Atensi Jeremy teralihkan kepada Anna yang baru saja masuk ke dalam kamarnya. Jeremy bisa menebak pasti wanita itu baru saja dari kamar Gerald, menidurkan bocah laki-laki tersebut. Dan sekarang rupanya ia hendak tidur, terlihat dari matanya yang sayu menahan kantuk. "Kau belum tidur juga Jer?" tanya Anna. Jeremy menggeleng, "Masih banyak yang harus aku tanda tangani." Anna berjalan lalu duduk di sebelahnya, menemani Jeremy yang berkutat dengan berkas-berkasnya. "Kalau lelah jangan dipaksa, selesaikan besok saja." Jeremy menggeleng, "Nanggung biar sekalian." "Mau aku buatkan kopi?" "Boleh," Anna langsung bergegas membuatkan kopi di dapur. Jeremy tersenyum, mana bisa ia tidak jatuh cinta dengan wanita seperti Anna. Yang mau mengerti tanpa diminta, rasanya mudah untuk dirinya jatuh cinta dan melupakan Maureen sepenuhnya. Bersama Anna dia bahagia, bahkan rasanya sulit untuk tidak dekat wanita itu. Daya pikatnya selalu membuat Jeremy luluh. Ia ingin memiliki Anna seutuhny
"Aku ingin pergi bersama Gisela nanti siang, boleh aku mengajak Gerald?" tanyanya meminta izin. Jeremy mengangguk, "Boleh. Apa perlu aku yang mengantarkannya?" "Tidak, tidak usah Jer. Aku bertemu dengan Gisela untuk membicarakan perihal sekolah Gerald dua minggu lagi," "Ya sudah kalau begitu, nanti kau hati-hati. Jika ada apa-apa langsung kabarin aku," "Baik Jer," Jeremy mengecup kening Anna kemudian berangkat. Sedangkan Anna kembali masuk ke dalam. Ia hendak memandikan Gerald karena nanti jam sepuluh Anna akan mengajaknya bertemu dengan Gisela. "Sayang ...." Gerald yang baru saja menonton serial kartun menoleh, "Kenapa Mom?" "Mandi yuk, mau nggak ikut Mommy bertemu dengan Tante Gisela?" Gerald mengangguk sambil tersenyum girang, "Mau!" "Kalau begitu ayo mandi!" seru Anna. Gerald langsung bergegas menggandeng tangan Anna menuju kamar Gerald. "Mom, Gerald kapan sekolah?" tanyanya saat Anna membantunya membuka baju. "Dua minggu lagi," "Apa itu masih lama?"
"Sangat boleh Pa," kata Anna. "Tapi ingat harus nurut sama Kakek ya?" nasehatnya pada Gerald yang diangguki oleh bocah tersebut "Iya Mommy," seru Gerald. "Ann, Papa dengar-dengar Jeremy sudah mau berinteraksi dengan Gerald? Anak itu sudah tidak memperlakukan Gerald seperti dulu lagi ya?" Anna mengangguk membenarkan apa yang Robert katakan, "Iya Pa." Ia menarik kedua ujung bibirnya ke atas. "Papa sangat bangga kepadamu Ann, kau yang membuat Jeremy seperti ini sekarang," Anna menggeleng, "Bukan Pa. Jeremy melakukan ini bukan karena Anna, karena kemauannya yang mau berusaha. Anna hanya jembatan untuk mereka berdua." Memang betul-betul wanita berkelas, Robert tidak lagi meragukan Anna meski sedari awal ia yakin wanita itu sangat cocok dengan anaknya. Membuat Jeremy luluh tidak mudah namun Anna berhasil membuat anaknya yang gila kerja kini lebih senang di rumah. Apalagi kasih sayangnya yang hangat membuat Anna mudah dicintai semua orang. Robert harus banyak-banyak berterima
Sudah menjadi rutinitas Anna bangun terlebih dulu dari suaminya lalu beranjak pergi untuk memasak, namun tidak dengan pagi ini. Anna bangun cukup siang karena kemarin Jeremy mengatakan ingin sarapan dengan roti bakar saja, ia tidak ingin Anna sibuk memasak mengingat Gerald juga sedang menginap di rumah Robert. Anna menyibakkan selimutnya dan hendak turun tetapi sebuah tangan menghalanginya untuk bangkit. Ia merasakan suhu tubuh Jeremy yang sedikit hangat, Anna mengurungkan niatnya lalu memeriksa kondisi Jeremy yang tampak sedang kurang enak badan ternyata. Ia menempelkan tangannya ke dahi Jeremy dan benar suhu tubuh pria tersebut terasa hangat. "Jer kau sakit?" Jeremy menggerang pelan dari tidurnya, "Hari ini kau tidak perlu ke kantor dulu biar aku hubungi Frans sekarang." kata Anna. "Tidak usah Ann aku baik-baik saja," lirih Jeremy yang masih menutup mata. Bagaimana suaminya itu bisa mengatakan baik-baik saja, padahal jelas tubuhnya terasa hangat. Memang si keras kepala i
