Entah perasaan apa yang saat ini tengah Alan rasakan setelah mendengar penuturan yang dokter sekaligus kawannya bernama Sherly katakan beberapa waktu lalu. "Istrimu hamil, Alan. Usia kandungannya mungkin sudah enam minggu. Aku tidak tahu pasti, kamu bisa memeriksanya langsung ke dokter kandungan bila ingin tahu lebih jelas dan pasti."Perkataan sang kawan masih terngiang di telinganya. Jujur saja Alan bahagia, tapi masih ada perasaan lain yang mengganjal di hatinya, dan ia tidak tahu apa. Alan masih melihat wajah damai Felisha, yang saat ini tampak terlihat jauh lebih tenang. Istrinya itu sempat siuman tadi, tapi beberapa menit kemudian kembali tertidur setelah Alan menenangkan istrinya itu bahwa semua baik-baik saja. Meski ia sendiri belum memberi tahu Felisha jika saat ini ada calon buah hati mereka di dalam perutnya. 'Entah mengapa aku merasa khawatir tentang kehamilanmu ini,' gumam Alan yang beberapa waktu kemudian memilih untuk pergi ke luar kamar, membiarkan Felisha istiraha
Suasana pagi hari mulai terasa kala cahaya kamar perlahan mulai disusupi mentari yang mengintip dari balik jendela. Masih ada Alan yang tertidur di atas ranjang tepat di sebelah sang istri, Felisha. Lelaki itu tampak nyenyak dalam tidurnya setelah semalam begadang sampai larut, berbincang dengan Alvaro —anak buahnya. Felisha yang terbangun lebih dulu. Perlahan menggerakkan kedua tangan dan merentangkan ke arah samping. Saat itu ia merasa ada sesuatu yang menghalangi tangannya. Ketika tersadar, ia melihat bahwa bahu Alan adalah sesuatu yang tadi menahannya. Namun, beruntung bagi Felisha karena tidak sampai membangunkan suaminya itu. Lelaki yang sebelumnya adalah kakak iparnya itu, hanya terlihat sedikit menggerakkan kepala sebelum kemudian kembali mendengkur pelan. 'Sepertinya Kakak lelah sekali,' gumam Felisha yang terlihat memiringkan tubuhnya demi melihat wajah Alan yang tenang. 'Apa yang terjadi semalam sampai Kakak telat bangun seperti sekarang?' tanya Felisha dalam hati semba
Sekian detik Alan terdiam. Pikirannya kosong ketika bibirnya merasakan sentuhan lembut dari bibir Felisha. Tak ada sambutan meski kecupan itu sangatlah menggoda imannya. Felisha sudah menjauhkan wajahnya ketika tak ada respon dari sang suami. Meski kecewa, tapi setidaknya ia bisa menghentikan perdebatan atas permasalahan antara ia dan keluarganya. Alan menatap wajah istrinya yang sembab oleh air mata. Tampak kemudian menunduk karena ia yang terus memandangnya. "Apa yang kamu mau sekarang setelah tahu statusmu di keluarga Herman Sumitra?" tanya Alan kemudian. Felisha mengangkat wajahnya. Ia tidak langsung menjawab alih-alih seperti orang bingung. Alan tahu apa yang mengganjal di hati istrinya saat ini. Reaksi kedua tangannya yang kemudian menggenggam jari jemari sang istri, membuat perempuan itu sedikit terkejut. "Katakan saja. Aku akan melakukannya untukmu," ucap Alan lagi. Ada keengganan yang tampak di wajah Felisha. Ia sendiri seperti ragu atas keinginan yang tiba-tiba hadir.
Felisha dibuat heran ketika Alan membawanya ke dokter spesialis kandungan, dan bukan dokter umum atau dokter spesialis lainnya. Seorang wanita dewasa terlihat tersenyum manis menatapnya dan sang suami. "Jadi, sudah berapa hari Ibu Felisha terlambat datang bulan?" tanya wanita itu to the point, yang semakin membuat Felisha melongo, tak mengerti. "T-terlambat datang bulan, Dok?""Iya." Dokter wanita dengan nama Meta yang menempel pada jas kebanggaannya mengangguk, mengiyakan pertanyaan Felisha. Seketika Felisha menoleh pada Alan. Laki-laki itu tampak diam dengan ekspresi dingin. Sungguh aneh menurut perempuan itu. "Ehm, s-saya enggak tahu pasti, Dok, karena selama ini saya jarang memperhatikan siklus haid saya." Felisha mencoba berkata jujur. Pada intinya ia bingung sebab ajakan Alan yang harus memeriksa kondisi sakitnya ke dokter Obgyn. Sekali lagi Felisha memandang Alan. Tapi, sampai detik ini lelaki itu masih belum menjelaskan akan maksud keberadaan mereka di ruangan tersebut.
