“Kamu kok ngomongnya jadi melantur ke mana-mana, Dek? Siapa juga yang mau jadiin kamu pelayan di rumah ini. Kamu itu Abang nikahin buat jadi istri.”
“Ya terus, kenapa hanya aku yang suruh beres-beres dan masak? Tiap hari loh aku masak dan ngurus rumah. Emang salah aku minta ibunya beresin maianan bekas anaknya. Mereka yang enggak mau kemas mainan, malah aku juga yang disalahkan kalau anaknya nginjek mainan sampai terluka.”“Abang tahu kamu kesinggung sama Laila, tapi enggak harus gini juga dong Dek. Nanti Laila juga malah kesinggung.”“Oh jadi Abang lebih suka aku yang capek terus sendirian dari pada Laila dan Mbak Silvi yang hanya suruh beresin mainan? Aku enggak minta dia masak tiap hari, aku juga enggak minta sarapan ke dia. Apa lagi minta dia bersih-bersih serumah. Perkara sepele pun dia enggak mau gerak, masih aja Abang pikirin dia tersinggung atau enggak.”“Dek, istigfar!”“Sudahlah Bang, aku hanya berhenti masak sehari. Aku juga masih tanggung jawab buat nyediain makanan di rumah. Kenapa lagi masalahnya. Abang kasih uang 50 ribu buat nyukupin 3 keluarga, sementara pas Abang seneng-seneng Abang enggak pernah ingat anak istri sendiri, kalau emang Abang mau bantu orang ya sudah Abang kasih makanlah mereka pakai tangan Abang sendiri. Aku capek setiap hari begini. Rehan juga butuh perhatianku. Bukan cuma tentang keluarga Abang terus, makan minum bahkan urusan pakaian pun harus aku yang urus, aku ini udah kayak pembantu tahu enggak hiks, 24 jam full cuma buat ngurusin kalian. Terserahlah Abang mau usir aku sama Rehan dari sini sekarang juga.”Aku sudah tak peduli jika percakapan kami didengar oleh mereka. Lagi pula ada baiknya mereka mendengarkan semuanya. Syukur-syukur jadi sadar jika perbuatan mereka membuatku tidak nyaman.“Enggak gitu dong Dek, mana mungkin Abang usir kamu dari rumah kita. Terus nnti kamu mau tinggal di mana kalau bukan di sini.”“Di mana aja yang jelas di tempat aku bisa istirahat dengan tenang. Bukan dikerjain terus-terusan. Ini makanannya, Abang makan duluan aja. Aku masih belum lapar.”Setelah mengambilkan makan untuk Bang Romi aku kembali membawa lauk yang kubeli dari warung itu ke dalam. Hari ini aku hanya ingin melepaskan amarah yang selama ini aku pendam.Sekaligus aku juga ingin tahu bagaimana respons Laila saat aku tak menyiapkan apa pun untuk dimasak. Akankah dia rela mengeluarkan uangnya untuk membeli makanan untuk disantap bersama atau justru hanya membeli makanan untuk keluarganya sendiri.Bukannya makan, melihatku meninggalkannya begitu saja, pria itu malah menyusul sampai ke kamar. Namun, sebelum masuk aku sempat melihat Laila dan Mbak Silvi menatapku dengan pandangan yang tidak suka.‘Sudahlah, kamu berharap apa May? Dibaikkin aja mereka tetap ketus apa lagi sekarang saat aku berani melawan sudah pasti ia akan juah lebih ketus. Lagi pula sebeleum melakukan semua ini aku sudah tahu konsekuensinya. Bisa jadi besok atau cepatnya nanti malam ibu mertuaku pasti akan di sini untuk menegurku,’ ucapku dalam hati.Kebetulan rumahku dan ibu mertua memang cukup dekat. Itulah mengapa salah satu alasan mereka ingin tinggal di rumah ini, karena ingin berdekatan dengan orang tuanya. Sayang sekali rumah mertuaku tidaklah besar. Hanya ada dua kamar di sana. Tidak sebesar milik suamiku.