Meski kejadian itu sudah berlangsung dua hari yang lalu, Faryn masih sedikit mengalami ketakutan saat harus kembali bekerja. Entah bisa dikatakan keberuntungan atau tidak, Bahari pergi keluar negeri selama dua minggu untuk urusan bisnis. Jadi, Faryn bisa menenangkan diri sebelum kembali mengulangi kejadian sebelumnya.Hakam sendiri juga sudah kembali tidur di sofa seperti biasanya. Hanya untuk satu malam itu saja mereka berbaring di ranjang yang sama. Dan tentu saja, hanya tidur biasa layaknya orang-orang pada umumnya."Faryn," panggil Hakam.Faryn menoleh. Lalu mengedikan dagu yang mengisyaratkan pertanyaan 'apa?' secara tak langsung."Hari ini ... kamu nggak perlu bekerja," ujarnya.Faryn mengerutkan dahinya dalam. "Kenapa?""Aku sudah meminta ijin sama Papa Bahari supaya mengijinkan kamu untuk satu hari ini."Merasa belum mendapatkan jawaban yang ia mau, Faryn memberikan atensi penuh pada pria yang berdiri di ambang pintu kamarnya. "Kamu nggak menjawab pertanyaan aku." Kedua tangan
Mereka hanya diantar oleh Papa Bram dan Mama Adelina yang masih terisak. Lalu kedua orang fua Hakam kembali pulang. Faryn yang saat itu sempat melihat ibu mertuanya masih sembab, merasa tidak enak hati.Pasalnya kebohongan Hakam sudah terlalu jauh ia rasa. Ditambah lagi, ia baru menyadarinya sekarang alasan sang mertua bersedih hati. Ia teringat dengan istri muda papa mertuanya.Mungkin saja Mama Adelina merasa ditipu dua kali oleh orang yang ia sayang. Kalau dalam kasus mereka sih memang Hakam berbohong."Kamu nggak masuk?"Saat itu mereka sempat makan siang bersama dan pulang saat menjelang sore. Hakam yang sudah merasa memiliki hak yang sama dengan Faryn, akhirnya memilih membuka pintu lebih dulu."Kamu nggak merasa bersalah sudah membohongi kedua orang tua kamu sampai sejauh ini?"Faryn tidak menoleh. Ia masih menatap ke arah jalanan di mana mobil yang dikendarai mertuanya baru saja berbelok. Hakam diam sebentar. Lalu ia berjalan menghampiri Faryn. Ia berdiri tepat di samping pere
Faryn membiarkan Hakam berbaring di samping seperti beberapa hari yang lalu. Setidaknya hanya itu yang bisa lakukan sebagai seorang istri untuk sekarang."Hakam?"Yang dipanggil hanya menyahut dengan dehaman tanpa berbalik ke adah Faryn. Sepertinya suaminya itu tengah marah karena permintaannya ditolak. Ya wajar saja sih. Memangnya ada suami di luaran sana yang tidak akan tersingung dan marah saat kebutuhannya ditolak oleh sang istri?"Sudah berapa lama?" tanyanyaHakam yang tidak mengerti maksud pertanyaan Faryn, menoleh melalui pundaknya. "Apanya?"Faryn menjelaskan maksud pertanyaannya dengan nada tenang dan datar. "Sudah berapa lama kamu nggak menyentuh wanita?"Karena masih belum yakin memahami pertanyaan itu sepenuhnya, Hakam akhirnya membalik punggungnya dengan posisi terlentang menghadap langit-langit. "Tadi pagi kan aku baru saja menyentuh kamu."Yang dimaksud oleh Hakam sangat berbeda dengan maksud pertanyaan Faryn. Yang ditangkap oleh otaknya, menyentuh dalam artian harfiah
