Share

Menjelajahi Hutan Terlarang

Hutan lebat dan menakutkan yang mengelilingi Desa Tumbal tampak menjulang di depan Danu, Sari, dan Ujang saat mereka menyusuri jalan berliku. Kanopi pohon-pohon tinggi menghalangi sinar matahari, membuat hutan tampak remang-remang seperti senja, yang membuat bulu kuduk Danu meremang.

Sari memimpin jalan dengan langkah pasti dan penuh tujuan, seolah-olah dia telah berkali-kali melewati jalur ini. Ujang, teman masa kecilnya, mengikuti di belakangnya, matanya terus-menerus mengawasi bayangan mencari tanda bahaya.

Danu, dengan buku catatannya yang tersimpan rapi di jaketnya, berusaha mengingat setiap detail dari lingkungan mereka. Udara terasa tebal dengan aroma tanah lembap dan bisikan-bisikan mengerikan dari pepohonan, seolah-olah hutan itu sendiri hidup dan mengawasi setiap gerakan mereka.

"Kamu yakin ini jalannya, Sari?" tanya Danu, suaranya hampir berbisik, seolah berbicara terlalu keras bisa menarik perhatian makhluk tak terlihat.

Sari menoleh ke belakang, ekspresinya penuh keyakinan. "Ya, aku yakin. Ada kuil kuno jauh di dalam hutan yang mungkin menyimpan kunci untuk memahami perjanjian yang dibuat leluhur kita dengan roh hutan."

Ujang mengangguk, alisnya berkerut dengan kekhawatiran. "Ini tempat yang berbahaya, Danu. Penduduk desa bilang pengaruh roh itu paling kuat di sini, dan mereka yang pergi terlalu jauh ke dalam hutan... mereka tidak pernah kembali."

Danu merasakan dingin menjalar di punggungnya, tapi dia menolak menunjukkan rasa takutnya. "Aku mengerti risikonya, Ujang, tapi aku harus mencoba. Keamanan desa ini, nyawa pendudukmu, bergantung pada kita untuk mengungkap kebenaran."

Sari meraih dan menggenggam tangan Danu, matanya penuh dengan campuran rasa terima kasih dan ketakutan. "Aku tahu, Danu. Itulah mengapa aku bersedia mengambil risiko ini bersamamu. Kita harus menemukan cara untuk memutus kutukan ini, apapun biayanya."

Ujang menghela napas pasrah. "Kalau begitu ayo kita lanjutkan. Semakin cepat kita menemukan kuil ini, semakin baik."

Mereka bertiga melanjutkan perjalanan, hutan semakin gelap dan menekan dengan setiap langkah. Danu tak bisa menghilangkan perasaan bahwa mereka sedang diawasi, dan dia terus-menerus menoleh ke belakang, mencari tanda-tanda pergerakan di bayangan.

Saat mereka semakin dalam memasuki jantung hutan, jalannya semakin berbahaya, dengan akar-akar berbelit dan ranting-ranting jatuh yang mengancam menjegal mereka di setiap tikungan. Sari menavigasi rintangan dengan mudah, sementara Danu dan Ujang berjuang untuk tetap mengikuti, fokus mereka terbagi antara medan yang berbahaya dan bahaya tak terlihat yang mengintai di sekitar mereka.

Tiba-tiba, Sari berhenti, tangannya terangkat memberi perintah diam-diam kepada yang lain untuk berhenti. Danu dan Ujang membeku, jantung mereka berdebar saat mereka berusaha mendengar apa yang membuat Sari berhenti.

"Di sana," bisik Sari, matanya tertuju pada sebuah area kecil yang ditumbuhi semak belukar di depan. "Kamu lihat itu?"

Danu menyipitkan mata, pandangannya mengikuti arah jari telunjuk Sari. Pada awalnya, dia tidak melihat apa-apa selain belitan tumbuhan dan semak belukar, tetapi kemudian, perlahan, sebuah struktur mulai muncul dari bayangan – sebuah kuil kuno yang runtuh, dindingnya dihiasi dengan ukiran dan simbol yang rumit.

"Demi dewa..." desah Ujang, suaranya penuh dengan campuran kekaguman dan ketakutan. "Jadi benar. Kuil terlarang itu nyata."

Danu merasakan lonjakan kegembiraan dan ketakutan. "Ini pasti tempat yang Bu Lestari bicarakan – yang menyimpan kunci untuk ritual dan perjanjian dengan roh hutan."

Sari mengangguk, ekspresinya serius. "Ya. Dan jika kita ingin memiliki kesempatan untuk memutus kutukan ini, kita harus menemukan rahasia apa yang disimpannya."

Tanpa berkata apa-apa lagi, Sari melangkah maju, gerakannya hati-hati dan teliti saat mendekati struktur kuno itu. Danu dan Ujang mengikuti di belakangnya, indra mereka terjaga saat mereka memindai hutan mencari tanda-tanda bahaya.

