Alan memilih untuk tidak peduli sekarang. Melihat kejanggalan yang tampak pada diri istrinya, tidak serta merta membuat lelaki itu curiga atau ingin tahu."Apa kamu lapar? Aku sudah meminta Bu Rumi menyiapkan makan siang untuk kita." Alan mencoba mengabaikan. Baru selesai kata terakhir keluar dari mulut Alan, tiba-tiba terdengar suara kelaparan yang berasal dari perut Felisha. Seketika saja Alan melihat ke arah di mana tangan istrinya berada di sana. "Tidak perlu kamu menjawab, aku langsung tahu jawabannya." Alan berkata santai. Felisha hanya mampu tersenyum kikuk. Tiba-tiba ia merasa kesal karena tubuhnya yang mendadak tidak bisa diajak kompromi di situasi 'genting' seperti ini. 'Tiba-tiba gerah, tiba-tiba lapar. Apa maunya tubuhku ini?' batin Felisha kesal. "Kamu mau kita makan di sini atau di meja makan?" tanya Alan lagi sebelum beranjak bangun. "Di bawah saja.""Apa kamu tidak lelah?""Lelah?" Felisha bertanya seperti orang yang bingung. Alan pun mengangguk, merespon. "Aku
Hari itu Alan benar-benar tidak pergi ke mana-mana. Seharian penuh ia menemani istrinya di rumah. Hanya Alvaro yang datang untuk menyampaikan laporan mengenai pekerjaannya di kantor. Jam lima sore, lelaki itu datang. Bersama Luna, keduanya langsung menemui Alan yang sudah menunggu di ruang kerja. "Apa Non Felisha tidak menerima panggilan hari ini?" Tiba-tiba Luna bertanya setelah duduk di depan sang tuan. "Apa maksud kamu? Apa kamu mengetahui satu gelagat aneh?" Alan menatap curiga. "Tidak pasti, Tuan. Tapi, sepertinya tadi saya melihat lelaki muda itu di toko kue tempat langganan Non Feli.""Apa korelasinya dengan panggilan istriku?""Terlihat ia menghubungi seseorang, saya pikir seorang perempuan. Dari obrolan yang saya dengar sepertinya ada ajakan mengunjungi satu tempat wisata." Luna mencoba menjelaskan apa yang ia tahu. Alan terlihat mulai tak nyaman. Meski awalnya ragu, tapi sekarang ia seperti mencurigai sesuatu. "Aku akan mengeceknya nanti," ujar Alan akhirnya. "Tapi, se
Alan muncul setelah Felisha selesai berbicara dengan seseorang di telepon. Ekspresi lelaki itu tampak masam ketika muncul di hadapan istrinya. "Sudah selesai, Kak?" tanya Felisha yang mencoba bersikap biasa meski ia menyadari perubahan muka Alan. "Hem." Alan menjawab singkat dengan deheman. Lelaki itu kemudian pergi ke kamar mandi tanpa menatap istrinya sama sekali. 'Ada apa dengannya? Apakah masalah kantor yang katanya mau dibicarakan itu benar-benar mengkhawatirkan?' batin Felisha mencoba bersikap tenang. 'Atau apa Gani kembali berulah setelah membawa kabur Kak Dina?' tebak Felisha kemudian. Ia teringat dengan cerita Alan tentang sosok lelaki itu saat membicarakan masalah di perusahaan. 'Enggak tahu, ah. Kak Alan juga enggak pernah mau aku terlibat untuk urusan pribadinya. Haha, siapa aku memang? Cuma seorang sandera yang dipaksa jadi istri demi memuaskan nafsunya.' Felisha mendadak merasa kasihan dengan dirinya sendiri. Lain dengan Felisha yang sepertinya tidak merasa sama s
Alan sudah akan memaksimalkan mode serangannya malam itu ketika ia tersadar bahwa ada sosok yang tengah ia jaga yang saat ini ada di dalam rahim istrinya. "Kenapa, Kak?" tanya Felisha ketika Alan tiba-tiba berhenti. Felisha melihat perubahan sikap Alan yang begitu dramatis, membuatnya sontak malu sebab merasa seolah-olah dirinya mengharap sesuatu yang lebih. Alan perlahan mundur dan menjauhkan wajahnya. Berupaya bangkit dari posisinya ketika kemudian suara Felisha membuyarkan rencananya. "Apa aku terlihat menjijikan karena sudah berbicara dengan lelaki lain?" Felisha kembali bertanya dan kali ini berharap jika Alan menjawab pertanyaannya. Alan terlihat masih diam. Ia seperti enggan menjelaskan maksud dari tindakannya yang mendadak berhenti. "Kak!" panggil Felisha yang tanpa sadar —untuk kedua kalinya menahan tangan Alan di malam itu. "Aku tidak selera untuk melanjutkan." Bukan menjawab jujur, jawaban Alan malah membuat Felisha tersinggung. Wanita itu merasa jika pembicaraannya