“Sayang, Abang minta maaf kalau kamu harus ngerjain semuanya sendiri. Abang pikir mereka juga mau bantuin kamu,” ucap Bang Romi kala kami tengah berada di kamar.Ia bahkan sampai menahan lenganku, karena tak ingin aku beranjak darinya. Lagi pula siapa juga yang mau pergi, aku memang hanya ingin ke kamar untuk menenangkan diri sejenak. Lihat saja kelakuan saudara dari suamiku, sudah mengatakan ingin membereskan mainan anaknya sampai sekarang belum selesai juga. Bahkan aku biasa merapikannya dalam waktu 5 menit saja. mereka sepertinya lebih tertarik menyimak perdebatanku dengan Bang Romi.“Abang pikir Laila nyuci sendiri,” tambahnya lagi, kala aku tak juga mengatakan sesuatu.Entahlah, rasanya lelah sekali bahkan untuk sekedar menjelaskan sesuatu yang berulang-ulang. Entah karena suamiku memang tidak mengerti atau pura-pura tidak mengerti jika adiknya memang pemalas. Hanya agar ia masih bertahan di sini.“Selama ini Abang ‘kan enggak ada di rumah. Jadi mana pernah Abang tahu apa yang sebenarnya terjadi.”“Tapi, kayaknya dulu sudah Abang tegur. Abang enggak nyangka kalau dia bakal nyuruh kamu nyuci lagi.”Saat itu aku hanya tersenyum saja.“Dia emang berhenti nitip cucian sama aku, tapi itu hanya berlangsung seminggu. Selebihnya masih sama, kalau Abang enggak percaya lihat aja ke belakang. Di keranjang pakaian kita itu penuh banget padahal masih ada keranjang kosong lain. Aku heran aja, istrinya siapa tapi aku yang suruh nyuci pakaian suaminya.”Entah di mana letak pikirannya. Terkadang aku heran, apakah orang yang selalu diperlakukan dengan baik tidak ingin membalasnya dengan sedikit tahu diri saja? Tidak perlu membalasnya dengan kebaikan, cukuplah untuk melakukan semua hal yang bisa dikerjakan sendiri ia lakukan dengan tangannya. Bukankah dia masih muda dan sehat walafiat.Aku tidak masalah jika memang yang aku cuci adalah pakaian mertuaku. Seburuk apa pun mereka memperlakukanku, aku sudah menganggapnya seperti orang tuaku sendiri. Dulu saat kami masih tinggal serumah dengan mertua, urusan rumah semuanya aku yang lakukan. Namun, aku pikir Laila akan berubah nyatanya ia masih saja sama seperti dulu.Perlu kalian tahu, rumah yang ditempati mertuaku sekarang juga suamiku yang membangunkannya. Memang hanya bangunan sederhana yang berdiri di atas tanah yang minimalis juga, tetapi cukup nyaman untuk ditinggali. Suamiku bukanlah orang berada, hanya saja akhir-akhir ini ia terus menerus dibanjiri proyek yang bernilai fantastis. Memang hanya pemborong bangunan, tetapi pekerjaan itulah yang menopang kehidupan kami selama 10 tahun terakhir.Rehan memang masih 4 tahun, tetapi pernikahan kami sudah berjalan lama. Kami tak kunjung dikaruniai momongan, jangan tanya bagaimana aku harus melewatinya hari-hari sebelum Rehan lahir ke dunia. Berat sekali, sungguh aku saja tidak sanggup membayangkannya. Satu yang mungkin membuatku bertahan adalah kebaikan Bang Romi yang masih memperlakukanku dengan baik di saat semua anggota keluarganya bahkan mengecapku mandul.“Abang tegur Laila sekarang! Tunggu di sini!”Aku hanya diam saja sambil menunggu reaksi seperti apa yang akan ditunjukkan adik iparku itu. Kebetulan jika ada yang bicara di ruang tamu, aku bisa mendengarnya di kamar, jaraknya memang cukup dekat. Sengaja atau tidak pun akan tetap terdengar jika cara bicara mereka keras.“Laila jadi kamu masih nitipin cucian ke Mbakmu?”“Eng-enggak kok Mas, i-itu cuma salah masukin aja.”“Punya suamimu juga Mbakmu yang cucikan?”