"Katakan saja sekarang, kau mau apa?" tanya Alan pada Dina. Keduanya saat ini tengah berada di sebuah restoran mewah tempat favorit mereka saat masih menjadi pasangan suami istri. Dina seperti sebelumnya, masih bersikap tenang dan tak tahu malu. "Alan, jangan terlalu buru-buru. Kamu tahu kalo aku benar-benar minta maaf atas apa yang udah aku lakuin kemarin." Dengan mengulurkan tangan di atas meja, Dina berpikir akan dengan sangat mudah menggapai tangan mantan suaminya itu. Tapi nyatanya, hal itu hanya angan belaka.Alan langsung menarik tangannya, tampak jijik ketika wanita yang pernah menjadi bagian dari hidupnya itu bertingkah tidak tahu malu. "Bagaimana kau bisa berpikir bahwa aku akan menerimamu kembali? Sedangkan kesalahan yang sudah kau lakukan sangat berat.""Y-ya, aku tahu. Tapi, Alan, bukankah manusia memang tempatnya salah? Kenapa kamu tidak mau memberiku kesempatan kedua demi memperbaiki hubungan kita?"Alan menatap Dina tajam. "Sepertinya yang sudah aku katakan padamu
"Fel, Feli!" Seketika Felisha tersadar saat mendengar Erik memanggilnya. "Eh, iya. Kenapa?""Aku yang harusnya tanya. Kamu kenapa?"Felisha tampak menunjukkan gerakan santai. Tapi, Erik sudah terlanjur melihat ekspresi-nya yang tidak biasa."Ehm, aku gak kenapa-napa."Namun, jawaban Felisha malah membuat Erik menatapnya dengan rasa ingin tahu. "Kamu tiba-tiba panik loh, Fel.""Erik, aku ke toilet sebentar, yah?"Tak mau terlihat semakin panik seperti yang Erik katakan, Felisha pun memilih untuk menghindar sejenak dengan dalih ingin buang hajat. "Aku antar, yah?" ucap Erik seraya beranjak berdiri. Namun, Felisha langsung menahannya dan menyampaikan penolakan secara halus. "Gak usah, Rik. Aku bisa sendiri. Aku juga cuma sebentar kok."Meski begitu sejatinya Erik tidak setuju dengan penolakan yang Felisha sampaikan hingga Gina yang duduk di belakang mereka, tampak protes dan mengatakan satu hal yang membuat Erik akhirnya kembali duduk. "Yang di belakang gak keliatan, Rik. Lagian,
Tak tahu apa yang kedua anak buah suaminya lakukan di luar mobil, bagi Felisha saat ini mendapatkan hukuman dari Alan adalah hal yang harus ia hadapi. Bahkan, ia sampai lupa jika keberadaannya di parkiran mall karena kedatangannya bersama teman-temannya. "Arh, Kak!"Satu desahan lolos dari mulut Felisha saat Alan mencumbu seluruh tubuhnya. Alan pun tersenyum senang saat mendapati kenyataan jika hukuman kali ini diterima dengan sangat baik oleh sang istri. Meski tidak seseru saat pertama kali ia memberikan hukuman terhadap wanita di depannya itu, tetapi kali ini jauh lebih menyenangkan. Keintiman yang terjadi lebih terasa sebab respon Felisha atas aksinya.Wanita itu sama sekali tak menolak, bahkan terasa membalas dengan sentuhan-sentuhan yang dilakukannya di tubuh sang suami. Hingga satu puncak yang selama ini sudah sering keduanya gapai tercapai, di sana Felisha tampak kepayahan dan memilih bersandar di dada bidang suaminya. Mendapati tubuh istrinya yang polos, Alan pun berinisiati
Felisha dibuat terkejut ketika mobil tidak menuju ke hotel tempat ia dan Alan menginap beberapa hari belakangan. Alvaro justru membawa mereka kembali ke kediaman Tanujaya. "Kita pulang? Udah gak nginep di hotel lagi?" tanya Felisha menatap suaminya yang sejak tadi diam tak bicara. "Kenapa? Apakah kamu tidak suka? Apa menginap di hotel lebih menyenangkan?" Alan malah balik bertanya tanpa menengok sedikit pun ke arah sang istri. Seketika Felisha kembali melihat ke samping di mana gerbang tinggi berwarna putih itu terlewati bersamaan dengan sikap hormat beberapa penjaga rumah saat mobil melewati mereka. "Siapa yang bilang begitu?" tanya Felisha pelan. Tanpa ia sadari Alan sempat menengok kepadanya sebelum kembali melihat lurus ke depan. 'Kenapa ia harus marah? Apakah aku telah mengatakan sesuatu yang salah?' batin Felisha demi melihat perubahan sikap Alan padanya. Saat mobil sudah berhenti di pelataran teras, Felisha memilih untuk langsung turun tanpa perlu menunggu Luna membukakan
Alan tampak keluar dari kamar mandi. Handuk putih yang hanya melilit di pinggangnya, membuat area bagian atasnya ter-ekspos. Terlebih saat tetesan air dari rambutnya yang basah jatuh ke wajah dan bahunya yang bidang, membuat penampilannya semakin sempurna, tampan, dan keren. Pengusaha itu tidak langsung memakai baju. Ia malah memeriksa ponselnya demi mencari sesuatu. "Halo!""Iya, Tuan?""Apakah dia sudah kamu beri tahu?""Sudah, Tuan.""Tapi, kenapa dia masih belum ada di sini?""Maaf, Tuan. Nona tadi bilang katanya masih ada sesuatu yang harus dilakukan."Rupanya Alan berbicara dengan Luna. Anak buahnya yang tadi ia perintahkan untuk memberi tahu Felisha jika malam ini hingga seterusnya, wanita itu akan tidur di kamar utama dengannya. "Ini sudah lebih dari satu jam," ucap Alan sembari melirik ke arah jam dinding yang ada di kamarnya."Kembali kamu beri tahu supaya ia cepat kemari!" lanjut Alan lagi "Baik, Tuan."Panggilan pun terhenti dengan Alan yang memutuskan secara sepihak.
