"Mbak minta makan ya, suamiku mau pulang. Aku enggak masak hari ini,” ucap Laila adik iparku yang sejak 2 bulan terakhir tinggal di rumah.
Aku hanya mengangguk sekilas, pasalnya ini bukan pertama kalinya ia meminta nasi beserta lauk pauk untuk suaminya. Hampir setiap hari ia begitu. Aku hanya terlalu lelah untuk menegurnya lagi dan lagi. Setiap kali ditegur, Laila memang tidak pernah melawan, tapi di belakang ia akan mengadukan semua itu pada kaka iparnya.Masalah yang harusnya kecil malah jadi melebar ke mana-mana.“Dek, besok Mbak Silvi mau ke sini ya,” ucap suamiku.“Mau tinggal di mana?”“Ya, di rumah kita. ‘Kan masih ada kamar yang kosong. Mbak Silvi lagi di jalan, kamu mending bantu Abang buat beresin kamarnya ya. Biar kalau Mbak Silvi datang bisa langsung istirahat.”Silvi itu merupakan kakak iparku. Suaminya merantau ke Surabaya. Selama ini dia mengontak di kota yang berbeda denganku, entah kenapa hari itu bisa-bisanya suamiku memutuskan sesuatu tanpa berdiskusi dulu denganku. Jika sudah di jalan itu namanya bukan izin, tetapi sudah jadi perintah yang harus ditaati.“Kamu kok mukanya kayak enggak ikhlas begitu sih. Abang ini lagi bantu saudara. Dulu tanpa bantuan dari mereka Abang juga enggak bisa sesukses sekarang.”“Iya, aku mandiin Rehan sebentar. Nanti aku beresin kamarnya.”“Mayra, Abang tanya sama kamu. Kenapa malah pergi?”“Ikhlas atau enggak itu ditanyain sebelum ambil keputusan. Kalau sudah dijalan ya percuma juga Abang tanya, sudahlah ini ‘kan rumah Abang. Adek sama anak-anak posisinya Cuma numpang.”Bukan tanpa sebab aku berkata demikian, pasalnya semua saudara dari suamiku selalu saja mengatakan jika rumah ini bukanlah milikku. Tanpa peduli aku ini pasangan sahnya, mereka beranggapan kalau posisiku di sini hanya menumpang. Namun, memang ada benarnya juga rumah ini memang dibeli atas nama suamiku. Jadi, sudah jelas siapa pemiliknya.Sebenarnya aku juga tidak terlalu peduli dengan status penumpang atau pemilik, akhir-akhir ini entah kenapa aku merasakan kelelahan yang teramat sangat. Belum pernah sebelumnya aku merasakan kelelahan baik secara fisik mau psikis separah ini.Badanku sakit dan rasanya semuanya ngilu. Bahkan di beberapa tempat timbul lebam berwarna biru, padahal seingatku tidak pernah terbentur benda apa pun. Aku pun sudah merasa cukup tidur, tetapi tetap saja semua itu tak berhasil mengusir rasa lelahku yang sulit sekali untuk dilukiskan.Bahkan untuk mandi di rumah sendiri saja aku harus mengantre hampir setengah jam. Pada akhirnya karena tak kunjung dibuka meski sudah diketuk berkali-kali aku memilih untuk memandikan Rehan di halaman.“Loh kok mandinya di sini, Dek? Kenapa enggak di kamar mandi.”