Dalam beberapa hari berikutnya, suasana Desa Tumbal yang biasanya tenang menjadi sangat sibuk dan penuh semangat. Danu, Sari, Pak Tarman, dan warga desa lainnya bekerja keras, wajah mereka menunjukkan campuran tekad dan ketakutan saat mereka mempersiapkan ritual yang akan menentukan nasib desa mereka.
Danu sibuk membaca teks kuno yang mereka temukan di kuil terlarang, alisnya berkerut karena konsentrasi saat ia mempelajari detail-detail ritual dan artefak yang diperlukan untuk menenangkan roh hutan. Sari dan Ujang berkeliling desa, mengumpulkan relik dan barang-barang suci yang diperlukan, gerakan mereka cepat dan penuh tujuan.
Pak Tarman, dengan wajahnya yang sudah tua dan lelah, mengkoordinasikan usaha para warga desa, memastikan setiap detail diperhatikan dengan teliti. Penduduk desa yang dulunya ragu-ragu kini bekerja dengan semangat baru, mata mereka bersinar dengan harapan yang sudah lama hilang.
Seiring dengan berjalannya persiapan, Danu tidak bisa tidak merasa kagum dengan perubahan yang terjadi. Penduduk desa yang dulunya putus asa sekarang sudah berani dan bertekad untuk mematahkan kutukan yang sudah lama menghantui mereka.
"Luar biasa, ya?" kata Sari dengan suara pelan saat berdiri di samping Danu, melihat aktivitas di sekitar mereka. "Melihat semua orang bersatu seperti ini, menghadapi kebenaran, dan berjuang untuk kebebasan mereka."
Danu mengangguk, melihat ke arah keramaian. "Ya, dan ini semua karena keberanianmu, Sari, dan kepercayaan yang Pak Tarman berikan kepada kita. Tanpa keberanianmu untuk menghadapi kegelapan, semua ini tidak akan mungkin terjadi."
Mata Sari berkaca-kaca, dan dia meraih tangan Danu dengan penuh terima kasih. "Bukan hanya aku, Danu. Kamu juga sudah mempertaruhkan segalanya untuk membantu kami, untuk mengungkap kebenaran yang sudah lama tersembunyi. Kita bersama-sama dalam hal ini, dan aku tahu dengan bantuanmu, kita bisa mematahkan kutukan ini."
Danu meremas tangannya, ekspresinya melunak. "Kalau begitu, mari kita pastikan kita melakukannya dengan benar. Taruhannya terlalu tinggi untuk gagal."
Hari demi hari berlalu, penduduk desa bekerja tanpa henti, tangan mereka kapalan karena kerja keras saat mereka mempersiapkan ritual. Danu, Sari, dan Ujang menghabiskan banyak waktu mempelajari teks kuno, menguraikan detail ritual dan persembahan yang diperlukan untuk menenangkan roh hutan.
Pak Tarman, dengan campuran kecemasan dan tekad di matanya, mengawasi seluruh proses, suaranya lantang saat mengarahkan tugas-tugas warga desa. Udara dipenuhi dengan aroma dupa dan suara nyanyian, saat semua orang bersatu dalam semangat yang belum pernah Danu saksikan sebelumnya.
Suatu malam, saat persiapan akhir sedang dilakukan, Danu berdiri di samping Pak Tarman, melihat wajah-wajah serius para penduduk desa.
"Apakah Bapak yakin ini akan berhasil, Pak Tarman?" tanyanya dengan suara rendah dan ragu. "Teks itu jelas menyebutkan kebutuhan akan pengorbanan manusia. Bagaimana kita bisa yakin bahwa roh akan tenang tanpa itu?"
Pak Tarman menoleh ke arah Danu, ekspresinya sulit ditebak. "Sebenarnya, saya tidak tahu, anak muda. Perjanjian itu selalu menuntut nyawa manusia, dan nafsu roh itu tak terpuaskan. Tapi kita tidak punya pilihan lain selain mencoba cara yang berbeda."
