Ruangan itu hanya diterangi lampu temaram dari sudut meja. Naeva terlihat terlelap, tubuhnya menggulung di balik selimut. Rambut pirang itu tergerai ke bantal, berantakan namun tetap terlihat manis di mata Ghazven. Wajahnya terlihat damai. Untuk sesaat tak terlihat jika Naeva memiliki masalah.
Ghazven tak mengucap apa pun. Pelan ia mendudukkan diri di tepi ranjang, salah satu sikunya bertumpu pada lutut, menunduk, memperhatikan Naeva dalam diam. Telunjuk Ghazven terangkat, menyingkirkan helaian rambut Naeva yang menutupi wajah.
Gerakan kecil itu membuat Naeva terusik. Kelopak matanya bergerak dan ia terbangun. Kedua mata melebar saat melihat sosok Ghazven ada di sebelahnya. Dengan refleks ia bangkit sambil menarik selimut menutupi tubuhnya.
Satu sudut bibir Ghazven tertarik ke atas melihat reaksi Naeva yang takut.
Sementara Naeva hanya diam dengan wajah yang kebingungan.
“Ayo kita lanjutkan hal yang tadi belum kita selesaikan,” ucap Ghazven dengan suara yang sedikit serak.
Naeva menggigit bibir, tangannya yang memegangi selimut itu mengencang, berusaha ia pertahankan agar tidak dirampas.
Ghazven terkekeh melihat Naeva yang benar-benar ketakutan. Jadi dia diam memandangi Naeva lekat.
Kedua mata Naeva berkaca-kaca, ada genangan di sana yang siap tumpah. Menit berlalu ia memberanikan diri mengangkat wajah untuk menatap Ghazven. “Tolong jangan lakukan hal itu…” pintanya ke Ghazven. Ia membiarkan bulir mengalir begitu saja membasahi kedua pipinya.
Tangan Ghazven bergerak menyentuh pipi putih Naeva, lalu mencengkeram dagunya, memaksanya untuk menatap padanya. “Jadi aku membelimu sepuluh juta yuan untuk apa? Untuk memberimu tempat tinggal, makanan dan tak berguna?” satu alis Ghazven terangkat. “Hahaha… kamu pikir kamu harta karun, hah?!”
Naeva terisak kecil dengan wajah yang sedikit terlempar ke samping karna cengkeraman Ghazven itu dilepaskan.
“Buka bajumu!” perintah Ghazven.
Mata Naeva yang menggenang itu melebar. Dia menggelengkan kepala dan tetap mempertahankan selimut yang menutupi tubuh.
“Aaa!” jeritnya saat selimut ditarik Ghazven. Lalu selimut itu dilemparkan asal-asalan ke lantai.
Sekarang bersisa Naeva yang hanya memakai kemeja panjang milik Ghazven. Kemeja yang terlihat keberasan di tubuh Naeva.
Naeva menarik bantal dan menutupi bagian pahanya yang terpampang itu. “Tuan, aku—aku akan melakukannya. Tetapi tolong jangan malam ini. Tolong… tolong jangan malam ini…”
“Kamu ini siapa?! Kenapa aku harus menurutimu?!” Ghazven berteriak marah.
Bibir Naeva bergetar, dia pun bingung akan membuat alasan apa.
“Aku tadi bertemu dengan Reiven,” aku Ghazven.
Wajah Naeva terpaku.
“Aku menceritakan tentang…” Ghazven menatap telapak tangannya. “kenyal, empuk dan… kencang.”
Tangan Naeva mengepal mendengar apa yang dikatakan Ghazven. Dia beranjak, tangannya terangkat, hampir mendarat di wajah Ghazven, tetapi Ghazven dengan sigap menangkap tangan kecil itu.
“Kamu jahat!” Naeva mengumpat.
Ghazven tertawa.
“Aaa!” jerit Naeva saat tubuhnya didorong dengan tangan yang tetap ada di cekalan tangan besar Ghazven. “Lepaskan!” dia memberontak, memukuli dada Ghazven dengan satu tangannya yang lain.
Sigap Ghazven menyatukan kedua tangan Naeva di atas kepalanya dengan posisi tertidur seperti sekarang ini. “Kita mulai sekarang, nona Reiven?”
“Enggak! Aku nggak mau! Jangan! Aku nggak mau!” Naeva berteriak dengan kepala yang menggeleng kuat.
Rega dan Vilan yang ada di luar saling beradu tatap mendengar teriakan dari dalam kamar. Memang kedap suara, tetapi samar-samar banget suaranya terdengar dari luar, tepat di depan kamar.