“Dipakai Laila,” ucapku singkat lantas berlalu pergi.Bahkan sekarang melihat wajah suamiku saja membuatku merasa muak. Pernah tidak, ingin marah tetapi hanya bisa tertahan sampai tenggorokan? Itulah yang aku rasakan setiap hari. Hanya bisa menahan semuanya, tanpa pernah tersalurkan.Lihat saja respons suamiku yang tampak biasa saja melihat anaknya harus mengalah mandi di luar, andai saja posisinya di balik, sudah pasti aku yang terus digedor-gedor dari arah luar. Nyatanya yang paling penting tetaplah anggota keluarganya bukan anak apa lagi istrinya.Atas dasar memuliakan tamu, ia bahkan tak peduli jika penghuni aslinya dipaksa mengalah terus menerus. Bukan sekali 2 kali keluarganya menumpang tinggal di sini. Kadang yang satu pergi, lantas tak lama malah digantikan yang lain. Ada kakak adik atau bahkan sepupu. Bukannya aku tak pernah menolak, hanya saja selalu saja ia menggunakan alasan kemanusian.Ia tak pernah berpikir tentang privasi, bahkan terkadang di kamarku saja sudah tidak ada lagi privasi, setiap orang bisa masuk kapan saja jika tidak dikunci. Seolah itu ruangan umum yang bisa dimasuki kapan dan oleh siapa saja. Parahnya suamiku juga tampak biasa saja saat orang lain, bahkan ipar yang tentunya seorang laki-laki memasuki kamarku.Ia bisa bermain game di kamar tanpa memedulikan aku yang risi dan tak bisa berada satu ruangan dengan orang yang bukan mahram meskipun ada suamiku juga di sana. Alasannya, tentu saja karena hanya kamar kami yang dilengkapi dengan fasilitas AC, sedangkan yang lain hanya kipas angin saja.Bukan kami tak ingin memberikan fasilitas yang sama setiap ruangan hanya saja semua itu terjadi karena kami belum punya cukup uang untuk membelinya. Sejak ada mereka, pengeluaran harian dan bulanan terus saja bertambah, tetapi jangankan jatah belanja ditambah, suamiku justru terkesan tak peduli. Dia pikir uang 50 ribu akan mampu menanggung kebutuhan makan 2 keluarga sekaligus. Bahkan sekarang akan bertambah satu keluarga lagi. Kadang-kadang demi menghindari perdebatan, aku memilih keluar dan mengajak anakku untuk bermain di lapangan. Memang panas, tetapi setidaknya aku bisa bernafas lega seperti ini.“Mayra, ngapain di situ. Panas lagi terik-teriknya malah di lapangan sih, bukannya ngadem di rumah,” teriak Devi.Rumah temanku ini memang berada tepat di depan lapangan yang biasa dipakai bermain anak-anak.“Enggak apa-apa, anakku lagi pengen main,” jawabku.Sebenarnya aku hanya sedang ingin sendirian. Saat ini hatiku begitu sesak, penuh dengan rasa sakit yang tak mampu terjabarkan. Aku hanya tidak ingin orang lain akan mengetahui kesedihanku, apalagi Devi.Sayangnya dia ini tipe yang keras kepala, sekalinya menginginkan sesuatu maka akan terus dikejarnya. Seperti saat ini, ia malah menghampiri kami yang tengah asyik bermain di bawah terik sinar mentari.“Ngadem dulu sini ke rumahku. Enggak ada Mas Bambang kok. Udah berangkat kerja dia,” ucap Devi.Rupanya dia sudah paham betul, jika aku sering menggunakan alasan suaminya demi bisa menghindar untuk mampir ke rumah.“Ayo! Kasihan anakmu, nanti item pula dia kamu panasin begitu.”Sekarang Devi malah menarik paksa kami ke rumahnya. Ia suguhkan pula kami minuman dingin dan camilan di rumahnya.“Kamu kenapa lagi May, bukannya di rumah malah keliaran panas-panas gini.”“Rumahku ramai, enggak enak juga ada Ilham di kamarku lagi main game sama Bang Romi.”“Ck, suamimu ini emang keterlaluan ngapain coba bawa ipar ke kamarnya. Sesekali kamu harus tegas dong May, ungkapin aja kalau emang kamu enggak nyaman.”