Felisha kembali ke kamarnya setelah ia sampai rumah. Hal itu langsung membuat Alan kesal sebab istrinya itu tidak mengatakan apapun akan tujuannya itu. "Kamu mau pergi ke mana?" tanya Alan ketika Felisha melewati kamar utama. Perempuan itu berhenti tepat di depan kamarnya sendiri. Ia berbalik sebelum menarik handle pintu kamar. "Ke kamarku." Felisha menjawab santai. "Ke kamarmu? Kenapa?" tanya Alan seraya berjalan mendekat. "Kenapa? Apa harus ada alasan kenapa aku masuk ke kamarku?" Felisha tampaknya tidak peka mengenai maksud sang suami. Alan semakin menatap Felisha. Jarak keduanya hanya tersisa sekian senti saja. Bahkan, hidung mancung Alan hampir menempel ke hidung istrinya. Hal itu membuat perempuan tersebut kikuk. "Kamu tanya kenapa harus ada alasan?"Felisha diam tidak menyahut. "Apa kamu lupa kalau sejak beberapa hari yang lalu, kamu harus tidur di kamar utama bersamaku!"Nyali Felisha perlahan menciut ketika napas yang keluar dari mulut Alan terasa di hidungnya. "K-K
Felisha tampaknya tidak bisa menyembunyikan tubuhnya yang lelah. Nyatanya saat Alan kembali, perempuan itu sudah tertidur lelap dengan bantal milik sang suami di dalam pelukannya. Alan tersenyum demi melihat pemandangan di depannya sekarang. Berdiri di sisi ranjang dengan pandangan yang terus mengarah ke wajah Felisha yang terlihat damai dan tenang. Perlahan kemudian Alan mendekat, duduk di sisi ranjang di mana Felisha tertidur. Inginnya ia mengambil bantal yang ada di atas perut Felisha, tapi ia berpikir jika hal tersebut pasti akan membuat tidur istrinya terganggu. 'Apa yang terjadi sampai kamu mengambil bantal milikku seperti ini?' gumam Alan sembari bibir yang terus tersenyum. Menurut lelaki itu lucu. Ia sama sekali tidak membayangkan ada sesuatu yang aneh atau janggal sehingga membuat sang istri mengambil hak miliknya. 'Apa kamu rindu? Baru aku tinggal sebentar, dan kamu langsung merasa kesepian?' batin Alan tiba-tiba tertawa. Sungguh pemikiran asal tanpa alasan jelas. Seja
Alan memilih untuk tidak peduli sekarang. Melihat kejanggalan yang tampak pada diri istrinya, tidak serta merta membuat lelaki itu curiga atau ingin tahu."Apa kamu lapar? Aku sudah meminta Bu Rumi menyiapkan makan siang untuk kita." Alan mencoba mengabaikan. Baru selesai kata terakhir keluar dari mulut Alan, tiba-tiba terdengar suara kelaparan yang berasal dari perut Felisha. Seketika saja Alan melihat ke arah di mana tangan istrinya berada di sana. "Tidak perlu kamu menjawab, aku langsung tahu jawabannya." Alan berkata santai. Felisha hanya mampu tersenyum kikuk. Tiba-tiba ia merasa kesal karena tubuhnya yang mendadak tidak bisa diajak kompromi di situasi 'genting' seperti ini. 'Tiba-tiba gerah, tiba-tiba lapar. Apa maunya tubuhku ini?' batin Felisha kesal. "Kamu mau kita makan di sini atau di meja makan?" tanya Alan lagi sebelum beranjak bangun. "Di bawah saja.""Apa kamu tidak lelah?""Lelah?" Felisha bertanya seperti orang yang bingung. Alan pun mengangguk, merespon. "Aku
Hari itu Alan benar-benar tidak pergi ke mana-mana. Seharian penuh ia menemani istrinya di rumah. Hanya Alvaro yang datang untuk menyampaikan laporan mengenai pekerjaannya di kantor. Jam lima sore, lelaki itu datang. Bersama Luna, keduanya langsung menemui Alan yang sudah menunggu di ruang kerja. "Apa Non Felisha tidak menerima panggilan hari ini?" Tiba-tiba Luna bertanya setelah duduk di depan sang tuan. "Apa maksud kamu? Apa kamu mengetahui satu gelagat aneh?" Alan menatap curiga. "Tidak pasti, Tuan. Tapi, sepertinya tadi saya melihat lelaki muda itu di toko kue tempat langganan Non Feli.""Apa korelasinya dengan panggilan istriku?""Terlihat ia menghubungi seseorang, saya pikir seorang perempuan. Dari obrolan yang saya dengar sepertinya ada ajakan mengunjungi satu tempat wisata." Luna mencoba menjelaskan apa yang ia tahu. Alan terlihat mulai tak nyaman. Meski awalnya ragu, tapi sekarang ia seperti mencurigai sesuatu. "Aku akan mengeceknya nanti," ujar Alan akhirnya. "Tapi, se