Danu merasa dingin menjalari punggungnya, beban tanggung jawab yang mereka emban terasa berat di pundaknya. "Dan jika kita gagal? Apa yang akan terjadi?"
Pak Tarman menghela napas panjang, melihat ke cakrawala. "Maka amarah roh itu akan dilepaskan, dan desa kita akan hancur oleh kemarahannya. Kita harus berhasil, Danu. Nyawa rakyat kita bergantung pada keberhasilan ini."
Danu mengangguk, tekadnya menguat. "Kalau begitu, kita pastikan kita berhasil. Saya tidak akan mengecewakan rakyat Bapak, Pak Tarman. Tidak setelah semua yang mereka lalui."
Kepala desa itu menatap Danu dengan hormat yang baru, bibirnya melengkung dalam senyuman kecil penuh terima kasih. "Saya tahu, anak muda. Dan saya berterima kasih dari lubuk hati saya atas keberanian dan tekadmu. Tanpa kamu dan Sari, kami sudah lama hilang harapan."
Saat matahari mulai terbenam, menyinari desa dengan cahaya keemasan yang hangat, para penduduk desa berkumpul di alun-alun pusat, wajah mereka serius dan gerakan mereka khidmat. Danu, Sari, dan Ujang berdiri bersama Pak Tarman, artefak dan relik kuno terhampar di hadapan mereka, berkilauan dalam cahaya yang memudar.
Mata Sari menyapu pertemuan itu, ekspresinya tegas. "Waktunya telah tiba," ia mengumumkan, suaranya jernih dan tegas. "Malam ini, kita akan menghadapi roh hutan dan mematahkan kutukan yang sudah lama menghantui desa kita."
Penduduk desa bergumam setuju, suara mereka bercampur dalam paduan suara tekad. Pak Tarman maju, tangannya terangkat sebagai tanda perintah.
"Rakyatku," ia memulai, suaranya menggema di seluruh alun-alun, "jalan di depan penuh bahaya, tapi kita tidak punya pilihan selain menempuhnya. Malam ini, kita akan mempercayakan diri pada kebijaksanaan nenek moyang kita dan kekuatan artefak kuno. Bersama-sama, kita akan menghadapi roh hutan dan merebut kembali kebebasan kita."
Penduduk desa bersorak dengan semangat, tangan mereka mengepalkan udara dengan tujuan baru. Danu merasakan kebanggaan dan kekaguman mengalir dalam dirinya, dan dia tahu bahwa saat ini, orang-orang Desa Tumbal bersatu, siap menghadapi tantangan terbesar mereka.
Saat sinar terakhir matahari tenggelam di balik cakrawala, penduduk desa berkumpul di sekitar barang-barang suci, tangan mereka dengan hormat menelusuri ukiran dan simbol yang rumit. Pak Tarman berdiri di tengah, suaranya mengalun dalam nyanyian khidmat, kata-kata kuno bergema dalam keheningan malam.
Danu, Sari, dan Ujang ikut serta dalam ritual itu, suara mereka menyatu dengan yang lain, tubuh mereka bergoyang seirama dengan irama nyanyian. Udara semakin tebal dengan aroma dupa dan getaran energi, dan Danu merasakan antisipasi dan kecemasan menguasainya, seolah-olah dunia sedang menahan napas.
Saat nyanyian mencapai puncaknya, penduduk desa mulai meletakkan artefak dan relik yang telah dikumpulkan di dasar pohon kuno yang menjulang tinggi, gerakan mereka teliti dan khidmat. Danu mengamati, jantungnya berdebar kencang, saat barang-barang itu diatur dengan hati-hati, masing-masing dipilih dengan tujuan tertentu.
Pak Tarman maju, pandangannya menyapu kerumunan yang berkumpul. "Persembahan sudah lengkap," ia menyatakan, suaranya serius. "Sekarang, kita harus menunggu dan melihat apakah roh hutan akan menerima persembahan kita."
Penduduk desa terdiam, mata mereka tertuju pada pohon, tubuh mereka tegang dengan antisipasi. Danu merasakan tangan Sari meraih tangannya, dan ia meremasnya dengan lembut, memberikan senyuman menenangkan.
