Felisha diam. Ia seperti menunggu kalimat apalagi yang akan terlontar dari mulut Luna. Namun, hingga keduanya sampai di pelataran sebuah rumah sakit, Luna tak kunjung bercerita. "Apa kamu tidak mau mengubah tuduhanmu tadi, Luna?" kata Felisha setelah mobil berhenti tepat di depan rumah sakit. Luna menengok dengan wajahnya yang datar. "Tuduhan yang mana, Nona?""Tuduhan mengenai kakakku yang kamu bilang bersandiwara. Dan asal kamu tahu, aku tidak percaya hal itu."Ada segaris senyum yang tampak di wajah Luna saat mendengar ucapan Felisha barusan. Ekspresi yang datar tiba-tiba berubah ketika muncul pernyataan mengenai ketidakpercayaan istri tuannya tersebut. "Apa yang sudah keluar dari mulut saya, tidak mungkin saya tarik kembali, Nona. Terlebih jika itu adalah sebuah fakta."Felisha diam dengan tatapan sebal. Bagaimana bisa orang-orang menuduh kakak kandungnya itu seseorang yang buruk hanya karena dengan melihat satu kesalahan saja. "Kak Dina mau mengubah semuanya demi bisa kembali
Sekian waktu menunggu di depan ruang IGD, Felisha masih berharap ada kejelasan mengenai siapa dirinya di keluarga Sumitra. Juga siapakah orang tua dia yang sebenarnya.Namun, kedua sosok manusia yang selama ini ia kenal sebagai dua orang tua yang paling berjasa dalam hidupnya itu, tak kunjung muncul minimal memberi jawaban tentang kecocokan darah sang ibu untuk kakaknya, Dina. 'Mungkin darah ibu sungguh-sungguh bisa membantu Kak Dina,' batin Felisha begitu penuh harap. Akhirnya Felisha memilih pergi, meninggalkan rumah sakit dalam pikiran kosong dan perasaan sedih. Tak ada yang mengharapkan kehadirannya di sana, begitu pikir Felisha. Hingga sang ayah melontarkan satu kalimat sederhana yang membuat satu rahasia terbongkar. Saat Felisha keluar dari area rumah sakit, hujan deras telah mengguyur semesta. Langkah kedua kakinya yang saat itu hanya mengenakan sandal khusus kamar, membuat kakinya basah seketika. Namun, Felisha tak peduli. Malahan ia bersyukur karena dengan turunnya hujan m
Alan tampak syok setelah menyadari bahwa ia baru saja akan menabrak istrinya, Felisha. Sosok perempuan itu tadi tiba-tiba menyeberang setelah lampu merah belum memperbolehkannya melangkah. Alan melepas safety belt-nya cepat. Alvaro yang duduk di sebelahnya juga melakukan hal yang sama setelah tuannya itu keluar dan turun. "Felisha!" teriak Alan setelah ia melihat sosok sang istri tengah terduduk dengan tangan menutup wajah. Terlihat tubuhnya gemetar ketakutan, membuat Alan sontak merangkul tubuh itu meski tak ada respon yang diberikan. Isak tangis terdengar memilukan saat Alan mendekap tubuh Felisha yang sudah basah kuyup. "Kak Alan," ucap Felisha yang langsung tahu meskipun ia belum mengangkat wajahnya dan melihat sosok lelaki yang tiba-tiba memeluknya. "Apa kau sudah gila! Kau mau mati?" seru Alan kesal meski kenyataannya ia khawatir atas kondisi Felisha yang menurutnya menyedihkan. "Maaf," sahut Felisha masih menangis. Alan tak kuasa untuk tidak mendekap lebih erat tubuh ist
