'Tuan Alan mencintai Anda, Nona.'Di sepanjang siang saat dosen memaparkan pelajaran salah satu mata kuliah yang Felisha ambil, wanita itu sama sekali tidak fokus mendengarkan. Ia terus teringat dengan kalimat yang Luna ucapkan saat di mobil tadi. Kalimat yang terus terngiang di benaknya sampai jam kelas berakhir. 'Tak mungkin bukan? Kak Alan tidak mencintaiku. Ia hanya terobsesi. Ya, terobsesi,' batin Felisha berkata. Wanita itu sebelumnya memang sudah merasa jika kakak ipar, yang kini telah sah menjadi suaminya itu memiliki perasaan suka terhadapnya. Terlihat dari sikapnya yang semakin hari semakin lain dari biasanya, terutama jika dibandingkan dengan awal saat Felisha dijadikan sandera atas kepergian Dina. Kini kondisi itu perlahan mulai berubah, terlebih lagi saat Felisha hamil anak Alan. Lelaki itu seperti ingin menunjukkan status sebenarnya, seorang suami dan juga calon ayah. "Luna, aku tahu ini semua hanya karanganmu saja. Aku tahu siapa Kak Alan. Betapa beliau sangat mencin
"Jadi, benar lelaki itu sudah melakukan hal tidak senonoh padamu? Adik iparnya?" Gina berseru kaget. Tampak ekspresi tak percaya hadir di wajahnya sekarang. Membuat Felisha kebingungan dan tak tahu harus bagaimana bereaksi. Ia hanya bisa menarik napas pelan dan membuangnya sama pelan. "Feli, jangan takut. Kalau apa yang aku katakan tadi benar, sebaiknya kamu lapor ke kakakmu atau kalau perlu kita laporkan dia ke polisi sekalian.""Gina, tolong hentikan. Pikiranmu terlalu jauh," ucap Felisha akhirnya. Ia tak tahu harus berkata apa agar Gina berhenti menerka-nerka tentang kekesalan dirinya. "Pikiranku terlalu jauh itu karena kamu, Feli. Kamu tidak mau cerita apa yang terjadi. Kenapa kamu nangis setelah bicara dengan seseorang.""Aku tidak cerita karena memang tidak ada apa-apa. Aku menangis karena aku tiba-tiba teringat kedua orang tuaku. Sudah itu saja." Pada akhirnya Felisha terpaksa berbohong. Ia yang tak mau masalah hidupnya terbongkar, hanya bisa mencari alasan tak masuk akal su
Di kantor, Alan terlihat sibuk dengan banyaknya pekerjaan yang belum selesai, ditambah permasalahan yang terjadi sebab seseorang yang sudah berani mengusiknya dengan ikut campur masalah bisnis yang tengah ia jalani. "Telepon dari Luna, Tuan." Alvaro yang baru saja masuk setelah mengantar klien keluar gedung, kembali dengan membawa kabar dari rekannya. "Ada apa?" tanya Alan sembari mengambil ponsel milik Alvaro. "Tentang Nona Felisha. Sepertinya ada yang sedang merajuk," ucap Alvaro tersenyum. Alan melihat ekspresi Alvaro. Ada senyum tipis tersungging di wajah tampannya. "Merajuk? Apa karena aku tidak menemaninya makan? Lucu sekali." Alan tertawa membayangkan suasana hati Felisha seperti yang Alvaro katakan tadi. 'Tak mungkin,' batinnya. "Ya, halo!" sapa Alan setelah meletakkan ponsel di dekat telinga. "Nona pulang dengan temannya, Tuan.""Kenapa bisa? Apakah kalian ini sedang berlibur? Bisa-bisanya membuat istriku kabur dengan orang lain!" Tiba-tiba Alan emosi. Belum selesai m
Baru selesai Alvaro melontarkan pertanyaan untuk Alan, tiba-tiba terdengar suara ketukan dari arah pintu. Alvaro memilih untuk segera memeriksa ketimbang menunggu jawaban apa yang seharusnya Alan berikan. "Ada apa?" Terdengar suara Alvaro dari arah tempat duduk Alan. Lelaki itu tengah berhadapan dengan seorang wanita muda yang tak lain adalah sekretarisnya Alan. "Ada seseorang yang mau bertemu dengan Tuan Alan.""Siapa?" tanya Alvaro seraya mengedarkan pandangannya ke arah belakang sang sekretaris. "Lelaki bernama Gani.""Hah! Siapa kamu bilang?" Untuk kali ini Alvaro seperti tuli. Ia sampai harus bertanya kembali mengenai sosok yang ingin menemui Alan. "Gani. Aku yakin kamu mendengarku, Alvaro," sahut perempuan itu sedikit kesal. "Ya, aku dengar. Tapi, aku hanya memastikan nama orang itu." Alvaro menyahut pelan. Tiba-tiba ia merasa tak enak. "Lantas, di mana orang itu?""Masih di bawah. Aku menahannya untuk tidak ke sini. Tapi, lelaki itu memaksa supaya bisa bertemu dan bicara