“Udah pernah Dev, tapi yang ada ujungnya mereka malah jadi nyalahin aku. Pada akhirnya aku pula yang suruh minta maaf. Ya sudah aku pulang dulu, udah waktunya Rehan tidur siang. Kamu juga lagi kerja ‘kan, itu ada laptop di meja.”“Kerja apaan, aku Cuma kerja sampingan aja di kala luang.”“Kerja apa emang, Dev?”“Nulis novel, iseng-iseng aja. Kamu mau ikutan nulis juga May, kalau novelnya laku lumayan juga penghasilannya. Kamu bilang pengen kerja ‘kan, tapi bingung kalau harus ninggalin Rehan, nah mending coba aja nulis kayak aku.”“Kederannya sih menarik ya Dev, nanti lain kali aku coba ya. Aku mau nidurin Rehan dulu. Kayaknya dia juga udah ngantuk.”“Ya sudah, kabarin aja ya seumpama kamu mau belajar buat nulis juga. Nanti aku ajarin caranya.”Saat itu tiba-tiba saja Devi memelukku, tak biasanya dia seperti ini.“Jangan suka mendem masalah sendiri, May. Ada aku., kita sahabatan ‘kan? Aku masih mau ketemu kamu tiap hari, jangan meninggal dulu.”Saat itu aku malah terkekeh. Rupanya wanita ini masih saja mengingat celotehanku tadi pagi.“Aku hanya bercanda. Tenang aja, tuh lihat aku masih hidup sampai sekarang.”“Omongan kamu itu loh May, bikin aku jadi parno sendiri.”Sekali lagi aku hanya menanggapinya dengan senyuman. Seharusnya aku memang tidak pernah mengatakan hal itu, sehingga tidak membuat Devi sampai ketakutan sendiri.~Di rumah rupanya sudah ada kakak iparku dari Surabaya. Melihatku baru tiba, tentu saja Bang Romi terlihat tidak senang.“Kamu ke mana aja, udah tahu mau ada tamu kenapa malah pergi ke rumah tetangga?”“Emang Abang ada bilang kalau tamunya mau datang secepat ini. Abang Cuma bilang Mbak Silvi lagi di jalan, enggak bilang datang ke sininya jam berapa.”“Kamu kok ngomongnya gitu, kamu enggak suka Mbak Silvi tinggal di sini?”“Memangnya kalau enggak suka, Abang mau apa? Suruh Mbak Silvi pulang lagi, enggak mungkin ‘kan? Aku mau nidurin Rehan dulu, makanannya sudah aku siapkan di meja. Barang-barang Mbak Silvi juga udah dimasukkin semua ke kamarnya, emangnya aku harus ngapain lagi?”“Ya seenggaknya kamu temani dulu Mbak Silvi di depan Dek, dia juga pasti perasaan ‘kan datang-datang kamu cuekin begitu. Malah ditinggal masuk kamar. Kamu juga kalau bertamu ke rumah orang diperlakukan seperti itu pasti enggak akan mau ‘kan?”“Udah biasa aku mah tiap datang ke rumah Ibu aja seringnya malah ditinggal gitu aja.”“Loh kamu kok ngomongnya begitu, jadi kamu mau balas dendam?”“Enggak juga kalau mau balas dendam, dari awal aja aku nolak buat beresin kamarnya.”“Setidaknya kamu temenin makan dulu.”“Apa enggak sekalian disuapin juga?”Di tengah perdebatan kami, karena rasa kantuknya Rehan juga mulai menangis. Anak itu biasanya memang tidur sekitar jam 1 sampai jam 2 siang. Namun, karena keegoisan ayahnya ia bahkan harus mendengar kami berdebat perihal Mbak Silvi yang harus selalu ditemani.Aku sudah menawarkannya makanan, bahkan seharusnya suamiku juga turut mendengar jika Mbak Silvi memang mengiyakan ajakanku. Hanya saja ia ingin beristirahat lebih dahulu sebelum makan. Nam