Entah perasaan apa yang saat ini tengah Alan rasakan setelah mendengar penuturan yang dokter sekaligus kawannya bernama Sherly katakan beberapa waktu lalu. "Istrimu hamil, Alan. Usia kandungannya mungkin sudah enam minggu. Aku tidak tahu pasti, kamu bisa memeriksanya langsung ke dokter kandungan bila ingin tahu lebih jelas dan pasti."Perkataan sang kawan masih terngiang di telinganya. Jujur saja Alan bahagia, tapi masih ada perasaan lain yang mengganjal di hatinya, dan ia tidak tahu apa. Alan masih melihat wajah damai Felisha, yang saat ini tampak terlihat jauh lebih tenang. Istrinya itu sempat siuman tadi, tapi beberapa menit kemudian kembali tertidur setelah Alan menenangkan istrinya itu bahwa semua baik-baik saja. Meski ia sendiri belum memberi tahu Felisha jika saat ini ada calon buah hati mereka di dalam perutnya. 'Entah mengapa aku merasa khawatir tentang kehamilanmu ini,' gumam Alan yang beberapa waktu kemudian memilih untuk pergi ke luar kamar, membiarkan Felisha istiraha
Suasana pagi hari mulai terasa kala cahaya kamar perlahan mulai disusupi mentari yang mengintip dari balik jendela. Masih ada Alan yang tertidur di atas ranjang tepat di sebelah sang istri, Felisha. Lelaki itu tampak nyenyak dalam tidurnya setelah semalam begadang sampai larut, berbincang dengan Alvaro —anak buahnya. Felisha yang terbangun lebih dulu. Perlahan menggerakkan kedua tangan dan merentangkan ke arah samping. Saat itu ia merasa ada sesuatu yang menghalangi tangannya. Ketika tersadar, ia melihat bahwa bahu Alan adalah sesuatu yang tadi menahannya. Namun, beruntung bagi Felisha karena tidak sampai membangunkan suaminya itu. Lelaki yang sebelumnya adalah kakak iparnya itu, hanya terlihat sedikit menggerakkan kepala sebelum kemudian kembali mendengkur pelan. 'Sepertinya Kakak lelah sekali,' gumam Felisha yang terlihat memiringkan tubuhnya demi melihat wajah Alan yang tenang. 'Apa yang terjadi semalam sampai Kakak telat bangun seperti sekarang?' tanya Felisha dalam hati semba
Sekian detik Alan terdiam. Pikirannya kosong ketika bibirnya merasakan sentuhan lembut dari bibir Felisha. Tak ada sambutan meski kecupan itu sangatlah menggoda imannya. Felisha sudah menjauhkan wajahnya ketika tak ada respon dari sang suami. Meski kecewa, tapi setidaknya ia bisa menghentikan perdebatan atas permasalahan antara ia dan keluarganya. Alan menatap wajah istrinya yang sembab oleh air mata. Tampak kemudian menunduk karena ia yang terus memandangnya. "Apa yang kamu mau sekarang setelah tahu statusmu di keluarga Herman Sumitra?" tanya Alan kemudian. Felisha mengangkat wajahnya. Ia tidak langsung menjawab alih-alih seperti orang bingung. Alan tahu apa yang mengganjal di hati istrinya saat ini. Reaksi kedua tangannya yang kemudian menggenggam jari jemari sang istri, membuat perempuan itu sedikit terkejut. "Katakan saja. Aku akan melakukannya untukmu," ucap Alan lagi. Ada keengganan yang tampak di wajah Felisha. Ia sendiri seperti ragu atas keinginan yang tiba-tiba hadir.
Felisha dibuat heran ketika Alan membawanya ke dokter spesialis kandungan, dan bukan dokter umum atau dokter spesialis lainnya. Seorang wanita dewasa terlihat tersenyum manis menatapnya dan sang suami. "Jadi, sudah berapa hari Ibu Felisha terlambat datang bulan?" tanya wanita itu to the point, yang semakin membuat Felisha melongo, tak mengerti. "T-terlambat datang bulan, Dok?""Iya." Dokter wanita dengan nama Meta yang menempel pada jas kebanggaannya mengangguk, mengiyakan pertanyaan Felisha. Seketika Felisha menoleh pada Alan. Laki-laki itu tampak diam dengan ekspresi dingin. Sungguh aneh menurut perempuan itu. "Ehm, s-saya enggak tahu pasti, Dok, karena selama ini saya jarang memperhatikan siklus haid saya." Felisha mencoba berkata jujur. Pada intinya ia bingung sebab ajakan Alan yang harus memeriksa kondisi sakitnya ke dokter Obgyn. Sekali lagi Felisha memandang Alan. Tapi, sampai detik ini lelaki itu masih belum menjelaskan akan maksud keberadaan mereka di ruangan tersebut.