Anna menurut, ia berjalan ke sisi kanan lalu merebahkan tubuhnya di samping Jeremy. Dengan gerak cepat Jeremy langsung memeluknya, menenggelamkan kepalanya di leher Anna. Tangan Anna terulur pada pipi Jeremy, diusapnya pelan hingga membuat pria yang ada didekapannya itu terbuai akan belaian Anna. "Tidurlah aku akan menemanimu di sini," ucap Anna. Tangannya tak berhenti mengusap pipi Jeremy, berharap suaminya tersebut secepatnya terlelap. *** Karena menemani Jeremy, alhasil Anna ikut tertidur juga. Ia mengerjapkan matanya beberapa kali dan ia melihat Jeremy masih memeluknya. Anna mencoba menggerakkan badannya pelan guna melihat jam berapa sekarang. Jam menunjukkan pukul sepuluh, itu artinya hampir empat jam ia tidur. Anna segera mengecek suhu tubuh Jeremy, syukurlah suhu tubuhnya kembali normal. Perlahan ia melepaskan pelukan Jeremy, Anna merasa lapar. "Kau mau ke mana Ann?" Anna merutuki kepekaan Jeremy, padahal ia sudah berusaha sepelan mungkin agar tidak menganggu ti
Bukannya takut, Anna malah memberikan sentuhan-sentuhan sayang di pipi Jeremy, merabahnya pelan hingga membuat Jeremy sedikit menegang. "Jangan marah," Sepertinya pria itu masih keukeuh mempertahankan diamnya. Mungkin saja dirinya tergoda kepada Anna, namun lagi-lagi egonya terlalu besar. "Jer ...." panggilnya lirih, ia tidak putus asa saat Jeremy mengabaikannya. "Yakin masih marah?" Jeremy menghembuskan nafasnya kasar, "Jika kau terus seperti ini aku akan kembali membawamu ke kamar!" Mana bisa ia marah kepada Anna jika seperti ini dan ya dia juga tidak ingin marah kepada wanitanya itu. Anna terkekeh, "Ternyata Direktur Utama yang terkenal garang memiliki sisi manja juga." ledeknya. Jeremy menenggelamkan kepalanya di pelukan Anna, ia kesal istrinya itu terus menggodanya, tidak taukah Anna bahwa tubuhnya sangat amat candu bagi Jeremy. Setiap menit Jeremy ingin terus menyentuhnya. Tanpa mereka sadari semua orang yang ada di mansion melihat tingkah Jeremy yang berbeda. Mu
"Kenapa aku selalu suka melihatmu tersipu seperti ini Ann?" Ah sial! Anna tidak bisa mengontrol hatinya, padahal sejak tadi ia berusaha untuk biasa saja namun Jeremy terus-terus menggombalinya. "Jer sudahlah lebih baik kau makan saja, kau tidak bisa melihat wajahku memerah karena ulahmu hah?" Anna tidak peduli lebih baik ia berbicara jujur saja. "Astaga, kau bisa jujur juga ternyata Ann," ungkap Jeremy. "Sudahlah, makanan di depanku jauh lebih lezat keliatannya," "Baiklah, mari makan Ann," "Tapi ini tidak terlalu banyak Jer?" kata Anna melihat berbagai macam menu tersaji di depannya. Jeremy dengan santai mengambil sushi lalu melahapnya, dan Anna menyadari cara makan Jeremy yang begitu rapi meski menggunakan sumpit. Mungkin seorang pembisnis seperti Jeremy dituntut untuk makan dengan tata cara tertentu karena mereka pasti sering menghadiri rapat-rapat tertentu sehingga dituntut untuk terus elegan. Tidak seperti Anna yang terserah saja bagaimana, asal sopan. "Tidak, aku se
"Kenapa Jer?" sahut Anna, namun ia tak menoleh sedikit pun, fokusnya masih pada kembang api yang tengah bersautan di atas sana. "Oh Anna, aku sedang berbicara kepadamu sekarang. Persetan dengan kembang api itu, aku bisa membelikanmu tiga kali lipat nanti, tapi kali ini lihatlah aku," kata Jeremy merengek. Anna langsung menoleh, menangkup pipi pria dihadapannya. Jangan lupakan tinggi Jeremy yang lebih dari Anna, membuat wanita itu harus menjinjit terlebih dahulu. Membutuhkan effort yang cukup lumayan. "Kenapa sayang?" Kali ini bukan pipi Anna yang memerah, melainkan pipi Jeremy. Kata sayang dari mulut Anna itu adalah sebuah hal keramat yang menjadi candu untuk Jeremy. Mulutnya seakan membisu terbius tatapan Anna yang memabukkan. Tanpa basa-basi ia mengeluarkan sebuah kotak beludru dari saku coatnya. Anna yang awalnya tersenyum manis berubah bingung, ia mengendurkan tangannya yang berada di kedua pipi Jeremy. "Jer ...." cicitnya. Jeremy membuka kotak beludru tersebut lalu m