Suasana kantor tampak terlihat lengang ketika Felisha tiba. Sebagian karyawan sudah pergi istirahat makan siang. Sebagian lain masih ada yang duduk di tempat kerjanya masing-masing dengan komputer di depan mata. Beberapa dari mereka ada yang menoleh ketika Felisha datang bersama Luna menuju kantor Alan. Tak ada kata-kata, hanya ekspresi bingung dan terheran-heran demi melihat sosok Felisha yang selama ini tidak mereka kenal. "Kenapa Kak Alan memintaku datang menemuinya di kantor?" tanya Felisha pada Luna. "Kenapa enggak ke restoran aja atau tempat lain kalau cuma mau ditemenin makan siang."Mendengar nyonya mudanya bertanya, Luna sama sekali tidak memiliki keinginan untuk menjawab. Meski dilihatnya wajah Felisha yang seperti ingin mendapatkan jawaban. Perempuan muda itu hanya tersenyum. Senyum yang membuat Felisha menatap sebal. "Kenapa karakter tuan dan anak buahnya bisa sama? Heran." Felisha menggeleng kesal. Tak ada interaksi yang tercipta antara Felisha dengan Luna, membuat i
Sudah beberapa hari sejak terakhir Felisha menemui Alan di kantor, sejak saat itu ia jarang bertemu suaminya. Pagi-pagi sekali Alan sudah berangkat ke kantor dan pulang sampai larut malam. Bahkan, lelaki itu jarang memberi kabar sehingga membuat Felisha kesepian. Seperti malam itu, terhitung sudah hampir setengah bulan lamanya Felisha tidak berbicara dengan Alan. Hanya ada kata 'hai' dan 'selamat pagi', itu pun bila tak sengaja Felisha bangun di waktu yang masih sangat pagi. Lalu setelah itu, Alan akan meminta Felisha kembali tidur. Meski menurut info yang disampaikan oleh Bu Rumi sebab adanya masalah di kantor sehingga membuat pengusaha itu terkesan menelantarkan sang istri, Felisha tetap merasa bingung dan tidak tahu harus berbuat apa. "Apakah Kak Alan benar-benar pulang, Bu?" Suatu malam Felisha menanyakan keberadaan Alan yang sulit ia temui. Ia sengaja membuka mata sampai malam sebab ingin bertemu suaminya. "Tentu saja. Tiap malam Tuan Alan pulang.""Ke kamar utama?""Memang T
Sebelum berangkat ke kampus, Felisha pergi mengunjungi dokter kandungan di rumah sakit. Kembali ia bertemu dokter Meta dengan ditemani Luna. Seperti yang Alan katakan, anak buahnya itulah yang diberi tugas dan kepercayaan untuk menjaga dan melayani sang istri. Termasuk untuk urusan yang seharusnya ia kerjakan, yang saat ini tak bisa ia lakukan sebab kesibukannya di kantor. "Tidak bersama Alan?" Dokter Meta bertanya setelah Felisha dan Luna duduk di depannya. "Kak Alan sedang sibuk, Dok. Banyak tugas kantor yang harus beliau selesaikan." Felisha menjawab dengan senyum tersungging. Luna yang duduk di sebelahnya juga ikut tersenyum. Ada perasaan haru dan bangga sebab sang nona bisa memberikan alasan yang tidak menyudutkan. Seorang suami yang sejatinya menemani sang istri memeriksakan kehamilan, lebih memilih untuk menyelesaikan masalah perusahaan yang saat ini menerpa. Tapi, Felisha menunjukkan sikap tenang dan santai, seolah tidak ada kekesalan yang ia rasakan sebab tak ada Alan ber
'Tuan Alan mencintai Anda, Nona.'Di sepanjang siang saat dosen memaparkan pelajaran salah satu mata kuliah yang Felisha ambil, wanita itu sama sekali tidak fokus mendengarkan. Ia terus teringat dengan kalimat yang Luna ucapkan saat di mobil tadi. Kalimat yang terus terngiang di benaknya sampai jam kelas berakhir. 'Tak mungkin bukan? Kak Alan tidak mencintaiku. Ia hanya terobsesi. Ya, terobsesi,' batin Felisha berkata. Wanita itu sebelumnya memang sudah merasa jika kakak ipar, yang kini telah sah menjadi suaminya itu memiliki perasaan suka terhadapnya. Terlihat dari sikapnya yang semakin hari semakin lain dari biasanya, terutama jika dibandingkan dengan awal saat Felisha dijadikan sandera atas kepergian Dina. Kini kondisi itu perlahan mulai berubah, terlebih lagi saat Felisha hamil anak Alan. Lelaki itu seperti ingin menunjukkan status sebenarnya, seorang suami dan juga calon ayah. "Luna, aku tahu ini semua hanya karanganmu saja. Aku tahu siapa Kak Alan. Betapa beliau sangat mencin
