“Cuma sarapan aja loh Mbak sampai segininya sama aku!” keluh Laila.
“Loh kamu lebih aneh Dek, kenapa perkara sarapan yang enggak seberapa aja bukannya beli sendiri malah nyalahin orang lain.”Menghadapi Laila yang tak mau rugi sepertinya memang harus kuat mental. Kali ini aku juga tak mau kalah, bukan perkara uang sedikit, hanya saja aku tidak ingin dia terbiasa mengandalkanku dalam segala hal. Aku bisa maklum kalau memang suaminya tengah berada di tanah rantau. Mungkin saja ia memang belum diberikan uang untuk belanja sehari-hari. Hanya saja kemarin aku melihat ia habis memberi emas dan banyak baju, lantas kenapa makan masih minta aku?“Bu, mana makanannya? Elsa udah lapar.”Laila tampak menarik nafas kasar, sepertinya ia kesal karena aku tak kunjung mengabulkan apa yang ia mau. Lagi pula enak sekali semuanya minta dilayani. Apakah aku juga harus melayani makan dan pakaian suaminya harus aku cucikan juga. Aku punya suami dan anak sendiri. Sudah kubelikan mesin cuci agar mereka bisa mencuci sendiri, tetapi betapa anehnya tingkah Laila yang sehari-harinya hanya menitipkan bajunya setiap kali melihatku sedang menyuci pakaian.“Ayo Bu, beli aja ke depan sarapannya.”Elsa yang tak sabar lantas menggoyang-goyangkan lengan ibunya, berharap Laila akan segera mengajaknya ke warung guna membeli sarapan. Elsa yang terbiasa makan selepas bangun tidur tentu saja akan merengek jika ia tak mendapatkan makanan saat ini.Akhirnya suka atau tidak, Laila tidak punya pilihan lain kecuali ia membeli makanan untuk sarapan keluarganya. Lagi pula Bang Romi sendiri yang memintaku melakukan ini. Jadi, ya sudah biar sekalian mengajarkan mereka hidup mandiri.Aku hanya lelah, kenyataannya mengurus banyak orang dalam satu rumah tidaklah mudah.Drama dengan Laila selesai, rupanya sekarang justru mulai lagi, kali ini Mbak Silvi mulai menanyakan sarapan untuknya. Aku juga mendengar ia berbicara dengan cukup keras. Hanya saja batinku terlanjur lelah, bolehkah aku bersikap masa bodo sejenak?Hari ini aku hanya ingin beristirahat sejenak. Hanya fokus mengurus Rehan, tanpa memikirkan drama keluarga suamiku yang kadang aneh bin ajaib.“Bunda enggak ke Emak?” tanya Rehan.Mungkin ia merasa heran, karena sampai siang hari aku masih bersantai di kasur, padahal biasanya sejak subuh aku sudah mengajaknya untuk belanja ke warung tetangga. Kebetulan anakku memang biasa memanggilnya Emak. Tentu saja semua itu aku lakukan untuk mengejar jam sarapan orang-orang yang tinggal di rumah.“Enggak Sayang, hari ini Bunda libur dulu masaknya. Nanti beli aja di luar.”“Bunda capek, ya?” tanya Rehan.“Enggak kok, Sayang. Bunda lagi pengen istirahat aja. Bosan tahu masak setiap hari.”Kenyataannya bundamu memang capek, Nak. Hanya saja cukuplah bunda yang merasakan semua ini. Kenyataannya mengetahui ayahmu lebih memprioritaskan mereka, pasti sudah membuatmu cukup terluka.Pukul 9 pagi akhirnya aku baru keluar dari kamar. Seperti dugaanku rumah sudah dalam keadaan yang kacau balau. Mainan berantakan di mana-mana. Namun, karena tujuanku bukan untuk beres-beres jadi aku mengabaikan hal itu. Masa bodo dengan rumah yang seperti kapal pecah. Sesekali aku hanya ingin tahu, seberapa tahan mereka dengan keadaan seperti ini. Sanggupkah mereka berjalan di atas banyak mainan yang mungkin akan melukai telapak kaki?Entahlah melihatnya saja sudah membuat kepalaku pusing. Lebih baik pergi dan mencari makanan, karena biasanya suamiku akan pulang saat zuhur untuk makan dan salat. Kebetulan proyek yang sedang ia kerjakan berada cukup dekat dengan rumah kami. ~“Loh tumben enggak masak sendiri, May?” tanya Bu Siska.Kebetulan tetanggaku memang sedang berada di warung makan juga. “Iya, lagi pengen beli jadi Bu.”