"Kita sudah sejauh ini," bisiknya, suaranya nyaris tak terdengar. "Kita tidak bisa mundur sekarang."
Sari mengangguk, ekspresinya tegas. "Aku tahu. Apa pun yang terjadi, kita akan menghadapinya bersama-sama."
Menit demi menit berlalu, udara tebal dengan ketegangan, hingga tiba-tiba, suara gemuruh dalam terdengar di seluruh alun-alun, menyebabkan tanah di bawah kaki mereka bergetar. Danu merasakan dingin menjalari punggungnya, dan ia secara naluriah menarik Sari lebih dekat, matanya mengamati bayangan untuk mencari tanda-tanda roh hutan.
Saat gemuruh semakin keras, penduduk desa mulai mundur, wajah mereka menunjukkan campuran ketakutan dan kekaguman. Danu, Sari, dan Ujang tetap terpaku di tempat, pandangan mereka tertuju pada pohon yang menjulang tinggi, tempat persembahan yang mereka siapkan dengan susah payah berdiri dalam penjagaan sunyi.
Dan kemudian, tanpa peringatan, roh hutan muncul, bentuknya yang menjulang tinggi melemparkan bayangan besar di atas desa. Danu merasa napasnya tertahan di tenggorokannya, kekuatan dan keagungan makhluk itu membuatnya kagum dan sangat ketakutan.
Inilah saatnya, momen kebenaran. Nasib Desa Tumbal sekarang berada di tangan roh hutan kuno, dan Danu tahu bahwa hasil konfrontasi ini akan menentukan masa depan seluruh komunitas.
Sosok tinggi besar dengan tanduk dari roh hutan berdiri mengancam di atas desa, membuat Danu merasa sulit bernapas. Dia merasakan genggaman Sari di tangannya semakin erat saat mereka berdiri terpaku, mata mereka tertuju pada makhluk yang menakutkan itu.Penduduk desa sudah mundur ke pinggir alun-alun, tubuh mereka gemetar karena campuran rasa takut dan hormat. Pak Tarman melangkah maju, wajahnya serius saat dia mengangkat tangan sebagai tanda permohonan."Roh agung," panggilnya, suaranya menggema dalam keheningan yang mengejutkan, "kami datang untuk memberikan persembahan kami, untuk menenangkan lapar Anda dan menjaga perlindungan desa kami."Mata roh itu, menyala dengan kekuatan kuno dan liar, menatap kepala desa, tatapannya menembus dirinya. Suara gemuruh rendah terdengar di alun-alun, membuat Danu merinding.Di sampingnya, Sari bergerak gelisah, suaranya hampir tidak terdengar. "Danu, menurutmu persembahan ini cukup? Bagaimana kalau roh itu menginginkan lebih?"Danu menelan ludah,
Bentuk besar roh hutan menjulang di atas Danu, Sari, dan para penduduk desa, tatapannya yang membara tertuju pada mereka dengan kemarahan kuno yang tak kenal ampun. Danu merasakan jantungnya berdegup kencang saat dia menatap makhluk itu dengan tekad putus asa untuk menemukan cara mematahkan kutukan yang telah menghantui Desa Tumbal selama beberapa generasi."Baiklah, manusia," geram roh itu, suaranya seperti geraman dalam yang menggema. "Aku akan memberi kalian satu kesempatan terakhir untuk membuktikan nilai kalian dan memuaskan kelaparanku. Berhasil, dan aku akan mengangkat kutukan ini. Gagal, dan darah rakyatmu akan menjadi harga yang harus kalian bayar."Danu menelan ludah dengan susah payah, tenggorokannya mendadak kering. "Sebutin syarat-syaratmu, roh," katanya, suaranya tetap tenang meskipun rasa takut mengancam akan menguasainya. "Apapun yang kamu minta, kami akan melakukannya."Bibir roh itu melengkung menjadi seringai jahat, matanya berkilauan dengan sorot predator. "Artefak
