"Jer aku tidak apa-apa, jangan khawatirkan aku, bekerjalah dengan tenang. Di sini juga ada Rose yang nanti membantuku," Apa Anna sepenting itu bagi Jeremy sekarang? Kalau iya Anna akan sangat senang. "Memangnya Rose kuat menggendongmu ke dalam kamar mandi?" Pertanyaan Jeremy membuat Anna berfikir, ia tidak menjawab karena apa yang dikatakan Jeremy memang benar. Rose tidak akan bisa menggendongnya. "Sudahlah nanti aku akan membawa sebagian berkas pulang." putusnya. "Kalau ada aap-apa hubungi aku secepatnya." Anna mengangguk, kemudian pria tersebut mendekat lalu mencium puncak kepalanya. "Aku akan pulang secepatnya." "Iya." kata Anna. "Kau tidak ingin melakukan hal yang sama kepada Gerald." Jeremy menatap Gerald, bocah itu masih dalam keadaan tidurnya. Dan tanpa Anna duga, Jeremy mencium puncak kepala Gerald. Ini pertama bagi Jeremy, hatinya cukup berdesir melakukannya. "Jer terima kasih," ucap Anna terharu. "Jangan berterima kasih padaku Ann. Karena memang seharusnya i
"Jer kakiku sudah bisa digerakkan!" seru Anna. Jeremy yang sedang berada di kamar mandi berlari keluar takut Anna kenapa-kenapa. Dan matanya menagkap pergerakan Anna yang berusaha untuk berjalan. "Berhenti Ann!" teriak Jeremy. Anna yang mendengar suara bariton milik Jeremy langsung terdiam seketika. "Kenapa kau keras kepala sekali hah! Kau bisa terluka!" Anna menunduk, ia benar-benar takut. Ya ini memang salahnya yang terlalu memaksa untuk datang ke pesta Gisela. "Jangan coba-coba untuk berjalan lagi tanpa bantuanku atau kau akan ku hukum!" Anna hanya mengangguk. Entah Jeremy akan menghukumnya apa, ia tidak peduli karena dirinya benar-benar takut melihat Jeremy mengamuk. "Tapi kau akan mengijinkanku untuk tetap datang 'kan?" cicit Anna. Jeremy menjambak rambutnya kasar, "Kau masih memikirkan itu An?" hardiknya. "Aku akan meminta mereka mengundurkan pestanya sampai kau sembuh!" "Jangan!" cegah Anna. Bisa-bisa Gisela mengamuk padanya karena kelakuan Jeremy. "Ke
Tubuh Anna menegang saat Jeremy menatap perutnya dalam diam, Anna menurunkan novel yang ia baca sekarang Anna takut Jeremy melakukan hal yang tidak-tidak. Meski Anna sering melihat perut kotak-kotak Jeremy, belum tentu ia boleh melihat perut Anna. Tapi memang Anna akui perut Jeremy sixpack, sangat-sangat sempurna apalagi di umurnya yang matang membuat Jeremy terlihat menggoda. "Ah sial! Apa yang kau pikirkan An?" batin Anna menggeleng-gelengkan kepalanya. "Tidak! Tidak!" sergahnya membuat Jeremy mendongak menatapnya. "Kau memikirkan apa An?" tanya Jeremy sambil memicingkan matanya. Dengan kesal ia menarik kaosnya agar menutupi separuh perutnya, "Apa? Aku tidak memikirkan apa-apa!" bohongnya. "Sudahlah jujur saja kau pasti memikirkan-" "Diamlah Jer! Kau membuatku kesal saja," Jeremy tertawa lalu menarik sebelah tangan Anna laku menciumnya, "Maafkan aku Honey, aku hanya bercanda." Seketika hati Anna berbunga-bunga, kupu-kupu berterbangan di perutnya tetapi sebisa mungki
