Sosok tinggi besar dengan tanduk dari roh hutan berdiri mengancam di atas desa, membuat Danu merasa sulit bernapas. Dia merasakan genggaman Sari di tangannya semakin erat saat mereka berdiri terpaku, mata mereka tertuju pada makhluk yang menakutkan itu.
Penduduk desa sudah mundur ke pinggir alun-alun, tubuh mereka gemetar karena campuran rasa takut dan hormat. Pak Tarman melangkah maju, wajahnya serius saat dia mengangkat tangan sebagai tanda permohonan.
"Roh agung," panggilnya, suaranya menggema dalam keheningan yang mengejutkan, "kami datang untuk memberikan persembahan kami, untuk menenangkan lapar Anda dan menjaga perlindungan desa kami."
Mata roh itu, menyala dengan kekuatan kuno dan liar, menatap kepala desa, tatapannya menembus dirinya. Suara gemuruh rendah terdengar di alun-alun, membuat Danu merinding.
Di sampingnya, Sari bergerak gelisah, suaranya hampir tidak terdengar. "Danu, menurutmu persembahan ini cukup? Bagaimana kalau roh itu menginginkan lebih?"
Danu menelan ludah, pikirannya berputar-putar mencoba mengingat detail ritual kuno. "Aku... aku tidak tahu, Sari. Tulisan itu jelas tentang pentingnya artefak, tapi juga menyebutkan kelaparan roh yang tak terpuaskan. Kita cuma bisa berharap persiapan kita sudah cukup."
Perhatian roh itu sekarang beralih ke persembahan yang tertata rapi di dasar pohon, kepalanya yang besar menunduk untuk memeriksa benda-benda suci itu. Danu menahan napas, jantungnya berdetak kencang saat dia mengamati setiap gerakan makhluk itu.
Perlahan, tangan roh yang bercakar mengulurkan tangan, jari-jarinya dengan hormat menelusuri ukiran dan simbol rumit yang menghiasi peninggalan. Gemuruh, dalam dan bergema, terdengar di alun-alun, dan sejenak, Danu berharap bahwa roh itu puas.
Tapi kemudian, tanpa peringatan, makhluk itu mengeluarkan raungan yang memekakkan telinga, suaranya mengguncang fondasi desa. Penduduk desa berteriak ketakutan, beberapa jatuh berlutut memohon, sementara yang lain melarikan diri dalam upaya putus asa untuk melarikan diri dari amarah roh itu.
Danu dan Sari tetap berdiri di tempat mereka, mata mereka terkunci pada sosok menjulang di depan mereka. Ujang, wajahnya penuh ketakutan, bergerak untuk berdiri di samping mereka, tangannya secara naluriah meraih gagang parang.
"Apa yang terjadi?" teriaknya, suaranya bergetar. "Apakah kita melakukan sesuatu yang salah?"
Danu menggelengkan kepala, pikirannya berpacu. "Aku tidak tahu, Ujang. Tapi kita tidak bisa menyerah sekarang – tidak setelah kita sejauh ini."
Genggaman Sari di tangan Danu semakin kuat, ekspresinya tegas. "Danu benar. Kita harus terus maju, apapun yang roh itu lakukan."
Pak Tarman melangkah maju, suaranya memecah kekacauan. "Cukup!" teriaknya, matanya menyipit dengan campuran tekad dan keputusasaan. "Roh agung, kami sudah memenuhi permintaanmu, seperti yang leluhur kami lakukan sebelumnya. Kenapa kamu menolak persembahan kami?"
Perhatian roh itu beralih ke kepala desa, tatapannya membara dengan kemarahan kuno. Raungan mengguncang bumi kembali terdengar, dan Danu melihat dengan ngeri saat tubuh besar makhluk itu mulai berubah, tubuhnya bergeser dan berputar hingga menyerupai sosok manusia raksasa.
