendekat. Setiap langkahnya menggerus jarak. Naeva tak bisa mundur lebih jauh karena tepat di belakang
Mobil hitam yang dikendarai Rega berhenti tepat di depan gerbang besi tinggi yang menjulang kokoh, menghalangi pandangan dari luar. Logo AL yang artinya adalah Aldric karna mansion dan seluruh penghuninya adalah keluarga besar Aldric. Tak lama, gerbang itu bergeser perlahan ke samping, membuka akses menuju bagian dalam mansion.Begitu pintu gerbang terbuka sepenuhnya, Rega kembali menekan pedal gas dengan tenang, membawa mobil masuk ke area utama. Jalanan berpaving merah tua membentang lurus, diapit deretan pohon cemara yang tumbuh rapi di kedua sisi. Lampu-lampu taman menyala temaram, menciptakan bayangan-bayangan panjang di sepanjang jalan. Suasana sepi dan terjaga, seperti mansion ini tak pernah sembarang menerima tamu.Mobil melambat saat mendekati area garasi, lalu berhenti tepat di tempat yang memang biasa digunakan untuk parkir kendaraan Ghazven.Rega segera keluar dari kursi kemudi, memutari mobil, dan membukakan pintu belakang. Ghazven keluar tanpa suara, langkahnya mantap se
Mobil melaju pelan meninggalkan mansion. Hanya suara mesin dan deru angin malam yang menemani suasana dalam kabin. Rega melirik tuannya dari kaca spion, dia tau seperti apa hubungan Ghazven dengan papanya dan istri-istri papanya itu. Tidak pernah baik semenjak nyonya Emila meninggal. Terlebih papanya yang menikah lagi dan lagi walau tau istri pertamanya sedang sakit dan butuh didampingi.“Tuan, apa memasukkan tuan Reiven perlu dipertimbangkan?” tanya Rega setelah beberapa menit berlalu dengan keheningan.Ghazven tak angsung menjawab. Dia terlihat sedang berfikir. Satu sudut bibirnya tertarik ke atas. “Kurasa untuk membunuh lalat akan lebih mudah jika dimasukkan ke dalam kandang.”Rega tersenyum. Dia sudah paham maksudnya. “Baik. Saya akan mengaturnya, tuan.”Ddrt... ddrtt....Ponsel milik Ghazven berdering. Ghazven merogoh saku jaket dan menatap layarnya yang ada panggilan masuk dari salah satu anak buahnya. Dia menggeser tombol sebelum menempelkan hp ke telinga.“Boss, yang menjual
Ruangan itu hanya diterangi lampu temaram dari sudut meja. Naeva terlihat terlelap, tubuhnya menggulung di balik selimut. Rambut pirang itu tergerai ke bantal, berantakan namun tetap terlihat manis di mata Ghazven. Wajahnya terlihat damai. Untuk sesaat tak terlihat jika Naeva memiliki masalah.Ghazven tak mengucap apa pun. Pelan ia mendudukkan diri di tepi ranjang, salah satu sikunya bertumpu pada lutut, menunduk, memperhatikan Naeva dalam diam. Telunjuk Ghazven terangkat, menyingkirkan helaian rambut Naeva yang menutupi wajah.Gerakan kecil itu membuat Naeva terusik. Kelopak matanya bergerak dan ia terbangun. Kedua mata melebar saat melihat sosok Ghazven ada di sebelahnya. Dengan refleks ia bangkit sambil menarik selimut menutupi tubuhnya.Satu sudut bibir Ghazven tertarik ke atas melihat reaksi Naeva yang takut.Sementara Naeva hanya diam dengan wajah yang kebingungan.“Ayo kita lanjutkan hal yang tadi belum kita selesaikan,” ucap Ghazven dengan suara yang sedikit serak.Naeva mengg
Bibir Ghazven mengukir senyum tipis saat matanya jatuh pada leher Naeva yang memerah. Itu bekas bibirnya semalam, tanda milik yang sengaja ia tinggalkan.Menangkap arah pandangan Ghazven, Naeva langsung mengangkat tangan, menutupi sisi lehernya dengan gerakan cepat. Wajahnya berubah kesal, nyaris masam. Ia membuang pandang, memilih duduk kembali di kursinya tanpa mengeluarkan sepatah kata pun. Ada banyak yang ingin ia lontarkan. Umpatan, protes, atau sekadar ungkapan kesal, tapi semuanya tertahan di tenggorokan. Perkara status dirinya yang kini tak lebih dari 'barang yang dibeli', terlalu pelik untuk dibahas dengan orang yang bahkan tak pernah memberi ruang baginya untuk bersuara.Tak lama kemudian, Vilan muncul membawa nampan berisi sarapan pagi. Ia meletakkan segelas teh hangat dan sepiring roti isi di meja kecil sebelah kanan tempat duduk Naeva. Gerakannya tenang, seperti sudah biasa menghadapi pagi yang canggung seperti ini. Setelah memberi sedikit anggukan sopan, Vilan melangkah
