Pagi ketika Felisha bangun, masih ada Alan di sampingnya. Itu terasa ketika ada tangan yang memeluk perutnya dari belakang. Perlahan Felisha bergerak dan membalik. Lelaki itu terlihat masih memejamkan mata. Tampak tenang dan damai. 'Andai Kaka tidak melakukan kekerasan kepadaku, mungkin saja aku akan jatuh hati dengan melihat ketampanan wajah Kaka sekarang,' batin Felisha yang tanpa sadar mengulurkan tangannya untuk menyentuh wajah lelaki di depannya itu. Entah keberanian dari mana akhirnya Felisha benar-benar menyentuh pipi Alan. Lalu, perlahan ia menyentuh alis lelaki itu. Bak ulat berbaris, hitam dan tebal. "Sudah puas? Apa masih ada bagian wajahku yang mau kamu sentuh?"Tiba-tiba Alan bersuara. Sontak hal itu membuat Felisha menarik tangannya. Namun, wanita itu kalah cepat. Alan menahannya dan kini malah kembali membawanya ke wajah. Alan mengecup tangan halus Felisha. Membuat sang istri mengernyit, serasa ada sensasi yang menggelitik, geli. "Ka-Kak, lepasin ...." Felisha berka
Suasana kantor sedikit berbeda dari hari-hari sebelumnya. Hal itu karena efek weekend, di mana para karyawan merasakan suasana hati yang lebih gembira karena besok libur kerja. Alan bisa melihat itu semua. Ia bisa melihat ekspresi anak buahnya senang dan bahagia. Juga sesuatu yang berimbas pada kinerja mereka sehingga tak ada makian atau kemarahan para manajer atas pekerjaan mereka hari itu yang biasanya terjadi di sepanjang hari. "Batalkan semua rapat hari ini. Atur ulang di awal minggu depan." Alan yang baru sampai di ruangannya berkata pada Alvaro. "Termasuk dengan PT. Ganada?" tanya Alvaro memastikan. "Ya. Termasuk dengan perusahaan itu. Aku lama-lama malas bertemu dengan Tuan Sakti kalau bukan karena terpaksa."Tanpa perlu Alan jelaskan, Alvaro tahu apa yang membuat pemimpinnya itu bersikap demikian terhadap salah seorang pengusaha kelas kakap yang kali ini mau bekerja sama dengan perusahaan mereka. "Kalau bukan karena papa, aku tidak mau melakukan kerja sama ini," lanjut Al
Taman kampus adalah tempat favorit Felisha ketika sedang mengobrol dengan Gina, teman satu-satunya yang cukup dekat dengannya di kampus. "Mas Aditya ketakutan tahu, Fel," kata Gina memulai obrolan. Jam kuliah baru akan dimulai satu jam lagi. Felisha sengaja berangkat lebih awal karena bosan lama-lama diam sendirian di hotel. Sekarang masih ada waktu kurang lebih empat puluh lima menit untuknya berbincang dengan Gina sebelum masuk kelas. "Ketakutan kenapa?" Felisha menatap bingung. "Tiba-tiba ada dua orang bertubuh besar nyamperin dan minta kamu turun dari area pameran."'Ah, sepertinya Kak Alan memakai cara ekstrim saat aku bekerja kemarin,' batin Felisha yang kini tahu cara apa yang membuat seorang Alan Tanujaya bisa membuatnya turun dari ajang pameran mobil mewah beberapa hari lalu. "Fel, memang sampai segitunya, yah?" Gina kembali berkata. "Segitunya gimana?" "Ya, sikap kakak ipar kamu itu. Sebelumnya dia pernah juga 'kan berhentiin motor aku di tengah-tengah jalan pas bonce
Felisha tidak tahu kenapa Alan bersikukuh supaya dirinya datang bersama. Padahal jika Felisha diizinkan datang sendiri, sudah sejak siang tadi ia bisa melihat dan menjenguk Rafael yang katanya sakit. Sekarang Felisha malah harus menunggu sampai Alan selesai dengan pekerjaannya. Ia yang tidak terbiasa berdiam di sebuah ruangan seperti saat ini, tampak canggung dan hanya bisa diam tanpa melakukan apapun. Sesekali ia melihat Alan yang fokus dengan laptop di depannya. Bahkan, Alvaro yang juga duduk di dekatnya, sama sekali tidak terganggu dengan keberadaan Felisha di ruangan itu. Lelaki itu —sama seperti tuannya, tampak serius mengerjakan pekerjaannya di akhir minggu tersebut. 'Untuk apa aku diminta datang ke sini kalau cuma disuruh melihatnya bekerja?' batin Felisha yang lama-lama kesal. Tapi, Felisha masih Felisha yang dulu. Ia tak pernah bisa menolak ketika ada sesuatu yang tidak disuka atau tidak sesuai dengan hati nuraninya. Wanita itu tetap setuju, maksimal diam ketika diminta unt