“I-itu juga kemungkinan salah, Mas Joko paling enggak tahu kalau pakaian kotornya harus ditaruh di keranjang yang mana.”Aku bisa mendengar Laila sepertinya begitu gugup.“Rom, istrimu itu keterlaluan. Dia dari kemarin loh nyari gara-gara terus. Apa memang dia sehari-hari seperti ini terus?”“Nyari gara-gara bagaimana?”“Ya, kamu pikir aja Mbak datang ke sini aja dia di kamar terus. Bukannya keluar.”Ya Tuhan, apa salahnya aku kelelahan. Pakaian suami Laila bahkan sangat kotor dan bau busuk, tadinya aku tidak ingin membersikannya. Namun, sudah 2 hari Laila juga tidak kunjung mencuci pakaian suaminya. Mau tidak mau aku jadi harus mencucinya, karena bau busuknya bahkan sudah menyebar sampai ke dapur. Makan pun jadi tidak selera. Sudah ditegur pun Laila masih saja tidak segera mencucinya. Ia malah merendam pakaian kotor itu tanpa pernah memutarnya di mesin.Bayangkan saja baunya sebusuk apa. Ini seperti buah simalakama, dikerjakan capek tidak dikerjakan juga bau busuk mungkin akan menyebar ke seluruh penjuru rumah.“Namanya ada tamu ya wajar Rom, kalau disambut. Orang nyuci juga pakai mesin. Mbak di kampung malah nyuci di kali. Enggak capek juga. Ini perkara nyuci sama mainan aja sampai semarah itu. Lagian seberapa capeknya sih ngurus rumah, orang teras udah granit gini. Gampanglah dibersihin. Semua juga udah pakai mesin. Istrimu kurang bersyukur, baru direpotin sedikit aja ngomongnya ke mana-mana.”Aku hafal sekali jika itu adalah suara Mbak Silvi. Ya Tuhan, bagaimana bisa mulutnya begitu tajam.“Mungkin Mbak Mayra memang benci sama aku, ditambah kemarin dia enggak diajak makan-makan. Jadilah dia tambah benci sama aku!”Apa lagi ini aku yang sudah tak tahan pun lantas keluar dan menatap mereka semua.“Maksud Mbak ngomong begitu sama aku?” tanyaku.“Loh kamu denger semua yang kami omongin?”“Ya, Mbak ngomong keras. Enggak niat denger pun sudah pasti kedengeran Mbak. Asal Mbak tahu, coba tanya saja sama Laila, seberapa kotor dan busuknya pakaian suaminya. Apa sampai ke dalaman suaminya juga aku yang nyuciin. Yang bener aja Mbak, kalau cuma pakaian dia aku masih bisa tahan, tapi kalau sudah sekeluarga bagaimana bisa aku yang harus mengerjakannya?”“Ya kan nyucinya pakai mesin bukan tangan.”“Emangnya Mbak tahu aku nyucinya pakai mesin. Pakaian suaminya aja kotor banget dan penuh lumpur, belum lagi bau busuk harus disikat dan dibilas berkali-kali. Aneh banget sih keluarga kamu Mas, yang nikah siapa yang repot aku.”“May, jaga bicara kamu ya! Romi kamu tegur istri kamu itu. Dia sudah keterlaluan banget itu!” pinta Mbak Silvi yang sepertinya tak menerima kenyataan yang baru saja aku ungkapkan.‘Kalau sampai suamiku, memilih membela keluarga. Sepertinya aku memang harus memikirkan untuk bekerja dan menghasilkan uang. Agar ke depannya bisa mandiri, tanpa bergantung pada suamiku. Dia memang tidak mengusirku, tapi jika ia tak bisa membelaku untuk apa juga masih bertahan,’ ucapku dalam hati.“Sudahlah May, Mbak Silvi dan Laila juga. Jangan membesar-besarkan masalah. Kalian dari tadi ribut terus, malu juga kedengeran sama tetangga,” keluh Bang Romi.Kenapa kamu harus mengatakan hal itu Bang, jelas-jelas keluargamu yang salah. Atas semua pengorbananku ini, tak bisakah kamu meluruskannya saja. Aku tidak minta untuk dibela, hanya sekedar mengarahkan Laila supaya ke depannya ia bertindak sesuai dengan usia dan statusnya sebagai seorang istri dan ibu.Aku kecewa, kenapa orang yang aku harapkan akan memberikanku sedikit saja rasa nyaman kenyataannya ia bahkan tak bisa memberikannya bahkan di tempat yang dia sebut rumah.