"Anda main terlalu terburu-buru. Padahal saya belum selesai mengatakan tujuan saya datang kemari," ucap Gani dengan wajah yang sudah tak lagi seperti di awal. Beberapa luka memar berwarna keunguan muncul di sekitar wajah, seperti di area sudut bibir dan bawah mata. Alan yang sudah bisa dihentikan aksinya sebab emosi yang hadir karena ucapan lelaki di depannya itu, kini tampak terdiam di kursi kebesarannya bersama Alvaro. "Saya hanya ingin menawarkan sesuatu yang mungkin menguntungkan bagi perusahaan Anda.""Orang sepertimu mana pernah bisa dipercaya.""Tapi, orang seperti saya akan mencari apapun yang bisa menguntungkan. Termasuk bekerja sama dengan lawannya."Tawa mengejek masih bisa Gani lakukan meski tampangnya sudah 'hancur' sebab pukulan Alan. Sikap angkuh yang masih bisa ia tunjukkan demi membuat lawan bicaranya terpancing tak mampu membuat Alan kembali melancarkan aksinya. "Tak perlu kau katakan, aku tak akan mau bekerja sama.""Sungguh?""Aku tak perlu meyakinkan seseorang
Felisha benar-benar merajuk. Setelah Gina mengajaknya pulang, ia justru mengiyakan ajakan Erik yang tiba-tiba datang menyusul. "Fel, serius?" tanya Gina yang sudah berdiri bersama Zaky, pacar barunya. "Iya. Udah lama juga aku enggak pergi ke pantai."Rupanya Erik mengajak Felisha untuk jalan-jalan ke pantai. "Ini masih panas loh!" seru Gina yang sedikit kurang setuju dengan tujuan Erik mengajak Felisha pergi."Sampe sana juga udah sore, pasti cuaca juga udah enggak panas kok, Gin!" Felisha mencoba menjelaskan supaya Gina tidak perlu mencemaskannya. "Rik, enggak bisa cari tujuan lain?" Kali ini Gina memilih berbicara dengan Erik. Lelaki itu hanya tersenyum seolah kekhawatiran Gina terlalu berlebihan. "Pantai pinggir kota, Gin. Enggak jauh. Lagian tempatnya juga adem. Enggak usah khawatir Felisha bakal kepanasan. Felisha-nya juga mau kok!" Erik tertawa menatap Gina. "Ya, ya, aku tahu. Aku cuma khawatir aja kalo Felisha sampai sakit lagi.""Loh! Memang kapan kamu sakit, Fel?" Erik
Lima belas menit sudah Alan menunggu Felisha datang. Menurut kabar yang didapat, wanita itu hampir tak mau turun ketika mobil sudah berhenti di pelataran gedung kantor. "Anda tahu, Nona, saya dan semua pengawal akan mendapat hukuman jika Anda tak mau turun dan menemui tuan di atas." Untuk kali ini Luna terpaksa mengancam. Bukan omong kosong jika Felisha benar-benar tak mau keluar dan menemui sang tuan, maka ia dan semua pengawal yang mendapat penugasan hari itu, bisa dipastikan dipecat dari pekerjaan mereka. Felisha menatap Luna yang terlihat berusaha merayu. Namun, entah apa yang terjadi dengan dirinya, Felisha seperti kukuh dengan pendiriannya. "Aku cuma mau pulang, Luna. Aku lelah. Sejak pagi aku keluar rumah. Kalau aku turun dan menemui Kak Alan, entah sampai jam berapa aku baru bisa pulang dan istirahat." Felisha mencoba memberikan alasan atas keengganannya turun menemui sang suami. "Kalau Anda lelah, kenapa tadi Anda berpikir untuk pergi dengan kawan Anda? Tuan sudah tahu i
Sekian menit berjalan masih dengan diamnya Alan sebab aksi yang istrinya lakukan. Ciuman yang Felisha lakukan kali ini, entah mengapa membuatnya tidak terbuai. Ia hanya kaget karena istrinya bisa melakukan hal tersebut. Tak jua mendapatkan respon dari Alan, Felisha akhirnya melepaskan ciumannya. Ia menghentikan aksinya karena merasa jika lelaki itu tidak menyukainya. Alan melihat Felisha menunduk. Sedangkan Felisha melakukan hal itu karena tatapan mata Alan yang tajam seolah tengah menunjukkan suasana hatinya saat ini. "Maafkan aku." Felisha merendahkan dirinya dengan meminta maaf terlebih dahulu. Meski hatinya sendiri masih merasa tak rela karena keinginannya tidak dituruti. "Apakah kamu menyadari kesalahanmu?" tanya Alan dengan suara pelan dan berat. "Entah kesalahan mana yang Kaka maksud, tapi aku merasa jika aku harus meminta maaf.""Tidak tahu kesalahanmu, tapi kamu meminta maaf? Apakah itu bukan tindakan bodoh namanya?"Sejenak Felisha memberanikan diri untuk membalas tatap