Felisha terdiam saat mendengar ucapan Erik di seberang panggilan. Lelaki itu secara tidak langsung tengah menyatakan perasaannya dengan dalih menginginkan hubungan yang lebih dari sekedar berteman. "Aku tidak sedang bercanda, Feli. Aku serius."Kembali Erik berkata bahkan sebelum Felisha memberikan respon apapun terhadap pernyataannya. "Maaf, Erik. Aku gak bisa." Jujur saja saat ini Felisha begitu bahagia. Lelaki yang sejak awal ia masuk kuliah sudah menempatkan posisi tersendiri di hatinya, akhirnya menyampaikan sesuatu yang bahkan tidak pernah ada dalam benaknya. Felisha memang telah jatuh cinta kepada Erik. Laki-laki paling populer di angkatannya yang juga berasal dari kalangan orang berada, ternyata juga menaruh hati padanya. Tak pernah Felisha sangka selama ini sebab yang ia tahu banyak mahasiswi yang berebut mencari perhatian dari lelaki tampan tersebut, bahkan tak sungkan menyatakan perasaan mereka secara langsung tanpa ragu atau pun malu. "Kenapa gak bisa, Feli? Apa kare
Di dalam kamar, Felisha masih belum melakukan apapun setelah selesai berbicara dengan Erik melalui sambungan telepon. Wanita itu seperti bingung harus melakukan apa sebab ucapan sang kawan yang kini membuatnya bak di persimpangan. 'Aku memang sudah menaruh hati padanya sejak lama. Tapi, menerima keinginannya untuk menjadi lebih dekat dari sekedar berteman, itu bukan keputusan yang tepat sebab kedekatan kami yang belum lama.'Felisha tentu akan dengan sangat senang hati menerima ajakan Erik tadi, dengan catatan tidak terpenjaranya ia di dalam kehidupan sang kakak ipar alias suaminya, Alan. Namun, kini semuanya sudah berubah. Ia sudah tidak sebebas dulu ketika kehidupannya hanya berkutat di rumah dan kampus. Sekarang Felisha memiliki sebuah tanggung jawab baru di mana ia harus menjadi seorang istri dari sosok pengusaha seperti Alan, yang notabene hanya menjadikannya sebagai seorang sandera atas kesalahan sang kakak. 'Aku tak akan berpikir panjang kalau posisiku sekarang murni hanya s
Beberapa jam sebelumnyaAlan dibuat terkejut dengan kehadiran Dina di tempat parkir pameran ketika ia sedang menunggu kedatangan asistennya, Luna. Wanita itu, berdiri dengan raut lelah meski aura kecantikan masih tampak di wajahnya. "Alan!" panggil Dina ketika lelaki itu memalingkan wajah pura-pura tak melihat. Alan kaget. Tapi, ia mencoba tak peduli dengan tetap berjalan menuju mobil. "Alan tunggu aku! Aku mau minta maaf." Dina berseru ketika tak ada harapan baginya untuk berbicara dengan Alan. Pengusaha itu akhirnya berhenti melangkah. Ia kemudian berbalik dan menatap sang mantan istri yang berdiri tepat di depannya. Tanpa mengeluarkan sepatah kata pun, Alan menampar Dina tiba-tiba. "Argh!" pekik Dina yang langsung terhuyung sebab tamparan Alan yang begitu kencang. Ada setetes darah yang muncul di sudut bibirnya ketika Dina kembali menatap Alan tanpa malu. Terlihat pengusaha itu mengelap tangannya dengan sapu tangan yang Alvaro berikan. "Beraninya kamu menunjukkan wajahmu d
Keterangan yang dokter sampaikan tentang hasil tes DNA Rafael dan Alan, membuat lelaki itu terdiam. Ada kemarahan yang hadir di wajahnya kala melihat satu kata di atas selembar kertas yang ia genggam. "Aku sudah bilang bukan?" Kata dokter itu dengan tatapan iba. "Bukan ini yang aku harapkan. Kamu sudah salah mengeceknya.""Alan, bukalah matamu. Kamu boleh membenci Dina, tapi tidak dengan Rafael. Dia anak kandungmu, Lan!""Dia sudah berani berselingkuh di belakangku. Lelaki mana yang akan percaya tentang status anak yang selama ini ada di tengah-tengah rumah tangganya? Tidak akan ada. Dan aku salah satu dari lelaki itu.""Tapi, hasil tes membuktikan kalau Rafael positif anak kamu. Sembilan puluh sembilan persen, Lan.""Masih ada satu persen bukan? Dan apapun bisa terjadi." Alan masih menatap lelaki berseragam putih di depannya, tak percaya. Sang dokter menghela napas pelan. "Kamu bukan hanya meragukanku, Lan. Tapi juga meragukan kehebatan rumah sakit ini. Rumah sakit milik keluargam