Alan muncul setelah Felisha selesai berbicara dengan seseorang di telepon. Ekspresi lelaki itu tampak masam ketika muncul di hadapan istrinya. "Sudah selesai, Kak?" tanya Felisha yang mencoba bersikap biasa meski ia menyadari perubahan muka Alan. "Hem." Alan menjawab singkat dengan deheman. Lelaki itu kemudian pergi ke kamar mandi tanpa menatap istrinya sama sekali. 'Ada apa dengannya? Apakah masalah kantor yang katanya mau dibicarakan itu benar-benar mengkhawatirkan?' batin Felisha mencoba bersikap tenang. 'Atau apa Gani kembali berulah setelah membawa kabur Kak Dina?' tebak Felisha kemudian. Ia teringat dengan cerita Alan tentang sosok lelaki itu saat membicarakan masalah di perusahaan. 'Enggak tahu, ah. Kak Alan juga enggak pernah mau aku terlibat untuk urusan pribadinya. Haha, siapa aku memang? Cuma seorang sandera yang dipaksa jadi istri demi memuaskan nafsunya.' Felisha mendadak merasa kasihan dengan dirinya sendiri. Lain dengan Felisha yang sepertinya tidak merasa sama s
Alan sudah akan memaksimalkan mode serangannya malam itu ketika ia tersadar bahwa ada sosok yang tengah ia jaga yang saat ini ada di dalam rahim istrinya. "Kenapa, Kak?" tanya Felisha ketika Alan tiba-tiba berhenti. Felisha melihat perubahan sikap Alan yang begitu dramatis, membuatnya sontak malu sebab merasa seolah-olah dirinya mengharap sesuatu yang lebih. Alan perlahan mundur dan menjauhkan wajahnya. Berupaya bangkit dari posisinya ketika kemudian suara Felisha membuyarkan rencananya. "Apa aku terlihat menjijikan karena sudah berbicara dengan lelaki lain?" Felisha kembali bertanya dan kali ini berharap jika Alan menjawab pertanyaannya. Alan terlihat masih diam. Ia seperti enggan menjelaskan maksud dari tindakannya yang mendadak berhenti. "Kak!" panggil Felisha yang tanpa sadar —untuk kedua kalinya menahan tangan Alan di malam itu. "Aku tidak selera untuk melanjutkan." Bukan menjawab jujur, jawaban Alan malah membuat Felisha tersinggung. Wanita itu merasa jika pembicaraannya
Suasana kamar VIP di salah satu rumah sakit terkenal di ibukota tampak sunyi dengan seorang pasien yang terbaring lemah di atas ranjang. Dina, wanita yang mencoba melakukan tindakan bunuh diri, terlihat lemah dengan selang infus yang menempel di tangannya juga selang oksigen yang masih membantunya bernapas. Di sampingnya ada sang ibu yang setia menunggu sejak wanita itu masuk rumah sakit dengan tangan penuh darah akibat tindakan bodohnya beberapa malam lalu. "Bu, apa Alan sudah datang menjengukku?" tanya Dina yang tiba-tiba menanyakan mantan suaminya itu. Sang ibu tampak bingung sebab tak pernah sekali pun mantan menantunya itu datang sejak sang putri dibawa ke rumah sakit. Meski rumah sakit ini masih milik keluarga Tanujaya, tapi tak pernah ia melihat Alan hilir mudik di tempat tersebut, terlebih setelah perceraian yang terjadi antara pewaris keluarga konglomerat itu dengan putri semata wayangnya. "Bu?" Dengan suara lemah Dina memanggil ibunya. "I-iya, Din."Dina menatap sang
Sudah lebih dari tiga hari Felisha tidak diizinkan Alan keluar rumah. Lelaki itu memaksa agar Felisha tetap diam di rumah, bahkan bila perlu diam di dalam kamarnya saja sampai kondisi kesehatannya benar-benar pulih. 'Aku ini enggak sakit, tapi kenapa Kak Alan memperlakukan aku seolah-olah aku ini adalah seorang pasien,' gumam Felisha yang sore itu tengah menikmati langit senja di balkon kamar. Perempuan itu jelas kesal. Kondisi hamilnya saat ini adalah alasan utama mengapa Alan bersikap demikian padanya. "Buat apa aku diam diri terus di rumah ini? Jujur aja aku bosan," katanya tak bisa menyembunyikan kekesalannya. Felisha menilai jika Alan terlalu berlebihan. Ia hanya pingsan malam itu, itupun karena faktor kelelahan. Tapi, sudah lebih dari cukup ketika dua hari lamanya ia benar-benar istirahat di atas kasur tanpa dibolehkan pergi kemana-mana. Sekarang ia sudah ingin berjalan-jalan, terutama ke kampus untuk mengejar mata kuliah yang tertinggal, juga bertemu dengan Gina —sahabatnya