"Kau memiliki selera yang cukup bagus," puji Jeremy ketika melihat gaun yang dipilih Anna. "Jangan remehkan seleraku Jer!" Jeremy terkikik, "Bahkan kau mengerti dengan tidak memilih gaun dengan model kekurangan bahan." Pasalnya memang Anna tidak suka dengan gaun-gaun potongan rendah yang memamerkan bentuk tubuhnya, "Bukankah kau suka dengan wanita-wanita yang menggunakan pakaian seperti itu?" sindirnya. "Kata siapa?" sungut Jeremy seolah tidak terima dengan perkataan Anna barusan. "Kataku barusan," sahut Anna cepat. "Kau terlalu banyak berburuk sangka kepadaku Ann," "Ya ya ya. Kau memang paling sempurna, Pak!" Anna berjalan meninggalkan Jeremy keluar dari walk in closetnya. Namun pria itu menarik Anna cepat hingga menubruk dada bidangnya. "Dan kau apa tidak tertarik dengan pria dewasa yang sempurna sepertiku Ann?" bisik Jeremy tepat di telingga Anna. Bahkan hembusan nafas Jeremy bisa Anna rasakan, hingga membuat sebagian bulu kudunya merinding. Jarak mereka san
"Daddy juga sangat tampan," polos Gerald. Jeremy mengusap kepala Gerald, "Tentu karena aku Daddymu." Anna tertawa pelan melihat interaksi anak dan bapak itu. Sekarang Gerald mulai mau berbicara dengan Jeremy meski masih ada sedikit rasa takutnya, Anna yakin sebentar lagi Gerald mulai terbiasa dengan Jeremy, pun sebaliknya. "Ya sudah mari kita pergi," ajak Anna. Jeremy mengarahkan pandangannya ke arah Gerald, "Apa kau mau Daddy gendong?" "Apakah boleh Dad?" "Tentu," jawab Jeremy. Gerald mengangguk sambil tersenyum sumringah. Dan Jeremy langsung menggendongnya, tak lupa ia menggandeng tangan kiri Anna dengan tangan kanannya. Rose dan beberapa pelayan yang lain cukup terkejut dengan apa yang mereka lihat Tuannya menggendong Gerald dan menggandeng Anna, itu hal yang sangat luar biasa indah. Setelah bekerja beberapa tahun bersama Jeremy baru kali ini ia melihat Tuannya seperti itu. Anna juga tampak kaget, namun ia juga senang dengan perubahan Jeremy. "Apa sekarang kau
Setelah menghadiri pesta Gisela, Jeremy mengajak Anna jalan-jalan sebentar. Menyusuri kota layaknya pasangan kekasih yang baru menjalin cinta, "Jer lebih baik kita pulang saja." kata Anna karena ia bosan hampir satu jam berada di dalam mobil, itu hanya membuang-buang bensin saja nantinya. "Aku masih ingin menghabiskan malam denganmu Ann," Sedangkan Gerald sudah tidur di pangkuan Anna, sepertinya bocah laki-laki itu kelelahan mengingat tadi di pesta Gisela ia sangat senang bermain dengan ponakan Gisela yang seumuran dengan Gerald. Anna semakin yakin jika Gerald mampu bersosialisasi dengan baik, "Lihatlah Gerald kelelahan." Jeremy melirik Gerald lalu terkekeh, "Rupanya tadi dia sangat senang berada di tempat banyak orang. Kukira dia tidak nyaman dan akan merepotkan." Anna mencubit lengan Jeremy kesal, "Aw!" rintih Jeremy kesakitan. "Jangan pernah mengatakan anakku merepotkan!" "Iya-iya, maafkan aku," Tangan Anna bergerak mengusap kepala Gerald, ia mendekap tubuh mungil t
Anna terdiam, nyawanya belum seratus persen terkumpul, untuk mencari alasan sepagi ini juga butuh waktu yang sangat-sangat lama. Ia hanya bisa memeluk dan mengelus Gerald. "Katanya Gerald ingin adik 'kan?" Itu bukan suara Anna melainkan suara Jeremy yang tiba-tiba ada di belakangnya. Mendengar pertanyaan Jeremy, Gerald mengangguk. "Jadi mulai sekarang Gerald harus terbiasa tidur sendiri," kata Jeremy. Gerald menatap Anna, "Gerald takut Mom." lirihnya. Bocah itu kembali membayangkan kamar gelap yang menyeramkan itu, ia takut jika dikurung di sana lagi Jeremy ikut mensejajarkan tubuhnya dengan tubuh Gerald, "Nanti kamar Gerald di sebelah kamar Mommy dan Daddy, kita renovasi biar bagus." "Gerald ingin tema apa?" tambah Jeremy. Karena Gerald tak kunjung menjawab, Anna tampak berfikir memberikan ide untuknya, "Bagaimana kalau dinosaurus?" tanya Anna. Gerald langsung mengangguk mengangkat kedua ujung sudut bibirnya, "Apa boleh Dad?" "Jelas boleh!" seru Jeremy. Kemudia