“Nah gitu atuh sesekali, nih ya May kalau ibu jadi kamu mah udah enggak mau masak sama sekali,” bisik Bu May.Tiba-tiba saja ia menggandeng lenganku dan berbicara begitu pelan. Mungkin takut kalau pembicaraannya akan terdengar oleh orang lain. Hanya saja kenapa ia harus mengatakan hal itu. Bahkan tanpa dipanas-panasi, aku memang sudah mulai lelah dengan kehidupanku sekarang.Tidak ada lagi rumah yang nyaman untuk pulang dan beristirahat. Pulang ke rumah hanya membuatku semakin kelelahan.“Kenapa Bu Siska ngomong begitu?” tanyaku.“Lagian rumahmu itu loh, maaf-maaf ini mah, udah kayak penampungan.”Aku hanya terkekeh saja, mau mengelak kenyataannya memang mirip penampungan. Rumah yang biasanya ditinggali 1 kartu keluarga, tetapi rumahku malah 3 keluarga.“Kamu kok masih bisa ketawa May, kalau Ibu jadi kamu udah penuh ini jidat sama koyo.”“Haha, Bu Siska ini. Masa penuh koyo sih.”“Ibu serius loh May, suamimu apa masih nerima orang baru?”“Kenapa emang?”“Apa enggak sekalian sekampung diboyong semua ke rumahmu?”“Enggak sekampung juga dong, Bu Siska.”“Abisnya, sekarang ada lagi yang baru ‘kan?”“Iya, namanya Mbak Silvi.”“Siapa pun itu, Ibu enggak peduli. Ibu cuma kasihan sama kamu lihat ini badanmu sebelum ada mereka itu segar dan berisi pula. Sekarang malah kurus banget. Kamu pasti capek banget ‘kan, May?” Sambil memegangi pundakku, Bu Siska bahkan sampai memijatnya. Jika di rumah begitu melelahkan terkadang perhatian kecil dari Bu Siska membuatku merasa tidak sendiri. Kenyataannya di dunia ini masih ada orang yang baik.“Aku enggak tahu kalau soal itu, urusan Bang Romi, mau bawa keluarganya sebanyak apa.”“Emangnya kamu enggak risih?”“Ya, rumah itu ‘kan punya Bang Romi. Aku juga enggak bisa banyak ngatur, Bu.”“Ya itu rumah sama-samalah, bukan punya Romi doang. Ada hak kamu dan Rehan di sana. Jangan diam aja May, kalau kamu tertekan. Suami juga harusnya bisa memberikan rasa nyaman sama istrinya. Sekarang bagaimana kamu bisa nyaman, orang di sana aja ada suaminya Laila. Ibu aja jujur aja risih lihatnya. Tiap hari cuma pakai kolor, enggak pakai atasan. Udah kayak rumah sendiri aja.”Aku hanya tersenyum saja, sebenarnya aku masih takut bercerita banyak hal pada orang lain. Kenyataannya tidak selamanya melepaskan masalah, justru menjadikan masalahnya lebih baik. Tidak ada jaminan apa yang kita ceritakan saat ini tidak akan tersebar pada orang lain.Jika sampai terjadi sesuatu, masalahnya justru semakin melebar.“Ya nanti aku tegur orangnya, Bu.”“Eh, jangan kamu yang negur. Nanti kamu diapa-apain. Mending suamimu aja yang negur. Dia yang ajak ke sini, harusnya suaminya Laila lebih segan sama Romi.”“Boleh juga.”“Harus belajar tegas, May. Jangan sampai kamu capek di rumah sendiri. Kamu ini tuan rumahnya, bukan pembantu. Maaf ya May, ibu bukannya mau ikut campur. Ibu tuh ngelihat kamu udah kayak anak sendiri. Jadi gemes lihatnya. Mana tadi Ibu lihat rumahmu berantakan banget, itu kalau bukan kamu pasti enggak ada yang beresin ‘kan?”Kebetulan gerbang rumahku memang terbuka, jadi tetangga sekitar bisa melihat ke dalam. Aku jadi malu, tetapi ya sudahlah aku juga tidak bisa mengubah sesuatu yang sudah berlalu.