Hutan kuno menjulang di depan Danu dan Sari, pohon-pohon tinggi itu melemparkan bayangan panjang yang menyeramkan yang menari-nari dalam cahaya gemerlap obor mereka. Udara penuh dengan aroma tanah lembab dan bisikan angin yang samar, sebuah pengingat konstan akan perjalanan berbahaya yang menanti di depan.Sari menggenggam tali ranselnya, jari-jarinya putih tegang. "Apakah kamu yakin akan ini, Danu? Kuil Para Leluhur dikatakan dijaga oleh perisai dan pesona yang kuat. Bagaimana jika kita tidak cukup kuat untuk mengalahkannya?"Danu meraih dan meremas tangan Sari dengan penuh keyakinan, wajahnya teguh. "Kita harus mencoba, Sari. Nasib orangmu berada di pundak kita, dan aku tidak akan mengecewakan mereka. Tidak setelah semua yang kita alami."Sari mengangguk, bibirnya dipadatkan. "Aku tahu, tapi tuntutan roh... mereka tak terbayangkan. Bagaimana jika kita tidak bisa menemukan liontin itu? Bagaimana jika kita gagal?"Pandangan Danu menjadi keras, rahangnya bertekad. "Kita tidak bisa berp
Danu dan Sari keluar dari Kuil Leluhur yang kuno, Amulet Sangkuriang digenggam erat di tangan Danu. Pakaian mereka robek dan wajah mereka berlumuran tanah, tetapi ekspresi mereka penuh dengan tekad baru dan harapan.Saat mereka bergegas melewati hutan yang lebat, suara gemuruh makhluk yang mengejar mereka terdengar di kejauhan, mengingatkan mereka akan tugas berbahaya yang menunggu di depan. Danu bisa merasakan kekuatan amulet itu berdenyut di telapak tangannya, energinya yang kuno bergetar dengan rasa tujuan."Kita berhasil, Sari," katanya, suaranya hampir tak terdengar. "Kita sudah menemukan amulet itu, seperti yang diminta roh. Sekarang kita harus kembali ke desa dan menghadapinya, sekali dan untuk selamanya."Sari mengangguk, ekspresinya teguh. "Aku tahu, Danu. Tapi setelah semua yang kita alami, aku tidak bisa menghilangkan rasa tidak nyaman ini. Tuntutan roh itu sangat berat, dan konsekuensi kegagalan sangat serius. Bagaimana jika kita tidak cukup kuat untuk memuaskannya?"Danu
Udara terasa tebal dengan aroma tanah lembap dan dedaunan yang membusuk saat Danu melangkah melalui hutan lebat yang mengelilingi Desa Tumbal. Sudah berbulan-bulan sejak kunjungan terakhirnya ke desa terkutuk itu, tapi kenangan pengalaman mengerikan tersebut masih menghantui, enggan terhapus dari ingatannya.Langkah Danu hati-hati, matanya memindai bayangan untuk mencari tanda-tanda kekuatan supranatural yang pernah mengancam komunitas itu. Sebagai jurnalis, dia tahu bahwa kebenaran masih ada di luar sana, terus mengintai di luar jangkauannya, memohon untuk ditemukan.Saat dia menerobos semak belukar, perasaan tak nyaman merayap di punggungnya. Hutan yang dulu penuh kehidupan, kini terasa menekan, seolah-olah pepohonan mengawasi setiap gerakannya. Danu tidak bisa menghilangkan perasaan bahwa kegelapan belum sepenuhnya sirna, bahwa kejahatan yang menghantui Desa Tumbal masih bersembunyi di bayang-bayang, menunggu untuk menyerang lagi.Dia terus maju, didorong oleh keinginan untuk memah