“Abang enggak ada maksud buat beda-bedain kasih sayang kok. Ini kebetulan aja Dek, Elsa juga ‘kan jarang diajak jalan. Kamu tahu bapaknya juga jarang di rumah?”“Emangnya selama ini Rehan juga sering diajak jalan walaupun ayahnya ada di rumah?” tanyaku.Kenyataannya ia sendiri bahkan sangat jarang mengajak kami jalan-jalan. Walau sekedar makan di resto dekat rumah. Sebenarnya tak perlu singgah di tempat mewah. Keluar jalan saja sudah pasti membuat Rehan senang, tetapi suamiku bahkan tidak pernah melakukannya.“Jadi, kamu cemburu sama anak kecil?”“Aku?”“Ya, terus kalau memang enggak kenapa malah ngomong begitu?”“Dari pada jalan-jalan aku lebih butuh uang untuk beli makanan sehat dan bergizi. Buat apa jalan, kalau gizi anak aja enggak terpenuhi. Makan cuma asal kenyang aja.”“Kamu ngomong apa sih Dek, kok bahasannya malah jadi ke mana-mana?”“Ya, Abang harusnya bisa bedain yang cemburu itu anakmu. Rehan ngerasa kamu lebih sayang Elsa dari pada anaknya sendiri.”“Ya sudah, kita pergi
“Ya sudah kamu maunya bagaimana?”“Kenapa jadi Abang yang emosi, ya Abang usaha sendirilah bikin Rehan kembali percaya kalau ayahnya emang sayang sama dia. Aku tidur duluan ya, hari ini capek banget. Udah beres-beres dari pagi enggak selesai-selesai. Besok kayaknya aku juga harus bangun pagi buat melayani semua orang yang tinggal di sini,” ucapku.Kala itu aku memang sengaja mengatakannya, karena ingin menyindir suamiku. Kenyataannya dia yang sering kali menampung keluarganya di rumah, tetapi seolah tutup mata tentang hal ini. Dalam segi makanan pun tentu saja akan bertambah banyak, tetapi jatah belanjaku bukannya ditambah malah tetap, padahal sekarang baru saja menambah anggota keluarga baru.“Loh kenapa kamu harus melayani mereka? Biarin aja mereka mengurusi diri sendiri. Abang cuma minta kamu terima mereka di sini. Urusan makan ke depannya biar mereka yang berpikir sendiri.”“Emangnya Abang sanggup minta mereka buat gak numpang makan sama aku? Enggak ‘kan?”“Ya sudah mulai besok ka
“Cuma sarapan aja loh Mbak sampai segininya sama aku!” keluh Laila.“Loh kamu lebih aneh Dek, kenapa perkara sarapan yang enggak seberapa aja bukannya beli sendiri malah nyalahin orang lain.”Menghadapi Laila yang tak mau rugi sepertinya memang harus kuat mental. Kali ini aku juga tak mau kalah, bukan perkara uang sedikit, hanya saja aku tidak ingin dia terbiasa mengandalkanku dalam segala hal. Aku bisa maklum kalau memang suaminya tengah berada di tanah rantau. Mungkin saja ia memang belum diberikan uang untuk belanja sehari-hari. Hanya saja kemarin aku melihat ia habis memberi emas dan banyak baju, lantas kenapa makan masih minta aku?“Bu, mana makanannya? Elsa udah lapar.”Laila tampak menarik nafas kasar, sepertinya ia kesal karena aku tak kunjung mengabulkan apa yang ia mau. Lagi pula enak sekali semuanya minta dilayani. Apakah aku juga harus melayani makan dan pakaian suaminya harus aku cucikan juga. Aku punya suami dan anak sendiri. Sudah kubelikan mesin cuci agar mereka bisa