Karena pertanyaannya sendiri, ditambah kalimat terakhir Hakam sebelun pria itu terlelap, Faryn hampir terjaga semalaman. Ia baru bisa memejamkan mata saat akan menjelang pagi. Padahal tubuhnya sudah meronta ingin diistirahatkan.Faryn sudah lama tidak bermimpi. Anehnya, malam ini, saat Hakam resmi menjadi suaminya dengan kewajiban yang membebankan diri Faryn, wanita itu bermimpi.Setelah belasan tahun tidak pernah bermimpi, karena ia tidak pernah benar-benar tertidur pulas, sebuah gambaran samaran datang di bawah alam sadarnya. Makin lama gambaran itu nampak jelas.Ia melihat seseorang berdiri di depan sebuah cermin dengan rambut cepak seperti anak laki-laki. Tubuhnya kecil, mungkin saat itu ia masih duduk di sekolah dasar. Faryn tidak bisa memastikannya itu memang dirinya atau kah orang lain."Lava."Sebuah suara dari jarak yang begitu dekat, membuat jantung Faryn berdegup luar biasa kencang. Ada ketakutan yang menyergapnya meski itu hanya sebuah mimpi alam sadar.Suara panggilan itu
Hakam bertekad tidak akan membiarkan Faryn mendekati Linggar barang sedikit pun. Bukan hanya untuk melindungi keluarga kakaknya, melainkan juga ia yang tidak rela harus berbagi istri pada orang lain.Dan juga melindungi rumah tangganya.Mereka sudah resmi menjadi suami istri sekarabg. Tidak ada alasan lagi untuk Faryn memintanya pergi dan menjauhi urusannya. Urusan Faryn adalah urusannya juga.Hanya dengan memikir kalimat seperti itu saja sudah mampu membuat Hakam terseyum penuh kemenangan. Letak tempat kerja yang berdekatan dan tinggal bersama seperti sekarang benar-benar menguntungkan baginya. Bukan begitu?"Kamu kenapa senyum-senyum terus dari tadi?"Pertanyaan Faryn membuyarkan lamunan Hakam. Senyumnya perlahan menciut. "Nggak apa-apa," jawabnya singkat lalu mencomot bakwan goreng yanh dibuat oleh Faryn subuh tadi.Seumur-umur baru sekarang Hakam memakan bakwan olahan rumah dengan dicocol saus kacang. Dulu saat sebelum mengenal Faryn, ia sama sekali tidak pernah memakan makanan se
"Terimakasih, ya, traktirannya," ucqp Faryn tulus.Mereka baru saja menandaskan bubur ayam dengan dua porsi ekstra untuk Hakam yang mengaku masih kelaparan.Saat itu terjadi, Hakam sama sekali tidak merasa perlu menjaga imagenya di depan Faryn. Ia yang biasanya berwibawa, dan mengintimidasi kini terlihat seperti pria biasa saja di mata Faryn.Apalagi tingkahnya yang terlihat gugup saat mata mereka bertemu. Faryn malah merasa sedang bertemu dengan anak puber yang sedang malu-malu."Iya, sama-sama," jawab Hakam sambil setengah menunduk. Matanya menatap lurus pada air yang memantulkan cahaya matahari pagi di hadapan mereka.Karena pujian yang dilontarkan oleh Faryn, pipi Hakam bersemu yang menjalar hingga ke telinga. Bahkan setelah beberapa waktu berlalu, di saat mereka selesai makan, dan kini hanya duduk-duduk menikmati pemandangan danau buat di bawah pohon rimbun, jantung masih saja berdetak cepat seperti tadi.Ia masih salah tingkah saat beberapa kali bertatapan langsung dengan manik
"Faryn, aku lapar lagi," keluh Hakam begitu mereka tiba di rumah.Setelah menanyai masalah bulan madu dan tujuannya, Faryn sedikit merasa risih pada suaminya. Ia pikir yang ada dalam otak Hakam hanya sebatas di atas ranjang. Namun, semua terbantahkan ketika mereka sudah di rumah.Isi kepala lelaki itu hanya makanan.Sejak awal menumpang sampai menjadi seorang suami, Hakam lebih banyak membahas makanan dibanding urusan lain. Padahal lelakinya itu sudah menghabis tiga mangkuk bubur ayam dan beberapa gorengan. Dan sekarang pria ini mengeluh lapar?Yang benar saja!"Lalu?" ujar Faryn sembari mengambil segelas air putih. Perjalanan pulang mereka tidak lagi dengan berlari. Namun menaiki motor dengan memesan ojek online.Mereka sudah terlalu lelah untuk berlari lagi dan juga matahari semakin memanas menjelang siang."Aku ingin makan mi goreng dua bungkus ditambah dengan sayuran dan telur mata sapi di atasnya dan taburan bawang goreng asli bukan bawaan dari bumbunya," kata Hakam sambil mereba