"Leluhurmu mengkhianatiku," desis roh itu, suaranya bergemuruh mengirimkan rasa dingin ke tulang punggung Danu. "Mereka melanggar janji mereka, memberikan barang-barang remeh temeh bukannya darah yang aku tuntut."
Sari terengah-engah, wajahnya pucat menyadari sesuatu. "Pengorbanan manusia," bisiknya, matanya membesar dengan kesedihan. "Kamu bicara tentang pengorbanan manusia, bukan?"
Bibir roh itu meringis dengan jahat, matanya bersinar dengan niat buruk. "Benar, anak. Perjanjiannya jelas – nyawa dibalas nyawa, setiap bulan purnama. Tapi orang-orangmu berani menentangku, memberikan barang-barang remeh ini sebagai pengganti apa yang seharusnya aku terima."
Danu merasa marah, rahangnya mengeras. "Tapi teks yang kami temukan, ritualnya – itu menyebutkan penggunaan artefak ini untuk menenangkanmu, untuk memutuskan kutukan tanpa perlu pengorbanan manusia."
Roh itu tertawa hampa, suaranya menggema di alun-alun yang hening. "Anak bodoh, apa kamu benar-benar percaya bahwa perjanjian bisa diputuskan begitu mudah? Darah orang-orangmu adalah satu-satunya mata uang yang akan aku terima."
Sari melangkah maju, matanya berapi-api dengan keberanian. "Kalau begitu ambil aku, roh. Aku akan mengorbankan diriku sebagai pengganti yang lain, jika itu yang dibutuhkan untuk mengakhiri kutukan ini."
Hati Danu mencelos, dan dia menarik Sari kembali. "Tidak, Sari! Aku tidak akan membiarkanmu melakukan ini."
Tatapan roh itu tertuju pada Sari, ekspresinya merenung. "Tawaran yang mengagumkan, anak, tapi nyawamu saja tidak cukup untuk memuaskan kelaparanku. Aku membutuhkan darah seluruh desa, untuk memastikan bahwa perjanjian tetap tidak terputus."
Wajah Ujang berubah ketakutan, dan dia menghunus parangnya, jari-jarinya putih karena tegang. "Kami tidak akan membiarkanmu mengambil mereka, monster!"
Mata roh itu menyipit, dan ia mengeluarkan raungan yang memekakkan telinga, tubuh besarnya menjulang di atas para penduduk desa. "Kalau begitu kalian semua akan binasa, seperti leluhurmu sebelumnya."
Danu merasakan jantungnya berdebar kencang saat roh itu maju, cakar-cakarnya terulur, siap melepaskan amarahnya pada orang-orang desa Tumbal yang ketakutan. Dia tahu bahwa waktu mereka semakin sedikit, bahwa nasib seluruh komunitas kini bergantung pada mereka.
Tangan Sari menemukan tangannya, dan dia merasakan gelombang tekad mengalir dalam dirinya. "Kita tidak boleh menyerah, Danu," bisiknya, suaranya gemetar karena ketakutan tapi penuh tekad. "Kita harus menemukan cara untuk menghentikan ini, untuk menyelamatkan orang-orang kita."
Danu mengangguk, tatapannya mengeras saat dia berbalik menghadapi roh yang mendekat. "Kalau begitu ayo lakukan, Sari. Bersama-sama, kita akan menemukan cara untuk memutuskan kutukan ini, berapapun harganya."
Melangkah maju, Danu mengangkat tangannya, suaranya menggema di seluruh alun-alun. "Roh, dengarkan aku! Kami telah melakukan apa yang kamu minta, kami membawa artefak, simbol-simbol pengabdian kami. Apa lagi yang kamu inginkan dari kami?"
Roh itu berhenti, tubuhnya yang menjulang tinggi mengintimidasi Danu, dan sejenak, Danu merasakan harapan. "Perjanjiannya jelas," desis roh itu, "darah orang-orangmu adalah satu-satunya pembayaran yang akan aku terima."