“Istirahat sana,” suruh Rega.
Vilan mengangguk dan melangkah pergi menuju ke kamarnya.
Rega berdecak dan memilih mendudukkan pantat di sofa yang tak terlalu jauh dari pintu kamar. Bukan mau nguping, tetapi standby kalau bossnya butuh dia dengan cepat.
**
Pukul 7.30am
Naeva mulai melengkuh pelan. Tangannya bergerak mengusap kening sebelum mata terbuka. Reflek ia bangkit dan menatap ke sekitar, termasuk ke sampingnya. Naeva menggigit bibir melihat tubuhnya yang tak berpakaian. Apa lagi ada beberapa bekas bibir di bagian tertentu.
Dia mencengkeram erat selimut yang menutupi tubuh, kemudian menangis terisak. Semalam Ghazven telah mendapatkan yang dimau. Ghazven merampas paksa dan hal itu yang membuat sekujur tubuh Naeva sakit luar biasa. Di bagian bawahnya sana benar-benar terasa sobek, sakitnya tak bisa digambarkan lagi.
Naeva menjatuhkan kepala ke bantal lagi. Dia tetap tak beranjak karna merasa tak lagi memiliki kehidupan. Hal yang ia jaga dan hanya akan ia berikan ke suami telah hilang. Hilang oleh orang asing, orang yang tak ia inginkan.
Tok! Tok!
Naeva makin menarik selimut sampai menutupi leher. Dia menatap ke arah pintu yang dibuka dari luar. Vilan melangkah masuk membawa beberapa tumpuk dress.
“Nona, ini dress yang sudah disiapkan tuan Ghaz untuk anda pakai.” Vilan meletakkan baju itu di sofa. Menaruh paper bag berisi dalaman atas dan bawah. “Anda mau sarapan apa? Saya akan menyiapkan.”
Naeva sama sekali tak kepikiran tentang makanan. “Apa aja. Nanti saya makan.”
Vilan membungkukkan kepala dan melangkah keluar dari kamar.
Melihat pintu yang tertutup lagi, Naeva menghela nafas. ‘Aku seperti tahanan di sini, tapi ada orang yang melayaniku di sini.’
Hufft….
Naeva membuang nafas kasar melalui mulut. “Sebenernya aku ini dianggap apa? Huuh!” dia memukul kasur dengan tangan yang terkepal. “aagh….” Rintihnya saat dia mulai menurunkan kedua kaki ke lantai.
Dengan sangat hati-hati Naeva melangkah menuju ke kamar mandi.
Kurang lebih satu jam Naeva keluar dari kamar dengan dress warna hijau sage. Rambut panjangnya diikat cepol acak-acakan, tapi itu justru membuat kesan imut di wajahnya yang memang baby face. Usia Naeva sudah dua puluh lima tahun, tetapi banyak orang mengira Naeva masih anak SMA karna wajahnya yang imut dan memang tubuhnya sedikit mungil.
“Silakan, Nona.” Vilan mengarahkan tangan ke meja makan, di mana makanan pagi sudah ia siapkan sejak beberapa menit lalu.
Pelan-pelan Naeva mendudukkan diri di kursi makan. Dia bukan lebai ya, tetapi bagian bawahnya sana benar-benar sangat sakit.
Vilan meneguk ludah melihat cara jalan dan cara duduk Naeva. Dia bisa membayangkan seperti apa permainan tuannya semalam. Terlebih Naeva masih virgin dan baru pertama kali.
Naeva sarapan roti panggang dalam diam. Mencoba menikmati sarapannya karna memang perutnya butuh diisi. Lalu meneguk susu putih setelah roti panggang habis.
“Mau saya kupaskan buah, nona?” Vilan menawari.
Naeva menggelengkan kepala. “Kamu udah lama kerja sama… Ghazven?”
Vilan tersenyum dan menganggukkan kepala.
“Ghazven semalam pergi jam berapa?” tanya Naeva, penasaran.
“Pagi-pagi sekali, Nona.”
Naeva meremas ujung dress di atas pahanya. “Nanti dia akan ke sini lagi?”
“Kenapa? Apa kamu sudah merindukanku?”
Dengan tiba-tiba suara Ghaz menyahuti, membuat Naeva tersentak dan langsung berdiri.
Ghazven melangkah tegap dengan setelah jas hitam yang membungkus tubuh. Langkahnya terhenti tepat di sisi Naeva yang masih ada di depan kursi. Untuk beberapa detik keduanya saling beradu tatap.
