Share

Bab 2

Penulis: ERIA YURIKA
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

“Ya seenggaknya kamu temani dulu Mbak Silvi di depan Dek, dia juga pasti perasaan ‘kan datang-datang kamu cuekin begitu. Malah ditinggal masuk kamar. Kamu juga kalau bertamu ke rumah orang diperlakukan seperti itu pasti enggak akan mau ‘kan?”

“Udah biasa aku mah tiap datang ke rumah Ibu aja seringnya malah ditinggal gitu aja.”

“Loh kamu kok ngomongnya begitu, jadi kamu mau balas dendam?”

“Enggak juga kalau mau balas dendam, dari awal aja aku nolak buat beresin kamarnya.”

“Setidaknya kamu temenin makan dulu.”

“Apa enggak sekalian disuapin juga?”

Di tengah perdebatan kami, karena rasa kantuknya Rehan juga mulai menangis. Anak itu biasanya memang tidur sekitar jam 1 sampai jam 2 siang. Namun, karena keegoisan ayahnya ia bahkan harus mendengar kami berdebat perihal Mbak Silvi yang harus selalu ditemani.

Aku sudah menawarkannya makanan, bahkan seharusnya suamiku juga turut mendengar jika Mbak Silvi memang mengiyakan ajakanku. Hanya saja ia ingin beristirahat lebih dahulu sebelum makan. Namun, tetap saja Bang Romi tak mau mengerti, ia malah memaksaku untuk tetap berada di luar. Saat anaknya sendiri sudah mulai merengek karena mengantuk.

Mendengar tangisan Rehan, akhirnya suamiku juga menghentikan egonya yang luar biasa itu. 

Entah bagaimana kalau di antara kami tidak ada anak, apakah ia akan selalu memaksakan ego seperti ini? Saking lelahnya memikirkan hidup dan rumahku yang selalu saja berantakan siang itu aku malah ikut tertidur di samping Rehan.

Aku benar-benar tak sengaja, fisikku benar-benar lelah. Belum lagi setiap hari harus putar otak untuk bagaimana caranya uang 50 ribu rupiah bisa cukup untuk makan serumah. Ingin sekali rasanya memasak sedikit saja. Namun, yang terjadi saat jam makan seringnya aku yang tak pernah kebagian. Apa lagi sekarang, kadang-kadang aku sampai menyembunyikan secuil lauk untuk Rehan di dalam kamar, karena seringnya justru kami yang tidak kebagian lauk.

Seolah tak mau mengerti Laila terus saja berbuat semaunya sendiri. Di mana-mana jika suaminya kembali dari tanah rantau maka selayaknya istri pada umumnya, mereka akan menyiapkan makanan untuk suaminya, tetapi yang dilakukan Alana hanya memoles riasan di wajahnya.

Bukan aku merasa iri, hanya saja melihat tak ada lauk di meja makan saat perut sedang lapar terkadang bisa membuat emosi orang meledak-ledak. Selama ini aku masih bisa sabar, tetapi entah beberapa minggu atau bulan lagi. Tidak ada yang akan menjamin kalau aku masih bisa sabar dan menerima semuanya begitu saja.

Saat itu aku terbangun pukul 4 sore, lekas saja aku menunaikan salat asar. Sebelum waktunya benar-benar berakhir. Begitu keluar mengambil air wudu tak ada satu pun orang di rumah.

“Loh, ke mana mereka?” tanyaku dalam hati.

Aku tak banyak berpikir saat itu, karena keadaan sepi juga cukup bagus. Rumah akan dengan mudah dibersihkan. Di saat aku sedang menyapu di halaman depan, beberapa tetangga mulai menyapa.

“Nyapu May, tumben kesorean?” sapa Bu Siska, penghuni rumah depan.

Ada beberapa orang juga di sana.

“Iya Bu, malah ketiduran tadi lagi nidurin Rehan," jawabku sambil tersenyum.

“Pasti capek ya May, ngurusin banyak orang. Sini dulu May, ini lagi rujakkan. Biar seger, cobain,” tawar Bu Asri.

“Iya, Bu. Makasih, gampanglah ini mumpung Rehan tidur mau beres-beres dulu.”

“Kirain Ibu kamu sama Rehan juga diajak keluar.”

“Keluar ke mana Bu, orang dari tadi saya di dalam.”

“Emangnya kamu enggak tahu kalau tadi suamimu sama yang lainnya keluar pakai mobil?”