Ruangan itu hanya diterangi lampu temaram dari sudut meja. Naeva terlihat terlelap, tubuhnya menggulung di balik selimut. Rambut pirang itu tergerai ke bantal, berantakan namun tetap terlihat manis di mata Ghazven. Wajahnya terlihat damai. Untuk sesaat tak terlihat jika Naeva memiliki masalah.Ghazven tak mengucap apa pun. Pelan ia mendudukkan diri di tepi ranjang, salah satu sikunya bertumpu pada lutut, menunduk, memperhatikan Naeva dalam diam. Telunjuk Ghazven terangkat, menyingkirkan helaian rambut Naeva yang menutupi wajah.Gerakan kecil itu membuat Naeva terusik. Kelopak matanya bergerak dan ia terbangun. Kedua mata melebar saat melihat sosok Ghazven ada di sebelahnya. Dengan refleks ia bangkit sambil menarik selimut menutupi tubuhnya.Satu sudut bibir Ghazven tertarik ke atas melihat reaksi Naeva yang takut.Sementara Naeva hanya diam dengan wajah yang kebingungan.“Ayo kita lanjutkan hal yang tadi belum kita selesaikan,” ucap Ghazven dengan suara yang sedikit serak.Naeva mengg
Mobil melaju pelan meninggalkan mansion. Hanya suara mesin dan deru angin malam yang menemani suasana dalam kabin. Rega melirik tuannya dari kaca spion, dia tau seperti apa hubungan Ghazven dengan papanya dan istri-istri papanya itu. Tidak pernah baik semenjak nyonya Emila meninggal. Terlebih papanya yang menikah lagi dan lagi walau tau istri pertamanya sedang sakit dan butuh didampingi.“Tuan, apa memasukkan tuan Reiven perlu dipertimbangkan?” tanya Rega setelah beberapa menit berlalu dengan keheningan.Ghazven tak angsung menjawab. Dia terlihat sedang berfikir. Satu sudut bibirnya tertarik ke atas. “Kurasa untuk membunuh lalat akan lebih mudah jika dimasukkan ke dalam kandang.”Rega tersenyum. Dia sudah paham maksudnya. “Baik. Saya akan mengaturnya, tuan.”Ddrt... ddrtt....Ponsel milik Ghazven berdering. Ghazven merogoh saku jaket dan menatap layarnya yang ada panggilan masuk dari salah satu anak buahnya. Dia menggeser tombol sebelum menempelkan hp ke telinga.“Boss, yang menjual
Mobil hitam yang dikendarai Rega berhenti tepat di depan gerbang besi tinggi yang menjulang kokoh, menghalangi pandangan dari luar. Logo AL yang artinya adalah Aldric karna mansion dan seluruh penghuninya adalah keluarga besar Aldric. Tak lama, gerbang itu bergeser perlahan ke samping, membuka akses menuju bagian dalam mansion.Begitu pintu gerbang terbuka sepenuhnya, Rega kembali menekan pedal gas dengan tenang, membawa mobil masuk ke area utama. Jalanan berpaving merah tua membentang lurus, diapit deretan pohon cemara yang tumbuh rapi di kedua sisi. Lampu-lampu taman menyala temaram, menciptakan bayangan-bayangan panjang di sepanjang jalan. Suasana sepi dan terjaga, seperti mansion ini tak pernah sembarang menerima tamu.Mobil melambat saat mendekati area garasi, lalu berhenti tepat di tempat yang memang biasa digunakan untuk parkir kendaraan Ghazven.Rega segera keluar dari kursi kemudi, memutari mobil, dan membukakan pintu belakang. Ghazven keluar tanpa suara, langkahnya mantap se
Naeva mundur sampai punggungnya menyentuh dinding kaca kamar mandi. Uap hangat mulai memenuhi ruangan, membuat kulitnya terasa lembap. Napasnya memburu pelan, sementara matanya terpaku pada sosok pria yang kini berdiri di depannya.Ghazven mengangkat tangannya, menarik kasar kancing-kancing kemeja putihnya satu per satu, sebelum membiarkannya jatuh ke lantai kamar mandi yang dingin. Suara kain yang menyentuh keramik terdengar begitu nyata, terlalu nyata.Otot-otot dada dan perutnya terpahat jelas, seolah dipahat dari batu. Lengannya kekar, dengan urat-urat yang menonjol setiap kali dia menggerakkan tangan. Tubuhnya tinggi, besar, dan terlalu intimidatif untuk diabaikan. Naeva menelan ludah yang terasa tercekat di tenggorokan.Tatapan Ghazven menajam saat melihat ekspresi Naeva yang memucat.“Takut?” tanyanya rendah, suara bariton itu menggetarkan udara di antara mereka.Dia melangkah mendekat. Setiap langkahnya menggerus jarak. Naeva tak bisa mundur lebih jauh karena tepat di belakang
Suara denting gelas dan bisikan penuh hasrat memenuhi ruangan remang-remang itu. Semua mata menatap panggung kecil di ujung ruangan. Di sana, seorang wanita berdiri dengan gaun hitam tipis yang tak mampu menutupi ketakutannya. Sorot matanya penuh luka, tapi tubuhnya berusaha tetap tegak.“Nomor 23,” suara pria tua berjas hitam menggema. “Seorang penulis lagu muda. Cantik, berdarah campuran, dan... dijual dengan harga pembuka lima ratus ribu yuan.”Naeva Lioren menelan ludah. Jantungnya berdegup tak karuan. Ia bahkan tidak tau siapa yang akan membelinya malam ini. Yang ia tau, keluarga yang seharusnya melindunginya justru menjualnya seperti barang tak bernyawa.“Satu juta!” teriak seseorang dari tengah ruangan. Disusul tawa dan bisik-bisik.“Dua juta!”“Empat juta.”“Sepuluh juta,” suara berat dan dingin itu memotong semua kegaduhan.Hening.Semua kepala menoleh. Termasuk Naeva. Sorot matanya bertemu dengan pria berpakaian serba hitam di kursi VIP. Tatapannya tajam, tak bersisa empati.