"Iya Bu!" teriak Dinda kencang dan berlari.Dinda tergopoh- gopoh berlari meninggalkan cucian piring kotornya yang belum selesai di cuci. Dia seger berlari ke arah suara itu."Ada apa Bu?" tanya Dinda.Tak lama Mbak Eva juga keluar dari kamar dengan menggunakan jilbab yang asal- asalan terkejut dengan teriakan Ibu mertuanya."Kau itu benar- benar ya Din! Bodoh ndak ketulungan! Mengapa kau tak sesekali menggunakan otakmu agar bermanfaat!" teriak bu Nafis.Dinda masih plonga- plongo, dia tak mengetahui apa kesalahan yang telah dia perbuat. Dia memandang sekeliling ruang tamu masih rapi."Lolak lolok (tampang bodoh) kau masih tak mengerti apa salahmu?" bentak bu Nafis.Dinda menggelengkan kepalanya."Bodoh!" hardik bu Nafis."Astagfirulloh Bu! Mbok Njenengan nyebut (kamu istigfar), ada Fikri cucu Ibu lo, kok bahasanya seperti itu, tak baik! Bagaimana kalau Fikri menirukan ucapan Ibu?" tegur Eva.Fikri yang berdiri di depan Uti (panggilan untuk nenek singkatan dari Eyang Putri) hanya diam
"Eh... Oh! Hay!" kata Eva tergagap."Mbak Eva kenal dia?" tanya Dinda.Eva mengedipkan matanya perlahan memberikan kode pada Dinda."Ini Fikri ya Mbak?" tanya wanita itu."Eh, iya!" jawab Eva."Sudah besar ya! Hallo adek Fikri ingat sama Tante ndak? Dulu saat kau kecil Tante sering lo mengajakmu main, gendong kamu, duh gembulnya sekarang," wanita itu mengajak Fikri berinteraksi."No no! No no!" jerit Fikri."Maaf Nan, anaknya tak mau! Dia sedang rewel karena mengantuk jadi jangan di paksa" tegur Eva."Oh iya Mbak, mungkin dia sudah lupa kalik ya Mbak, karena kita tak bertemu lama, oh iya Ibu mana? Kemarin Ibu mengundangku untuk makan malam di sini, katanya syukuran kecil- kecilan sekalian karena beliau ulang tahun," ujar wanita itu."Oh beliau di dalam kamar sepertinya! Masuk dulu," perintah Mbak Eva.Dinda hanya diam berdiri mematung, keberadaannya sepertinya tak di anggap dan terlupakan. Wanita itu masuk ke dalam rumah tanpa peduli dengan Dinda."Mbak, siapa sih dia?" tanya Dinda me
"Mbak apa maksud Nanda?" tanya Dinda.Eva memandang wajah Dinda. Dia menganggap Dinda sudah sebagai adiknya sendiri walaupun sebenarnya mereka hanya saudara ipar. Bukan tanpa alasan Eva bersikap demikian, pernah tinggal selama hampir lima tahun dengan bu Nafis membuatnya sadar bahwa Dinda membutuhkan dukungan untuk kesehatan mental dan psikisnya sama seperti dia dulu."Dek, duduklah sini dulu," ajak Eva.Dinda duduk di dekat Eva."Kau percaya pada Mbak?" tanya Eva sambil memegang tangan Dinda.Dinda menganggukkan kepalanya."Baik, terimakasih ya Dek atas kepercayaan yang telah kamu berikan! Insyaallah Mbak akan menjaga dan tak menyia- nyiakan hal itu! Ingatlah perkataan Mbak ini sekarang sampai kau mati, mengerti?" tanya Eva."Ketika kamu berumah tangga, tutup telingamu, tutup matamu! Jangan pernah mau percaya apapun yang di katakan orang lain siapapun itu kecuali suamimu! Jangan pernah mencari tahu apa yang sebenarnya ingin kau ketahui karena itu akan membuat kita kecewa dan sakit ha
"Apa mungkin Ibu masuk konten Ifah dan ingin viral?" tanya Eva.Eva dan Dinda segera meletakkan peralatan perang dapur mereka. Adik dan kakak ipar itu berlari ke depan."Astagfirulloh!" teriak Eva dan Dinda bersamaan."Mbak, apa ini tak akan mengakibatkan kesalahan fatal ke depannya?" tanya Dinda."Din, bukankah lebih baik kita ke dapur dan berpura- pura tak tahu saja?" sambung Eva.Mereka berdua terhipnotis dengan apa yang di lihat di depan mata kepala mereka sendiri. Ifah anak paling bontot dengan status pelajar sekaligus selebgram Madiun kesayangan bu Nafis, sekarang sedang membuat konten bersama teman- temannya. Dia menjadikan ajang birthday party ala- ala untuk sang Ibu."Hay Guys yang sejak kemarin tanya mana sih Ibunya? Ini dia Ibuk kulo (saya), hari ini beliau ulang tahu ke lima dua tahun! Yeay! Untuk memperingatinya mari kita menyakikan lagu selamat ulang tahun bersama," ajak Ifah.Happy birthday Ibu,Happy birthday Ibu,Happy birthday dear Ibu,Happy birthday Ibu,"Yeayyyy!