“Oh, aku enggak tahu.”

“Bilangnya malah mau makan-makan di resto depan yang baru itu loh, May.”

“Oh gitu, mungkin karena ada Mbak Silvi jadi Bang Romi sekalian ngajak jalan-jalan.”

“Masa ngajak jalan-jalan istri dan anaknya malah enggak diajak,” sahut Bu Asri.

Wanita itu bahkan terlihat sangat kesal.

Namun, beberapa detik kemudian aku melihat Bu Siska malah menepuknya dengan keras. Sepertinya ia takut kalau aku akan tersinggung dengan ucapan temannya itu. Aku sendiri bahkan tidak tahu ke mana mereka dan kapan perginya. Bang Romi bahkan tak mengatakan apa-apa padaku.

“Mungkin Bang Romi enggak enak mau bangunin kami, kalau begitu saya permisi ke dalam dulu ya Buibui.”

“Eh, tunggu May. Jangan didengerin itu Bu Asri. Sebentar ini saya bungkuskan rujak buat kamu. Masih banyak kok ini. Lumayan buat seger-seger. Siapa tahu jadi, ‘kan?”

“Jadi apalah Ibu ini?”

“Jadi adiknya Rehan, hehe,” ucap Bu Siska sembari membawa sepiring rujak buah dari rumahnya.

“Rehan juga masih kecil, nanti dululah.”

“Enggak apa-apa masih muda, biar ngurusnya sekalian. Nanti gede satu gede semua.”

Aku hanya tertawa saja, memiliki tetangga seperti mereka cukup membuatku terhibur. Di kala aku harus merasakan sedih, karena ditinggal begitu saja oleh suamiku, padahal seminggu yang lalu Rehan pernah meminta untuk pergi ke resto yang baru buka itu, tetapi dengan tegas suamiku menolak. Alasannya ia tak punya uang, kenyataannya hari ini ia malah mengajak semua anggota keluarganya ke sana.

Aku bisa melihat status whats app Laila di mana mereka tengah berselfie ria. Bahkan ia juga tak lupa memotret begitu banyak makanan yang mereka santap saat itu. Statusnya sudah di posting sejak 2 jam yang lalu.

~

Hari itu jatah belanjaku sudah habis, karena Laila yang terus saja menyembunyikan lauk pauk yang kumasak ke kamarnya, aku jadi harus memakai jatah belanjaku di hari berikutnya, yang pada akhirnya di hari terakhir uang belanjaku sudah habis tak tersisa. Entah bagaimana dengan seminggu ke depan. Aku benar-benar butuh uang.

Bukannya aku tak mau meminta pada suami, sikapnya yang perhitungan membuatku jadi kesal sendiri, kecuali memang bayarannya telat. Aku cukup mengerti, tetapi ini setiap hari yang ia bicarakan terus saja tentang proyeknya yang berjuta-juta. Namun, saat aku meminta uang, selalu saja bilang tidak ada. Alasannya klasik, uangnya digunakan untuk modal lagi dan yang lainnya.

Terkadang aku juga heran, kenapa suamiku lebih mudah iba dan royal pada orang-orang di luar sana dari pada istrinya. Entah kenapa padaku, ia begitu perhitungan. Jarang sekali ia memberikan jatah belanja lebih, padahal sudah kukatakan uangnya tak pernah cukup. Apalagi sejak ia membawa banyak orang ke rumah. 

Pada akhirnya aku hanya bisa memutar otak bagaimana caranya membuat makanan dalam jumlah yang cukup untuk banyak orang, tetapi dengan harga yang terjangkau. Sekarang bahkan prioritasku bukan lagi gizi. Hanya tentang kuantitas agar cukup untuk banyak orang.

Tak jarang aku sendiri bahkan harus menahan lapar hanya karena tingkah mereka yang semakin tidak tahu diri. Untuk menghindari hal itu terjadi itulah mengapa aku selalu menyimpan makanan di kamar, meskipun aku tahu risikonya akan menjadi bahan omongan keluarga suamiku.

Dicap serakah dan masih banyak lagi, sungguh aku tak peduli, yang terpenting bagiku hanyalah agar anakku tidak lagi merasakan kelaparan di rumahnya sendiri. Semua orang boleh menghinaku, asal jangan sampai anakku menderita.