"Aku kira kamu masih single. Ternyata sudah punya tunangan."Hakam yang temgah membaca laporan di ruang kerjanya, mengangkat kepala. Sosok Davina sudah berdiri di ambang pintu sambil melipat kedua tangannya di depan dada.Hakam tersenyum tipis, lalu berkata, "Ya, begitulah." Ia kira setelah menjawab seadanya, pemilik restoran itu akan berlalu meninggalkannya. Rupanya malah Davina masuk dengan langkah anggunnya dan duduk di kursi di depan meja Hakam."Linggar nggak pernah bilang kalau kamu sudah bertunangan dan sebentar lagi akan menikah," ucap Davina sedikit kecewa.Hakam masih tersenyum tipis saat menjawabnya. "Mungkin Linggar kira itu bukan suatu informasi yang penting."Davina menggeleng. Punggungnya bersandar santai di punggung kursi. "Justru itu adalah informasi paling penting untuk aku."Sebelah alis tebal Hakam terangkat. Ia mencoba menerka maksud perkataan Davina. Akhirnya ia memahaminya. Mungkin maksud sang pemilik, jika orang yang dipekerjakannya akan menikah, Davina tidak a
Benarkah itu yang terjadi? Benarkah itu yang selama ini direncanakan oleh pemilik asli dari nama 'Faryn Titis Kemala' ini? Bukankah semua yang dikatakan Bahari semuanya terdengar mengada-ada? Pikirannya dipenuhi berbagai pertanyaan. Lava hanya membutuhkan jawaban 'tidak' untuk menyangkal semua tanda tanya di benaknya. Tapi siapa yang melakukannya? Kepada siapa harus bertanya? Siapa yang yang memberikan jawaban itu? Di tengah berkecamuknya batin dan pikirannya, fisik Lava masih berusaha keras untuk melepaskan diri dari cengkraman Bahari yang kini sudah berhasil mengunci pergerakan tangannya. Tubuh besar pria itu berada tepat di atas tubuh mungilnya. Lava sangat ketakutan saat ini. Untuk beberapa saat, ia berhara Hakam akan mencarinya, lalu menemukannya di sini, dan menyelamatkannya. Tapi akal sehatnya dengan cepat menyangkal itu semua. Semuanya tidak akan mungkin terjadi. Hakam tidak akan pernah mencarinya. Karena pria itu tidak akan pernah kembali kepada dirinya. "Anak dan
Berulang kali Hakam mengembuskan napas. Berusaha melegakan sesak di dadanya. Ia tidak percaya seratus persen dengan apa yang disampaikan oleh kakak iparnya. Tidak. Lebih tepatnya ia enggan percaya. Mana mungkin Faryn berselingkuh dengan Bahari, ayah iparnya? Wanita itu baru mengenal kepala keluarga Jatayu itu saat mereka mulai bekerja. Tidak mungkin dalam waktu sesingkat itu mereka bisa langsung saling tertarik. Tunggu dulu. Kenapa itu tidak mungkin? Bukankah mereka sering bertemu di kantor? Tapi apa mungkin seorang karyawan staf biasa bisa sering berkunjung ke ruangan atasan? Tentu saja tidak. Hakam pernah berada di posisi sebagai atasan, dan ia tahu betul tidak semua karyawan biasa bisa mampir ke ruangan kerjanya. Kalau pun bertemu secara langsung, tentu bukan di ruangannya. Melainkan di ruang rapat. Lalu kapan tepatnya Faryn dan Bahari mulai bermain api di kantor mereka saat kemungkinan intensitas berpapasan begitu kecil? Sudah pasti apa yang disampaikan oleh Linggar me