“Kamu juga harusnya sadar Rom, yang dari tadi nyari ribut itu siapa? Orang suami pulang, bukannya disambut diurusin makan malah diajak debat," ucap Mbak Silvi.“Ya kalau emang Mbak sanggup, cucikan saja pakaian punya Laila dan suaminya sekalian. Jangan nyindir aku begitu,” ucapku.“Kamu masih aja ya May, bahas-bahas pakaian.”“Mbak yang mulai duluan, masih baik a
Kala itu sebelum pulang ke rumah aku memilih untuk mengajak Rehan makan di rumah makan baru yang kemarin dikunjungi keluarga besar Bang Romi.“Kamu boleh pesan apa aja Sayang, nanti Bunda yang bayar!” ucapku.Rehan tampak sangat senang, karena untuk pertama kali setelah sekian lama akhirnya Rehan bisa makan di luar. Ia juga turut mencoba wahana bermain yang kala itu sedang agak lengah. Mengingat di jam-jam menjelang magrib memang sedikit pengunjung yang datang ke tempat ini. Setahuku biasanya akan kembali ramai usai jam salat magrib. Namun, karena aku sudah terlanjur lapar lebih baik makan dulu sebelum pulang. Tidak akan pernah ada yang tahu apa yang terjadi di rumah.Dari pada ribut dan berakhir kehilangan nafsu makan lebih baik mengisi perut lebih dahulu. Kenyataanya hidup perlu makan agar kuat menghadapi masalah. Tak menunggu lama akhirnya makanan yang kami pesan datang. Rehan makan dengan lahap, mungkin karena energinya cukup terkuras habis usai bermain berjam-jam.“Enak?” tanyaku
“Dek, tolong jangan kasih Abang pilihan yang sulit!”“Aku juga sulit selama ini, Bang. Cuma demi kamu aku bisa tahan semuanya. Awalnya aku pikir Abang ini berbeda. Abang tulus sama aku, ternyata nggak.”“Abang kurang tulus apa sama kamu, Dek? Kamu tahu sendiri keadaan ekonomi mereka. Dari semua keluarga Abang, kitalah yang paling mapan? Apa salah Abang pengen bantu mereka?” Di saat seperti ini pun aku masih dipaksa untuk mengerti keadaan mereka. Memangnya di dunia ini yang susah hanya mereka. “Nggak salah kok, cuma aku aja yang nggak sanggup nemenin Abang.” “Enggak sanggupnya kenapa? Apa karena Ilham?” “Suami Laila mungkin hanya salah satu pemicu saja, selebihnya aku memang sudah nggak nyaman tinggal ramai-ramai dalam satu rumah. Aku ngerasa udah nggak punya privasi. Abang biarin Ilham masuk ke kamar kita, padahal di sana ada aku. Abang tahu aku berhijab dan harusnya
“Bunda kita mau ke mana?” tanya Rehan.Ya Tuhan aku bakal tidak berpikir jauh, anakku pasti merasa bingung dengan kepergianku secara mendadak ini. Sudah pasti ia akan bertanya-tanya. Maafkan Bunda yang egois Nak, Bunda bukan bermaksud menjauhkan dari ayahmu. Hanya saja jika kita memutuskan untuk tetap tinggal di rumah itu, kita hanya akan terus sakit hati.Ayahmu selalu saja mengutamakan keluarganya di atas segalanya. Bahkan tega mengabaikan kita yang seharusnya menjadi prioritas.“Kita mau tinggal di rumah baru Sayang, ini sebentar lagi sampai kok.”“Tapi, kenapa harus pindah Bun? Itu ‘kan rumah Rehan.”“Iya Sayang, hm Bunda lagi pengen nyari suasana baru aja.”“Nanti kita ke sini balik lagi ke rumah enggak Bun, ‘kan ayah masih ketinggalan? Emangnya ayah enggak diajak ke rumah baru?”“Ayah kayaknya masih ada kerjaan Sayang, mungkin nanti ayah bakal nyusul kalau pekerjaannya sudah selesai.”“Kapan ayah nyusul?”