"Sepertinya sekarang kau terlihat jauh lebih bahagia Jer," kata Frans yang melihat perubahan di diri Jeremy sekarang. "Benarkah?" Frans mengangguk, "Kau sekarang tidak lagi gila kerja, dan ku perhatikan juga sekarang kau betah di rumah." "Hebat sekali kau bisa memperhatikanku sedetail itu Frans," ujar Jeremy sembari tertawa. "Apa kau sudah mencintainya?" Jeremy tampak berfikir, "Maksudmu kepada Anna?" "Memangnya siapa lagi?" "Aku tidak tau," balas Jeremy. Padahal jelas-jelas ia meminta Anna untuk menyayanginya tapi mengapa ia belum seratus persen yakin dengan perasaannya. Frans menatap Jeremy tidak percaya, "Oh shit! Jangan katakan kau masih belum bisa melupakan Maureen?" Benarkah? Pria itu tampak bimbang sekarang. Bahkan ia sendiri belum mengerti siapa yang ada di hatinya, Jeremy tidak ingin jauh dengan Anna tapi ada setitik di hatinya yang juga masih mengharapkan Maureen datang. "Sudahlah siapkan beberapa berkasku, aku ingin mengerjakannya di rumah saja," putu
"Cih aku saja jijik melihat wajahmu," batin Jeremy ,namun ia tak langsung menangkis wanita itu yang kini menggerayai wajahnya. Jeremy hanya ingin tau seberapa berani ia kepadanya, dan lihat saja apa yang akan Jeremy lakukan. "Oh ya, dengar-dengar kau sudah menikah? Bagaimana dengan istri barumu? Aku tebak kamu tidak bahagia kan bersamanya? Kamu tidak merasa puas dengannya 'kan?" Ia terus mengoceh, sedangkan Jeremy mencoba meredam emosinya sebelum menghempaskan wanita itu dari hadapannya. "Di sini panas, apakah ac-nya rusak? Boleh tidak jika aku membuka kemeja saja, aku sangat gerah Jer," Tanpa rasa malu di hadapan Jermey ia membuka kemejanya hingga menyisahkan bra berwarna merah menyala dengan bawahannya yang masih lengkap. "Nah begini lebih baik." Meski disuguhkan tubuh Maureen, Jeremy sama sekali tidak terangsang. Yang ada di kepalanya hanya bentuk tubuh Anna, bahkan ia terus membandingkan tubuh Maureen dengan body sexy Anna. Maureen semakin berani, sekarang wanita itu d
Jeremy meringis kecil mengingat apa yang Frans katakan tadi. Ia sendiri bingung antara, apakah dirinya benar menyukai Anna atau tidak, kebimbangan itu membuat kepalanya pusing sendiri. "Kau bodoh atau bagaimana sih Jer?" tanya Frans yang tidak percaya bila Jeremy masih bimbang dengan perasaannya. Jeremy menggeleng polos, seperti anak anjing yang baru melihat dunia. Brak! Reflek pria itu menggebrak kuat mejanya, "Sudah kupastikan, bahwa kau bodoh!" "Sialan! Aku datang ke mari memintamu pendapat, aku tidak tau dengan diriku sendiri," "Shit!" Frans memijat pelan keningnya. Heran dengan kebodohan Jeremy, pantas saja ia selalu dipermainkan oleh wanita. "Menurutmu kau bagaimana? Kau merasa aneh tidak dengan sikapmu?" "Entahlah," jawabnya yang mengundang Frans ingin memukul wajahnya. "Oh bagaimana kalau aku memukul kepalamu di dinding agar sedikit lebih mudah mencerna?" "Boleh, asalkan aku dulu yang melemparmu dari lantai dua belas!" "Ya sudah fikir saja sendiri, bagaiman