Betapa terkejutnya Felisha ketika ia melihat sosok Dina ada di kediaman orang tuanya. Wanita itu kaget sekaligus senang sebab berpikir jika keberadaan sang kakak yang otomatis akan menyelamatkannya."Kak Dina? Kaka udah pulang?" tanya Felisha tak percaya. Kebahagiaan segera menyelimuti jiwanya, meski saat ini statusnya sudah menjadi istri sah Alan. "Feli, apa kabar? Kaka kangen banget sama kamu," sahut Dina seraya memeluk tubuh adiknya itu. Felisha tampak canggung. Baru kali ini Dina melakukan physical touch seperti yang saat ini tengah wanita itu lakukan. Padahal selama ini, tak pernah Dina melakukan hal tersebut meski diakui oleh Felisha jika kakaknya itu sangatlah baik kepadanya. "Kabar aku baik, Kak. Kak Dina sendiri apa kabar?" tanya Felisha balik seraya melepaskan pelukan yang tetap terasa canggung. Alan yang berdiri di belakang kedua wanita tersebut, tetap diam dan mengamati. Bersama Alvaro dan Luna yang sudah ada bersamanya, pengusaha itu bersikap dingin setelah melihat so
"Kak, aku tahu kalau Kaka sudah tahu mengenai statusku dengan Kak Alan sekarang. Untuk itu aku mau minta maaf." Felisha bicara pada Dina saat mendapat kesempatan berbicara berdua di kamar sang kakak yang kini ditempati oleh putranya. "Feli, seharusnya Kaka yang meminta maaf, bukan kamu." Dina tampak tersenyum menatap adiknya tersebut. "Tapi, aku merasa seharusnya pernikahan itu tidak terjadi.""Kamu kaya nggak tahu Alan aja," sahut Dina tertawa. "Sudah sepatutnya Kaka mendapat hukuman seperti ini. Lagipula, seharusnya kamu bersyukur karena Alan menikahi kamu di tengah pembalasan yang ia lakukan ke kamu atas kesalahan Kaka yang semestinya Kaka terima."Tak tahu Felisha harus berkata apa. Mau bagaimana pun juga, ia masih menganggap jika Dina adalah seorang kakak yang baik. Saat ini saja kakaknya itu mau mengakui kesalahan yang sudah diperbuatnya dengan pergi dari kehidupan suami dan anaknya. Satu hal yang jarang bisa dilakukan oleh seorang pelaku di mana biasanya ia akan tetap bersiku
Ditemani semilir angin yang bertiup sepoi-sepoi di taman kampus, Felisha duduk termenung dengan sebuah buku tebal di atas pangkuannya. Baru beberapa halaman ia baca, tapi pikirannya sudah terbang jauh ke satu momen saat ia dan Alan selesai melakukan 'olahraga' semalam. "Aku tak pernah mengizinkan siapapun orang yang sudah mengkhianatiku untuk kembali. Bagiku tak ada maaf untuknya."Felisha ingat kalimat Alan yang diucapkannya berulang-ulang. Kalimat yang mengandung rasa sakit yang ia yakin akan sulit hilang sebab pengkhianatan. "Hai! Ngelamun sendirian aja?" Di saat Felisha tengah melamun, tiba-tiba muncul seseorang mengagetkannya. "Eh, Gina. Udah selesai diskusinya?" tanya Felisha seraya menggeser duduknya. "Hem, ya. Kabur lebih tepatnya."Teman Felisha itu tampak duduk dengan kedua kaki yang diselonjorkan lurus ke depan. "Kenapa kabur? Bukannya diskusi ini penting buat tugas akhir kamu, yah?""Boring denger penjelasan ketuanya, Fel. Yang diomonginnya itu lagi, itu lagi. Kaya g
Sesuai apa yang Felisha katakan pada Erik dan Harry, siang itu Gina ingin membeli barang-barang keperluan pribadinya. Sedikit sungkan ketika Gina ingin mengajak Felisha menuju area paling sensitif, membuat dua lelaki itu memilih untuk menunggu di sebuah kafe yang ada di dekat toko di mana Felisha dan Gina masuk. "Apa dua cowok itu gak ada kerjaan sampai ngikutin kita terus ke sini?" Gina bertanya sembari memilih beberapa dalaman yang ada di dalam keranjang, "Ya, mana aku tahu. Mereka sendiri yang maksa pingin ikut." Felisha menyahut cuek. "Tapi, ngomong-ngomong, Fel. Tumben banget kamu langsung setuju waktu aku minta tolong anterin belanja? Biasanya kamu selalu pulang cepat karena takut sama kakak ipar kamu itu.""Oh, itu. Ya ... gak apa-apa sekali-kali. Lagian kakak ipar aku juga lagi sibuk sama kerjaannya. Gak melulu dia sibuk ngurusin aku, adik iparnya," sahut Felisha berbohong. Tapi, gayanya yang santai tampak meyakinkan di mata Gina. "Kata kamu tadi ke Erik dan Harry, kaya ga