Setelah magrib barulah mereka pulang. Elsa dan Yora juga tampak begitu bersemangat menceritakan pengalaman mereka makan dan bermain di resto itu pada Rehan. 

“Tahu enggak tadi aku makan ikan, ayam pokoknya enak-enak banget,” ucap Elsa, anak Laila.

“Kita juga maen prosotan dan trampolin. Ada mandi bola juga, pokoknya seru banget. Yehh, kamu enggak diajak,” ucap Yora, anak dari Mbak Silvi yang malah menertawakan anakku.

Entah kenapa aku geram sekali melihat tingkahnya, kenapa juga orangtuanya hanya diam saja anak-anaknya memamerkan hal itu pada anakku yang sudah tampak menahan tangisnya.

“Kenapa aku enggak diajak, Bunda?” tanya Rehan dengan mata yang sudah memerah.

“Nanti pergi sama Bunda ya, Rehan mau ke sana juga ‘kan?” ucapku berusaha menenangkannya, tetapi seolah menulikan diri kedua iparku juga tak kunjung menegur anaknya untuk diam.

“Kasihan kamu enggak diajak. Makanya jangan tidu terus!” ucap Elsa.

Kebetulan saat itu Bang Romi juga baru tiba dari arah dapur, harusnya ia mendengar apa yang dikatakan keponakan-keponakannya itu.

“Ayah jahat, kenapa Rehan enggak diajak. Ayah enggak sayang sama aku. Mereka diajak main, aku enggak huhu.”

Rehan yang sudah menangis, lantas pergi ke kamar sambil berlari.

Aku hanya bisa menyusulnya dan kembali menenangkan anak itu.

“Hiks, ayah enggak sayang aku. Kemarin aku mau ke sana, enggak boleh.”

“Sabar, Sayang. Bunda janji, nanti kalau Bunda ada rezeki kita ke sana oke.”

Saat itu aku memeluknya begitu erat, bukan hanya demi menghilangkan kesedihan putraku tetapi juga rasa sakit dihatiku. Sungguh melihat anak sendiri diperlakukan dengan tidak adil membuatku sesak bukan lain. Tidak masalah jika hanya aku yang ditinggalkan, asal anakku jangan. Dia masih anak-anak, tentu saja hal seperti ini akan membuatnya merasa diasingkan.

Rupanya Bang Romi menyusul ke kamar. Saat itu ia juga tampak mengusap punggung Rehan.

“Ayah kenapa ke sini? Aku benci sama Ayah. Ayah enggak sayang sama aku dan Bunda lagi! Ayah pergi aja! Ayah cuma sayang Elsa sama Yora,” teriak Rehan sambil terisak.

“Dek, tadi Abang buru-buru Elsa sama Yora katanya mau ke sana. Mereka ‘kan juga enggak pernah ke mana-mana, jadi sekalian aja Abang ajak mereka luar.”

“Emangnya aku sama Rehan juga sering ke mana-mana? Enggak ‘kan?”

“Tadinya Abang juga mau bangunin kamu, tapi anak-anak udah keburu gak sabar. Terus bagaimana ini Rehan, enggak mau diem.”

“Kenapa Ayah masih di sini? Sana pergi aja! Aku enggak mau Ayah di sini. Ayah jahat,” teriak Rehan kembali.

“Ya sudah nanti kita ke sana. Ayah janji sama Rehan.”

“Enggak mau, Ayah bohong terus. Ayah jahat! Ayah pergi aja!”

“Dek, ini bagaimana?” tanya suamiku yang mulai kebingungan menghadapi tingkah anaknya.

“Abang mending keluar dulu deh!” ucapku.

“Kamu juga marah sama Abang karena enggak diajak.”

“Enggak, aku cuma heran anakmu ini sebenarnya Elsa atau Rehan. Enggak sekali dua kali Abang begini. Aku masih bisa ngerti kalau kamu enggak ajak pergi, tapi anak-anak. Tolong pergi aja, kehadiran Abang di sini cuma bikin Rehan tambah histeris."