Bahkan tanpa menengok ke belakang aku sudah tahu jika suara itu sudah pasti milik Bang Romi. Entah bagaimana bisa dia tahu keberadaan kami. Aku bahkan tak merasa memberitahunya sama sekali. Sekarang kalau sudah begini jangankan menenangkan diri, sekedar ingin beristirahat dari pekerjaan rumah tangga yang tak pernah ada akhirnya bisa dipastikan tidak akan pernah terjadi.Rehan terus saja mengajak bicara ayahnya, sementara aku hanya mencoba menyibukkan diri dengan ponsel. Rasanya aku juga tidak punya hal yang ingin dibicarakan dengannya. Meskipun aku tahu sejak tadi Bang Romi terus saja mencuri-curi pandang padaku. Sayangnya, Rehan juga tak memberinya kesempatan untuk bisa berbincang denganku. Anak itu terus saja mengajaknya bicara. Syukurlah aku jadi tidak harus bicara dengannya.Cukup lama ayah dan anak itu terus membicarakan hal-hal yang entah. Dari yang penting bahkan sampai hal konyol. Sampai akhirnya aku merasa Bang Romi sudah tak tahan lagi.“Rehan en
“Abang enggak mau ceraikan kamu,” ucap Bang Romi sambil memegangi lenganku.Seolah tubuhnya pun ikut merayu agar aku percaya kalau saat ini lisannya tidak sedang berdusta. Ah sayangnya, sikapmu memang selalu manis, tetapi kenyataannya tidak begitu.“Kalau begitu aku yang gugat,” ucapku dengan yakin.Memang tak ada nada yang meletup-letup saat mengucapkan hal itu. Bagaimana bisa aku punya semnagat untuk bicara dengan nada yang begitu emosional, kalau hasratku untuk bertahan hidup saja seakan memudar setiap hari. Aku bahkan harus memupuknya dengan kalimat-kalimat tasbih yang tak henti-hentinya aku lantunkan. Aku tahu, sekarang ada Rehan. Jika aku saja menyerah ini pada kehidupan, lalu bagaimana dengan hidup Rehan tanpa bundanya?“May.”“Bang aku capek, beneran capek banget ngurusin keluarga Abang yang enggak ada selesai-selesainya. Boleh ya, aku istirahat dulu. Lagi pula aku merasa lebih baik kalau hidup send
PoV Romi.Aku tidak pernah tahu kalau Mayra akan senekat itu. Ia yang memilih tinggal di kontrakan kecil bahkan tidur hanya dengan beralaskan karpet using yang tipis. Benar-benar membuatku tak habis pikir, kenapa ia memilih menderita di sana dari pada tinggal di rumah yang jauh lebih nyaman. Ia bilang lebih tenang tinggal di tempat seperti itu dari pada di rumah.Aku tahu rumah itu memang dihuni oleh anggota keluargaku yang lain, tetapi aku juga tidak bermaksud menjadikan Mayra pelayan di rumah kami. Aku tidak menyangka kalau kelakuan adik dan kakakku akan semalas itu. Baru seharian rumah ditinggal Mayra keadaannya begitu kacau. Malam di mana Mayra pergi keadaan benar-benar tak terkendali. Semua orang menyalahkanku yang tak bisa mendidik istri. Sehingga ia begitu lancang.Aku sendiri terkejut akan sikap Mayra yang biasanya lembut, kini mendadak senekat itu. Ia pergi begitu saja dengan keadaan emosi yang masih menggebu-gebu. Semua orang menahanku malam itu. Andai