Di sepanjang perjalanan pulang dari rumah sakit, tak ada sepatah kata pun yang terucap dari mulut Alan atau pun Felisha. Keduanya sama-sama diam, hanya suara mesin mobil yang biarpun halus masih terdengar di telinga semua orang yang ada di dalam mobil, termasuk Luna yang hari itu mendapat tugas mengantar pasangan suami istri tersebut menemui dokter. Alan tidak pergi ke kantor karena lebih mementingkan kondisi kesehatan Felisha. Sebab itulah Alvaro harus meng-handle beberapa pekerjaan yang sejatinya Alan kerjakan. "Kau marah atas berita kehamilan ini?" Pada akhirnya Alan tak tahan untuk terus diam. Ia seperti ingin tahu apa yang istrinya rasakan setelah tahu jika saat ini ada calon bayi mereka di dalam rahimnya. Perlahan Felisha menoleh. Sejak tadi ia memang hanya menatap ke luar jendela meski tidak ada hal menarik apapun yang ia lihat selain tiang-tiang lampu jalan atau gedung-gedung bertingkat di sepanjang mobil berjalan. "Apa Kak Alan enggak marah?"Alan mengernyitkan kedua ali
"Katakan, apa ia sudah berhasil melakukannya?"Kata 'melakukan' yang Alan maksud sangat bisa Felisha pahami dengan jelas. Suaminya pasti berpikir bahwa Gani telah berhasil melecehkannya karena kondisi Felisha saat itu yang hampir tak berbusana. "Menurut Kak Alan?" sahut Felisha dingin. "Jangan menantangku, Felisha. Jawab saja pertanyaanku karena cuma kamu satu-satunya yang ada di sana.""Kenapa tidak Kaka tanyakan saja pada lelaki brengsek itu. Berharap saja ia berkata jujur.""Andai ia masih hidup pun aku tak sudi bertanya padanya."Sontak Felisha terkejut. Jadi, benar anggapannya jika suara tembakan itu tertuju pada Gani. "Kenapa? Kamu tidak rela lelaki itu mati?""Apa sebenarnya yang Kak Alan harapkan dari jawabanku?""Aku hanya ingin tahu sejauh apa dia melakukannya padamu.""Lalu, setelah tahu Kaka mau apa?" Felisha menatap Alan marah. Lelaki itu berjalan mendekat, lalu berdiri di sisi ranjang. Tampak tatapannya yang begitu dingin dan penuh amarah. "Kaka mau menceraikan aku,
Gani tertawa mendengar pertanyaan yang Felisha ajukan. Menurutnya Felisha tak perlu tahu apa yang terjadi atas hubungannya dengan Dina, kakak sepupunya itu. "Dina bosan. Pengusaha itu terlalu monoton. Jadi, ia memutuskan untuk pergi sejenak untuk bersenang-senang.""Monoton? Apa maksudmu?" tanya Felisha tak mengerti. Tawa Gani semakin kencang seolah Felisha telah melakukan sesuatu yang lucu di depannya. "Apalagi, Feli? Menurutmu apa yang monoton kalau bukan urusan ranjang?" sahut Gani tertawa. "Seks," lanjutnya berkata pelan. Seketika Felisha paham. Sejenak ia membayangkan apa yang Gani katakan. 'Monoton? Apakah Kak Dina seseorang yang hyper? Bagaimana bisa ia menilai kalau Kak Alan seorang yang monoton?' benak Felisha bertanya. Sejauh yang Felisha rasakan selama melayani Alan, lelaki itu sama sekali tidak monoton. Alan sangat aktif dan penuh gaya. Namun, entahlah. Mungkin bagi seorang Felisha yang selama ini tak pernah melakukan hubungan intim dengan orang lain kecuali dengan