“Ya gitulah, Bu.”“Tuh ‘kan. Udahlah, sabar-sabar aja kamu jadi orang May. Biarin aja kalau mereka berantakin rumah. Enggak usah kamu beresin. Biar suami kamu tahu bagaimana kelakuan saudara-saudaranya. Namanya ikut orang, jangan semaunya sendirilah.”Sepertinya ada benarnya juga. Mungkin jika aku mogok masak dan beberes akan mampu menyadarkan Bang Romi. Lagi pula aku sudah menyapu tadi pagi, tetapi baru beberapa jam sudah berantakan dan kotor lagi. “Aku coba ya, Bu.”“Nah, gitu May. Seumur-umur Ibu baru ketemu sama orang kayak mereka. Sudah makan ditanggung kamu, bantu beres-beres juga gak mau. Ibu jadi penasaran apa reaksi mereka nanti kalau sampai suamimu marah.”Setelah mendapatkan sedikit wejangan dari Bu Siska, aku menjadi sedikit bersemangat. Kami memang akrab sudah akrab sejak lama. Sebenarnya aku tidak punya masalah dengan tetangga sekitar. Mereka cukup baik padaku, hanya saja entah dengan orang-orang di rumah, kenapa senang sekali memanfaatkan kebaikanku.“Aku pamit dulu ya Bu, sebentar lagi kayaknya Bang Romi juga mau datang.”“Iya May, hati-hati ya. Pokoknya jangan mau kalah.”Wanita paruh baya yang seumuran dengan almarhumah ibuku bahkan tampak jauh lebih bersemangat dariku. Seringnya aku bahkan nyaris kehilangan harapan untuk hidup. Setelah ditinggal ayah dan ibu, sekarang justru diuji dengan pasangan yang sikapnya seperti Bang Romi. Ia baik dengan semua orang, tetapi tidak dengan anak dan istrinya.Sampai di rumah rupanya mereka sudah menyambutku dengan wajah yang ketus. Laila, Mba Silvi bahkan tampak sangat kesal padaku.“Kamu ke mana aja, May?” tanya Mbak Silvi.“Abis keluar sebentar,” ucapku santai.Aku hanya mencoba bersikap bi
“Kamu kok ngomongnya jadi melantur ke mana-mana, Dek? Siapa juga yang mau jadiin kamu pelayan di rumah ini. Kamu itu Abang nikahin buat jadi istri.”“Ya terus, kenapa hanya aku yang suruh beres-beres dan masak? Tiap hari loh aku masak dan ngurus rumah. Emang salah aku minta ibunya beresin maianan bekas anaknya. Mereka yang enggak mau kemas mainan, malah aku juga yang disalahkan kalau anaknya nginjek mainan sampai terluka.”“Abang tahu kamu kesinggung sama Laila, tapi enggak harus gini juga dong Dek. Nanti Laila juga malah kesinggung.”“Oh jadi Abang lebih suka aku yang capek terus sendirian dari pada Laila dan Mbak Silvi yang hanya suruh beresin mainan? Aku enggak minta dia masak tiap hari, aku juga enggak minta sarapan ke dia. Apa lagi minta dia bersih-bersih serumah. Perkara sepele pun dia enggak mau gerak, masih aja Abang pikirin dia tersinggung atau enggak.”“Dek, istigfar!”“Sudahlah Bang, aku hanya berhenti masak sehari. Aku juga masih tanggung jawab buat nyediain makanan di rum
