Taman kampus adalah tempat favorit Felisha ketika sedang mengobrol dengan Gina, teman satu-satunya yang cukup dekat dengannya di kampus. "Mas Aditya ketakutan tahu, Fel," kata Gina memulai obrolan. Jam kuliah baru akan dimulai satu jam lagi. Felisha sengaja berangkat lebih awal karena bosan lama-lama diam sendirian di hotel. Sekarang masih ada waktu kurang lebih empat puluh lima menit untuknya berbincang dengan Gina sebelum masuk kelas. "Ketakutan kenapa?" Felisha menatap bingung. "Tiba-tiba ada dua orang bertubuh besar nyamperin dan minta kamu turun dari area pameran."'Ah, sepertinya Kak Alan memakai cara ekstrim saat aku bekerja kemarin,' batin Felisha yang kini tahu cara apa yang membuat seorang Alan Tanujaya bisa membuatnya turun dari ajang pameran mobil mewah beberapa hari lalu. "Fel, memang sampai segitunya, yah?" Gina kembali berkata. "Segitunya gimana?" "Ya, sikap kakak ipar kamu itu. Sebelumnya dia pernah juga 'kan berhentiin motor aku di tengah-tengah jalan pas bonce
Felisha tidak tahu kenapa Alan bersikukuh supaya dirinya datang bersama. Padahal jika Felisha diizinkan datang sendiri, sudah sejak siang tadi ia bisa melihat dan menjenguk Rafael yang katanya sakit. Sekarang Felisha malah harus menunggu sampai Alan selesai dengan pekerjaannya. Ia yang tidak terbiasa berdiam di sebuah ruangan seperti saat ini, tampak canggung dan hanya bisa diam tanpa melakukan apapun. Sesekali ia melihat Alan yang fokus dengan laptop di depannya. Bahkan, Alvaro yang juga duduk di dekatnya, sama sekali tidak terganggu dengan keberadaan Felisha di ruangan itu. Lelaki itu —sama seperti tuannya, tampak serius mengerjakan pekerjaannya di akhir minggu tersebut. 'Untuk apa aku diminta datang ke sini kalau cuma disuruh melihatnya bekerja?' batin Felisha yang lama-lama kesal. Tapi, Felisha masih Felisha yang dulu. Ia tak pernah bisa menolak ketika ada sesuatu yang tidak disuka atau tidak sesuai dengan hati nuraninya. Wanita itu tetap setuju, maksimal diam ketika diminta unt
Betapa terkejutnya Felisha ketika ia melihat sosok Dina ada di kediaman orang tuanya. Wanita itu kaget sekaligus senang sebab berpikir jika keberadaan sang kakak yang otomatis akan menyelamatkannya."Kak Dina? Kaka udah pulang?" tanya Felisha tak percaya. Kebahagiaan segera menyelimuti jiwanya, meski saat ini statusnya sudah menjadi istri sah Alan. "Feli, apa kabar? Kaka kangen banget sama kamu," sahut Dina seraya memeluk tubuh adiknya itu. Felisha tampak canggung. Baru kali ini Dina melakukan physical touch seperti yang saat ini tengah wanita itu lakukan. Padahal selama ini, tak pernah Dina melakukan hal tersebut meski diakui oleh Felisha jika kakaknya itu sangatlah baik kepadanya. "Kabar aku baik, Kak. Kak Dina sendiri apa kabar?" tanya Felisha balik seraya melepaskan pelukan yang tetap terasa canggung. Alan yang berdiri di belakang kedua wanita tersebut, tetap diam dan mengamati. Bersama Alvaro dan Luna yang sudah ada bersamanya, pengusaha itu bersikap dingin setelah melihat so
"Kak, aku tahu kalau Kaka sudah tahu mengenai statusku dengan Kak Alan sekarang. Untuk itu aku mau minta maaf." Felisha bicara pada Dina saat mendapat kesempatan berbicara berdua di kamar sang kakak yang kini ditempati oleh putranya. "Feli, seharusnya Kaka yang meminta maaf, bukan kamu." Dina tampak tersenyum menatap adiknya tersebut. "Tapi, aku merasa seharusnya pernikahan itu tidak terjadi.""Kamu kaya nggak tahu Alan aja," sahut Dina tertawa. "Sudah sepatutnya Kaka mendapat hukuman seperti ini. Lagipula, seharusnya kamu bersyukur karena Alan menikahi kamu di tengah pembalasan yang ia lakukan ke kamu atas kesalahan Kaka yang semestinya Kaka terima."Tak tahu Felisha harus berkata apa. Mau bagaimana pun juga, ia masih menganggap jika Dina adalah seorang kakak yang baik. Saat ini saja kakaknya itu mau mengakui kesalahan yang sudah diperbuatnya dengan pergi dari kehidupan suami dan anaknya. Satu hal yang jarang bisa dilakukan oleh seorang pelaku di mana biasanya ia akan tetap bersiku