Paras menatap iba sekaligus gamang pada Hakam. Bagaimana tidak? Ia adalah salah satu orang yang mengenal baik pria itu. Ia tidak ingin menyakitinya. Tapi hatinya tidak bisa berbohong bahwa Paras lebih mencintai Linggar."Jelaskan apa, Paras?" tuntut Hakam.Linggar menatap Paras tajam. Wanita ini, kenapa hanya menjelaskan saja membutuhkan banyak waktu? Akhirnya karena kesabarannya sudah makin terkuras, suami sah Lintang itu mendahului kekasihnya yang baru saja akan bersuara."Kami berpacaran dan sudah memutuskan akan menikah," jelas Linggar langsung ke inti.Hakam terkejut. Otot di tubuhnya terasa kaku. Rasanya jantung di balik tulang rusaknya berusaha melompat keluar. Dan tenggorokannya terasa tersekat bongkahan batu besar, hingga membuatnya sulit bernapa. Seolah seluruh oksigen di dunia sudah habis tak bersisa."A-apa?" tanyanya terbata. Informasi ini terlalu sulit diterima oleh otaknya. Bagaimana mungkin Linggar yang masih berstatus sebagai suami kakaknya, bisa mengatakan tengah me
"Selamat datang, Sayangku." Sapaan yang diucapkan dengan nada yang dibuat seolah menyambut bahagia, menyapa telinga Faryn tatkala ia memasuki sebuah ruangan. Di dalam ruangan itu, hanya ada Bahari yang duduk sendirian di kursi kebesarannya. Mata Faryn dengan cepat memindai isi ruangan. Tidak ada yang berubah. Semua masih sama seperti terakhir kali ia ingat. Namun, hal itu tidak mengurangi sikap waspada wanita itu. Siapa yang tahu kalau Bahari sudah memasang jebakan? "Kenapa wajah kamu cemberut begitu?" tanya Bahari sembari bangkit dari posisinya. Kakinya berjalan pelan menghampiri Faryn yang bergeming dengan tatapan tajam menelisik. Pikirannya dipenuhi dengan banyak kemungkinan yang akan terjadi selanjutnya saat mantan atasannya itu mendekat. Yap, Faryn secara resmi sudah mengundurkan diri dari pekerjaannya dua minggu yang lalu tanpa sepengetahuan Bahari. "Apa uang, properti, dan saham yang saya berikan untuk kamu masih kurang?" lanjut Bahari sarkas. Faryn masih tetap diam mem
Seharusnya Faryn bertemu dengan Bahari pagi ini. Namun, ia tidak bisa melakukannya. Saat dirinya terbangun beberapa waktu lalu, nyeri menghantam kepalanya begitu keras sampai membuatnya kesulitan untuk sekedar mengangkat kepalanya. Setelah menghirup napas dalam-dalam dan melepaskannya perlahan melalui mulut, dia dapat mengendalikan sedikit rasa sakit di kepala. Meski dengan langkah sempoyongan, Faryn berhasil mencapai meja makan dan meneguk setengah gelas air putih yang tersisa dari minumnya semalam. Ia kira, rasa sakitnya bisa berkurang lagi setelahnya, sayangnya tidak. Rasa mual malah muncul. Dia berusaha secepat yang ia bisa untuk melangkah ke kamar mandi sebelum isi perutnya mengotori lantai yang akan menambah pekerjaannya pagi ini. Sesampainya di kamar mandi, tidak ada satu pun sisa makanan yang dicernanya yang keluar. Meski begitu, rasa mualnya masih belum berkurang. Ia memutuskan untuk duduk sebentar di atas closet. Napas terengah, muka basah, dan bibirnya pucat. Ia kem
Hakam sama sekali tidak bisa dan tidak ingin memahami apa yang dijelaskan Faryn. Baginya semua itu tidak lebih dari sekedar alasan yang mengolok-olok dirinya.Dia melakukan banyak hal untuk Faryn, demi istrinya. Sebagai balasannya, wanitanya tetap berselingkuh dengan pria lain. Hakam rela melepas apa yang dia punya sebelumnya, untuk bisa bersama Faryn. Dan inilah hasilnya."Ha ... Hahaha. Sial," umpatnya pelan. Tawanya penuh dengan nada ironi yang terdengar menyesakan.Pukul tiga dini hari. Jika semuanya berjalan seperti biasanya, dia pasti sedang tertidur pulas untuk persiapan pulang beberapa jam lagi. Jika situasinya segawat barusan, saat sang kakak harus segera menjalankan operasi, tentu saja saat ini dia tengah menunggui kakaknya.Siapa sangka, sekarang dia malah berada di bar dengan keadaan setengah sadar akibat minuman keras yang ditenggaknya karena mengetahui istrinya selingkuh dengan kakak iparnya."Sial sial sial!" umpatnya kian geram. Ia kesal pada dirinya, pada Faryn, pada