Pak Tarman duduk di rumah kecilnya yang sudah tua, tangannya yang keriput menggenggam secangkir teh panas. Bunyi detik jam tua di dinding menjadi satu-satunya suara yang memecah keheningan yang mencekam ruangan itu.Ketika Danu dan Sari masuk, Pak Tarman menoleh, matanya menyipit dengan campuran keterkejutan dan kecemasan. Dia tidak menyangka akan melihat mereka lagi, terutama setelah trauma yang mereka alami di tempat terkutuk ini."Apa yang kalian lakukan di sini?" tanya Pak Tarman dengan suara serak yang terdengar sedikit waspada.Danu berdehem, menatap sang tetua dengan ekspresi penuh tekad. "Kami butuh bantuanmu, Pak Tarman," katanya dengan nada yang tidak memberi ruang untuk penolakan. "Kegelapan yang mengganggu desa ini – belum berakhir. Kami percaya masih ada yang perlu diungkap, dan kami butuh petunjukmu untuk melakukannya."Sari melangkah maju, matanya memohon. "Tolong, Pak Tarman. Kita tidak bisa membiarkan ini berlanjut. Terlalu banyak yang sudah hilang."Ekspresi Pak Tarm
Hutan lebat di sekitar Desa Tumbal sunyi senyap, seolah-olah pohon-pohon menahan napas, menantikan sesuatu yang luar biasa. Danu dan Sari berjalan menyusuri jalan setapak yang berliku, langkah mereka hati-hati, dan indera mereka siaga, sadar akan kekuatan tak terlihat yang seakan meresapi udara.Sari memimpin jalan, ekspresinya penuh tekad, matanya menyusuri dedaunan mencari tanda-tanda keberadaan dukun, Nyi Roro, yang disebut oleh Pak Tarman. Danu mengikuti di belakangnya, tas kamera tergantung di bahunya, naluri jurnalisnya siap untuk menemukan kebenaran yang tersembunyi di balik bayangan hutan terkutuk ini.Semakin dalam mereka masuk ke hutan, udara terasa semakin berat, penuh dengan aroma tanah basah dan wangi rempah-rempah yang asing. Danu merasa tidak nyaman, ada perasaan menggelitik di tengkuknya yang menunjukkan mereka sedang diawasi."Kamu merasakan itu?" bisiknya pada Sari, suaranya nyaris tak terdengar.Sari mengangguk, matanya menyipit. "Ada yang tidak beres," jawabnya, ta
Saat Danu dan Sari keluar dari hutan lebat, bangunan-bangunan sederhana Desa Tumbal mulai terlihat. Tapi suasana yang dulu hangat kini tergantikan oleh ketegangan, rasa cemas yang terasa jelas di udara.Dahi Sari berkerut saat mereka mendekati desa, matanya mengamati wajah-wajah orang yang mereka lewati. Ada kewaspadaan di ekspresi mereka, kelelahan yang mengisyaratkan kekhawatiran yang lebih dalam dan tak terucapkan."Ada yang berbeda," bisik Sari pada Danu, suaranya nyaris tak terdengar. "Penduduk desa kelihatannya... gelisah."Danu mengangguk, indra mereka semakin tajam saat mereka berjalan melalui jalanan sempit. Pasar yang biasanya ramai kini terasa sepi, para pedagang menundukkan kepala, mata mereka melirik dengan gugup. Seolah-olah seluruh desa telah tercemar oleh kekuatan tak terlihat, bayangan yang merayap masuk tanpa disadari.Saat mereka mendekati rumah sederhana Sari, seorang figur muncul dari bayangan, wajahnya yang tua dipenuhi campuran kecemasan dan keberanian. Itu adal
Setelah berhasil mendapatkan akses ke data sindikat Black Phoenix, Danu dan timnya dihadapkan pada tantangan terbesar mereka: menghancurkan markas utama sindikat tersebut. Black Phoenix tidak hanya memiliki pasukan yang terlatih, tetapi juga dilengkapi dengan teknologi canggih yang bisa mengubah jalannya pertempuran kapan saja.Danu mengumpulkan timnya di markas sementara. "Kita sudah sejauh ini. Tidak ada jalan untuk mundur," katanya dengan tegas. "Kita harus menghancurkan mereka sekali dan untuk selamanya."Emily mengangguk setuju. "Aku akan menyiapkan semua peralatan yang kita butuhkan. Kita akan memanipulasi teknologi mereka dan menggunakannya untuk melawan mereka."Lara merapikan senjatanya. "Kita harus sangat berhati-hati. Mereka pasti sudah menyiapkan perangkap untuk kita."Tom, yang sedang memeriksa peta lokasi, menatap Danu. "Do you think we can do this, Danu? They have some of the best technology out there."Danu menjawab dengan tegas, "Yes, we can. We have Emily on our side