Sari bergerak untuk berdiri di samping Danu, matanya terkunci pada makhluk itu. "Tapi pasti ada cara lain, roh. Pastilah kekuatan peninggalan kuno ini, kedalaman pengabdian kami, bisa cukup untuk menenangkanmu."
Tatapan roh itu menyipit, dan ia mengeluarkan geraman rendah yang menggelegar. "Leluhurmu berpikir demikian, anak, dan mereka membayar harga untuk kesombongan mereka. Perjanjiannya tidak bisa diputuskan, dan satu-satunya cara untuk mempertahankan perlindungan desa kalian adalah melalui pengorbanan orang-orang kalian."
Danu merasakan keputusasaan, pikirannya berpacu mencari cara untuk melepaskan cengkeraman roh itu pada desa. "Tolong, roh," pintanya, "pasti ada solusi lain. Kami bersedia melakukan apapun untuk mengakhiri kutukan ini, tapi kami tidak bisa menerima kehilangan orang-orang kami."
Mata roh itu menyala dengan kemarahan kuno yang tak tergoyahkan, dan sejenak, harapan Danu mulai goyah. Tapi kemudian, kilatan sesuatu yang lain muncul di tatapan makhluk itu, sebuah isyarat rasa ingin tahu atau mungkin bahkan sejumput empati.
"Baiklah, manusia," gemuruh roh itu, suaranya penuh dengan penghormatan yang enggan. "Jika kamu benar-benar bersedia melakukan apapun, maka aku akan memberimu satu kesempatan terakhir untuk membuktikan nilai kalian."
Danu merasakan harapannya bangkit kembali, dan dia mengangguk, ekspresinya tegas. "Sebutkan syaratmu, roh, dan kami akan memenuhinya, berapapun harganya."
Bibir roh itu meringis dengan jahat, dan Danu tahu bahwa mereka akan memulai perjalanan berbahaya, yang akan menguji batas tekad dan keberanian mereka. Tapi dengan Sari dan penduduk desa di sisinya, dia lebih bertekad dari sebelumnya untuk memutuskan kutukan desa Tumbal, sekali dan untuk selamanya.
Bentuk besar roh hutan menjulang di atas Danu, Sari, dan para penduduk desa, tatapannya yang membara tertuju pada mereka dengan kemarahan kuno yang tak kenal ampun. Danu merasakan jantungnya berdegup kencang saat dia menatap makhluk itu dengan tekad putus asa untuk menemukan cara mematahkan kutukan yang telah menghantui Desa Tumbal selama beberapa generasi."Baiklah, manusia," geram roh itu, suaranya seperti geraman dalam yang menggema. "Aku akan memberi kalian satu kesempatan terakhir untuk membuktikan nilai kalian dan memuaskan kelaparanku. Berhasil, dan aku akan mengangkat kutukan ini. Gagal, dan darah rakyatmu akan menjadi harga yang harus kalian bayar."Danu menelan ludah dengan susah payah, tenggorokannya mendadak kering. "Sebutin syarat-syaratmu, roh," katanya, suaranya tetap tenang meskipun rasa takut mengancam akan menguasainya. "Apapun yang kamu minta, kami akan melakukannya."Bibir roh itu melengkung menjadi seringai jahat, matanya berkilauan dengan sorot predator. "Artefak
Hutan kuno menjulang di depan Danu dan Sari, pohon-pohon tinggi itu melemparkan bayangan panjang yang menyeramkan yang menari-nari dalam cahaya gemerlap obor mereka. Udara penuh dengan aroma tanah lembab dan bisikan angin yang samar, sebuah pengingat konstan akan perjalanan berbahaya yang menanti di depan.Sari menggenggam tali ranselnya, jari-jarinya putih tegang. "Apakah kamu yakin akan ini, Danu? Kuil Para Leluhur dikatakan dijaga oleh perisai dan pesona yang kuat. Bagaimana jika kita tidak cukup kuat