“Sudahlah May, Mbak Silvi dan Laila juga. Jangan membesar-besarkan masalah. Kalian dari tadi ribut terus, malu juga kedengeran sama tetangga,” keluh Bang Romi.Kenapa kamu harus mengatakan hal itu Bang, jelas-jelas keluargamu yang salah. Atas semua pengorbananku ini, tak bisakah kamu meluruskannya saja. Aku tidak minta untuk dibela, hanya sekedar mengarahkan Laila supaya ke depannya ia bertindak sesuai dengan usia dan statusnya sebagai seorang istri dan ibu.Aku kecewa, kenapa orang yang aku harapkan akan memberikanku sedikit saja rasa nyaman kenyataannya ia bahkan tak bisa memberikannya bahkan di tempat yang dia sebut rumah.“Kamu juga harusnya sadar Rom, yang dari tadi nyari ribut itu siapa? Orang suami pulang, bukannya disambut diurusin makan malah diajak debat," ucap Mbak Silvi.“Ya kalau emang Mbak sanggup, cucikan saja pakaian punya Laila dan suaminya sekalian. Jangan nyindir aku begitu,” ucapku.“Kamu masih aja ya May, bahas-bahas pakaian.”“Mbak yang mulai duluan, masih baik a
Kala itu sebelum pulang ke rumah aku memilih untuk mengajak Rehan makan di rumah makan baru yang kemarin dikunjungi keluarga besar Bang Romi.“Kamu boleh pesan apa aja Sayang, nanti Bunda yang bayar!” ucapku.Rehan tampak sangat senang, karena untuk pertama kali setelah sekian lama akhirnya Rehan bisa makan di luar. Ia juga turut mencoba wahana bermain yang kala itu sedang agak lengah. Mengingat di jam-jam menjelang magrib memang sedikit pengunjung yang datang ke tempat ini. Setahuku biasanya akan kembali ramai usai jam salat magrib. Namun, karena aku sudah terlanjur lapar lebih baik makan dulu sebelum pulang. Tidak akan pernah ada yang tahu apa yang terjadi di rumah.Dari pada ribut dan berakhir kehilangan nafsu makan lebih baik mengisi perut lebih dahulu. Kenyataanya hidup perlu makan agar kuat menghadapi masalah. Tak menunggu lama akhirnya makanan yang kami pesan datang. Rehan makan dengan lahap, mungkin karena energinya cukup terkuras habis usai bermain berjam-jam.“Enak?” tanyaku
“Dek, tolong jangan kasih Abang pilihan yang sulit!”“Aku juga sulit selama ini, Bang. Cuma demi kamu aku bisa tahan semuanya. Awalnya aku pikir Abang ini berbeda. Abang tulus sama aku, ternyata nggak.”“Abang kurang tulus apa sama kamu, Dek? Kamu tahu sendiri keadaan ekonomi mereka. Dari semua keluarga Abang, kitalah yang paling mapan? Apa salah Abang pengen bantu mereka?” Di saat seperti ini pun aku masih dipaksa untuk mengerti keadaan mereka. Memangnya di dunia ini yang susah hanya mereka. “Nggak salah kok, cuma aku aja yang nggak sanggup nemenin Abang.” “Enggak sanggupnya kenapa? Apa karena Ilham?” “Suami Laila mungkin hanya salah satu pemicu saja, selebihnya aku memang sudah nggak nyaman tinggal ramai-ramai dalam satu rumah. Aku ngerasa udah nggak punya privasi. Abang biarin Ilham masuk ke kamar kita, padahal di sana ada aku. Abang tahu aku berhijab dan harusnya
“Bunda kita mau ke mana?” tanya Rehan.Ya Tuhan aku bakal tidak berpikir jauh, anakku pasti merasa bingung dengan kepergianku secara mendadak ini. Sudah pasti ia akan bertanya-tanya. Maafkan Bunda yang egois Nak, Bunda bukan bermaksud menjauhkan dari ayahmu. Hanya saja jika kita memutuskan untuk tetap tinggal di rumah itu, kita hanya akan terus sakit hati.Ayahmu selalu saja mengutamakan keluarganya di atas segalanya. Bahkan tega mengabaikan kita yang seharusnya menjadi prioritas.“Kita mau tinggal di rumah baru Sayang, ini sebentar lagi sampai kok.”“Tapi, kenapa harus pindah Bun? Itu ‘kan rumah Rehan.”“Iya Sayang, hm Bunda lagi pengen nyari suasana baru aja.”“Nanti kita ke sini balik lagi ke rumah enggak Bun, ‘kan ayah masih ketinggalan? Emangnya ayah enggak diajak ke rumah baru?”“Ayah kayaknya masih ada kerjaan Sayang, mungkin nanti ayah bakal nyusul kalau pekerjaannya sudah selesai.”“Kapan ayah nyusul?”