Tidak segampang itu ternyata menahan diri untuk tidak berbicara dengan Anna, ia akui dirinya mulai ketergantungan oleh sosok Anna. Seperti barang haram, Anna bisa membuat Jeremy candu semudah itu. Ia buru-buru keluar dan pergi ke kamar anaknya, dengan sangat pelan pria itu membuka kamarnya. Tiba-tiba Jeremy terdiam, ia melihat sang istri tidur memeluk Gerald. Sungguh pemandangan yang cukup membuat pria berdarah diringin itu menghangat, sedikit demi sedikit bongkahan es pada hatinya meleleh. Cinta yang Anna berikan sangat lah tulus, wanita itu yang membuat kehidupannya yang semula gelap menjadi terang. Apalagi Gerald, ia terurus dengan sangat baik. Bolehkah jika sekarang Jeremy benar-benar takut kehilangannya? Wanita yang tidak gila dengan harta, wanita yang sederhana dengan penampilannya, wanita yang sangat sopan dengan tutur bahasanya, wanita yang penuh cinta setiap harinya, relakah bila wanita sesempurna itu hilang dari kehidupannya? Jeremy berjalan mendekat lalu mencium k
Anna melihat bibir Jeremy yang mengerucut kesal, "Kau marah?" goda Anna seraya mencolek dagu suaminya. Jeremy melirik sebentar lalu balik membelakangi Anna. Mereka baru saja sampai, tadi tanpa sepengetahuan Anna suaminya itu menjemputnya di sebuah restoran saat bersama Gisela tadi. Setelah mengurus berkas Gerald, Anna dan Gisela memutuskan untuk mampir makan siang di restauran jepang milik teman kuliahnya dulu, di salah satu mall yang kebetulan mereka datangi. Menurut rumor yang beredar saat mereka masih duduk di bangku perkuliahan, pemilik restaurant tersebut yang bernama Tama ini menyukai Anna, tetapi Anna tidak tau itu benar atau tidak. Dan tadi saat Anna berada di restaurant Tama, tiba-tiba Jeremy menyusulnya. Suaminya itu merasa kesal sebab tatapan Tama yang selalu mengawasi Anna. Jeremy melihat secara langsung kala Tama mencuri-curi pandang kepada sang istri. Ia tau itu bukan tatapan biasa, entah Jeremy sedang cemburu atau tidak yang pasti ia tidak suka dengan tatapan
"Kenapa Jer?" sahut Anna, namun ia tak menoleh sedikit pun, fokusnya masih pada kembang api yang tengah bersautan di atas sana. "Oh Anna, aku sedang berbicara kepadamu sekarang. Persetan dengan kembang api itu, aku bisa membelikanmu tiga kali lipat nanti, tapi kali ini lihatlah aku," kata Jeremy merengek. Anna langsung menoleh, menangkup pipi pria dihadapannya. Jangan lupakan tinggi Jeremy yang lebih dari Anna, membuat wanita itu harus menjinjit terlebih dahulu. Membutuhkan effort yang cukup lumayan. "Kenapa sayang?" Kali ini bukan pipi Anna yang memerah, melainkan pipi Jeremy. Kata sayang dari mulut Anna itu adalah sebuah hal keramat yang menjadi candu untuk Jeremy. Mulutnya seakan membisu terbius tatapan Anna yang memabukkan. Tanpa basa-basi ia mengeluarkan sebuah kotak beludru dari saku coatnya. Anna yang awalnya tersenyum manis berubah bingung, ia mengendurkan tangannya yang berada di kedua pipi Jeremy. "Jer ...." cicitnya. Jeremy membuka kotak beludru tersebut lalu m
"Kenapa aku selalu suka melihatmu tersipu seperti ini Ann?" Ah sial! Anna tidak bisa mengontrol hatinya, padahal sejak tadi ia berusaha untuk biasa saja namun Jeremy terus-terus menggombalinya. "Jer sudahlah lebih baik kau makan saja, kau tidak bisa melihat wajahku memerah karena ulahmu hah?" Anna tidak peduli lebih baik ia berbicara jujur saja. "Astaga, kau bisa jujur juga ternyata Ann," ungkap Jeremy. "Sudahlah, makanan di depanku jauh lebih lezat keliatannya," "Baiklah, mari makan Ann," "Tapi ini tidak terlalu banyak Jer?" kata Anna melihat berbagai macam menu tersaji di depannya. Jeremy dengan santai mengambil sushi lalu melahapnya, dan Anna menyadari cara makan Jeremy yang begitu rapi meski menggunakan sumpit. Mungkin seorang pembisnis seperti Jeremy dituntut untuk makan dengan tata cara tertentu karena mereka pasti sering menghadiri rapat-rapat tertentu sehingga dituntut untuk terus elegan. Tidak seperti Anna yang terserah saja bagaimana, asal sopan. "Tidak, aku se
