Share

Bab 4

Ibu menyerahkan kertas yang sudah terkorosi oleh asam lambung ke ahli forensik. Dia menepuk punggung bawahnya yang terasa pegal, lalu berkata kepada Ayah dengan nada pasrah, "Semoga kertas ini bisa memberikan petunjuk. Kamu sudah ingatin Yuki untuk kunci pintu rumah?"

Ayah mengangguk dengan wajah serius, lalu berkata dengan ragu-ragu, "Sayang, menurutmu, Eira nggak angkat telepon sama sekali dan nggak balas pesan dari Josh, apa mungkin dia benar-benar dalam bahaya? Apa aku perlu suruh seseorang untuk menyelidikinya?"

Ibu memotong dengan kesal, "Lupakan saja, memangnya kamu nggak tahu kebiasaannya? Dia pasti lagi sembunyi dan nunggu kita untuk cari dia! Ini bukan pertama kalinya dia ngelakuin hal begini."

"Dia cuma nggak mau datang untuk nonton pertandingan Yuki. Paling lambat besok, dia pasti akan telepon sambil menangis meminta maaf."

Terakhir kali aku menghilang adalah saat libur musim panas. Waktu itu, Yuki mengunciku di toilet sekolah. Sekolah yang kosong di masa liburan membuat tidak ada seorang pun yang mendengar teriakanku.

Aku mengerahkan seluruh tenagaku untuk memanjat keluar. Tubuhku dipenuhi kotoran dan aku berjalan pulang dengan kaki yang terkilir.

Namun yang menungguku di rumah bukanlah perhatian, melainkan tamparan dari Ayah dan makian dari Ibu. "Yuki bilang, dia lihat kamu pergi ke hotel sama seorang preman? Kenapa aku bisa lahirin anak yang nggak tahu malu kayak kamu!"

Aku tidak bisa mengatakan apa pun dan hanya bisa melihat Yuki menyeringai puas di sudut ruangan. Kakakku membantuku mengoleskan obat sambil berkata dengan lembut, "Ayah dan Ibu bukannya nggak sayang sama kamu. Mereka cuma nggak tahu harus bagaimana komunikasi sama kamu."

Namun, aku sangat paham. Diriku yang pendiam dan tidak menonjol ini, tidak akan pernah mendapatkan perhatian seperti yang didapatkan oleh Yuki yang cerdas dan lincah. Mereka akan selalu pilih kasih, tetapi sayangnya orang yang mereka kasihi itu bukan aku.

Jika aku masih hidup, satu-satunya hal yang bisa kulakukan hanyalah membuatkan sup bergizi untuk mereka dan mengantarnya ke kantor polisi saat mereka tidak bisa pulang karena pekerjaan. Namun kali ini, aku tidak bisa lagi menampakkan diri dan meminta maaf seperti yang mereka bayangkan.

Sebab, kini aku hanyalah sebuah mayat.

Dalam waktu singkat, hasil dari tim forensik telah keluar. Kertas itu adalah tanda terima pembelian barang. Pelaku memasukkan kertas itu ke dalam mulutku secara paksa sebagai bentuk penghinaan saat menyiksaku.

Dengan sinis, dia berkata, "Ini barang yang kamu belikan untuk orang tuamu? Mereka bakal langsung buang ke tempat sampah kalau menerimanya."

Ayahku tampak bingung dan bertanya, "Ini tempat apa?"

Ahli forensik tertegun sejenak dan menjawab, "Setelah kucek, ini tempat yang menjual jimat keberuntungan."

Saat orang tuaku dan para polisi masuk ke toko tersebut, pemilik toko tampak terkejut. Dia menerima potongan tanda terima yang sudah rusak, lalu menatap angka di sudut kanan atas dan mencari barangnya di antara pesanan.

"Ini dibeli oleh seorang gadis kecil beberapa waktu lalu. Katanya, ini untuk orang tuanya karena pekerjaan mereka sangat berbahaya."

"Tapi, dia nggak pernah datang untuk mengambilnya. Aku sudah coba telepon, tapi nggak ada yang menjawab," kata pemilik toko sambil mengeluarkan dua kantong merah.

Kemudian, dia melanjutkan dengan nada lembut, "Di atasnya tertulis kata 'keselamatan', menyiratkan doa untuk kebahagiaan dan umur panjang."

Ayahku menerima kantong tersebut dan menghela napas, "Masih ada rekaman CCTV dari waktu itu?"

Pemilik toko mengangguk. "Gadis kecil itu sangat pendiam dan cermat dalam memilih kantong untuk orang tuanya. Aku ingat sekali wajahnya."

Namun, ketika rekaman diputar, semua polisi yang hadir langsung terdiam. Ibu menelan ludah sambil menatap layar dengan mata terbelalak. "Kenapa gadis ini mirip sekali sama Eira?"

Mendengar hal itu, pemilik toko bertanya, "Eira? Nama yang tertera di pesanan memang Eira!"

Wajah ayahku juga tampak buruk, meskipun dia berusaha untuk tetap tenang, "Mungkin cuma namanya yang kebetulan sama. Eira pasti lagi bersembunyi di suatu tempat dan mentertawakan kita!"

"Bos, kamu sudah sekongkol sama Eira ya? Berani-beraninya kamu permainkan polisi?" tanya Gibson.

Tiba-tiba, ponsel Ibu berdering. Dengan suara gemetaran, dia mengangkatnya, "Halo, Ryan?"

Suara dari anggota laboratorium forensik itu terdengar sangat tegang. "Bu Penny, hasil tes DNA korban sudah keluar."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status