Bahkan tanpa menengok ke belakang aku sudah tahu jika suara itu sudah pasti milik Bang Romi. Entah bagaimana bisa dia tahu keberadaan kami. Aku bahkan tak merasa memberitahunya sama sekali. Sekarang kalau sudah begini jangankan menenangkan diri, sekedar ingin beristirahat dari pekerjaan rumah tangga yang tak pernah ada akhirnya bisa dipastikan tidak akan pernah terjadi.Rehan terus saja mengajak bicara ayahnya, sementara aku hanya mencoba menyibukkan diri dengan ponsel. Rasanya aku juga tidak punya hal yang ingin dibicarakan dengannya. Meskipun aku tahu sejak tadi Bang Romi terus saja mencuri-curi pandang padaku. Sayangnya, Rehan juga tak memberinya kesempatan untuk bisa berbincang denganku. Anak itu terus saja mengajaknya bicara. Syukurlah aku jadi tidak harus bicara dengannya.Cukup lama ayah dan anak itu terus membicarakan hal-hal yang entah. Dari yang penting bahkan sampai hal konyol. Sampai akhirnya aku merasa Bang Romi sudah tak tahan lagi.“Rehan en
“Abang enggak mau ceraikan kamu,” ucap Bang Romi sambil memegangi lenganku.Seolah tubuhnya pun ikut merayu agar aku percaya kalau saat ini lisannya tidak sedang berdusta. Ah sayangnya, sikapmu memang selalu manis, tetapi kenyataannya tidak begitu.“Kalau begitu aku yang gugat,” ucapku dengan yakin.Memang tak ada nada yang meletup-letup saat mengucapkan hal itu. Bagaimana bisa aku punya semnagat untuk bicara dengan nada yang begitu emosional, kalau hasratku untuk bertahan hidup saja seakan memudar setiap hari. Aku bahkan harus memupuknya dengan kalimat-kalimat tasbih yang tak henti-hentinya aku lantunkan. Aku tahu, sekarang ada Rehan. Jika aku saja menyerah ini pada kehidupan, lalu bagaimana dengan hidup Rehan tanpa bundanya?“May.”“Bang aku capek, beneran capek banget ngurusin keluarga Abang yang enggak ada selesai-selesainya. Boleh ya, aku istirahat dulu. Lagi pula aku merasa lebih baik kalau hidup send
“Pasti Abang doain kamu Sayang, pokoknya kamu harus kuat. Abang yakin kamu dan adek bayi bakal selamat. Kamu harus lihat ‘kan anak kedua kita. Kita punya banyak banget rencana setelah ini. Kamu udah janji sama Abang, enggak boleh ingkarin gitu aja.”Tanpa sadar air mata lolos begitu saja dari sudut mata Romi. Namun, ia lekas menyekanya. Seharusnya ialah yang menguatkan Mayra, tetapi saat ini Romi justru terlihat sebagai pihak yang lebih butuh dikuatkan. Sepanjang jalan menuju ruang operasi Romi seakan tak mau melepaskan genggaman tangannya, sampai ketika Mayra masuk ia sempat mengatakan satu kalimat yang benar-benar membekas di hati Romi.“Abang, kita enggak boleh terlalu cinta sama manusia. Nanti Allah cemburu,” ucap Mayra.Sebelum akhirnya pintu ruangan operasi tertutup. Romi hanya diperkenankan mengantarnya sampai ke depan pintu, ia tidak menyangka kalau proses melahirkan anak keduanya justru berkali-kali lipat lebih sulit saat M
Sembari menghapus jejak tangisan di wajahnya Silvi memutuskan untuk mempercepat langkahnya menuju toilet. Ia hanya ingin mencari tempat yang nyaman untuk bisa melepaskan penyesalannya. Rupanya maaf saja tak cukup untuk menebus kesalahan yang sudah terlanjur menggunung. Memang benar semua butuh waktu, tetapi ia sendiri tidak menyangka jika Romi justru lebih sulit dihadapi dari pada Mayra.Sebelumnya ia selalu berpikir adiknya yang selalu ada di saat sulit akan mudah dihadapi, rupanya ia justru tampak begitu keras bahkan pada ibu kandungnya sendiri. Sudah semalam mereka berada dalam satu atap yang sama, tetapi sikap Romi justru semakin dingin. Ia bahkan terang-terangan melarang istrinya untuk sekedar membantu Silvi dalam hal menulis.Cukup lama Silvi berada di sana, mungkin sekitar satu jam. Tak ia pedulikan jika hari semakin larut, tetapi ia hanya takut jika tangisannya akan terdengar oleh Romi yang berada tepat di samping kamar tamu, jadi untuk saat ini toilet me