Bukannya takut, Anna malah memberikan sentuhan-sentuhan sayang di pipi Jeremy, merabahnya pelan hingga membuat Jeremy sedikit menegang. "Jangan marah," Sepertinya pria itu masih keukeuh mempertahankan diamnya. Mungkin saja dirinya tergoda kepada Anna, namun lagi-lagi egonya terlalu besar. "Jer ...." panggilnya lirih, ia tidak putus asa saat Jeremy mengabaikannya. "Yakin masih marah?" Jeremy menghembuskan nafasnya kasar, "Jika kau terus seperti ini aku akan kembali membawamu ke kamar!" Mana bisa ia marah kepada Anna jika seperti ini dan ya dia juga tidak ingin marah kepada wanitanya itu. Anna terkekeh, "Ternyata Direktur Utama yang terkenal garang memiliki sisi manja juga." ledeknya. Jeremy menenggelamkan kepalanya di pelukan Anna, ia kesal istrinya itu terus menggodanya, tidak taukah Anna bahwa tubuhnya sangat amat candu bagi Jeremy. Setiap menit Jeremy ingin terus menyentuhnya. Tanpa mereka sadari semua orang yang ada di mansion melihat tingkah Jeremy yang berbeda. Mu
Anna menurut, ia berjalan ke sisi kanan lalu merebahkan tubuhnya di samping Jeremy. Dengan gerak cepat Jeremy langsung memeluknya, menenggelamkan kepalanya di leher Anna. Tangan Anna terulur pada pipi Jeremy, diusapnya pelan hingga membuat pria yang ada didekapannya itu terbuai akan belaian Anna. "Tidurlah aku akan menemanimu di sini," ucap Anna. Tangannya tak berhenti mengusap pipi Jeremy, berharap suaminya tersebut secepatnya terlelap. *** Karena menemani Jeremy, alhasil Anna ikut tertidur juga. Ia mengerjapkan matanya beberapa kali dan ia melihat Jeremy masih memeluknya. Anna mencoba menggerakkan badannya pelan guna melihat jam berapa sekarang. Jam menunjukkan pukul sepuluh, itu artinya hampir empat jam ia tidur. Anna segera mengecek suhu tubuh Jeremy, syukurlah suhu tubuhnya kembali normal. Perlahan ia melepaskan pelukan Jeremy, Anna merasa lapar. "Kau mau ke mana Ann?" Anna merutuki kepekaan Jeremy, padahal ia sudah berusaha sepelan mungkin agar tidak menganggu ti
Sudah menjadi rutinitas Anna bangun terlebih dulu dari suaminya lalu beranjak pergi untuk memasak, namun tidak dengan pagi ini. Anna bangun cukup siang karena kemarin Jeremy mengatakan ingin sarapan dengan roti bakar saja, ia tidak ingin Anna sibuk memasak mengingat Gerald juga sedang menginap di rumah Robert. Anna menyibakkan selimutnya dan hendak turun tetapi sebuah tangan menghalanginya untuk bangkit. Ia merasakan suhu tubuh Jeremy yang sedikit hangat, Anna mengurungkan niatnya lalu memeriksa kondisi Jeremy yang tampak sedang kurang enak badan ternyata. Ia menempelkan tangannya ke dahi Jeremy dan benar suhu tubuh pria tersebut terasa hangat. "Jer kau sakit?" Jeremy menggerang pelan dari tidurnya, "Hari ini kau tidak perlu ke kantor dulu biar aku hubungi Frans sekarang." kata Anna. "Tidak usah Ann aku baik-baik saja," lirih Jeremy yang masih menutup mata. Bagaimana suaminya itu bisa mengatakan baik-baik saja, padahal jelas tubuhnya terasa hangat. Memang si keras kepala i