Saat ini hanya tinggal Felisha dan Gani saja di dalam ruangan. Dina sudah pergi bersama orang-orang bayarannya sebab tak ingin melihat aksi yang Gani lakukan terhadap Felisha. "Tak ingin melihat wanita ini mati tersiksa?" tanya Gani sesaat sebelum Dina pergi meninggalkannya. "Kau gila kalau berpikir aku mau melihat kalian bersenang-senang," balas Dina waktu itu. Yang kemudian mendapat respon tawa mengerikan dari mulut Gani. Sekarang giliran Felisha yang ketakutan karena membayangkan hal apa yang hendak lelaki itu lakukan kepadanya. 'Sampai membuat calon bayi di dalam kandunganku mati, itu berarti ada dua kemungkinan. Tapi, apakah ia akan setega itu padaku?' batin Felisha demi membayangkan hal mengerikan tentang kemungkinan buruk yang akan terjadi. "Kamu tahu, aku serius ketika mengatakan bahwa wajahmu sangat mempesona. Jadi, aura wanita yang sedang hamil memang tak bisa dipungkiri begitu menggoda." Perkataan Gani tentang Felisha yang sempat membuat Dina cemburu, kembali lelaki it
Felisha merasakan suasana yang dingin dan lembab. Ia tak tahu ada di mana sekarang. Karena selain kedua matanya yang tertutup, suasana hening di tempat tersebut semakin membuat keberadaannya tak bisa dibayangkan. Wanita itu hanya ingat mobil yang Pak Zaky kendarai dihadang oleh rombongan mobil lain ketika ia sudah hampir sampai rumah. Beberapa orang berpakaian serba hitam, seperti pakaian para anak buah Alan, turun dari dalam mobil tersebut lalu menghampiri dan menarik paksa dirinya keluar. Felisha tak diam saja, termasuk Luna dan dua pengawal yang Alan tugaskan untuk menjaganya. Mereka melawan sampai akhirnya terjatuh dan tak berdaya sebab jumlah yang tidak sebanding. Bahkan, Felisha harus pingsan ketika salah seorang dari mereka memukul tengkuknya dengan kencang. Setelah itu ia tak lagi ingat apa yang terjadi. Berapa lama ia tak sadarkan diri hingga kemudian terbangun di sebuah tempat yang saat ini ia rasakan terasa mencekam. Bagian yang terlewati tak ada dalam memorinya. Lama Fe
Alan memutuskan untuk segera menyusul Felisha yang sudah pulang lebih dulu setelah tak ada hal apapun yang dilakukan oleh mereka berdua di kantor selain bertengkar. Alan yang baru saja mendapat pencerahan atas kelalaiannya terhadap sang istri, kini menyesali apa yang sudah terjadi. Alvaro, lelaki yang mendadak menjadi seorang penasihat perkawinan, rela menghabiskan waktunya di kantor setelah sebelumnya habis dimarahi oleh sang tuan. Dianggap tak becus memberi nasihat serta saran, yang nyatanya justru Alan sendiri yang salah menanggapi saran tersebut. "Aku akan pulang dengan pengawal. Kamu selesaikan saja laporan kegagalan proyek tahun lalu, lalu kirimkan hasilnya ke email-ku. Aku harus meminta maaf pada istriku karena kebodohan yang sudah aku buat."Alvaro senang mendengarnya. Itulah mengapa ia dengan penuh kerelaan lembur hari itu sebab tugas yang tak main-main Alan berikan. 'Semoga saja Nona Feli mau memaafkan Anda, Tuan. Sebab setahuku, wanita hamil akan sulit dibujuk apalagi un
Sekian menit berjalan masih dengan diamnya Alan sebab aksi yang istrinya lakukan. Ciuman yang Felisha lakukan kali ini, entah mengapa membuatnya tidak terbuai. Ia hanya kaget karena istrinya bisa melakukan hal tersebut. Tak jua mendapatkan respon dari Alan, Felisha akhirnya melepaskan ciumannya. Ia menghentikan aksinya karena merasa jika lelaki itu tidak menyukainya. Alan melihat Felisha menunduk. Sedangkan Felisha melakukan hal itu karena tatapan mata Alan yang tajam seolah tengah menunjukkan suasana hatinya saat ini. "Maafkan aku." Felisha merendahkan dirinya dengan meminta maaf terlebih dahulu. Meski hatinya sendiri masih merasa tak rela karena keinginannya tidak dituruti. "Apakah kamu menyadari kesalahanmu?" tanya Alan dengan suara pelan dan berat. "Entah kesalahan mana yang Kaka maksud, tapi aku merasa jika aku harus meminta maaf.""Tidak tahu kesalahanmu, tapi kamu meminta maaf? Apakah itu bukan tindakan bodoh namanya?"Sejenak Felisha memberanikan diri untuk membalas tatap