Saat sedang asyik mengobrol Romi dan yang lainnya malah datang. Mau tidak mau mereka harus menghentikan pembicaraan. Tak enak juga rasanya memaksa Mayra untuk terus membantunya. Jika Romi tahu, mungkin hal ini hanya akan memicu masalah baru.”“Terus sekarang kita mau bagaimana Bu, kalau Mayra yang jadi harapan satu-satunya malah enggak bisa bantu apa-apa.”“Ibu juga enggak tahu, kita udah terlanjur ke sini. Ya pokoknya kita harus bisa memperbaiki hubungan sama Romi,” ucap Bu Tuti.Usai mengatakannya, mereka pun ikut menyusul Romi dan yang lainnya ke dalam. Di sana Romi juga mengajak Pak Erik untuk melihat kebun sayuran Mayra di belakang rumah ia menceritakan bagaimana Mayra membuatnya tetap subur. Sampai Pak Erik pun berencana untuk membuat kebun sayuran yang sama di depan rumahnya.“Kayaknya bagus juga Bu, idenya Mayra ini. Kita bisa buat di de
Menyadari kedatangan Silvi dan orang tuanya, jelas saja ekspresi Gani langsung berubah. Ia terlihat sedikit gelisah, mungkin terkejut karena tak menyangka jika mereka akan datang. Gani tetap menyalami mantan mertuanya dengan takzim, tentunya kecuali Silvi ia hanya menundukkan kepala.“Bapak sama Ibu sehat?” tanya Gani.“Alhamdulillah, ini kamu mau pulang apa bagaimana? Kok udah bawa tas aja?” tanya Pak Erik sekaligus memecah suasana canggung di antara mereka.“Iya Pak, ini mau pulang ke Subang. Udah lama di Bandung, kangen juga sama Yoora.”“Bukannya Subang sama Bandung deket banget, emang enggak sering pulang.”“Sebenarnya sering sih paling 2 minggu sekali, tergantung kerjaan aja. Kalau bisa tiap minggu pulang ya maunya sih begitu. Cuma ‘kan yang ada kerjaannya enggak selesai-selesai. Ya sudah kalau begitu Pak, saya pamit dulu.”Sata itu Bu Tuti juga bingung harus berka
Entah kenapa rasanya dunia Silvi mendadak berhenti berputar. Kenapa ada Bunda selain dirinya?Silvi pun tahu cepat atau lambat hal ini akan terjadi, tetapi kenapa harus secepat ini? Ia melihat keduanya begitu akrab, bahkan sepertinya Yoora terlihat begitu nyaman berada di pelukan wanita yang ia panggil Bunda itu. Di sampingnya juga adik iparnya yang tampak cukup dekat dengannya.Jika diingat kembali hubungan Silvi dan adik iparnya bahkan tidak sedekat itu. Ia sendiri yang sengaja menjaga jarak dari adik suaminya. Sekarang melihat mereka begitu akrab, Silvi bahkan tidak bisa menyalahkannya juga. Apa lagi statusnya sekarang juga bukan lagi istri Gani. Niat hati ingin memberikan kejutan pada anaknya, sekarang ia sendiri yang terkejut.“Bunda Silvi,” ucap Yoora yang saat itu mengalihkan pandangannya.Ia baru sadar jika sejak tadi ada Silvi di dekatnya. Anak kecil itu pun langsung menghambur memeluk ibu kandungnya.“Bunda kenapa enggak bilang mau ke sini?” Bahkan jika hatinya begitu sakit