Ditemani semilir angin yang bertiup sepoi-sepoi di taman kampus, Felisha duduk termenung dengan sebuah buku tebal di atas pangkuannya. Baru beberapa halaman ia baca, tapi pikirannya sudah terbang jauh ke satu momen saat ia dan Alan selesai melakukan 'olahraga' semalam. "Aku tak pernah mengizinkan siapapun orang yang sudah mengkhianatiku untuk kembali. Bagiku tak ada maaf untuknya."Felisha ingat kalimat Alan yang diucapkannya berulang-ulang. Kalimat yang mengandung rasa sakit yang ia yakin akan sulit hilang sebab pengkhianatan. "Hai! Ngelamun sendirian aja?" Di saat Felisha tengah melamun, tiba-tiba muncul seseorang mengagetkannya. "Eh, Gina. Udah selesai diskusinya?" tanya Felisha seraya menggeser duduknya. "Hem, ya. Kabur lebih tepatnya."Teman Felisha itu tampak duduk dengan kedua kaki yang diselonjorkan lurus ke depan. "Kenapa kabur? Bukannya diskusi ini penting buat tugas akhir kamu, yah?""Boring denger penjelasan ketuanya, Fel. Yang diomonginnya itu lagi, itu lagi. Kaya g
Sesuai apa yang Felisha katakan pada Erik dan Harry, siang itu Gina ingin membeli barang-barang keperluan pribadinya. Sedikit sungkan ketika Gina ingin mengajak Felisha menuju area paling sensitif, membuat dua lelaki itu memilih untuk menunggu di sebuah kafe yang ada di dekat toko di mana Felisha dan Gina masuk. "Apa dua cowok itu gak ada kerjaan sampai ngikutin kita terus ke sini?" Gina bertanya sembari memilih beberapa dalaman yang ada di dalam keranjang, "Ya, mana aku tahu. Mereka sendiri yang maksa pingin ikut." Felisha menyahut cuek. "Tapi, ngomong-ngomong, Fel. Tumben banget kamu langsung setuju waktu aku minta tolong anterin belanja? Biasanya kamu selalu pulang cepat karena takut sama kakak ipar kamu itu.""Oh, itu. Ya ... gak apa-apa sekali-kali. Lagian kakak ipar aku juga lagi sibuk sama kerjaannya. Gak melulu dia sibuk ngurusin aku, adik iparnya," sahut Felisha berbohong. Tapi, gayanya yang santai tampak meyakinkan di mata Gina. "Kata kamu tadi ke Erik dan Harry, kaya ga
"Kamu beneran gak apa-apa, Fel?" Gina bertanya saat Erik dan Harry sedang mengantri tiket untuk mereka menonton film."Gak apa-apa gimana?" Felisha bertanya balik. "Iya, ini. Nonton?""Memang kenapa kalo aku nonton? Jujur aja ini pertama kalinya aku pergi ke bioskop setelah berapa tahun lamanya. Jadi, aku seneng banget." Felisha tampak bahagia ketika berkata demikian. "Emang terakhir kali kamu nonton kapan?" Gina mendadak lupa dengan pertanyaan sebelumnya. "Ehm ... kapan, yah?" Felisha mencoba mengingat sembari mengetuk-ngetuk dagunya sendiri dengan jari telunjuk. "Mungkin sekitar lima atau enam tahun yang lalu. Kira-kira terakhir itu waktu aku baru masuk SMA. Udah lama banget 'kan?" tanya Felisha seolah meminta pendapat Gina. "Gila! Lama banget itu. Emang kenapa? Gak punya temen buat diajak nonton? Atau emang gak hobi?""Emang gak terlalu suka juga sih. Tapi, kadang penasaran sama film-film thriller yang baru keluar.""Wah, selera kamu emang beda.""Beda kenapa?" Felisha menatap
"Katakan saja sekarang, kau mau apa?" tanya Alan pada Dina. Keduanya saat ini tengah berada di sebuah restoran mewah tempat favorit mereka saat masih menjadi pasangan suami istri. Dina seperti sebelumnya, masih bersikap tenang dan tak tahu malu. "Alan, jangan terlalu buru-buru. Kamu tahu kalo aku benar-benar minta maaf atas apa yang udah aku lakuin kemarin." Dengan mengulurkan tangan di atas meja, Dina berpikir akan dengan sangat mudah menggapai tangan mantan suaminya itu. Tapi nyatanya, hal itu hanya angan belaka.Alan langsung menarik tangannya, tampak jijik ketika wanita yang pernah menjadi bagian dari hidupnya itu bertingkah tidak tahu malu. "Bagaimana kau bisa berpikir bahwa aku akan menerimamu kembali? Sedangkan kesalahan yang sudah kau lakukan sangat berat.""Y-ya, aku tahu. Tapi, Alan, bukankah manusia memang tempatnya salah? Kenapa kamu tidak mau memberiku kesempatan kedua demi memperbaiki hubungan kita?"Alan menatap Dina tajam. "Sepertinya yang sudah aku katakan padamu