Di dalam kamar mandi beberapa menit setelah Felisha selesai dengan kegiatannya membersihkan diri, ia baru menyadari jika saat ini tidak ada sehelai handuk apalagi baju untuk ia kenakan. 'Ah, bodoh sekali. Kenapa aku bisa sampai lupa. Ini karena Luna tadi yang memaksaku keluar buru-buru,' gumam perempuan itu kesal. Jika ia memakai pakaian hari itu lagi, bukan tidak mungkin Alan akan marah. Lagipula, baju itu sudah lembab. Bayangkan saja, setelah ia diberi hukuman karena pergi menonton, baju yang ia kenakan saat pergi tadi sudah pasti menempel dengan peluh dan keringatnya. Tak tahu lagi bagaimana aromanya. Tak ada cara lain menurutnya. "Sepertinya aku terpaksa harus meminjam baju Kak Alan," katanya kemudian mencoba mengumpulkan keberanian untuk memanggil nama suaminya itu. "Ehem, ehem!" Felisha berdehem. "Kak Alan!"Felisha menunggu beberapa detik respon dari lelaki yang ada di luar kamar mandi. "Ada apa teriak-teriak?" 'Ah, dia mendengar,' batin Felisha tak ayal tersenyum. "Eng
Alan boleh kesal, tapi tidak dengan Felisha begitu mendengar suara ketukan di pintu kamar. Bagaimana tidak, Felisha bisa menebak jika suaminya itu akan kembali menyerangnya seperti waktu di mobil tadi. 'Apakah ia tidak lelah? Aku saja yang wanita udah gak sanggup kalo harus kembali melayaninya,' batin Felisha tatkala Alan meninggalkannya demi mengetahui siapa gerangan orang yang sudah menggagalkan aksinya. Tak lama terdengar suara hardikan Alan yang ditujukan pada seseorang yang sudah berani mengganggunya. "Apa kamu lupa peraturan di rumah ini, Alvaro!"Suara Alan begitu kencang hinga bisa Felisha dengar dari ruangan di mana ia berdiri saat ini. Felisha berusaha mendengar jawaban dari anak buah suaminya itu. Tapi, karena suara Alvaro yang kecil dengan jarak antar ruangan dengan ruangan lain yang cukup jauh, ia pun tak bisa mendengar apa gerangan yang sudah membuat Alvaro berani mengganggu tuannya. "Hah! Apa?"Felisha terdiam saat mendengar respon kaget yang Alan lontarkan. Sek
Felisha diam. Ia seperti menunggu kalimat apalagi yang akan terlontar dari mulut Luna. Namun, hingga keduanya sampai di pelataran sebuah rumah sakit, Luna tak kunjung bercerita. "Apa kamu tidak mau mengubah tuduhanmu tadi, Luna?" kata Felisha setelah mobil berhenti tepat di depan rumah sakit. Luna menengok dengan wajahnya yang datar. "Tuduhan yang mana, Nona?""Tuduhan mengenai kakakku yang kamu bilang bersandiwara. Dan asal kamu tahu, aku tidak percaya hal itu."Ada segaris senyum yang tampak di wajah Luna saat mendengar ucapan Felisha barusan. Ekspresi yang datar tiba-tiba berubah ketika muncul pernyataan mengenai ketidakpercayaan istri tuannya tersebut. "Apa yang sudah keluar dari mulut saya, tidak mungkin saya tarik kembali, Nona. Terlebih jika itu adalah sebuah fakta."Felisha diam dengan tatapan sebal. Bagaimana bisa orang-orang menuduh kakak kandungnya itu seseorang yang buruk hanya karena dengan melihat satu kesalahan saja. "Kak Dina mau mengubah semuanya demi bisa kembali