untuk mengalahkannya?"Danu meraih dan meremas tangan Sari dengan penuh keyakinan, wajahnya teguh. "Kita harus mencoba, Sari. Nasib orangmu berada di pundak kita, dan aku tidak akan mengecewakan mereka. Tidak setelah semua yang kita alami."Sari mengangguk, bibirnya dipadatkan. "Aku tahu, tapi tuntutan roh... mereka tak terbayangkan. Bagaimana jika kita tidak bisa menemukan liontin itu? Bagaimana jika kita gagal?"Pandangan Danu menjadi keras, rahangnya bertekad. "Kita tidak bisa berp
Danu dan Sari keluar dari Kuil Leluhur yang kuno, Amulet Sangkuriang digenggam erat di tangan Danu. Pakaian mereka robek dan wajah mereka berlumuran tanah, tetapi ekspresi mereka penuh dengan tekad baru dan harapan.Saat mereka bergegas melewati hutan yang lebat, suara gemuruh makhluk yang mengejar mereka terdengar di kejauhan, mengingatkan mereka akan tugas berbahaya yang menunggu di depan. Danu bisa merasakan kekuatan amulet itu berdenyut di telapak tangannya, energinya yang kuno bergetar dengan rasa tujuan."Kita berhasil, Sari," katanya, suaranya hampir tak terdengar. "Kita sudah menemukan amulet itu, seperti yang diminta roh. Sekarang kita harus kembali ke desa dan menghadapinya, sekali dan untuk selamanya."Sari mengangguk, ekspresinya teguh. "Aku tahu, Danu. Tapi setelah semua yang kita alami, aku tidak bisa menghilangkan rasa tidak nyaman ini. Tuntutan roh itu sangat berat, dan konsekuensi kegagalan sangat serius. Bagaimana jika kita tidak cukup kuat untuk memuaskannya?"Danu
Udara terasa tebal dengan aroma tanah lembap dan dedaunan yang membusuk saat Danu melangkah melalui hutan lebat yang mengelilingi Desa Tumbal. Sudah berbulan-bulan sejak kunjungan terakhirnya ke desa terkutuk itu, tapi kenangan pengalaman mengerikan tersebut masih menghantui, enggan terhapus dari ingatannya.Langkah Danu hati-hati, matanya memindai bayangan untuk mencari tanda-tanda kekuatan supranatural yang pernah mengancam komunitas itu. Sebagai jurnalis, dia tahu bahwa kebenaran masih ada di luar sana, terus mengintai di luar jangkauannya, memohon untuk ditemukan.Saat dia menerobos semak belukar, perasaan tak nyaman merayap di punggungnya. Hutan yang dulu penuh kehidupan, kini terasa menekan, seolah-olah pepohonan mengawasi setiap gerakannya. Danu tidak bisa menghilangkan perasaan bahwa kegelapan belum sepenuhnya sirna, bahwa kejahatan yang menghantui Desa Tumbal masih bersembunyi di bayang-bayang, menunggu untuk menyerang lagi.Dia terus maju, didorong oleh keinginan untuk memah
Pak Tarman duduk di rumah kecilnya yang sudah tua, tangannya yang keriput menggenggam secangkir teh panas. Bunyi detik jam tua di dinding menjadi satu-satunya suara yang memecah keheningan yang mencekam ruangan itu.Ketika Danu dan Sari masuk, Pak Tarman menoleh, matanya menyipit dengan campuran keterkejutan dan kecemasan. Dia tidak menyangka akan melihat mereka lagi, terutama setelah trauma yang mereka alami di tempat terkutuk ini."Apa yang kalian lakukan di sini?" tanya Pak Tarman dengan suara serak yang terdengar sedikit waspada.Danu berdehem, menatap sang tetua dengan ekspresi penuh tekad. "Kami butuh bantuanmu, Pak Tarman," katanya dengan nada yang tidak memberi ruang untuk penolakan. "Kegelapan yang mengganggu desa ini – belum berakhir. Kami percaya masih ada yang perlu diungkap, dan kami butuh petunjukmu untuk melakukannya."Sari melangkah maju, matanya memohon. "Tolong, Pak Tarman. Kita tidak bisa membiarkan ini berlanjut. Terlalu banyak yang sudah hilang."Ekspresi Pak Tarm