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Tika saputri
Ok bgus ceritanya
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

  • Jadi Pelayan saat Tinggal Bersama Ipar   Bab 3

    “Abang enggak ada maksud buat beda-bedain kasih sayang kok. Ini kebetulan aja Dek, Elsa juga ‘kan jarang diajak jalan. Kamu tahu bapaknya juga jarang di rumah?”“Emangnya selama ini Rehan juga sering diajak jalan walaupun ayahnya ada di rumah?” tanyaku.Kenyataannya ia sendiri bahkan sangat jarang mengajak kami jalan-jalan. Walau sekedar makan di resto dekat rumah. Sebenarnya tak perlu singgah di tempat mewah. Keluar jalan saja sudah pasti membuat Rehan senang, tetapi suamiku bahkan tidak pernah melakukannya.“Jadi, kamu cemburu sama anak kecil?”“Aku?”“Ya, terus kalau memang enggak kenapa malah ngomong begitu?”“Dari pada jalan-jalan aku lebih butuh uang untuk beli makanan sehat dan bergizi. Buat apa jalan, kalau gizi anak aja enggak terpenuhi. Makan cuma asal kenyang aja.”“Kamu ngomong apa sih Dek, kok bahasannya malah jadi ke mana-mana?”“Ya, Abang harusnya bisa bedain yang cemburu itu anakmu. Rehan ngerasa kamu lebih sayang Elsa dari pada anaknya sendiri.”“Ya sudah, kita pergi

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-29
  • Jadi Pelayan saat Tinggal Bersama Ipar   Bab 4

    “Ya sudah kamu maunya bagaimana?”“Kenapa jadi Abang yang emosi, ya Abang usaha sendirilah bikin Rehan kembali percaya kalau ayahnya emang sayang sama dia. Aku tidur duluan ya, hari ini capek banget. Udah beres-beres dari pagi enggak selesai-selesai. Besok kayaknya aku juga harus bangun pagi buat melayani semua orang yang tinggal di sini,” ucapku.Kala itu aku memang sengaja mengatakannya, karena ingin menyindir suamiku. Kenyataannya dia yang sering kali menampung keluarganya di rumah, tetapi seolah tutup mata tentang hal ini. Dalam segi makanan pun tentu saja akan bertambah banyak, tetapi jatah belanjaku bukannya ditambah malah tetap, padahal sekarang baru saja menambah anggota keluarga baru.“Loh kenapa kamu harus melayani mereka? Biarin aja mereka mengurusi diri sendiri. Abang cuma minta kamu terima mereka di sini. Urusan makan ke depannya biar mereka yang berpikir sendiri.”“Emangnya Abang sanggup minta mereka buat gak numpang makan sama aku? Enggak ‘kan?”“Ya sudah mulai besok ka

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-29
  • Jadi Pelayan saat Tinggal Bersama Ipar   Bab 5

    “Cuma sarapan aja loh Mbak sampai segininya sama aku!” keluh Laila.“Loh kamu lebih aneh Dek, kenapa perkara sarapan yang enggak seberapa aja bukannya beli sendiri malah nyalahin orang lain.”Menghadapi Laila yang tak mau rugi sepertinya memang harus kuat mental. Kali ini aku juga tak mau kalah, bukan perkara uang sedikit, hanya saja aku tidak ingin dia terbiasa mengandalkanku dalam segala hal. Aku bisa maklum kalau memang suaminya tengah berada di tanah rantau. Mungkin saja ia memang belum diberikan uang untuk belanja sehari-hari. Hanya saja kemarin aku melihat ia habis memberi emas dan banyak baju, lantas kenapa makan masih minta aku?“Bu, mana makanannya? Elsa udah lapar.”Laila tampak menarik nafas kasar, sepertinya ia kesal karena aku tak kunjung mengabulkan apa yang ia mau. Lagi pula enak sekali semuanya minta dilayani. Apakah aku juga harus melayani makan dan pakaian suaminya harus aku cucikan juga. Aku punya suami dan anak sendiri. Sudah kubelikan mesin cuci agar mereka bisa

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-29
  • Jadi Pelayan saat Tinggal Bersama Ipar   Bab 6

    Setelah mendapatkan sedikit wejangan dari Bu Siska, aku menjadi sedikit bersemangat. Kami memang akrab sudah akrab sejak lama. Sebenarnya aku tidak punya masalah dengan tetangga sekitar. Mereka cukup baik padaku, hanya saja entah dengan orang-orang di rumah, kenapa senang sekali memanfaatkan kebaikanku.“Aku pamit dulu ya Bu, sebentar lagi kayaknya Bang Romi juga mau datang.”“Iya May, hati-hati ya. Pokoknya jangan mau kalah.”Wanita paruh baya yang seumuran dengan almarhumah ibuku bahkan tampak jauh lebih bersemangat dariku. Seringnya aku bahkan nyaris kehilangan harapan untuk hidup. Setelah ditinggal ayah dan ibu, sekarang justru diuji dengan pasangan yang sikapnya seperti Bang Romi. Ia baik dengan semua orang, tetapi tidak dengan anak dan istrinya.Sampai di rumah rupanya mereka sudah menyambutku dengan wajah yang ketus. Laila, Mba Silvi bahkan tampak sangat kesal padaku.“Kamu ke mana aja, May?” tanya Mbak Silvi.“Abis keluar sebentar,” ucapku santai.Aku hanya mencoba bersikap bi