Ingin memberikan ruang, Vilan melangkah pergi.
Bibir Ghazven mengukir senyum tipis saat matanya jatuh pada leher Naeva yang memerah. Itu bekas bibirnya semalam, tanda milik yang sengaja ia tinggalkan.Menangkap arah pandangan Ghazven, Naeva langsung mengangkat tangan, menutupi sisi lehernya dengan gerakan cepat. Wajahnya berubah kesal, nyaris masam. Ia membuang pandang, memilih duduk kembali di kursinya tanpa mengeluarkan sepatah kata pun. Ada banyak yang ingin ia lontarkan. Umpatan, protes, atau sekadar ungkapan kesal, tapi semuanya tertahan di tenggorokan. Perkara status dirinya yang kini tak lebih dari 'barang yang dibeli', terlalu pelik untuk dibahas dengan orang yang bahkan tak pernah memberi ruang baginya untuk bersuara.Tak lama kemudian, Vilan muncul membawa nampan berisi sarapan pagi. Ia meletakkan segelas teh hangat dan sepiring roti isi di meja kecil sebelah kanan tempat duduk Naeva. Gerakannya tenang, seperti sudah biasa menghadapi pagi yang canggung seperti ini. Setelah memberi sedikit anggukan sopan, Vilan melangkah
Suara denting gelas dan bisikan penuh hasrat memenuhi ruangan remang-remang itu. Semua mata menatap panggung kecil di ujung ruangan. Di sana, seorang wanita berdiri dengan gaun hitam tipis yang tak mampu menutupi ketakutannya. Sorot matanya penuh luka, tapi tubuhnya berusaha tetap tegak.“Nomor 23,” suara pria tua berjas hitam menggema. “Seorang penulis lagu muda. Cantik, berdarah campuran, dan... dijual dengan harga pembuka lima ratus ribu yuan.”Naeva Lioren menelan ludah. Jantungnya berdegup tak karuan. Ia bahkan tidak tau siapa yang akan membelinya malam ini. Yang ia tau, keluarga yang seharusnya melindunginya justru menjualnya seperti barang tak bernyawa.“Satu juta!” teriak seseorang dari tengah ruangan. Disusul tawa dan bisik-bisik.“Dua juta!”“Empat juta.”“Sepuluh juta,” suara berat dan dingin itu memotong semua kegaduhan.Hening.Semua kepala menoleh. Termasuk Naeva. Sorot matanya bertemu dengan pria berpakaian serba hitam di kursi VIP. Tatapannya tajam, tak bersisa empati.
Naeva mundur sampai punggungnya menyentuh dinding kaca kamar mandi. Uap hangat mulai memenuhi ruangan, membuat kulitnya terasa lembap. Napasnya memburu pelan, sementara matanya terpaku pada sosok pria yang kini berdiri di depannya.Ghazven mengangkat tangannya, menarik kasar kancing-kancing kemeja putihnya satu per satu, sebelum membiarkannya jatuh ke lantai kamar mandi yang dingin. Suara kain yang menyentuh keramik terdengar begitu nyata, terlalu nyata.Otot-otot dada dan perutnya terpahat jelas, seolah dipahat dari batu. Lengannya kekar, dengan urat-urat yang menonjol setiap kali dia menggerakkan tangan. Tubuhnya tinggi, besar, dan terlalu intimidatif untuk diabaikan. Naeva menelan ludah yang terasa tercekat di tenggorokan.Tatapan Ghazven menajam saat melihat ekspresi Naeva yang memucat.“Takut?” tanyanya rendah, suara bariton itu menggetarkan udara di antara mereka.Dia melangkah mendekat. Setiap langkahnya menggerus jarak. Naeva tak bisa mundur lebih jauh karena tepat di belakang
Mobil hitam yang dikendarai Rega berhenti tepat di depan gerbang besi tinggi yang menjulang kokoh, menghalangi pandangan dari luar. Logo AL yang artinya adalah Aldric karna mansion dan seluruh penghuninya adalah keluarga besar Aldric. Tak lama, gerbang itu bergeser perlahan ke samping, membuka akses menuju bagian dalam mansion.Begitu pintu gerbang terbuka sepenuhnya, Rega kembali menekan pedal gas dengan tenang, membawa mobil masuk ke area utama. Jalanan berpaving merah tua membentang lurus, diapit deretan pohon cemara yang tumbuh rapi di kedua sisi. Lampu-lampu taman menyala temaram, menciptakan bayangan-bayangan panjang di sepanjang jalan. Suasana sepi dan terjaga, seperti mansion ini tak pernah sembarang menerima tamu.Mobil melambat saat mendekati area garasi, lalu berhenti tepat di tempat yang memang biasa digunakan untuk parkir kendaraan Ghazven.Rega segera keluar dari kursi kemudi, memutari mobil, dan membukakan pintu belakang. Ghazven keluar tanpa suara, langkahnya mantap se