Dinda dan Eva melihat bu Nafis dan Ifah sedang bernyanyi lagu Inda, bukan itu yang menjadi masalah sebenarnya tetapi dandanan mereka yang sangat menor di tambah background Nanda yang berjoget ala- ala juga. Mereka melakukan live sosial media dari HP Ifah sepertinya."Bu! Hentikan!" teriak Eva.Namun ketiga orang itu tak menggubrisnya. Eva dengan geram langsung menyahut HP Ifah yang ada di tripod depan mereka. Mematikan siaran langsung yang sedang mereka buat."Heh Eva rada gila kau ya?" tanya bu Nafis."Mengapa kau matikan?" hardiknya lagi."Astagfirulloh Bu, istigfar! Eling dan nyebut, Ibu sedang melakukan apa?" tegur Eva."Apa salahnya? Aku hanya bernyanyi! Tak ada yang salah, lagian jika ada yang menyawer Ibu nanti dapet duit! Memangnya kalian menantu- menantu miskin bisa kasih Ibu duit," sindir bu Nafis."Bu, benar Ibu membutuhkan uang, kita manusia hidup juga pasti butuh uang tapi ndak gini caranya! Njenengann (kamu) sama saja mempermalukan diri sendiri bu," ujar Dinda."Heh mena
"Biar ibu mengaca Mbak, barangkali kaca di kamarnya kurang besar! Biar dia tahu kelakuannya seperti ini sangan memalukan!" ujar Hasan.Eva cekikan melihat tingkah Hasan. Dia segera menggantikan baju FIkri di dalam kamar."Bu, maksud panjenengan (kamu) itu apa?" tanya Zain.bu Nafis terdiam tak menjawab."Nih! Lihat bu, kaca besar ini mulai sekarang taruh di kamar Ibu!" ujar Hasan."Sekarang lihatlah penampilan Ibu! Bercerminlah!" perintah Hasan.Bu Nafis mendongakkan kepalanya berkaca pada cermin yang di bawakan Hasan. Menurunya tak ada yang salah dengan penampilannya. Kebetulan sekali tadi Nanda datang, jadi dia meminta tolong Nanda mendadaninya."Tak ada yang salah," gumam bu Nafis."Astagfirulloh Bu!" pekik Hasan setengah frustasi sambil mengusap kasar wajahnya."Lihat ini! Bayangan di cermin ini? Apa pantas istri dari seorang kyai pemimpin yayasan seperti ini? Boleh bu berdandan asal jangan berlebihan," ucap Hasan."Ibu tahu kan bagaimana hukum memakai bulu mata sambungan? Hukum me
JUAL MOBIL DEMI ADIK IPAR"Bagaimana kalau kita jual mobil Dinda saja Mas, untuk tambahan biaya sekolah Ifah," usul Dinda."Apa?" tanya Hasan terkejut."Iya Mas, jual aja mobil Dinda! Menurutku itu ide satu- satunya saat ini yang paling rasional," ujar Dinda."Tapi Dek, itu barang milikmu! Bahkan kau membelinya dengan uangmu sendiri, bagaimana bisa kau berpikir akan menjualnya demi kuliah Ifah?" tanya Hasan."Ya Dinda tahu kok Mas, ada beberapa alasan mengapa aku mengatakan jual saja mobil itu! Pertama secara logika hanya itu aset yang kita punya sekarang Mas, mobil yang Mas pakai itu milik siapa? Bukankah itu mobil peninggalan Abah yang artinya masih milik bersama dari warisnya? Akan repot Mas nantinya," kata Dinda."Lagian mobil milik Dinda kan sudah tua Mas, paling hanya laku di kisaran delapan puluh juta, tak akan rugi jika menjualnya sekarang! Sedangkan milik Abah usia mobilnya jauh lebih muda dan lebih worth it untuk di pertahankan," sambung Dinda."Toh kalau mobil itu di jual n