Setelah mendapatkan sedikit wejangan dari Bu Siska, aku menjadi sedikit bersemangat. Kami memang akrab sudah akrab sejak lama. Sebenarnya aku tidak punya masalah dengan tetangga sekitar. Mereka cukup baik padaku, hanya saja entah dengan orang-orang di rumah, kenapa senang sekali memanfaatkan kebaikanku.“Aku pamit dulu ya Bu, sebentar lagi kayaknya Bang Romi juga mau datang.”“Iya May, hati-hati ya. Pokoknya jangan mau kalah.”Wanita paruh baya yang seumuran dengan almarhumah ibuku bahkan tampak jauh lebih bersemangat dariku. Seringnya aku bahkan nyaris kehilangan harapan untuk hidup. Setelah ditinggal ayah dan ibu, sekarang justru diuji dengan pasangan yang sikapnya seperti Bang Romi. Ia baik dengan semua orang, tetapi tidak dengan anak dan istrinya.Sampai di rumah rupanya mereka sudah menyambutku dengan wajah yang ketus. Laila, Mba Silvi bahkan tampak sangat kesal padaku.“Kamu ke mana aja, May?” tanya Mbak Silvi.“Abis keluar sebentar,” ucapku santai.Aku hanya mencoba bersikap bi
“Kamu kok ngomongnya jadi melantur ke mana-mana, Dek? Siapa juga yang mau jadiin kamu pelayan di rumah ini. Kamu itu Abang nikahin buat jadi istri.”“Ya terus, kenapa hanya aku yang suruh beres-beres dan masak? Tiap hari loh aku masak dan ngurus rumah. Emang salah aku minta ibunya beresin maianan bekas anaknya. Mereka yang enggak mau kemas mainan, malah aku juga yang disalahkan kalau anaknya nginjek mainan sampai terluka.”“Abang tahu kamu kesinggung sama Laila, tapi enggak harus gini juga dong Dek. Nanti Laila juga malah kesinggung.”“Oh jadi Abang lebih suka aku yang capek terus sendirian dari pada Laila dan Mbak Silvi yang hanya suruh beresin mainan? Aku enggak minta dia masak tiap hari, aku juga enggak minta sarapan ke dia. Apa lagi minta dia bersih-bersih serumah. Perkara sepele pun dia enggak mau gerak, masih aja Abang pikirin dia tersinggung atau enggak.”“Dek, istigfar!”“Sudahlah Bang, aku hanya berhenti masak sehari. Aku juga masih tanggung jawab buat nyediain makanan di rum
“Sudahlah May, Mbak Silvi dan Laila juga. Jangan membesar-besarkan masalah. Kalian dari tadi ribut terus, malu juga kedengeran sama tetangga,” keluh Bang Romi.Kenapa kamu harus mengatakan hal itu Bang, jelas-jelas keluargamu yang salah. Atas semua pengorbananku ini, tak bisakah kamu meluruskannya saja. Aku tidak minta untuk dibela, hanya sekedar mengarahkan Laila supaya ke depannya ia bertindak sesuai dengan usia dan statusnya sebagai seorang istri dan ibu.Aku kecewa, kenapa orang yang aku harapkan akan memberikanku sedikit saja rasa nyaman kenyataannya ia bahkan tak bisa memberikannya bahkan di tempat yang dia sebut rumah.“Kamu juga harusnya sadar Rom, yang dari tadi nyari ribut itu siapa? Orang suami pulang, bukannya disambut diurusin makan malah diajak debat," ucap Mbak Silvi.“Ya kalau emang Mbak sanggup, cucikan saja pakaian punya Laila dan suaminya sekalian. Jangan nyindir aku begitu,” ucapku.“Kamu masih aja ya May, bahas-bahas pakaian.”“Mbak yang mulai duluan, masih baik a