Faryn mengabaikan panggilan yang masuk ke ponselnya. Dia tidak peduli pada siapa yang mencoba menghubunginya. Tidak terkecuali suaminya sendiri. Setelah kekacauan yang dia buat, tentu pihak-pihak yang mengenalnya akan berebut mencari tahu kebenaran hubungannya dengan Bahari. Dan cepat atau lambat, Hakam juga akan mengetahuinya meski saat itu dia sedang berada di luar kota. Yang dilakukan oleh Faryn, hanya duduk diam menatap kosong pada televisi yang tidak dinyalakan. Wajahnya terpantul dari layarnya yang hitam, menampilkan raut tak terbaca. Ia sendiri juga masih menelaah mengenai perbuatan impulsifnya. Dan dalam dirinya sendiri mulai mengembangkan sebuah pertanyaan. Apakah semua yang ia lakukan ini sebanding dengan apa yang terjadi di masa lalu? Hidupnya hancur, hidupnya menderita. Dan dengan semua yang telah ia lakukan, kenapa dia tidak merasakan kelegaan atau pun ketenangan seperti yang dipikirkannya? Kalau begitu, sebenarnya apa yang ia cari dari semua ini? Semakin jauh ia
Hakam terus menarik napas panjang dan mengembuskannya perlahan selama perjalanan menuju rumah sakit. Dia berusaha menenangkan dirinya sendiri setelah menerima telpon dari Lintang. Jika sesuai jadwal, dia seharusnya baru kembali besok pagi.Tapi, Hakam tidak memiliki pilihan lain. Begitu menyelesaikan acara terakhir dari rangkaian acara seminar yang diikutinya, dia segera bergegas menyusul Lintang.Wanita hamil itu mengatakan jika ia kini berada di rumah sakit dan meminta Hakam untuk menemani. Dia harus segera menjalankan operasi untuk mengeluarkan bayi dalam kandungan karena air ketubannya kurang.Setahu Hakam, perhitungan hari lahir keponakan keduanya itu masih 2 minggu lagi. Ia tidak menyangka jika ternyata sang bayi ingin keluar lebih cepat.Bukan, bukan karena itu dia panik dan gelisah seperti sekarang. Melainkan karena sang kakak mengatakan jika tidak ada seorang pun yang menemaninya saat ini di rumah sakit.Mama sedang tidak enak badan dan sedang akan beristirahat, jadi Lintang
Linggar kesal setengah mati. Setelah semua yang terjadi, tidak ada satu pun rencananya yang berjalan lancar. Rencananya untuk mengorbankan Vina ternyata tidak berjalan semulus yang ia kira.Vina adalah salah satu pion yang dia harapkan akan mengakhiri rencana Faryn yang tidak ia prediksi. Namun, nyatanya bukan wanita selingkuhannya yang berakhir. Malah hidup Vina yang memiliki kisah tragis.Linggar tahu semua perempuan yang menemani sang Papa ketika dinas keluar kota. Dia sudah mengetahui sejak lama bahwa Bahari menjadikan sahabat anak menantunya itu sebagai perempuan simpanan. Dan dia sama seai tidak mempermasalahkan apalagi peduli.Pria itu percaya Vani bisa menjadi senjatanya di kemudian hari. Yang tidak ia ketahui adalah ternyata perempuan itu bisa menjadi senjata yang berbalik menyerangnya. Senjata makan tuan."Argh. Sialan. Dasar pria tua tengik!"Linggar tidak berhenti memaki Bahari. Mulutnya dipenuhi sumpah serapah untuk Faryn dan Papa. Malam ini dia tidak bisa menemui Paras u