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-29
  • Jadi Pelayan saat Tinggal Bersama Ipar   Bab 7

    “Kamu kok ngomongnya jadi melantur ke mana-mana, Dek? Siapa juga yang mau jadiin kamu pelayan di rumah ini. Kamu itu Abang nikahin buat jadi istri.”“Ya terus, kenapa hanya aku yang suruh beres-beres dan masak? Tiap hari loh aku masak dan ngurus rumah. Emang salah aku minta ibunya beresin maianan bekas anaknya. Mereka yang enggak mau kemas mainan, malah aku juga yang disalahkan kalau anaknya nginjek mainan sampai terluka.”“Abang tahu kamu kesinggung sama Laila, tapi enggak harus gini juga dong Dek. Nanti Laila juga malah kesinggung.”“Oh jadi Abang lebih suka aku yang capek terus sendirian dari pada Laila dan Mbak Silvi yang hanya suruh beresin mainan? Aku enggak minta dia masak tiap hari, aku juga enggak minta sarapan ke dia. Apa lagi minta dia bersih-bersih serumah. Perkara sepele pun dia enggak mau gerak, masih aja Abang pikirin dia tersinggung atau enggak.”“Dek, istigfar!”“Sudahlah Bang, aku hanya berhenti masak sehari. Aku juga masih tanggung jawab buat nyediain makanan di rum

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-29
  • Jadi Pelayan saat Tinggal Bersama Ipar   Bab 8

    “Sudahlah May, Mbak Silvi dan Laila juga. Jangan membesar-besarkan masalah. Kalian dari tadi ribut terus, malu juga kedengeran sama tetangga,” keluh Bang Romi.Kenapa kamu harus mengatakan hal itu Bang, jelas-jelas keluargamu yang salah. Atas semua pengorbananku ini, tak bisakah kamu meluruskannya saja. Aku tidak minta untuk dibela, hanya sekedar mengarahkan Laila supaya ke depannya ia bertindak sesuai dengan usia dan statusnya sebagai seorang istri dan ibu.Aku kecewa, kenapa orang yang aku harapkan akan memberikanku sedikit saja rasa nyaman kenyataannya ia bahkan tak bisa memberikannya bahkan di tempat yang dia sebut rumah.“Kamu juga harusnya sadar Rom, yang dari tadi nyari ribut itu siapa? Orang suami pulang, bukannya disambut diurusin makan malah diajak debat," ucap Mbak Silvi.“Ya kalau emang Mbak sanggup, cucikan saja pakaian punya Laila dan suaminya sekalian. Jangan nyindir aku begitu,” ucapku.“Kamu masih aja ya May, bahas-bahas pakaian.”“Mbak yang mulai duluan, masih baik a

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-29
  • Jadi Pelayan saat Tinggal Bersama Ipar   Bab 9

    Kala itu sebelum pulang ke rumah aku memilih untuk mengajak Rehan makan di rumah makan baru yang kemarin dikunjungi keluarga besar Bang Romi.“Kamu boleh pesan apa aja Sayang, nanti Bunda yang bayar!” ucapku.Rehan tampak sangat senang, karena untuk pertama kali setelah sekian lama akhirnya Rehan bisa makan di luar. Ia juga turut mencoba wahana bermain yang kala itu sedang agak lengah. Mengingat di jam-jam menjelang magrib memang sedikit pengunjung yang datang ke tempat ini. Setahuku biasanya akan kembali ramai usai jam salat magrib. Namun, karena aku sudah terlanjur lapar lebih baik makan dulu sebelum pulang. Tidak akan pernah ada yang tahu apa yang terjadi di rumah.Dari pada ribut dan berakhir kehilangan nafsu makan lebih baik mengisi perut lebih dahulu. Kenyataanya hidup perlu makan agar kuat menghadapi masalah. Tak menunggu lama akhirnya makanan yang kami pesan datang. Rehan makan dengan lahap, mungkin karena energinya cukup terkuras habis usai bermain berjam-jam.“Enak?” tanyaku