Hutan lebat di sekitar Desa Tumbal sunyi senyap, seolah-olah pohon-pohon menahan napas, menantikan sesuatu yang luar biasa. Danu dan Sari berjalan menyusuri jalan setapak yang berliku, langkah mereka hati-hati, dan indera mereka siaga, sadar akan kekuatan tak terlihat yang seakan meresapi udara.Sari memimpin jalan, ekspresinya penuh tekad, matanya menyusuri dedaunan mencari tanda-tanda keberadaan dukun, Nyi Roro, yang disebut oleh Pak Tarman. Danu mengikuti di belakangnya, tas kamera tergantung di bahunya, naluri jurnalisnya siap untuk menemukan kebenaran yang tersembunyi di balik bayangan hutan terkutuk ini.Semakin dalam mereka masuk ke hutan, udara terasa semakin berat, penuh dengan aroma tanah basah dan wangi rempah-rempah yang asing. Danu merasa tidak nyaman, ada perasaan menggelitik di tengkuknya yang menunjukkan mereka sedang diawasi."Kamu merasakan itu?" bisiknya pada Sari, suaranya nyaris tak terdengar.Sari mengangguk, matanya menyipit. "Ada yang tidak beres," jawabnya, ta
Saat Danu dan Sari keluar dari hutan lebat, bangunan-bangunan sederhana Desa Tumbal mulai terlihat. Tapi suasana yang dulu hangat kini tergantikan oleh ketegangan, rasa cemas yang terasa jelas di udara.Dahi Sari berkerut saat mereka mendekati desa, matanya mengamati wajah-wajah orang yang mereka lewati. Ada kewaspadaan di ekspresi mereka, kelelahan yang mengisyaratkan kekhawatiran yang lebih dalam dan tak terucapkan."Ada yang berbeda," bisik Sari pada Danu, suaranya nyaris tak terdengar. "Penduduk desa kelihatannya... gelisah."Danu mengangguk, indra mereka semakin tajam saat mereka berjalan melalui jalanan sempit. Pasar yang biasanya ramai kini terasa sepi, para pedagang menundukkan kepala, mata mereka melirik dengan gugup. Seolah-olah seluruh desa telah tercemar oleh kekuatan tak terlihat, bayangan yang merayap masuk tanpa disadari.Saat mereka mendekati rumah sederhana Sari, seorang figur muncul dari bayangan, wajahnya yang tua dipenuhi campuran kecemasan dan keberanian. Itu adal
Rimbunan hutan semakin rapat mengelilingi Danu, Sari, dan Nyi Roro saat mereka semakin jauh masuk ke jantung hutan kuno itu. Udara terasa tebal dengan aroma tanah basah dan sedikit aroma ramuan yang tidak dikenal, dan suasananya terasa penuh dengan kecemasan, seolah-olah pepohonan memperhatikan setiap langkah mereka.Danu merasakan sensasi dingin di belakang lehernya, firasat bahwa mereka sedang menuju tempat yang penuh bahaya dan teror yang tidak diketahui. Dia menggenggam tali tas kameranya erat-erat, jarinya gatal ingin mendokumentasikan perjalanan yang akan mereka tempuh.Sari berjalan di sampingnya, ekspresinya tegang namun tekadnya kuat. Kesedihan dan trauma yang dialaminya di desa terkutuk ini hanya memperkuat tekadnya untuk mengungkap kebenaran dan mengakhiri kegelapan yang menghantui desanya selama berabad-abad.Nyi Roro memimpin jalan, langkahnya mantap dan pandangannya teguh. Wajah sang dukun yang berkerut menunjukkan campuran tekad dan kesedihan, seolah-olah dia tahu bahay