Setelah berhasil menyelamatkan Lila, Danu dan timnya kembali ke markas sementara mereka di Eropa Timur. Meskipun lega bisa menyelamatkan teman lama mereka, mereka tahu bahwa misi mereka belum selesai. Mereka harus menghancurkan sindikat Black Phoenix yang telah menyiksa dan mencuci otak Lila selama lima tahun.Lila duduk di ruang briefing, mencoba mengingat setiap detail yang mungkin berguna bagi tim. "Mereka memiliki teknologi canggih yang sangat sulit dikalahkan," kata Lila. "Drone, AI, sistem keamanan yang tidak pernah kulihat sebelumnya. Mereka selalu selangkah di depan kita."Danu mendengarkan dengan seksama. "Kita butuh bantuan ahli teknologi. Aku tahu seseorang yang bisa membantu."Tom mengangkat alisnya. "Who do you have in mind?""Dr. Emily Carter," jawab Danu. "Dia ahli dalam AI dan sistem keamanan. Aku akan menghubunginya."Danu mengambil ponselnya dan mulai mengetik pesan. "Aku harap dia bisa segera datang. Kita tidak punya banyak waktu."Beberapa jam kemudian, Dr. Emily C
Danu dan timnya bekerja tanpa lelah sepanjang malam, menganalisis peta dan informasi yang mereka peroleh dari Irina. Mereka tahu bahwa waktu mereka terbatas. Lila, seorang agen yang dianggap tewas lima tahun lalu, ternyata masih hidup dan ditahan oleh sindikat Black Phoenix.“Ini adalah lokasi penahanan yang paling mungkin,” kata Tom sambil menunjukkan titik di peta. “Tempat ini adalah gudang tua di pinggiran kota, jauh dari keramaian.”Danu mengangguk. “Kita harus bergerak cepat. Semakin lama kita menunggu, semakin besar risiko bagi Lila.”Mereka menyusun rencana dengan hati-hati, memastikan bahwa setiap langkah diperhitungkan dengan baik. Mereka tahu bahwa penyelamatan ini akan berbahaya, tetapi tidak ada pilihan lain.Saat matahari mulai terbit, Danu dan timnya sudah siap. Mereka berangkat menuju lokasi penahanan dengan menggunakan van yang tidak mencolok. Dalam perjalanan, suasana di dalam van terasa tegang. Setiap orang mempersiapkan diri untuk kemungkinan terburuk.“Kita harus t
Setelah berhasil menggagalkan pengiriman senjata Black Phoenix, Danu dan timnya kembali ke markas sementara mereka di Praha. Malam itu, suasana di apartemen terasa tegang. Mereka tahu bahwa keberhasilan mereka hanya sementara. Masih ada pengkhianat di antara mereka yang harus ditemukan.“Kita harus segera menemukan siapa pengkhianat ini,” kata Danu dengan nada tegas sambil melihat ke arah peta di dinding. “Jika tidak, segala usaha kita bisa sia-sia.”Tom mengangguk setuju. “I’ve already started planting false information, hoping to catch the mole. We should know soon enough.”Lara, yang baru saja kembali dari tugasnya, masuk ke ruangan dengan wajah serius. “Aku mendapat beberapa informasi tambahan tentang Black Phoenix. Tapi aku merasa ada yang aneh. Mereka sepertinya tahu gerak-gerik kita.”Danu berpikir sejenak. “Mereka pasti mendapat informasi dari dalam. Kita harus lebih berhati-hati.”Keesokan harinya, Danu dan timnya berkumpul di ruang pertemuan. Tom telah menyiapkan beberapa do