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-29
  • Jadi Pelayan saat Tinggal Bersama Ipar   Bab 10

    “Dek, tolong jangan kasih Abang pilihan yang sulit!”“Aku juga sulit selama ini, Bang. Cuma demi kamu aku bisa tahan semuanya. Awalnya aku pikir Abang ini berbeda. Abang tulus sama aku, ternyata nggak.”“Abang kurang tulus apa sama kamu, Dek? Kamu tahu sendiri keadaan ekonomi mereka. Dari semua keluarga Abang, kitalah yang paling mapan? Apa salah Abang pengen bantu mereka?” Di saat seperti ini pun aku masih dipaksa untuk mengerti keadaan mereka. Memangnya di dunia ini yang susah hanya mereka. “Nggak salah kok, cuma aku aja yang nggak sanggup nemenin Abang.” “Enggak sanggupnya kenapa? Apa karena Ilham?” “Suami Laila mungkin hanya salah satu pemicu saja, selebihnya aku memang sudah nggak nyaman tinggal ramai-ramai dalam satu rumah. Aku ngerasa udah nggak punya privasi. Abang biarin Ilham masuk ke kamar kita, padahal di sana ada aku. Abang tahu aku berhijab dan harusnya

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-29

Bab terbaru

  • Jadi Pelayan saat Tinggal Bersama Ipar   Bab 68 [TAMAT]

    “Pasti Abang doain kamu Sayang, pokoknya kamu harus kuat. Abang yakin kamu dan adek bayi bakal selamat. Kamu harus lihat ‘kan anak kedua kita. Kita punya banyak banget rencana setelah ini. Kamu udah janji sama Abang, enggak boleh ingkarin gitu aja.”Tanpa sadar air mata lolos begitu saja dari sudut mata Romi. Namun, ia lekas menyekanya. Seharusnya ialah yang menguatkan Mayra, tetapi saat ini Romi justru terlihat sebagai pihak yang lebih butuh dikuatkan. Sepanjang jalan menuju ruang operasi Romi seakan tak mau melepaskan genggaman tangannya, sampai ketika Mayra masuk ia sempat mengatakan satu kalimat yang benar-benar membekas di hati Romi.“Abang, kita enggak boleh terlalu cinta sama manusia. Nanti Allah cemburu,” ucap Mayra.Sebelum akhirnya pintu ruangan operasi tertutup. Romi hanya diperkenankan mengantarnya sampai ke depan pintu, ia tidak menyangka kalau proses melahirkan anak keduanya justru berkali-kali lipat lebih sulit saat M

  • Jadi Pelayan saat Tinggal Bersama Ipar   Bab 67

    Sembari menghapus jejak tangisan di wajahnya Silvi memutuskan untuk mempercepat langkahnya menuju toilet. Ia hanya ingin mencari tempat yang nyaman untuk bisa melepaskan penyesalannya. Rupanya maaf saja tak cukup untuk menebus kesalahan yang sudah terlanjur menggunung. Memang benar semua butuh waktu, tetapi ia sendiri tidak menyangka jika Romi justru lebih sulit dihadapi dari pada Mayra.Sebelumnya ia selalu berpikir adiknya yang selalu ada di saat sulit akan mudah dihadapi, rupanya ia justru tampak begitu keras bahkan pada ibu kandungnya sendiri. Sudah semalam mereka berada dalam satu atap yang sama, tetapi sikap Romi justru semakin dingin. Ia bahkan terang-terangan melarang istrinya untuk sekedar membantu Silvi dalam hal menulis.Cukup lama Silvi berada di sana, mungkin sekitar satu jam. Tak ia pedulikan jika hari semakin larut, tetapi ia hanya takut jika tangisannya akan terdengar oleh Romi yang berada tepat di samping kamar tamu, jadi untuk saat ini toilet me