Saat mereka mendekat, ukiran rumit di dinding kuil semakin terlihat, dan Danu merasakan rasa kagum dan ketakutan menyelimutinya. Simbol-simbol itu, meskipun tidak dikenal, tampak memancarkan kekuatan kuno yang membuatnya merinding.

"Hati-hati," Ujang memperingatkan, suaranya rendah dan tegang. "Penduduk desa bilang tempat ini terkutuk, bahwa kehadiran roh hutan paling kuat di sini."

Danu mengangguk, cengkeramannya mengencang pada tali tas selempangnya. "Aku tahu, tapi kita harus terus maju. Kita sudah terlalu jauh untuk mundur sekarang."

Sari berhenti di pintu masuk kuil, tangannya menyentuh batu yang sudah lapuk. "Ini dia, Danu. Kamu siap?"

Danu menarik napas dalam-dalam, menguatkan keberaniannya. "Siap atau tidak, kita harus lakukan ini."

Bersama-sama, mereka melangkah melewati lengkungan yang runtuh, udara di dalam kuil tebal dengan aroma pembusukan dan beban rahasia berabad-abad.

Bagian dalam kuil remang-remang, satu-satunya pencahayaan berasal dari sinar matahari yang menerobos melalui belitan tumbuhan dan dedaunan. Mata Danu tertuju pada ukiran dinding yang rumit yang menghiasi ruangan itu, menggambarkan upacara ritual dan persembahan kepada sosok berkepala tanduk yang mengirimkan rasa dingin ke tulang punggungnya.

"Ini pasti roh hutan itu," bisik Sari, jarinya mengikuti garis sosok yang mengesankan itu. "Yang leluhur kita buat perjanjian dengannya."

Ujang mengusap permukaan batu halus di altar rendah, alisnya berkerut dalam konsentrasi. "Dan ini... ini pasti tempat mereka melakukan ritualnya, tempat mereka membuat pengorbanan."

Danu merasakan gelombang mual saat kenyataan situasi itu menyentuhnya. "Jadi semua ini – hilangnya orang-orang, kematian – semuanya bagian dari perjanjian kuno yang tak bisa diputuskan?"

Ekspresi Sari mengeras, matanya menyala dengan tekad yang kuat. "Tidak tak bisa diputuskan, Danu. Pasti ada cara untuk membebaskan desa kita dari kutukan ini, dan kita akan menemukannya."

Ujang mengangguk, pandangannya menyapu seluruh bagian dalam kuil. "Sari benar. Tempat ini pasti menyimpan jawaban yang kita cari, jika kita tahu di mana mencarinya."

Danu menarik napas dalam-dalam, pikirannya sudah berlari dengan kemungkinan-kemungkinan. "Kalau begitu mari kita mulai bekerja. Semakin banyak yang bisa kita ungkap tentang perjanjian dan ritual ini, semakin besar peluang kita untuk memutus kutukan ini."

Mereka bertiga berpencar, masing-masing memeriksa ukiran dan artefak di kuil dengan mata yang tajam, mencari petunjuk yang bisa membawa mereka ke solusi yang sangat mereka cari.

Saat jam berlalu, Danu menemukan dirinya tenggelam dalam teks kuno yang dia temukan, jantungnya berdetak kencang dengan setiap wahyu baru. Perjanjian, ritual, roh hutan – semuanya dijelaskan dengan detail yang mengerikan, sebuah bukti dingin dari keputusasaan dan ketakutan yang mendorong leluhur mereka membuat keputusan yang menentukan itu.

"Sari, Ujang, lihat ini," panggilnya, suaranya bergetar dengan campuran horor dan tekad.

Yang lainnya bergegas mendekatinya, mata mereka membesar saat melihat naskah kuno itu.

"Ini dia," bisik Sari, tangannya menggenggam lengan Danu. "Kunci untuk memutus kutukan. Kita harus menunjukkan ini kepada ibuku, dan kepada Pak Tarman. Mereka perlu melihat ini, untuk memahami kebenarannya."

Ujang mengangguk, ekspresinya serius. "Tapi apakah mereka siap menghadapi kegelapan yang ada di inti sejarah desa ini? Bisakah mereka menghadapi kenyataan dari apa yang telah dilakukan leluhur kita?"

Rahang Danu mengencang, tekadnya menguat. "Mereka harus, Ujang. Nyawa penduduk desa bergantung padanya. Kita harus mencoba, apapun biayanya."

Dengan naskah kuno tersimpan dengan aman di tas Danu, mereka bertiga kembali melalui hutan yang padat dan menakutkan, langkah mereka dipercepat oleh rasa tujuan dan urgensi yang baru. Beban penemuan mereka terasa berat di udara, tapi Danu tahu bahwa mereka selangkah lebih dekat untuk mengungkap kebenaran dan, mungkin, menemukan cara untuk memutus kutukan yang telah menghantui Desa Tumbal selama beberapa generasi.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status