Lima belas menit sudah Alan menunggu Felisha datang. Menurut kabar yang didapat, wanita itu hampir tak mau turun ketika mobil sudah berhenti di pelataran gedung kantor. "Anda tahu, Nona, saya dan semua pengawal akan mendapat hukuman jika Anda tak mau turun dan menemui tuan di atas." Untuk kali ini Luna terpaksa mengancam. Bukan omong kosong jika Felisha benar-benar tak mau keluar dan menemui sang tuan, maka ia dan semua pengawal yang mendapat penugasan hari itu, bisa dipastikan dipecat dari pekerjaan mereka. Felisha menatap Luna yang terlihat berusaha merayu. Namun, entah apa yang terjadi dengan dirinya, Felisha seperti kukuh dengan pendiriannya. "Aku cuma mau pulang, Luna. Aku lelah. Sejak pagi aku keluar rumah. Kalau aku turun dan menemui Kak Alan, entah sampai jam berapa aku baru bisa pulang dan istirahat." Felisha mencoba memberikan alasan atas keengganannya turun menemui sang suami. "Kalau Anda lelah, kenapa tadi Anda berpikir untuk pergi dengan kawan Anda? Tuan sudah tahu i
Felisha benar-benar merajuk. Setelah Gina mengajaknya pulang, ia justru mengiyakan ajakan Erik yang tiba-tiba datang menyusul. "Fel, serius?" tanya Gina yang sudah berdiri bersama Zaky, pacar barunya. "Iya. Udah lama juga aku enggak pergi ke pantai."Rupanya Erik mengajak Felisha untuk jalan-jalan ke pantai. "Ini masih panas loh!" seru Gina yang sedikit kurang setuju dengan tujuan Erik mengajak Felisha pergi."Sampe sana juga udah sore, pasti cuaca juga udah enggak panas kok, Gin!" Felisha mencoba menjelaskan supaya Gina tidak perlu mencemaskannya. "Rik, enggak bisa cari tujuan lain?" Kali ini Gina memilih berbicara dengan Erik. Lelaki itu hanya tersenyum seolah kekhawatiran Gina terlalu berlebihan. "Pantai pinggir kota, Gin. Enggak jauh. Lagian tempatnya juga adem. Enggak usah khawatir Felisha bakal kepanasan. Felisha-nya juga mau kok!" Erik tertawa menatap Gina. "Ya, ya, aku tahu. Aku cuma khawatir aja kalo Felisha sampai sakit lagi.""Loh! Memang kapan kamu sakit, Fel?" Erik
"Anda main terlalu terburu-buru. Padahal saya belum selesai mengatakan tujuan saya datang kemari," ucap Gani dengan wajah yang sudah tak lagi seperti di awal. Beberapa luka memar berwarna keunguan muncul di sekitar wajah, seperti di area sudut bibir dan bawah mata. Alan yang sudah bisa dihentikan aksinya sebab emosi yang hadir karena ucapan lelaki di depannya itu, kini tampak terdiam di kursi kebesarannya bersama Alvaro. "Saya hanya ingin menawarkan sesuatu yang mungkin menguntungkan bagi perusahaan Anda.""Orang sepertimu mana pernah bisa dipercaya.""Tapi, orang seperti saya akan mencari apapun yang bisa menguntungkan. Termasuk bekerja sama dengan lawannya."Tawa mengejek masih bisa Gani lakukan meski tampangnya sudah 'hancur' sebab pukulan Alan. Sikap angkuh yang masih bisa ia tunjukkan demi membuat lawan bicaranya terpancing tak mampu membuat Alan kembali melancarkan aksinya. "Tak perlu kau katakan, aku tak akan mau bekerja sama.""Sungguh?""Aku tak perlu meyakinkan seseorang