Kala itu sebelum pulang ke rumah aku memilih untuk mengajak Rehan makan di rumah makan baru yang kemarin dikunjungi keluarga besar Bang Romi.“Kamu boleh pesan apa aja Sayang, nanti Bunda yang bayar!” ucapku.Rehan tampak sangat senang, karena untuk pertama kali setelah sekian lama akhirnya Rehan bisa makan di luar. Ia juga turut mencoba wahana bermain yang kala itu sedang agak lengah. Mengingat di jam-jam menjelang magrib memang sedikit pengunjung yang datang ke tempat ini. Setahuku biasanya akan kembali ramai usai jam salat magrib. Namun, karena aku sudah terlanjur lapar lebih baik makan dulu sebelum pulang. Tidak akan pernah ada yang tahu apa yang terjadi di rumah.Dari pada ribut dan berakhir kehilangan nafsu makan lebih baik mengisi perut lebih dahulu. Kenyataanya hidup perlu makan agar kuat menghadapi masalah. Tak menunggu lama akhirnya makanan yang kami pesan datang. Rehan makan dengan lahap, mungkin karena energinya cukup terkuras habis usai bermain berjam-jam.“Enak?” tanyaku
“Pasti Abang doain kamu Sayang, pokoknya kamu harus kuat. Abang yakin kamu dan adek bayi bakal selamat. Kamu harus lihat ‘kan anak kedua kita. Kita punya banyak banget rencana setelah ini. Kamu udah janji sama Abang, enggak boleh ingkarin gitu aja.”Tanpa sadar air mata lolos begitu saja dari sudut mata Romi. Namun, ia lekas menyekanya. Seharusnya ialah yang menguatkan Mayra, tetapi saat ini Romi justru terlihat sebagai pihak yang lebih butuh dikuatkan. Sepanjang jalan menuju ruang operasi Romi seakan tak mau melepaskan genggaman tangannya, sampai ketika Mayra masuk ia sempat mengatakan satu kalimat yang benar-benar membekas di hati Romi.“Abang, kita enggak boleh terlalu cinta sama manusia. Nanti Allah cemburu,” ucap Mayra.Sebelum akhirnya pintu ruangan operasi tertutup. Romi hanya diperkenankan mengantarnya sampai ke depan pintu, ia tidak menyangka kalau proses melahirkan anak keduanya justru berkali-kali lipat lebih sulit saat M
Sembari menghapus jejak tangisan di wajahnya Silvi memutuskan untuk mempercepat langkahnya menuju toilet. Ia hanya ingin mencari tempat yang nyaman untuk bisa melepaskan penyesalannya. Rupanya maaf saja tak cukup untuk menebus kesalahan yang sudah terlanjur menggunung. Memang benar semua butuh waktu, tetapi ia sendiri tidak menyangka jika Romi justru lebih sulit dihadapi dari pada Mayra.Sebelumnya ia selalu berpikir adiknya yang selalu ada di saat sulit akan mudah dihadapi, rupanya ia justru tampak begitu keras bahkan pada ibu kandungnya sendiri. Sudah semalam mereka berada dalam satu atap yang sama, tetapi sikap Romi justru semakin dingin. Ia bahkan terang-terangan melarang istrinya untuk sekedar membantu Silvi dalam hal menulis.Cukup lama Silvi berada di sana, mungkin sekitar satu jam. Tak ia pedulikan jika hari semakin larut, tetapi ia hanya takut jika tangisannya akan terdengar oleh Romi yang berada tepat di samping kamar tamu, jadi untuk saat ini toilet me