“Mbak ngadu ke ibu sama bapak?” tanyaku.“Aku enggak ngadu. Cuma kasih tau aja, biar mereka bisa nasehatin anaknya yang udah salah arah.”“Salah arah? Sadar enggak sih, rumah tangga aku hancur gara-gara kalian? Aku bantu kalian di sini, tapi kayak gini balasannya buat aku sama Mayra?”Entah kenapa Mbak Silvi sama menyebalkannya dengan Laila, untuk apa juga ia mengadukan semua ini pada ibu. Aku pikir ia sudah cukup dewasa untuk menyelesaikan masalah sendiri. Aku hanya ingin mempertahankan rumah tangga, kenapa jadi mereka yang malah begitu alot meninggalkan rumah ini.“Romi, kamu kok begitu ngomong sama Silvi? Dia ini kakak kamu loh! Kenapa enggak ada sopan santunnya sama sekali!” ucap ibuku.Rupanya dia mendengar apa yang baru saja kuutarakan. Di sampingnya juga ada bapak yang menatapku dengan pandangan yang marah
“Pasti Abang doain kamu Sayang, pokoknya kamu harus kuat. Abang yakin kamu dan adek bayi bakal selamat. Kamu harus lihat ‘kan anak kedua kita. Kita punya banyak banget rencana setelah ini. Kamu udah janji sama Abang, enggak boleh ingkarin gitu aja.”Tanpa sadar air mata lolos begitu saja dari sudut mata Romi. Namun, ia lekas menyekanya. Seharusnya ialah yang menguatkan Mayra, tetapi saat ini Romi justru terlihat sebagai pihak yang lebih butuh dikuatkan. Sepanjang jalan menuju ruang operasi Romi seakan tak mau melepaskan genggaman tangannya, sampai ketika Mayra masuk ia sempat mengatakan satu kalimat yang benar-benar membekas di hati Romi.“Abang, kita enggak boleh terlalu cinta sama manusia. Nanti Allah cemburu,” ucap Mayra.Sebelum akhirnya pintu ruangan operasi tertutup. Romi hanya diperkenankan mengantarnya sampai ke depan pintu, ia tidak menyangka kalau proses melahirkan anak keduanya justru berkali-kali lipat lebih sulit saat M
Sembari menghapus jejak tangisan di wajahnya Silvi memutuskan untuk mempercepat langkahnya menuju toilet. Ia hanya ingin mencari tempat yang nyaman untuk bisa melepaskan penyesalannya. Rupanya maaf saja tak cukup untuk menebus kesalahan yang sudah terlanjur menggunung. Memang benar semua butuh waktu, tetapi ia sendiri tidak menyangka jika Romi justru lebih sulit dihadapi dari pada Mayra.Sebelumnya ia selalu berpikir adiknya yang selalu ada di saat sulit akan mudah dihadapi, rupanya ia justru tampak begitu keras bahkan pada ibu kandungnya sendiri. Sudah semalam mereka berada dalam satu atap yang sama, tetapi sikap Romi justru semakin dingin. Ia bahkan terang-terangan melarang istrinya untuk sekedar membantu Silvi dalam hal menulis.Cukup lama Silvi berada di sana, mungkin sekitar satu jam. Tak ia pedulikan jika hari semakin larut, tetapi ia hanya takut jika tangisannya akan terdengar oleh Romi yang berada tepat di samping kamar tamu, jadi untuk saat ini toilet me
Saat sedang asyik mengobrol Romi dan yang lainnya malah datang. Mau tidak mau mereka harus menghentikan pembicaraan. Tak enak juga rasanya memaksa Mayra untuk terus membantunya. Jika Romi tahu, mungkin hal ini hanya akan memicu masalah baru.”“Terus sekarang kita mau bagaimana Bu, kalau Mayra yang jadi harapan satu-satunya malah enggak bisa bantu apa-apa.”“Ibu juga enggak tahu, kita udah terlanjur ke sini. Ya pokoknya kita harus bisa memperbaiki hubungan sama Romi,” ucap Bu Tuti.Usai mengatakannya, mereka pun ikut menyusul Romi dan yang lainnya ke dalam. Di sana Romi juga mengajak Pak Erik untuk melihat kebun sayuran Mayra di belakang rumah ia menceritakan bagaimana Mayra membuatnya tetap subur. Sampai Pak Erik pun berencana untuk membuat kebun sayuran yang sama di depan rumahnya.“Kayaknya bagus juga Bu, idenya Mayra ini. Kita bisa buat di de