DI KASIH JANTUNG MINTA HATITapi Fah, bukan begitu maksud Mbak Dinda!" teriak Dinda yang tak di gubris Ifah."Mati aku! Memang tak bisa anak seperti itu di kasihani! Di kasih jantung malah minta hati," Dinda merutuki dirinya kecerobohannya sendiri.Dinda berdiri hendak menyiapkan makanan, dia melihat magicom yang tadi berisi nasi kuning sudah kosong. Lalu beralih ke panci di atas kompor, semua kosong."Tak mungkin rasanya makanan sebanyak itu di habiskan oleh teman- teman Ifah, lagian teman Ifah bukanlah anak bar- bar yang senang makan- makanan rumahan. Lalu kemana perginya nasi dan sisa sayur itu?" Dinda menggaruk kepalanya yang tak gatal.Dia lalu menuju dapur, menghitung piring kotor. Jumlahnya tak bertambah, seingatnya tadi masih ada sisa nasi yang lumayan banyak, masih cukup untuk makan malam keluarga mereka. Mengapa semua mendadak lenyap tak bersisa."Kau mencari apa sih Dek?' tegur Eva yang baru pulang dari Masjid sendiri."Loh Fikri mana Mbak?" tanya Dinda."Ikut Abinya di Mas
ENDING YANG BAHAGIA!"Ya Allah apapun yang terjadi aku ikhlas, akan semua keputusanmu. Berikan yang terbaik," kata Dinda dalam hati.Tanpa membuang waktu lagi dia mengetes dan hasilnya adalah garis dua. Dinda langsung memekik, memakai bajunya dengan baik dan keluar dari kamar mandi. DIa langsung bersujud saat itu juga, dia merasa senang sekali."Ya Allah ternyata kau adalah sebaik-baiknya pengatur! Di saat semuanya sudah damai saat seperti ini kau memberikanku kepercayaan lagi dan di saat ini pula itu bersama pak Hendi akan segera umroh. Alhamdulillah! Alhamdulillah ya Allah," pekik Dinda tertahan dalam isak tangisnya.Dia pun segera menelpon kedua orang tuanya. Dia ingin membagi kabar kebahagiaan itu pertama kali dengan kedua orang tuanya. Untung tak lama telpon itu diangkat."Assalamualaikum, Papa!" sapa Dinda."Waalaikumsalam, Nduk," jawab Pak Bukhori."Papa, sedang sibukkah?" tanya Dinda."Kenapa kok sepertinya kau terdengar sangat gembira sekali. Ada berita membahagiakankah?" s
HAMIL?"Ya, lama-kelamaan aku juga ikhlas. Aku selalu berpikir positif dan mengambil hikmahnya. Bayangkan saja betapa akan mengasyikkan nanti hidup kita berdua setelah menjadi saudara tiri dan kau serta aku bisa berbaikan. Ini akan sangat menguntungkan sekali bagi kita, karena kita bisa menginap di rumah masing-masing sesuka hati lagi. Ide bagus kan?" bujuk Ifah.Dinda salut sekali pada adik iparnya itu, Ifah nampak sekali mencoba untuk lebih bijak dan dewasa. Hal itu membuat Dinda dan Hasan tersenyum."Nah kau dengar sendiri kan, Nduk? Ifah saja sudah bisa berdamai dengan keadaan, kau sampai kapan mau begini terus? Percayalah Ibumu juga ingin melihat Papa bahagia dan mungkin saat ini Papa bisa bahagia jika bersama Bu Nafis. Bukannya sebagai Bapak egois tetapi Papa membutuhkan teman saat tua. Kau juga akan memiliki kehidupan sendiri nantinya. Lalu bagaimana kalau kita tua? Papa juga membutuhkan sosok bu Nafis sebagai ibu pengganti kalian," terang Pak Hendi."Jadi tolong terimalah," l
AWAL BARU KEBAHAGIAAN"Benarkah , Pak? Sungguh rasanya ini masih seperti mimpi, Mas. Alhamdulillah ya Allah," kata Bu Nafis langsung luruh di lantai.Da bersujud syukur, tak pernah terbayangkan di dunia bisa menginjak tanah suci bersama suami barunya itu. Dia sekarang benar-benar merasa sangat dicintai dan sangat bahagia meskipun pernikahannya dengan Abah dulu cukup bahagia namun dia tidak pernah mencintai Abah sepenuhnya. Beda halnya dengan Pak Hendi, dia benar-benar mencintai lelaki itu. Pak Hendi pun membiarkan sang istri menikmati sujud syukurnya, setelah selesai dia merengkuh sang istri. "Semua telah berlalu, semua telah usai. Buang semua traumamu, buang semua marahmu terhadap anak-anakmu, terhadap menantumu. Hubungan semua yang buruk-buruk lupakan, kita mulai semuanya baru. Kita akan pergi umroh bersama, kita berpamitan kepada anak-anak ya," pinta Pak Hendi.Bu Nafis memeluk Pak Hendi dan menangis sesegukan. Dia benar-benar tak kuasa menahan tangisnya.