Saat sedang asyik mengobrol Romi dan yang lainnya malah datang. Mau tidak mau mereka harus menghentikan pembicaraan. Tak enak juga rasanya memaksa Mayra untuk terus membantunya. Jika Romi tahu, mungkin hal ini hanya akan memicu masalah baru.”“Terus sekarang kita mau bagaimana Bu, kalau Mayra yang jadi harapan satu-satunya malah enggak bisa bantu apa-apa.”“Ibu juga enggak tahu, kita udah terlanjur ke sini. Ya pokoknya kita harus bisa memperbaiki hubungan sama Romi,” ucap Bu Tuti.Usai mengatakannya, mereka pun ikut menyusul Romi dan yang lainnya ke dalam. Di sana Romi juga mengajak Pak Erik untuk melihat kebun sayuran Mayra di belakang rumah ia menceritakan bagaimana Mayra membuatnya tetap subur. Sampai Pak Erik pun berencana untuk membuat kebun sayuran yang sama di depan rumahnya.“Kayaknya bagus juga Bu, idenya Mayra ini. Kita bisa buat di de
Menyadari kedatangan Silvi dan orang tuanya, jelas saja ekspresi Gani langsung berubah. Ia terlihat sedikit gelisah, mungkin terkejut karena tak menyangka jika mereka akan datang. Gani tetap menyalami mantan mertuanya dengan takzim, tentunya kecuali Silvi ia hanya menundukkan kepala.“Bapak sama Ibu sehat?” tanya Gani.“Alhamdulillah, ini kamu mau pulang apa bagaimana? Kok udah bawa tas aja?” tanya Pak Erik sekaligus memecah suasana canggung di antara mereka.“Iya Pak, ini mau pulang ke Subang. Udah lama di Bandung, kangen juga sama Yoora.”“Bukannya Subang sama Bandung deket banget, emang enggak sering pulang.”“Sebenarnya sering sih paling 2 minggu sekali, tergantung kerjaan aja. Kalau bisa tiap minggu pulang ya maunya sih begitu. Cuma ‘kan yang ada kerjaannya enggak selesai-selesai. Ya sudah kalau begitu Pak, saya pamit dulu.”Sata itu Bu Tuti juga bingung harus berka
Entah kenapa rasanya dunia Silvi mendadak berhenti berputar. Kenapa ada Bunda selain dirinya?Silvi pun tahu cepat atau lambat hal ini akan terjadi, tetapi kenapa harus secepat ini? Ia melihat keduanya begitu akrab, bahkan sepertinya Yoora terlihat begitu nyaman berada di pelukan wanita yang ia panggil Bunda itu. Di sampingnya juga adik iparnya yang tampak cukup dekat dengannya.Jika diingat kembali hubungan Silvi dan adik iparnya bahkan tidak sedekat itu. Ia sendiri yang sengaja menjaga jarak dari adik suaminya. Sekarang melihat mereka begitu akrab, Silvi bahkan tidak bisa menyalahkannya juga. Apa lagi statusnya sekarang juga bukan lagi istri Gani. Niat hati ingin memberikan kejutan pada anaknya, sekarang ia sendiri yang terkejut.“Bunda Silvi,” ucap Yoora yang saat itu mengalihkan pandangannya.Ia baru sadar jika sejak tadi ada Silvi di dekatnya. Anak kecil itu pun langsung menghambur memeluk ibu kandungnya.“Bunda kenapa enggak bilang mau ke sini?” Bahkan jika hatinya begitu sakit
Saat itu juga Bu Tuti langsung menghubungi Romi lewat panggilan telepon. Namun, entah kenapa tak kunjung diangkat juga. Sudah 10 kali mencoba, tetap saja tak ada hasilnya.“Pak, kenapa Romi enggak mau ngangkat telepon dari Ibu?”“Enggak tahu, kemarin-kemarin masih mau ngangkat telepon dari Bapak kok. Mungkin lagi sibuk aja.”“Apa jangan-jangan dia masih marah sama Ibu, sampai enggak mau ngangkat. Gak mungkin Romi jauh dari hpnya Pak, di aitu sibuk terus kalau jam segini.”Sebagai ibunya sedikit banyak ia tahu kebiasaan Romi, termasuk jam sibuk putranya. Rasanya sedikit janggal kalau Romi tak memegang ponselnya di jam sibuk.“Bentar, biar Bapak yang coba telepon!”Kali ini karena penasaran, Pak Erik juga mencoba untuk menghubunginya. Namun, hasilnya sama. Mereka sontak saja jadi berpikir yang tidak-tidak.“Jangan-jangan terjadi sesuatu sama Romi, Pak?” ucap Bu Tuti dengan wajah yang mulai panik.“Kamu jangan ngomong sembarangan. Bisa aja dia memang lag