Saat itu juga Bu Tuti langsung menghubungi Romi lewat panggilan telepon. Namun, entah kenapa tak kunjung diangkat juga. Sudah 10 kali mencoba, tetap saja tak ada hasilnya.“Pak, kenapa Romi enggak mau ngangkat telepon dari Ibu?”“Enggak tahu, kemarin-kemarin masih mau ngangkat telepon dari Bapak kok. Mungkin lagi sibuk aja.”“Apa jangan-jangan dia masih marah sama Ibu, sampai enggak mau ngangkat. Gak mungkin Romi jauh dari hpnya Pak, di aitu sibuk terus kalau jam segini.”Sebagai ibunya sedikit banyak ia tahu kebiasaan Romi, termasuk jam sibuk putranya. Rasanya sedikit janggal kalau Romi tak memegang ponselnya di jam sibuk.“Bentar, biar Bapak yang coba telepon!”Kali ini karena penasaran, Pak Erik juga mencoba untuk menghubunginya. Namun, hasilnya sama. Mereka sontak saja jadi berpikir yang tidak-tidak.“Jangan-jangan terjadi sesuatu sama Romi, Pak?” ucap Bu Tuti dengan wajah yang mulai panik.“Kamu jangan ngomong sembarangan. Bisa aja dia memang lag
“Bu Tuti tahu enggak sih kemari ‘kan Silvi ke sini,” ucap Bu Mia saat mereka sama-sama belanja di warung.“Oh iya saya tahu, Bu,” ucap Bu Tuti canggung.Pasalnya di sana tak hanya mereka berdua ada pembeli lain yang juga sedang memilih sayuran. Ia hanya tidak ingin pembahasan ini jadi ke mana-mana. Apa lagi gosip di sini mudah sekali menyebar.“Loh kalau tahu kenapa enggak pulang cepat-cepat Bu Tuti? Kasihan loh jadinya Silvi keburu diusir sama Pak RT.”Sudah ia duga, Bu Mia ini pasti akan membahas perkara pengusiran ini.“Saya juga enggak bisa ninggalin kerjaan begitu aja, saya jaga bayi. Enggak mungkin bayinya saya tinggal malam-malam.”“Ya harusnya ibu kasih tahu Silvi alamat ibu kerja, eh apa Ibu takut ya kalau Silvi nanti malah mencuri barang-barang di rumah majikannya. Hehe, susah juga ya jadi ibu, serba salah banget. Dipikir-pikir kalau saya jadi Bu Tuti juga akan ngelakuin hal yang sama sih, dari pada ngambil risiko yang malah merugikan diri sendiri.”“Sudah Bu ngomongnya, say
“Tapi, Pak saya enggak ada niat buat mencuri, saya juga enggak mau lagi masuk penjara. Saya sudah tobat.”“Saya tahu, tapi sebagai ketua RT saya juga punya kewajiban bikin warga tenang. Ada banyak sekali keluhan dari siang sampai sekarang, warga sangat keberatan kalau Mbak Silvi memutuskan kembali tinggal di lingkungan sini. Tolong pengertiannya ya Mbak, saya ikut senang kalau Mbak memang sudah tobat. Cuma Mbak juga harus tahu kalau enggak semua orang bisa menerima dan enggak Mbak enggak bisa maksa orang lain buat mengerti.”“Apa karena saya bukan warga sini, makanya Bapak tega mengusir saya malam-malam begini?”“Bukan masalah itu, saya pikir Mbak juga sudah tahu apa alasannya. Mbak dipenjara atas kasus pencurian, sudah jadi hukum sosial kalau Mbak jadi dijauhi orang-orang.”Akhirnya emosi Pak RT yang sejak tadi ditahan kini tidak terbendung juga sekarang mau tidak mau ia harus mengutarakan maksud dari perkataannya secara gamblang. Masa bodo kalau Silvi akan saki
Sejak kepergian ibu mertuanya tempo hari Mayra memang sengaja menahan untuk tak membahas masalah itu. Sampai ia merasa kali inilah waktu yang tepat untuk mengatakan ini pada suaminya. Perlu waktu seminggu untuk Mayra menunggu sampai Romi bisa diajak diskusi. “Sayang, boleh aku ngomong sesuatu?” tanya Mayra tepat ketika ia dan Romi hendak beristirahat di malam hari. “Kenapa Sayang, ngomong aja!” “Ini soal Ibu.” Mayra bahkan sengaja memberi jeda ucapannya, hanya untuk melihat respons suaminya. Melihat Romi yang terlihat menatapnya dengan antusias, barulah Mayra yakin kalau kali ini ia tidak salah waktu. “Seseorang yang susah untuk dinasihati itu memang kadang perlu merasakan kehilangan dulu, sampai mereka mengerti kalau apa-apa yang tidak ada dalam genggamannya itu begitu berharga.” “Harus dengan cara enggak kasih kabar sama sekali?” “Abang tetap kontrol kok, ‘kan di depan rumah Ibu ada istrinya Jefri. Dia ka