HADIAH DARI SUAMI BARU"Bu? Apa Ibu tidak berjualan lagi?" tanya Dinda saat dia melihat dapur yang masih bersih."Tidak, Pak Hendi melarangku untuk jualan," jawab Bu Nafis.Mertuanya itu masih meminum kopinya di meja makan, sedangkan Pak Hendi entah kemana.Pamit pulang ke rumahnya. Dinda menggeret kursinya. "Maafkan Dinda ya, Bu. Selama ini Dinda yang egois, Dinda yang banyak salahnya sebagai menantu," kata Dinda."Maafkan Ibu juga," ucap Bu Nafis lirih. Terlihat dari wajahnya sepertinya dia juga menyesal. "Terkadang sebagai seorang ibu aku merasa belum rela jika anak lelakiku mencintai wanita lain bahkan terkadang aku merasa iri. Bagaimana bisa anakku memperlakukanmu begitu istimewa sedangkan akulah yang melahirkannya, akulah yang menyusuinya, akulah yang selalu membersamainya sampai dia besar. Ketika dia sudah besar aku harus melepaskannya, rasanya aku masih belum ikhlas. Aku tahu ini salah, tetapi itulah yang aku rasakan sekarang," kata Bu Nafis menghela napasnya panjang."Bu...
ORANG TUA PASTI INGIN YANG TERBAIK UNTUK ANAKNYA"Hahaha lalu kau percaya begitu saja?" tanya pak Hendi. Hasan pun mengangguk dengan polosnya. Membuat Dinda dan Pak Hendi gemas sendiri namun merasa lucu dengan tingkah Hasan."Mana ada online sembako yang bisa menggaji karyawannya sebanyak itu? Bahkan bisa untuk mencukupi dan menambal semua kekurangan kebutuhan keluarga kalian. Apakah kau pernah membelikan bensin kendaraanmu itu, San?" tanya pak Hendi. Hasan pun menggelengkan kepalanya."Lalu biaya servis? Siapa yang menanggungnya?" selidiknya."Dinda, Pak," jawab Hasan lemah."Lalu untuk kekurangan-kekurangan kebutuhan harian kalian? Bahkan untuk makan sehari-hari, biasanya siapa yang mennambal sulam?" cerca Pak Hendi."Dinda," sahut Hasan."Lalu, apakah selama ini Dinda pernah menuntutmu atau keluarga Dinda pernah menuntutmu dengan semuanya berkaitan dnegan nafkah atau uang?" tanya pak Hendi. Hasan pun menggelengkan kepalanya."Menurutmu kenapa mereka tidak menuntutmu? Bukankah itu a
MELEPAS MESKIPUN BELUM IKHLAS"Terima kasih karena Ibu sudah bicara seperti itu kepada Dinda. Sungguh Hasan tak mengira itu. Ibu bisa meminta maaf kepada Dinda dengan tulus. Hari ini rasanya adalah hari yang paling membahagiakan untuk Hasan," kata Hasan. Bu Nafis hanya tersenyum kecut mendengar semua ucapan Dinda dan diam. Begitupun dengan pak Hendi, lelaki itu lebih senang memperhatikan mereka. Ada bahagia yang tak bisa dilukiskan dengan kata-kata melihat keluarga barunya ini sedang mencoba memperbaiki semuanya."Kau ke sini tulus kan Nafis?" tanya pak Hendi."Iya," jawab Bu Nafis. "Nafis, ingatlah. Selama ini banyak hal dan kebaikan yang diperbuat Dinda untuk keluargamu. Jadi sekarang tak ada salahnya jika kau ganti membahagiakan Dinda. Toh Dinda tak pernah meminta banyak padamu kan? Dia tak minta hartamu, dia juga tak meminta kau menjadi ini dan itu. Dia hanya ingin mencoba membina keluarga sendiri dengan Hasan putramu, tak ada yang salah sebenarnya" ucap Pak Hendi."Nah memisah