Pagi ketika Felisha bangun, masih ada Alan di sampingnya. Itu terasa ketika ada tangan yang memeluk perutnya dari belakang. Perlahan Felisha bergerak dan membalik. Lelaki itu terlihat masih memejamkan mata. Tampak tenang dan damai. 'Andai Kaka tidak melakukan kekerasan kepadaku, mungkin saja aku akan jatuh hati dengan melihat ketampanan wajah Kaka sekarang,' batin Felisha yang tanpa sadar mengulurkan tangannya untuk menyentuh wajah lelaki di depannya itu. Entah keberanian dari mana akhirnya Felisha benar-benar menyentuh pipi Alan. Lalu, perlahan ia menyentuh alis lelaki itu. Bak ulat berbaris, hitam dan tebal. "Sudah puas? Apa masih ada bagian wajahku yang mau kamu sentuh?"Tiba-tiba Alan bersuara. Sontak hal itu membuat Felisha menarik tangannya. Namun, wanita itu kalah cepat. Alan menahannya dan kini malah kembali membawanya ke wajah. Alan mengecup tangan halus Felisha. Membuat sang istri mengernyit, serasa ada sensasi yang menggelitik, geli. "Ka-Kak, lepasin ...." Felisha berka
Suasana kantor sedikit berbeda dari hari-hari sebelumnya. Hal itu karena efek weekend, di mana para karyawan merasakan suasana hati yang lebih gembira karena besok libur kerja. Alan bisa melihat itu semua. Ia bisa melihat ekspresi anak buahnya senang dan bahagia. Juga sesuatu yang berimbas pada kinerja mereka sehingga tak ada makian atau kemarahan para manajer atas pekerjaan mereka hari itu yang biasanya terjadi di sepanjang hari. "Batalkan semua rapat hari ini. Atur ulang di awal minggu depan." Alan yang baru sampai di ruangannya berkata pada Alvaro. "Termasuk dengan PT. Ganada?" tanya Alvaro memastikan. "Ya. Termasuk dengan perusahaan itu. Aku lama-lama malas bertemu dengan Tuan Sakti kalau bukan karena terpaksa."Tanpa perlu Alan jelaskan, Alvaro tahu apa yang membuat pemimpinnya itu bersikap demikian terhadap salah seorang pengusaha kelas kakap yang kali ini mau bekerja sama dengan perusahaan mereka. "Kalau bukan karena papa, aku tidak mau melakukan kerja sama ini," lanjut Al
Taman kampus adalah tempat favorit Felisha ketika sedang mengobrol dengan Gina, teman satu-satunya yang cukup dekat dengannya di kampus. "Mas Aditya ketakutan tahu, Fel," kata Gina memulai obrolan. Jam kuliah baru akan dimulai satu jam lagi. Felisha sengaja berangkat lebih awal karena bosan lama-lama diam sendirian di hotel. Sekarang masih ada waktu kurang lebih empat puluh lima menit untuknya berbincang dengan Gina sebelum masuk kelas. "Ketakutan kenapa?" Felisha menatap bingung. "Tiba-tiba ada dua orang bertubuh besar nyamperin dan minta kamu turun dari area pameran."'Ah, sepertinya Kak Alan memakai cara ekstrim saat aku bekerja kemarin,' batin Felisha yang kini tahu cara apa yang membuat seorang Alan Tanujaya bisa membuatnya turun dari ajang pameran mobil mewah beberapa hari lalu. "Fel, memang sampai segitunya, yah?" Gina kembali berkata. "Segitunya gimana?" "Ya, sikap kakak ipar kamu itu. Sebelumnya dia pernah juga 'kan berhentiin motor aku di tengah-tengah jalan pas bonce
Felisha tidak tahu kenapa Alan bersikukuh supaya dirinya datang bersama. Padahal jika Felisha diizinkan datang sendiri, sudah sejak siang tadi ia bisa melihat dan menjenguk Rafael yang katanya sakit. Sekarang Felisha malah harus menunggu sampai Alan selesai dengan pekerjaannya. Ia yang tidak terbiasa berdiam di sebuah ruangan seperti saat ini, tampak canggung dan hanya bisa diam tanpa melakukan apapun. Sesekali ia melihat Alan yang fokus dengan laptop di depannya. Bahkan, Alvaro yang juga duduk di dekatnya, sama sekali tidak terganggu dengan keberadaan Felisha di ruangan itu. Lelaki itu —sama seperti tuannya, tampak serius mengerjakan pekerjaannya di akhir minggu tersebut. 'Untuk apa aku diminta datang ke sini kalau cuma disuruh melihatnya bekerja?' batin Felisha yang lama-lama kesal. Tapi, Felisha masih Felisha yang dulu. Ia tak pernah bisa menolak ketika ada sesuatu yang tidak disuka atau tidak sesuai dengan hati nuraninya. Wanita itu tetap setuju, maksimal diam ketika diminta unt