Menyadari kedatangan Silvi dan orang tuanya, jelas saja ekspresi Gani langsung berubah. Ia terlihat sedikit gelisah, mungkin terkejut karena tak menyangka jika mereka akan datang. Gani tetap menyalami mantan mertuanya dengan takzim, tentunya kecuali Silvi ia hanya menundukkan kepala.“Bapak sama Ibu sehat?” tanya Gani.“Alhamdulillah, ini kamu mau pulang apa bagaimana? Kok udah bawa tas aja?” tanya Pak Erik sekaligus memecah suasana canggung di antara mereka.“Iya Pak, ini mau pulang ke Subang. Udah lama di Bandung, kangen juga sama Yoora.”“Bukannya Subang sama Bandung deket banget, emang enggak sering pulang.”“Sebenarnya sering sih paling 2 minggu sekali, tergantung kerjaan aja. Kalau bisa tiap minggu pulang ya maunya sih begitu. Cuma ‘kan yang ada kerjaannya enggak selesai-selesai. Ya sudah kalau begitu Pak, saya pamit dulu.”Sata itu Bu Tuti juga bingung harus berka
Entah kenapa rasanya dunia Silvi mendadak berhenti berputar. Kenapa ada Bunda selain dirinya?Silvi pun tahu cepat atau lambat hal ini akan terjadi, tetapi kenapa harus secepat ini? Ia melihat keduanya begitu akrab, bahkan sepertinya Yoora terlihat begitu nyaman berada di pelukan wanita yang ia panggil Bunda itu. Di sampingnya juga adik iparnya yang tampak cukup dekat dengannya.Jika diingat kembali hubungan Silvi dan adik iparnya bahkan tidak sedekat itu. Ia sendiri yang sengaja menjaga jarak dari adik suaminya. Sekarang melihat mereka begitu akrab, Silvi bahkan tidak bisa menyalahkannya juga. Apa lagi statusnya sekarang juga bukan lagi istri Gani. Niat hati ingin memberikan kejutan pada anaknya, sekarang ia sendiri yang terkejut.“Bunda Silvi,” ucap Yoora yang saat itu mengalihkan pandangannya.Ia baru sadar jika sejak tadi ada Silvi di dekatnya. Anak kecil itu pun langsung menghambur memeluk ibu kandungnya.“Bunda kenapa enggak bilang mau ke sini?” Bahkan jika hatinya begitu sakit
Saat itu juga Bu Tuti langsung menghubungi Romi lewat panggilan telepon. Namun, entah kenapa tak kunjung diangkat juga. Sudah 10 kali mencoba, tetap saja tak ada hasilnya.“Pak, kenapa Romi enggak mau ngangkat telepon dari Ibu?”“Enggak tahu, kemarin-kemarin masih mau ngangkat telepon dari Bapak kok. Mungkin lagi sibuk aja.”“Apa jangan-jangan dia masih marah sama Ibu, sampai enggak mau ngangkat. Gak mungkin Romi jauh dari hpnya Pak, di aitu sibuk terus kalau jam segini.”Sebagai ibunya sedikit banyak ia tahu kebiasaan Romi, termasuk jam sibuk putranya. Rasanya sedikit janggal kalau Romi tak memegang ponselnya di jam sibuk.“Bentar, biar Bapak yang coba telepon!”Kali ini karena penasaran, Pak Erik juga mencoba untuk menghubunginya. Namun, hasilnya sama. Mereka sontak saja jadi berpikir yang tidak-tidak.“Jangan-jangan terjadi sesuatu sama Romi, Pak?” ucap Bu Tuti dengan wajah yang mulai panik.“Kamu jangan ngomong sembarangan. Bisa aja dia memang lag