Suasana kamar VIP di salah satu rumah sakit terkenal di ibukota tampak sunyi dengan seorang pasien yang terbaring lemah di atas ranjang. Dina, wanita yang mencoba melakukan tindakan bunuh diri, terlihat lemah dengan selang infus yang menempel di tangannya juga selang oksigen yang masih membantunya bernapas. Di sampingnya ada sang ibu yang setia menunggu sejak wanita itu masuk rumah sakit dengan tangan penuh darah akibat tindakan bodohnya beberapa malam lalu. "Bu, apa Alan sudah datang menjengukku?" tanya Dina yang tiba-tiba menanyakan mantan suaminya itu. Sang ibu tampak bingung sebab tak pernah sekali pun mantan menantunya itu datang sejak sang putri dibawa ke rumah sakit. Meski rumah sakit ini masih milik keluarga Tanujaya, tapi tak pernah ia melihat Alan hilir mudik di tempat tersebut, terlebih setelah perceraian yang terjadi antara pewaris keluarga konglomerat itu dengan putri semata wayangnya. "Bu?" Dengan suara lemah Dina memanggil ibunya. "I-iya, Din."Dina menatap sang
Sudah lebih dari tiga hari Felisha tidak diizinkan Alan keluar rumah. Lelaki itu memaksa agar Felisha tetap diam di rumah, bahkan bila perlu diam di dalam kamarnya saja sampai kondisi kesehatannya benar-benar pulih. 'Aku ini enggak sakit, tapi kenapa Kak Alan memperlakukan aku seolah-olah aku ini adalah seorang pasien,' gumam Felisha yang sore itu tengah menikmati langit senja di balkon kamar. Perempuan itu jelas kesal. Kondisi hamilnya saat ini adalah alasan utama mengapa Alan bersikap demikian padanya. "Buat apa aku diam diri terus di rumah ini? Jujur aja aku bosan," katanya tak bisa menyembunyikan kekesalannya. Felisha menilai jika Alan terlalu berlebihan. Ia hanya pingsan malam itu, itupun karena faktor kelelahan. Tapi, sudah lebih dari cukup ketika dua hari lamanya ia benar-benar istirahat di atas kasur tanpa dibolehkan pergi kemana-mana. Sekarang ia sudah ingin berjalan-jalan, terutama ke kampus untuk mengejar mata kuliah yang tertinggal, juga bertemu dengan Gina —sahabatnya
Bu Rumi tampak terkejut saat ia membuka pintu kamar utama. Di depannya sudah berdiri Alan yang baru saja tiba sepulangnya dari kantor. "Ada apa? Kenapa Ibu seperti orang yang baru lihat setan! Apakah aku semenakutkan itu?" tanya Alan datar. "Eh, tidak, Tuan. Saya cuma kaget saja.""Kaget kenapa?""Enggak kenapa-kenapa, Tuan." Bu Rumi tampak gugup. Entah setan mana yang sudah membuatnya seperti itu. Yang pasti, Alan melihat sikapnya yang lain dan berbeda. "Sedang apa istri saya di dalam? Apakah hari ini ia banyak makan? Apa ada keluhan sama kehamilannya?"Pertanyaan Alan dilontarkan bertubi-tubi, membuat sang kepala asisten terdiam sejenak demi membiarkan pengusaha itu selesai bertanya. "Non Felisha banyak makan hari ini. Tidak ada juga keluhan atas kondisi kehamilannya. Semua baik-baik saja. Bahkan tadi sempat Non Feli berenang setelah Tuan berangkat.""Hah! Apa? Berenang?" Alan berseru kaget. Ada ekspresi tidak suka mendengar fakta jika sang istri berenang di kondisi kesehatanny
Alan masih belum menyadari jika perasaan yang ia miliki saat ini terhadap Felisha adalah perasaan mencintai antara seorang lelaki kepada wanita. Sebelumnya ia yang memang hanya ingin memberi pelajaran kepada keluarga Sumitra, sebab kaburnya Dina —wanita yang pernah ia cinta meski menikah karena perjodohan, nyatanya terjebak pada keadaan di mana sang tawanan telah berhasil membuatnya jatuh cinta. Setelah Alan kesal mendengar permintaan Felisha yang terus saja memohon ingin pergi kuliah, lelaki itu kini harus benar-benar ekstra menjaga supaya tidak ada sosok lelaki lain yang ia duga memiliki perasaan cinta yang amat sangat terhadap istrinya. Seperti siang itu di hari perdana Felisha kembali ke kampus setelah berhasil membujuk Alan, pengusaha tersebut meminta pengawalan ekstra kepada Luna untuk istrinya. Tak peduli berkali-kali menolak, Alan tak mau kecolongan. "Tidak usah pergi ke kampus selamanya atau kamu pergi dengan empat pengawal yang sudah aku tunjuk?" Pagi setelah sarapan pagi