Mobil melaju pelan meninggalkan mansion. Hanya suara mesin dan deru angin malam yang menemani suasana dalam kabin. Rega melirik tuannya dari kaca spion, dia tau seperti apa hubungan Ghazven dengan papanya dan istri-istri papanya itu. Tidak pernah baik semenjak nyonya Emila meninggal. Terlebih papanya yang menikah lagi dan lagi walau tau istri pertamanya sedang sakit dan butuh didampingi.“Tuan, apa memasukkan tuan Reiven perlu dipertimbangkan?” tanya Rega setelah beberapa menit berlalu dengan keheningan.Ghazven tak angsung menjawab. Dia terlihat sedang berfikir. Satu sudut bibirnya tertarik ke atas. “Kurasa untuk membunuh lalat akan lebih mudah jika dimasukkan ke dalam kandang.”Rega tersenyum. Dia sudah paham maksudnya. “Baik. Saya akan mengaturnya, tuan.”Ddrt... ddrtt....Ponsel milik Ghazven berdering. Ghazven merogoh saku jaket dan menatap layarnya yang ada panggilan masuk dari salah satu anak buahnya. Dia menggeser tombol sebelum menempelkan hp ke telinga.“Boss, yang menjual
Bibir Ghazven mengukir senyum tipis saat matanya jatuh pada leher Naeva yang memerah. Itu bekas bibirnya semalam, tanda milik yang sengaja ia tinggalkan.Menangkap arah pandangan Ghazven, Naeva langsung mengangkat tangan, menutupi sisi lehernya dengan gerakan cepat. Wajahnya berubah kesal, nyaris masam. Ia membuang pandang, memilih duduk kembali di kursinya tanpa mengeluarkan sepatah kata pun. Ada banyak yang ingin ia lontarkan. Umpatan, protes, atau sekadar ungkapan kesal, tapi semuanya tertahan di tenggorokan. Perkara status dirinya yang kini tak lebih dari 'barang yang dibeli', terlalu pelik untuk dibahas dengan orang yang bahkan tak pernah memberi ruang baginya untuk bersuara.Tak lama kemudian, Vilan muncul membawa nampan berisi sarapan pagi. Ia meletakkan segelas teh hangat dan sepiring roti isi di meja kecil sebelah kanan tempat duduk Naeva. Gerakannya tenang, seperti sudah biasa menghadapi pagi yang canggung seperti ini. Setelah memberi sedikit anggukan sopan, Vilan melangkah
Ruangan itu hanya diterangi lampu temaram dari sudut meja. Naeva terlihat terlelap, tubuhnya menggulung di balik selimut. Rambut pirang itu tergerai ke bantal, berantakan namun tetap terlihat manis di mata Ghazven. Wajahnya terlihat damai. Untuk sesaat tak terlihat jika Naeva memiliki masalah.Ghazven tak mengucap apa pun. Pelan ia mendudukkan diri di tepi ranjang, salah satu sikunya bertumpu pada lutut, menunduk, memperhatikan Naeva dalam diam. Telunjuk Ghazven terangkat, menyingkirkan helaian rambut Naeva yang menutupi wajah.Gerakan kecil itu membuat Naeva terusik. Kelopak matanya bergerak dan ia terbangun. Kedua mata melebar saat melihat sosok Ghazven ada di sebelahnya. Dengan refleks ia bangkit sambil menarik selimut menutupi tubuhnya.Satu sudut bibir Ghazven tertarik ke atas melihat reaksi Naeva yang takut.Sementara Naeva hanya diam dengan wajah yang kebingungan.“Ayo kita lanjutkan hal yang tadi belum kita selesaikan,” ucap Ghazven dengan suara yang sedikit serak.Naeva mengg