  • Jadi Pelayan saat Tinggal Bersama Ipar   Bab 66

    Saat sedang asyik mengobrol Romi dan yang lainnya malah datang. Mau tidak mau mereka harus menghentikan pembicaraan. Tak enak juga rasanya memaksa Mayra untuk terus membantunya. Jika Romi tahu, mungkin hal ini hanya akan memicu masalah baru.”“Terus sekarang kita mau bagaimana Bu, kalau Mayra yang jadi harapan satu-satunya malah enggak bisa bantu apa-apa.”“Ibu juga enggak tahu, kita udah terlanjur ke sini. Ya pokoknya kita harus bisa memperbaiki hubungan sama Romi,” ucap Bu Tuti.Usai mengatakannya, mereka pun ikut menyusul Romi dan yang lainnya ke dalam. Di sana Romi juga mengajak Pak Erik untuk melihat kebun sayuran Mayra di belakang rumah ia menceritakan bagaimana Mayra membuatnya tetap subur. Sampai Pak Erik pun berencana untuk membuat kebun sayuran yang sama di depan rumahnya.“Kayaknya bagus juga Bu, idenya Mayra ini. Kita bisa buat di de

  • Jadi Pelayan saat Tinggal Bersama Ipar   Bab 65

    Menyadari kedatangan Silvi dan orang tuanya, jelas saja ekspresi Gani langsung berubah. Ia terlihat sedikit gelisah, mungkin terkejut karena tak menyangka jika mereka akan datang. Gani tetap menyalami mantan mertuanya dengan takzim, tentunya kecuali Silvi ia hanya menundukkan kepala.“Bapak sama Ibu sehat?” tanya Gani.“Alhamdulillah, ini kamu mau pulang apa bagaimana? Kok udah bawa tas aja?” tanya Pak Erik sekaligus memecah suasana canggung di antara mereka.“Iya Pak, ini mau pulang ke Subang. Udah lama di Bandung, kangen juga sama Yoora.”“Bukannya Subang sama Bandung deket banget, emang enggak sering pulang.”“Sebenarnya sering sih paling 2 minggu sekali, tergantung kerjaan aja. Kalau bisa tiap minggu pulang ya maunya sih begitu. Cuma ‘kan yang ada kerjaannya enggak selesai-selesai. Ya sudah kalau begitu Pak, saya pamit dulu.”Sata itu Bu Tuti juga bingung harus berka

  • Jadi Pelayan saat Tinggal Bersama Ipar   Bab 64

    Entah kenapa rasanya dunia Silvi mendadak berhenti berputar. Kenapa ada Bunda selain dirinya?Silvi pun tahu cepat atau lambat hal ini akan terjadi, tetapi kenapa harus secepat ini? Ia melihat keduanya begitu akrab, bahkan sepertinya Yoora terlihat begitu nyaman berada di pelukan wanita yang ia panggil Bunda itu. Di sampingnya juga adik iparnya yang tampak cukup dekat dengannya.Jika diingat kembali hubungan Silvi dan adik iparnya bahkan tidak sedekat itu. Ia sendiri yang sengaja menjaga jarak dari adik suaminya. Sekarang melihat mereka begitu akrab, Silvi bahkan tidak bisa menyalahkannya juga. Apa lagi statusnya sekarang juga bukan lagi istri Gani. Niat hati ingin memberikan kejutan pada anaknya, sekarang ia sendiri yang terkejut.“Bunda Silvi,” ucap Yoora yang saat itu mengalihkan pandangannya.Ia baru sadar jika sejak tadi ada Silvi di dekatnya. Anak kecil itu pun langsung menghambur memeluk ibu kandungnya.“Bunda kenapa enggak bilang mau ke sini?” Bahkan jika hatinya begitu sakit

  • Jadi Pelayan saat Tinggal Bersama Ipar   Bab 63

    Saat itu juga Bu Tuti langsung menghubungi Romi lewat panggilan telepon. Namun, entah kenapa tak kunjung diangkat juga. Sudah 10 kali mencoba, tetap saja tak ada hasilnya.“Pak, kenapa Romi enggak mau ngangkat telepon dari Ibu?”“Enggak tahu, kemarin-kemarin masih mau ngangkat telepon dari Bapak kok. Mungkin lagi sibuk aja.”“Apa jangan-jangan dia masih marah sama Ibu, sampai enggak mau ngangkat. Gak mungkin Romi jauh dari hpnya Pak, di aitu sibuk terus kalau jam segini.”Sebagai ibunya sedikit banyak ia tahu kebiasaan Romi, termasuk jam sibuk putranya. Rasanya sedikit janggal kalau Romi tak memegang ponselnya di jam sibuk.“Bentar, biar Bapak yang coba telepon!”Kali ini karena penasaran, Pak Erik juga mencoba untuk menghubunginya. Namun, hasilnya sama. Mereka sontak saja jadi berpikir yang tidak-tidak.“Jangan-jangan terjadi sesuatu sama Romi, Pak?” ucap Bu Tuti dengan wajah yang mulai panik.“Kamu jangan ngomong sembarangan. Bisa aja dia memang lag

