Alan muncul setelah Felisha selesai berbicara dengan seseorang di telepon. Ekspresi lelaki itu tampak masam ketika muncul di hadapan istrinya. "Sudah selesai, Kak?" tanya Felisha yang mencoba bersikap biasa meski ia menyadari perubahan muka Alan. "Hem." Alan menjawab singkat dengan deheman. Lelaki itu kemudian pergi ke kamar mandi tanpa menatap istrinya sama sekali. 'Ada apa dengannya? Apakah masalah kantor yang katanya mau dibicarakan itu benar-benar mengkhawatirkan?' batin Felisha mencoba bersikap tenang. 'Atau apa Gani kembali berulah setelah membawa kabur Kak Dina?' tebak Felisha kemudian. Ia teringat dengan cerita Alan tentang sosok lelaki itu saat membicarakan masalah di perusahaan. 'Enggak tahu, ah. Kak Alan juga enggak pernah mau aku terlibat untuk urusan pribadinya. Haha, siapa aku memang? Cuma seorang sandera yang dipaksa jadi istri demi memuaskan nafsunya.' Felisha mendadak merasa kasihan dengan dirinya sendiri. Lain dengan Felisha yang sepertinya tidak merasa sama s
Alan sudah akan memaksimalkan mode serangannya malam itu ketika ia tersadar bahwa ada sosok yang tengah ia jaga yang saat ini ada di dalam rahim istrinya. "Kenapa, Kak?" tanya Felisha ketika Alan tiba-tiba berhenti. Felisha melihat perubahan sikap Alan yang begitu dramatis, membuatnya sontak malu sebab merasa seolah-olah dirinya mengharap sesuatu yang lebih. Alan perlahan mundur dan menjauhkan wajahnya. Berupaya bangkit dari posisinya ketika kemudian suara Felisha membuyarkan rencananya. "Apa aku terlihat menjijikan karena sudah berbicara dengan lelaki lain?" Felisha kembali bertanya dan kali ini berharap jika Alan menjawab pertanyaannya. Alan terlihat masih diam. Ia seperti enggan menjelaskan maksud dari tindakannya yang mendadak berhenti. "Kak!" panggil Felisha yang tanpa sadar —untuk kedua kalinya menahan tangan Alan di malam itu. "Aku tidak selera untuk melanjutkan." Bukan menjawab jujur, jawaban Alan malah membuat Felisha tersinggung. Wanita itu merasa jika pembicaraannya
Suasana kamar VIP di salah satu rumah sakit terkenal di ibukota tampak sunyi dengan seorang pasien yang terbaring lemah di atas ranjang. Dina, wanita yang mencoba melakukan tindakan bunuh diri, terlihat lemah dengan selang infus yang menempel di tangannya juga selang oksigen yang masih membantunya bernapas. Di sampingnya ada sang ibu yang setia menunggu sejak wanita itu masuk rumah sakit dengan tangan penuh darah akibat tindakan bodohnya beberapa malam lalu. "Bu, apa Alan sudah datang menjengukku?" tanya Dina yang tiba-tiba menanyakan mantan suaminya itu. Sang ibu tampak bingung sebab tak pernah sekali pun mantan menantunya itu datang sejak sang putri dibawa ke rumah sakit. Meski rumah sakit ini masih milik keluarga Tanujaya, tapi tak pernah ia melihat Alan hilir mudik di tempat tersebut, terlebih setelah perceraian yang terjadi antara pewaris keluarga konglomerat itu dengan putri semata wayangnya. "Bu?" Dengan suara lemah Dina memanggil ibunya. "I-iya, Din."Dina menatap sang
Sudah lebih dari tiga hari Felisha tidak diizinkan Alan keluar rumah. Lelaki itu memaksa agar Felisha tetap diam di rumah, bahkan bila perlu diam di dalam kamarnya saja sampai kondisi kesehatannya benar-benar pulih. 'Aku ini enggak sakit, tapi kenapa Kak Alan memperlakukan aku seolah-olah aku ini adalah seorang pasien,' gumam Felisha yang sore itu tengah menikmati langit senja di balkon kamar. Perempuan itu jelas kesal. Kondisi hamilnya saat ini adalah alasan utama mengapa Alan bersikap demikian padanya. "Buat apa aku diam diri terus di rumah ini? Jujur aja aku bosan," katanya tak bisa menyembunyikan kekesalannya. Felisha menilai jika Alan terlalu berlebihan. Ia hanya pingsan malam itu, itupun karena faktor kelelahan. Tapi, sudah lebih dari cukup ketika dua hari lamanya ia benar-benar istirahat di atas kasur tanpa dibolehkan pergi kemana-mana. Sekarang ia sudah ingin berjalan-jalan, terutama ke kampus untuk mengejar mata kuliah yang tertinggal, juga bertemu dengan Gina —sahabatnya