“Bu Tuti tahu enggak sih kemari ‘kan Silvi ke sini,” ucap Bu Mia saat mereka sama-sama belanja di warung.“Oh iya saya tahu, Bu,” ucap Bu Tuti canggung.Pasalnya di sana tak hanya mereka berdua ada pembeli lain yang juga sedang memilih sayuran. Ia hanya tidak ingin pembahasan ini jadi ke mana-mana. Apa lagi gosip di sini mudah sekali menyebar.“Loh kalau tahu kenapa enggak pulang cepat-cepat Bu Tuti? Kasihan loh jadinya Silvi keburu diusir sama Pak RT.”Sudah ia duga, Bu Mia ini pasti akan membahas perkara pengusiran ini.“Saya juga enggak bisa ninggalin kerjaan begitu aja, saya jaga bayi. Enggak mungkin bayinya saya tinggal malam-malam.”“Ya harusnya ibu kasih tahu Silvi alamat ibu kerja, eh apa Ibu takut ya kalau Silvi nanti malah mencuri barang-barang di rumah majikannya. Hehe, susah juga ya jadi ibu, serba salah banget. Dipikir-pikir kalau saya jadi Bu Tuti juga akan ngelakuin hal yang sama sih, dari pada ngambil risiko yang malah merugikan diri sendiri.”“Sudah Bu ngomongnya, say
“Tapi, Pak saya enggak ada niat buat mencuri, saya juga enggak mau lagi masuk penjara. Saya sudah tobat.”“Saya tahu, tapi sebagai ketua RT saya juga punya kewajiban bikin warga tenang. Ada banyak sekali keluhan dari siang sampai sekarang, warga sangat keberatan kalau Mbak Silvi memutuskan kembali tinggal di lingkungan sini. Tolong pengertiannya ya Mbak, saya ikut senang kalau Mbak memang sudah tobat. Cuma Mbak juga harus tahu kalau enggak semua orang bisa menerima dan enggak Mbak enggak bisa maksa orang lain buat mengerti.”“Apa karena saya bukan warga sini, makanya Bapak tega mengusir saya malam-malam begini?”“Bukan masalah itu, saya pikir Mbak juga sudah tahu apa alasannya. Mbak dipenjara atas kasus pencurian, sudah jadi hukum sosial kalau Mbak jadi dijauhi orang-orang.”Akhirnya emosi Pak RT yang sejak tadi ditahan kini tidak terbendung juga sekarang mau tidak mau ia harus mengutarakan maksud dari perkataannya secara gamblang. Masa bodo kalau Silvi akan saki
Sejak kepergian ibu mertuanya tempo hari Mayra memang sengaja menahan untuk tak membahas masalah itu. Sampai ia merasa kali inilah waktu yang tepat untuk mengatakan ini pada suaminya. Perlu waktu seminggu untuk Mayra menunggu sampai Romi bisa diajak diskusi. “Sayang, boleh aku ngomong sesuatu?” tanya Mayra tepat ketika ia dan Romi hendak beristirahat di malam hari. “Kenapa Sayang, ngomong aja!” “Ini soal Ibu.” Mayra bahkan sengaja memberi jeda ucapannya, hanya untuk melihat respons suaminya. Melihat Romi yang terlihat menatapnya dengan antusias, barulah Mayra yakin kalau kali ini ia tidak salah waktu. “Seseorang yang susah untuk dinasihati itu memang kadang perlu merasakan kehilangan dulu, sampai mereka mengerti kalau apa-apa yang tidak ada dalam genggamannya itu begitu berharga.” “Harus dengan cara enggak kasih kabar sama sekali?” “Abang tetap kontrol kok, ‘kan di depan rumah Ibu ada istrinya Jefri. Dia ka