Mobil melaju pelan meninggalkan mansion. Hanya suara mesin dan deru angin malam yang menemani suasana dalam kabin. Rega melirik tuannya dari kaca spion, dia tau seperti apa hubungan Ghazven dengan papanya dan istri-istri papanya itu. Tidak pernah baik semenjak nyonya Emila meninggal. Terlebih papanya yang menikah lagi dan lagi walau tau istri pertamanya sedang sakit dan butuh didampingi.“Tuan, apa memasukkan tuan Reiven perlu dipertimbangkan?” tanya Rega setelah beberapa menit berlalu dengan keheningan.Ghazven tak angsung menjawab. Dia terlihat sedang berfikir. Satu sudut bibirnya tertarik ke atas. “Kurasa untuk membunuh lalat akan lebih mudah jika dimasukkan ke dalam kandang.”Rega tersenyum. Dia sudah paham maksudnya. “Baik. Saya akan mengaturnya, tuan.”Ddrt... ddrtt....Ponsel milik Ghazven berdering. Ghazven merogoh saku jaket dan menatap layarnya yang ada panggilan masuk dari salah satu anak buahnya. Dia menggeser tombol sebelum menempelkan hp ke telinga.“Boss, yang menjual
Mobil hitam yang dikendarai Rega berhenti tepat di depan gerbang besi tinggi yang menjulang kokoh, menghalangi pandangan dari luar. Logo AL yang artinya adalah Aldric karna mansion dan seluruh penghuninya adalah keluarga besar Aldric. Tak lama, gerbang itu bergeser perlahan ke samping, membuka akses menuju bagian dalam mansion.Begitu pintu gerbang terbuka sepenuhnya, Rega kembali menekan pedal gas dengan tenang, membawa mobil masuk ke area utama. Jalanan berpaving merah tua membentang lurus, diapit deretan pohon cemara yang tumbuh rapi di kedua sisi. Lampu-lampu taman menyala temaram, menciptakan bayangan-bayangan panjang di sepanjang jalan. Suasana sepi dan terjaga, seperti mansion ini tak pernah sembarang menerima tamu.Mobil melambat saat mendekati area garasi, lalu berhenti tepat di tempat yang memang biasa digunakan untuk parkir kendaraan Ghazven.Rega segera keluar dari kursi kemudi, memutari mobil, dan membukakan pintu belakang. Ghazven keluar tanpa suara, langkahnya mantap se
Naeva mundur sampai punggungnya menyentuh dinding kaca kamar mandi. Uap hangat mulai memenuhi ruangan, membuat kulitnya terasa lembap. Napasnya memburu pelan, sementara matanya terpaku pada sosok pria yang kini berdiri di depannya.Ghazven mengangkat tangannya, menarik kasar kancing-kancing kemeja putihnya satu per satu, sebelum membiarkannya jatuh ke lantai kamar mandi yang dingin. Suara kain yang menyentuh keramik terdengar begitu nyata, terlalu nyata.Otot-otot dada dan perutnya terpahat jelas, seolah dipahat dari batu. Lengannya kekar, dengan urat-urat yang menonjol setiap kali dia menggerakkan tangan. Tubuhnya tinggi, besar, dan terlalu intimidatif untuk diabaikan. Naeva menelan ludah yang terasa tercekat di tenggorokan.Tatapan Ghazven menajam saat melihat ekspresi Naeva yang memucat.“Takut?” tanyanya rendah, suara bariton itu menggetarkan udara di antara mereka.Dia melangkah mendekat. Setiap langkahnya menggerus jarak. Naeva tak bisa mundur lebih jauh karena tepat di belakang
Suara denting gelas dan bisikan penuh hasrat memenuhi ruangan remang-remang itu. Semua mata menatap panggung kecil di ujung ruangan. Di sana, seorang wanita berdiri dengan gaun hitam tipis yang tak mampu menutupi ketakutannya. Sorot matanya penuh luka, tapi tubuhnya berusaha tetap tegak.“Nomor 23,” suara pria tua berjas hitam menggema. “Seorang penulis lagu muda. Cantik, berdarah campuran, dan... dijual dengan harga pembuka lima ratus ribu yuan.”Naeva Lioren menelan ludah. Jantungnya berdegup tak karuan. Ia bahkan tidak tau siapa yang akan membelinya malam ini. Yang ia tau, keluarga yang seharusnya melindunginya justru menjualnya seperti barang tak bernyawa.“Satu juta!” teriak seseorang dari tengah ruangan. Disusul tawa dan bisik-bisik.“Dua juta!”“Empat juta.”“Sepuluh juta,” suara berat dan dingin itu memotong semua kegaduhan.Hening.Semua kepala menoleh. Termasuk Naeva. Sorot matanya bertemu dengan pria berpakaian serba hitam di kursi VIP. Tatapannya tajam, tak bersisa empati.