Di sepanjang perjalanan pulang dari rumah sakit, tak ada sepatah kata pun yang terucap dari mulut Alan atau pun Felisha. Keduanya sama-sama diam, hanya suara mesin mobil yang biarpun halus masih terdengar di telinga semua orang yang ada di dalam mobil, termasuk Luna yang hari itu mendapat tugas mengantar pasangan suami istri tersebut menemui dokter. Alan tidak pergi ke kantor karena lebih mementingkan kondisi kesehatan Felisha. Sebab itulah Alvaro harus meng-handle beberapa pekerjaan yang sejatinya Alan kerjakan. "Kau marah atas berita kehamilan ini?" Pada akhirnya Alan tak tahan untuk terus diam. Ia seperti ingin tahu apa yang istrinya rasakan setelah tahu jika saat ini ada calon bayi mereka di dalam rahimnya. Perlahan Felisha menoleh. Sejak tadi ia memang hanya menatap ke luar jendela meski tidak ada hal menarik apapun yang ia lihat selain tiang-tiang lampu jalan atau gedung-gedung bertingkat di sepanjang mobil berjalan. "Apa Kak Alan enggak marah?"Alan mengernyitkan kedua ali
Felisha kembali ke kamarnya setelah ia sampai rumah. Hal itu langsung membuat Alan kesal sebab istrinya itu tidak mengatakan apapun akan tujuannya itu. "Kamu mau pergi ke mana?" tanya Alan ketika Felisha melewati kamar utama. Perempuan itu berhenti tepat di depan kamarnya sendiri. Ia berbalik sebelum menarik handle pintu kamar. "Ke kamarku." Felisha menjawab santai. "Ke kamarmu? Kenapa?" tanya Alan seraya berjalan mendekat. "Kenapa? Apa harus ada alasan kenapa aku masuk ke kamarku?" Felisha tampaknya tidak peka mengenai maksud sang suami. Alan semakin menatap Felisha. Jarak keduanya hanya tersisa sekian senti saja. Bahkan, hidung mancung Alan hampir menempel ke hidung istrinya. Hal itu membuat perempuan tersebut kikuk. "Kamu tanya kenapa harus ada alasan?"Felisha diam tidak menyahut. "Apa kamu lupa kalau sejak beberapa hari yang lalu, kamu harus tidur di kamar utama bersamaku!"Nyali Felisha perlahan menciut ketika napas yang keluar dari mulut Alan terasa di hidungnya. "K-K
Felisha tampaknya tidak bisa menyembunyikan tubuhnya yang lelah. Nyatanya saat Alan kembali, perempuan itu sudah tertidur lelap dengan bantal milik sang suami di dalam pelukannya. Alan tersenyum demi melihat pemandangan di depannya sekarang. Berdiri di sisi ranjang dengan pandangan yang terus mengarah ke wajah Felisha yang terlihat damai dan tenang. Perlahan kemudian Alan mendekat, duduk di sisi ranjang di mana Felisha tertidur. Inginnya ia mengambil bantal yang ada di atas perut Felisha, tapi ia berpikir jika hal tersebut pasti akan membuat tidur istrinya terganggu. 'Apa yang terjadi sampai kamu mengambil bantal milikku seperti ini?' gumam Alan sembari bibir yang terus tersenyum. Menurut lelaki itu lucu. Ia sama sekali tidak membayangkan ada sesuatu yang aneh atau janggal sehingga membuat sang istri mengambil hak miliknya. 'Apa kamu rindu? Baru aku tinggal sebentar, dan kamu langsung merasa kesepian?' batin Alan tiba-tiba tertawa. Sungguh pemikiran asal tanpa alasan jelas. Seja
Alan memilih untuk tidak peduli sekarang. Melihat kejanggalan yang tampak pada diri istrinya, tidak serta merta membuat lelaki itu curiga atau ingin tahu."Apa kamu lapar? Aku sudah meminta Bu Rumi menyiapkan makan siang untuk kita." Alan mencoba mengabaikan. Baru selesai kata terakhir keluar dari mulut Alan, tiba-tiba terdengar suara kelaparan yang berasal dari perut Felisha. Seketika saja Alan melihat ke arah di mana tangan istrinya berada di sana. "Tidak perlu kamu menjawab, aku langsung tahu jawabannya." Alan berkata santai. Felisha hanya mampu tersenyum kikuk. Tiba-tiba ia merasa kesal karena tubuhnya yang mendadak tidak bisa diajak kompromi di situasi 'genting' seperti ini. 'Tiba-tiba gerah, tiba-tiba lapar. Apa maunya tubuhku ini?' batin Felisha kesal. "Kamu mau kita makan di sini atau di meja makan?" tanya Alan lagi sebelum beranjak bangun. "Di bawah saja.""Apa kamu tidak lelah?""Lelah?" Felisha bertanya seperti orang yang bingung. Alan pun mengangguk, merespon. "Aku