RESTU ORANG TUA SANGAT PENTING BAGI ANAK MANTUNYA!"Pak, Bu," panggil Dinda lirih. Hasan tersedak."Uhukkk," Hasan langsung terbatuk."Kenapa to, San? Kok sampai tersedak begitu? Mbok ya kalau makan itu hati-hati. Tak akan ada yang meminta makananmu," tegur Bu Nafis dengan sigap mengulurkan air minum dalam gelas.Hasan dengan segera meminumnya, Dinda yang melihat itu hanya menghela nafasnya panjang. Lagi dia merasa, bahwa dia lah yang harus bersikap tegas sekarang. Kalau saja dia tak tegas maka yang rugi akan dirinya sendiri."Ada apa?" tanya pak Hendi."Begini, Pak. Maaf sebelumnya jika pagi-pagi Dinda langsung membahas pembahasan berat seperti ini. Tapi Dida tak dapat menahannya lagi. Karena sepertinya suami Dnda ini tidak sanggup mengatakannya," ucap Dinda. Hasan hanya mampu menundukkan kepalanya."Katakanlah, Nduk," perintah Pak Hendi."Dulu kan Mas Hasan pernah berjanji kepada Dinda untuk membawa Dinda mengekost dan membina hubungan rumah tangga sendiri tanpa ikut campur tangan
IZIN PERGI DARI RUMAH"Kau sudah berkemas, Dek? Pagi sekali. Bukankah kita bisa pindahan nanti saja saat aku pulang bekerja?" tanya Hasan."Tentu saja, Mas. Kita bisa kok pindahan nanti dan aku juga tidak menuntut untuk pindahan sekarang juga," kata Dinda menyahut."Lalu kenapa kau sudah bersiap dan berkemas seperti itu? Toh pindahnya kan masih nanti," ucap Hasan."Tak apa-apa, Mas. Aku hanya sedang senang saja, kita akhirnya bisa pindah. Aku tak ingin kau berubah pikiran, maka dari itu aku sudah menyiapkan semuanya. Kita tinggal berangkat nanti setelah kau pulang dari bekerja," teramg Dinda. Hasan menghela napasnya panjang. "Tapi aku belum berpamitan dengan ibu atau Pak Hendi Dek. Nanti kita pahami dulu ya," minta Hasan."Iya, Mas," sahut Dinda tanpa keberatan sedikitpun."Apa Kita tak bisa sedikit lebih lama lagi di sini, Dek?" gumam Hasan lirih namun masih bisa terdengar oleh Dinda."Tidak, Mas. Seperti janjimu dulu. Aku hanya menuntut apa saja yang sudah kau katakan padaku di dep
MINTA MAAF SEBAGAI ORANG TUA?"Selama ini aku salah Pak," gumam Bu Nafis."Nafis, kau itu harus menyadarinya kalau kau yang salah saat ini. Jangan semua kau nilai dari keuangannya saja, kau ini terbiasa menilai semua dari uang dan harta. Kita tidak tahu orang itu sebenarnya kaya atau tidakk. Karena apa? Banyak orang yang berpura-pura kaya namun tak sedikit orang juga yang masih berpura-pura miskin agar tak terlihat kaya dan banyak di hutangi orang," jawab Pak Hendi."Kita tidak dapat menilai semua hanya dari harta, tapi lihatlah. Coba kau ingat lagi, kebaikan apa yang sudah Dinda buat selama ini untukmu? Apa yang dilakukan untuk keluargamu juga? Kau bahkan juga menggadaikan mobil miliknya padaku. Apakah itu benar? Dinda masih legowo juga lo. Nah, coba kau renungi semua. Itu yang penting," tegur Pak Hendi."Lalu aku harus bagaimana, Pak?" tanya Bu Nafis. "Jika aku menjadi dirimu maka aku akan minta maaf. Jadi saranku mending sekarang kau minta maaflah kepada Dinda," jawab Pak Hendi."