"Jadi, benar lelaki itu sudah melakukan hal tidak senonoh padamu? Adik iparnya?" Gina berseru kaget. Tampak ekspresi tak percaya hadir di wajahnya sekarang. Membuat Felisha kebingungan dan tak tahu harus bagaimana bereaksi. Ia hanya bisa menarik napas pelan dan membuangnya sama pelan. "Feli, jangan takut. Kalau apa yang aku katakan tadi benar, sebaiknya kamu lapor ke kakakmu atau kalau perlu kita laporkan dia ke polisi sekalian.""Gina, tolong hentikan. Pikiranmu terlalu jauh," ucap Felisha akhirnya. Ia tak tahu harus berkata apa agar Gina berhenti menerka-nerka tentang kekesalan dirinya. "Pikiranku terlalu jauh itu karena kamu, Feli. Kamu tidak mau cerita apa yang terjadi. Kenapa kamu nangis setelah bicara dengan seseorang.""Aku tidak cerita karena memang tidak ada apa-apa. Aku menangis karena aku tiba-tiba teringat kedua orang tuaku. Sudah itu saja." Pada akhirnya Felisha terpaksa berbohong. Ia yang tak mau masalah hidupnya terbongkar, hanya bisa mencari alasan tak masuk akal su
Di kantor, Alan terlihat sibuk dengan banyaknya pekerjaan yang belum selesai, ditambah permasalahan yang terjadi sebab seseorang yang sudah berani mengusiknya dengan ikut campur masalah bisnis yang tengah ia jalani. "Telepon dari Luna, Tuan." Alvaro yang baru saja masuk setelah mengantar klien keluar gedung, kembali dengan membawa kabar dari rekannya. "Ada apa?" tanya Alan sembari mengambil ponsel milik Alvaro. "Tentang Nona Felisha. Sepertinya ada yang sedang merajuk," ucap Alvaro tersenyum. Alan melihat ekspresi Alvaro. Ada senyum tipis tersungging di wajah tampannya. "Merajuk? Apa karena aku tidak menemaninya makan? Lucu sekali." Alan tertawa membayangkan suasana hati Felisha seperti yang Alvaro katakan tadi. 'Tak mungkin,' batinnya. "Ya, halo!" sapa Alan setelah meletakkan ponsel di dekat telinga. "Nona pulang dengan temannya, Tuan.""Kenapa bisa? Apakah kalian ini sedang berlibur? Bisa-bisanya membuat istriku kabur dengan orang lain!" Tiba-tiba Alan emosi. Belum selesai m
Baru selesai Alvaro melontarkan pertanyaan untuk Alan, tiba-tiba terdengar suara ketukan dari arah pintu. Alvaro memilih untuk segera memeriksa ketimbang menunggu jawaban apa yang seharusnya Alan berikan. "Ada apa?" Terdengar suara Alvaro dari arah tempat duduk Alan. Lelaki itu tengah berhadapan dengan seorang wanita muda yang tak lain adalah sekretarisnya Alan. "Ada seseorang yang mau bertemu dengan Tuan Alan.""Siapa?" tanya Alvaro seraya mengedarkan pandangannya ke arah belakang sang sekretaris. "Lelaki bernama Gani.""Hah! Siapa kamu bilang?" Untuk kali ini Alvaro seperti tuli. Ia sampai harus bertanya kembali mengenai sosok yang ingin menemui Alan. "Gani. Aku yakin kamu mendengarku, Alvaro," sahut perempuan itu sedikit kesal. "Ya, aku dengar. Tapi, aku hanya memastikan nama orang itu." Alvaro menyahut pelan. Tiba-tiba ia merasa tak enak. "Lantas, di mana orang itu?""Masih di bawah. Aku menahannya untuk tidak ke sini. Tapi, lelaki itu memaksa supaya bisa bertemu dan bicara
"Anda main terlalu terburu-buru. Padahal saya belum selesai mengatakan tujuan saya datang kemari," ucap Gani dengan wajah yang sudah tak lagi seperti di awal. Beberapa luka memar berwarna keunguan muncul di sekitar wajah, seperti di area sudut bibir dan bawah mata. Alan yang sudah bisa dihentikan aksinya sebab emosi yang hadir karena ucapan lelaki di depannya itu, kini tampak terdiam di kursi kebesarannya bersama Alvaro. "Saya hanya ingin menawarkan sesuatu yang mungkin menguntungkan bagi perusahaan Anda.""Orang sepertimu mana pernah bisa dipercaya.""Tapi, orang seperti saya akan mencari apapun yang bisa menguntungkan. Termasuk bekerja sama dengan lawannya."Tawa mengejek masih bisa Gani lakukan meski tampangnya sudah 'hancur' sebab pukulan Alan. Sikap angkuh yang masih bisa ia tunjukkan demi membuat lawan bicaranya terpancing tak mampu membuat Alan kembali melancarkan aksinya. "Tak perlu kau katakan, aku tak akan mau bekerja sama.""Sungguh?""Aku tak perlu meyakinkan seseorang