  • Jadi Pelayan saat Tinggal Bersama Ipar   Bab 62

    “Bu Tuti tahu enggak sih kemari ‘kan Silvi ke sini,” ucap Bu Mia saat mereka sama-sama belanja di warung.“Oh iya saya tahu, Bu,” ucap Bu Tuti canggung.Pasalnya di sana tak hanya mereka berdua ada pembeli lain yang juga sedang memilih sayuran. Ia hanya tidak ingin pembahasan ini jadi ke mana-mana. Apa lagi gosip di sini mudah sekali menyebar.“Loh kalau tahu kenapa enggak pulang cepat-cepat Bu Tuti? Kasihan loh jadinya Silvi keburu diusir sama Pak RT.”Sudah ia duga, Bu Mia ini pasti akan membahas perkara pengusiran ini.“Saya juga enggak bisa ninggalin kerjaan begitu aja, saya jaga bayi. Enggak mungkin bayinya saya tinggal malam-malam.”“Ya harusnya ibu kasih tahu Silvi alamat ibu kerja, eh apa Ibu takut ya kalau Silvi nanti malah mencuri barang-barang di rumah majikannya. Hehe, susah juga ya jadi ibu, serba salah banget. Dipikir-pikir kalau saya jadi Bu Tuti juga akan ngelakuin hal yang sama sih, dari pada ngambil risiko yang malah merugikan diri sendiri.”“Sudah Bu ngomongnya, say

  • Jadi Pelayan saat Tinggal Bersama Ipar   Bab 61

    “Tapi, Pak saya enggak ada niat buat mencuri, saya juga enggak mau lagi masuk penjara. Saya sudah tobat.”“Saya tahu, tapi sebagai ketua RT saya juga punya kewajiban bikin warga tenang. Ada banyak sekali keluhan dari siang sampai sekarang, warga sangat keberatan kalau Mbak Silvi memutuskan kembali tinggal di lingkungan sini. Tolong pengertiannya ya Mbak, saya ikut senang kalau Mbak memang sudah tobat. Cuma Mbak juga harus tahu kalau enggak semua orang bisa menerima dan enggak Mbak enggak bisa maksa orang lain buat mengerti.”“Apa karena saya bukan warga sini, makanya Bapak tega mengusir saya malam-malam begini?”“Bukan masalah itu, saya pikir Mbak juga sudah tahu apa alasannya. Mbak dipenjara atas kasus pencurian, sudah jadi hukum sosial kalau Mbak jadi dijauhi orang-orang.”Akhirnya emosi Pak RT yang sejak tadi ditahan kini tidak terbendung juga sekarang mau tidak mau ia harus mengutarakan maksud dari perkataannya secara gamblang. Masa bodo kalau Silvi akan saki

  • Jadi Pelayan saat Tinggal Bersama Ipar   Bab 60

    Sejak kepergian ibu mertuanya tempo hari Mayra memang sengaja menahan untuk tak membahas masalah itu. Sampai ia merasa kali inilah waktu yang tepat untuk mengatakan ini pada suaminya. Perlu waktu seminggu untuk Mayra menunggu sampai Romi bisa diajak diskusi. “Sayang, boleh aku ngomong sesuatu?” tanya Mayra tepat ketika ia dan Romi hendak beristirahat di malam hari. “Kenapa Sayang, ngomong aja!” “Ini soal Ibu.” Mayra bahkan sengaja memberi jeda ucapannya, hanya untuk melihat respons suaminya. Melihat Romi yang terlihat menatapnya dengan antusias, barulah Mayra yakin kalau kali ini ia tidak salah waktu. “Seseorang yang susah untuk dinasihati itu memang kadang perlu merasakan kehilangan dulu, sampai mereka mengerti kalau apa-apa yang tidak ada dalam genggamannya itu begitu berharga.” “Harus dengan cara enggak kasih kabar sama sekali?” “Abang tetap kontrol kok, ‘kan di depan rumah Ibu ada istrinya Jefri. Dia ka

DMCA.com Protection Status