“Bu Tuti tahu enggak sih kemari ‘kan Silvi ke sini,” ucap Bu Mia saat mereka sama-sama belanja di warung.“Oh iya saya tahu, Bu,” ucap Bu Tuti canggung.Pasalnya di sana tak hanya mereka berdua ada pembeli lain yang juga sedang memilih sayuran. Ia hanya tidak ingin pembahasan ini jadi ke mana-mana. Apa lagi gosip di sini mudah sekali menyebar.“Loh kalau tahu kenapa enggak pulang cepat-cepat Bu Tuti? Kasihan loh jadinya Silvi keburu diusir sama Pak RT.”Sudah ia duga, Bu Mia ini pasti akan membahas perkara pengusiran ini.“Saya juga enggak bisa ninggalin kerjaan begitu aja, saya jaga bayi. Enggak mungkin bayinya saya tinggal malam-malam.”“Ya harusnya ibu kasih tahu Silvi alamat ibu kerja, eh apa Ibu takut ya kalau Silvi nanti malah mencuri barang-barang di rumah majikannya. Hehe, susah juga ya jadi ibu, serba salah banget. Dipikir-pikir kalau saya jadi Bu Tuti juga akan ngelakuin hal yang sama sih, dari pada ngambil risiko yang malah merugikan diri sendiri.”“Sudah Bu ngomongnya, say
“Tapi, Pak saya enggak ada niat buat mencuri, saya juga enggak mau lagi masuk penjara. Saya sudah tobat.”“Saya tahu, tapi sebagai ketua RT saya juga punya kewajiban bikin warga tenang. Ada banyak sekali keluhan dari siang sampai sekarang, warga sangat keberatan kalau Mbak Silvi memutuskan kembali tinggal di lingkungan sini. Tolong pengertiannya ya Mbak, saya ikut senang kalau Mbak memang sudah tobat. Cuma Mbak juga harus tahu kalau enggak semua orang bisa menerima dan enggak Mbak enggak bisa maksa orang lain buat mengerti.”“Apa karena saya bukan warga sini, makanya Bapak tega mengusir saya malam-malam begini?”“Bukan masalah itu, saya pikir Mbak juga sudah tahu apa alasannya. Mbak dipenjara atas kasus pencurian, sudah jadi hukum sosial kalau Mbak jadi dijauhi orang-orang.”Akhirnya emosi Pak RT yang sejak tadi ditahan kini tidak terbendung juga sekarang mau tidak mau ia harus mengutarakan maksud dari perkataannya secara gamblang. Masa bodo kalau Silvi akan saki
Sejak kepergian ibu mertuanya tempo hari Mayra memang sengaja menahan untuk tak membahas masalah itu. Sampai ia merasa kali inilah waktu yang tepat untuk mengatakan ini pada suaminya. Perlu waktu seminggu untuk Mayra menunggu sampai Romi bisa diajak diskusi. “Sayang, boleh aku ngomong sesuatu?” tanya Mayra tepat ketika ia dan Romi hendak beristirahat di malam hari. “Kenapa Sayang, ngomong aja!” “Ini soal Ibu.” Mayra bahkan sengaja memberi jeda ucapannya, hanya untuk melihat respons suaminya. Melihat Romi yang terlihat menatapnya dengan antusias, barulah Mayra yakin kalau kali ini ia tidak salah waktu. “Seseorang yang susah untuk dinasihati itu memang kadang perlu merasakan kehilangan dulu, sampai mereka mengerti kalau apa-apa yang tidak ada dalam genggamannya itu begitu berharga.” “Harus dengan cara enggak kasih kabar sama sekali?” “Abang tetap kontrol kok, ‘kan di depan rumah Ibu ada istrinya Jefri. Dia ka