Bu Rumi tampak terkejut saat ia membuka pintu kamar utama. Di depannya sudah berdiri Alan yang baru saja tiba sepulangnya dari kantor. "Ada apa? Kenapa Ibu seperti orang yang baru lihat setan! Apakah aku semenakutkan itu?" tanya Alan datar. "Eh, tidak, Tuan. Saya cuma kaget saja.""Kaget kenapa?""Enggak kenapa-kenapa, Tuan." Bu Rumi tampak gugup. Entah setan mana yang sudah membuatnya seperti itu. Yang pasti, Alan melihat sikapnya yang lain dan berbeda. "Sedang apa istri saya di dalam? Apakah hari ini ia banyak makan? Apa ada keluhan sama kehamilannya?"Pertanyaan Alan dilontarkan bertubi-tubi, membuat sang kepala asisten terdiam sejenak demi membiarkan pengusaha itu selesai bertanya. "Non Felisha banyak makan hari ini. Tidak ada juga keluhan atas kondisi kehamilannya. Semua baik-baik saja. Bahkan tadi sempat Non Feli berenang setelah Tuan berangkat.""Hah! Apa? Berenang?" Alan berseru kaget. Ada ekspresi tidak suka mendengar fakta jika sang istri berenang di kondisi kesehatanny
Alan masih belum menyadari jika perasaan yang ia miliki saat ini terhadap Felisha adalah perasaan mencintai antara seorang lelaki kepada wanita. Sebelumnya ia yang memang hanya ingin memberi pelajaran kepada keluarga Sumitra, sebab kaburnya Dina —wanita yang pernah ia cinta meski menikah karena perjodohan, nyatanya terjebak pada keadaan di mana sang tawanan telah berhasil membuatnya jatuh cinta. Setelah Alan kesal mendengar permintaan Felisha yang terus saja memohon ingin pergi kuliah, lelaki itu kini harus benar-benar ekstra menjaga supaya tidak ada sosok lelaki lain yang ia duga memiliki perasaan cinta yang amat sangat terhadap istrinya. Seperti siang itu di hari perdana Felisha kembali ke kampus setelah berhasil membujuk Alan, pengusaha tersebut meminta pengawalan ekstra kepada Luna untuk istrinya. Tak peduli berkali-kali menolak, Alan tak mau kecolongan. "Tidak usah pergi ke kampus selamanya atau kamu pergi dengan empat pengawal yang sudah aku tunjuk?" Pagi setelah sarapan pagi
Suasana kantor tampak terlihat lengang ketika Felisha tiba. Sebagian karyawan sudah pergi istirahat makan siang. Sebagian lain masih ada yang duduk di tempat kerjanya masing-masing dengan komputer di depan mata. Beberapa dari mereka ada yang menoleh ketika Felisha datang bersama Luna menuju kantor Alan. Tak ada kata-kata, hanya ekspresi bingung dan terheran-heran demi melihat sosok Felisha yang selama ini tidak mereka kenal. "Kenapa Kak Alan memintaku datang menemuinya di kantor?" tanya Felisha pada Luna. "Kenapa enggak ke restoran aja atau tempat lain kalau cuma mau ditemenin makan siang."Mendengar nyonya mudanya bertanya, Luna sama sekali tidak memiliki keinginan untuk menjawab. Meski dilihatnya wajah Felisha yang seperti ingin mendapatkan jawaban. Perempuan muda itu hanya tersenyum. Senyum yang membuat Felisha menatap sebal. "Kenapa karakter tuan dan anak buahnya bisa sama? Heran." Felisha menggeleng kesal. Tak ada interaksi yang tercipta antara Felisha dengan Luna, membuat i
Sudah beberapa hari sejak terakhir Felisha menemui Alan di kantor, sejak saat itu ia jarang bertemu suaminya. Pagi-pagi sekali Alan sudah berangkat ke kantor dan pulang sampai larut malam. Bahkan, lelaki itu jarang memberi kabar sehingga membuat Felisha kesepian. Seperti malam itu, terhitung sudah hampir setengah bulan lamanya Felisha tidak berbicara dengan Alan. Hanya ada kata 'hai' dan 'selamat pagi', itu pun bila tak sengaja Felisha bangun di waktu yang masih sangat pagi. Lalu setelah itu, Alan akan meminta Felisha kembali tidur. Meski menurut info yang disampaikan oleh Bu Rumi sebab adanya masalah di kantor sehingga membuat pengusaha itu terkesan menelantarkan sang istri, Felisha tetap merasa bingung dan tidak tahu harus berbuat apa. "Apakah Kak Alan benar-benar pulang, Bu?" Suatu malam Felisha menanyakan keberadaan Alan yang sulit ia temui. Ia sengaja membuka mata sampai malam sebab ingin bertemu suaminya. "Tentu saja. Tiap malam Tuan Alan pulang.""Ke kamar utama?""Memang T