Pagi itu, di sebuah apartemen kecil di pinggiran kota Praha, Danu dan timnya sedang merencanakan langkah berikutnya. Lila sedang beristirahat setelah malam yang panjang, dan Danu merasa sedikit lega melihatnya aman. Namun, masalah mereka masih jauh dari selesai.“Tom, kita perlu lebih banyak informasi tentang sindikat ini. Kita harus memastikan bahwa kita memiliki rencana yang solid sebelum menyerang lagi,” kata Danu sambil memeriksa peta yang tergantung di dinding.Tom mengangguk. “I agree. We need to know their weak points. That’s why I’ve set up a meeting with Irina again. She might have more intel for us.”Mereka memutuskan untuk bertemu dengan Irina di sebuah lokasi yang lebih aman. Tom telah memilih sebuah kafe kecil yang tersembunyi di sudut kota, tempat yang ideal untuk bertemu tanpa menarik perhatian.Beberapa jam kemudian, Danu dan Tom tiba di kafe yang dimaksud. Tempat itu hampir kosong, hanya ada beberapa pelanggan yang duduk sambil menikmati kopi mereka. Irina sudah menun
Danu melangkah masuk ke sebuah kafe tua di pusat kota Praha. Kafe itu dipenuhi dengan aroma kopi yang kuat dan suara percakapan dalam bahasa Ceko. Dia melihat ke sekeliling, mencari wajah yang dikenalnya. Di sudut ruangan, seorang pria berpenampilan rapi dengan rambut abu-abu dan wajah tegas duduk sambil membaca koran. Itu adalah Tom, mantan kolega yang dulu sering bekerja dengannya dalam berbagai misi rahasia.Tom mengangkat pandangannya dan melihat Danu, memberikan isyarat untuk duduk. Danu berjalan ke arah meja Tom dan duduk di depannya.“Long time no see, Tom,” kata Danu dengan senyum tipis.Tom melipat korannya dan tersenyum kembali. “Danu, it's been a while. How are you holding up?”Danu menghela napas. “Not great, to be honest. Things have been complicated.”Tom mengangguk, memahami situasinya. “I heard about Lila. I can’t believe she’s alive. We need to get her back.”Danu mengangguk setuju. “That’s why I need your help. This syndicate is much more dangerous than we thought. T
Setelah kejadian di bandara, Danu menghabiskan beberapa jam di markas sementara yang terletak di sebuah apartemen sewaan di pusat kota. Bersama Maya dan Lara, mereka merencanakan langkah berikutnya dengan hati-hati. Danu menyadari bahwa mereka harus segera bertindak untuk menyelamatkan Lila sebelum sindikat memiliki kesempatan untuk memindahkannya ke tempat lain atau lebih buruk lagi, menghilangkannya.“Aku baru saja mendapat informasi terbaru dari Tom,” kata Danu, membuka email di laptopnya. “Dia mengatakan bahwa sindikat ini memiliki beberapa lokasi operasi yang mungkin bisa kita selidiki. Salah satunya berada di luar kota, di sebuah gudang lama.”Maya mengamati peta yang terpampang di layar. “Kita harus hati-hati. Jika sindikat ini benar-benar kuat dan terorganisir, mereka pasti memiliki sistem pengamanan yang ketat di sekitar gudang itu.”Lara, yang duduk di meja lain, menyimak dengan serius. “Apakah kita sudah mendapatkan informasi tentang jumlah personel yang mereka miliki di sa
Satu tahun telah berlalu sejak Danu dan timnya mengalahkan The Phantom dan menghancurkan sindikatnya. Kehidupan mereka di New York kembali tenang setelah berbulan-bulan pertarungan dan perjuangan. Markas mereka, yang terletak di lantai atas sebuah gedung pencakar langit modern, sekarang dipenuhi dengan peralatan canggih dan kenyamanan yang menandai kemenangan mereka. Namun, kedamaian yang mereka nikmati tampaknya tidak akan bertahan lama.Danu duduk di ruang kerjanya, memeriksa laporan-laporan terbaru di komputernya. Pikirannya terasa ringan saat dia memindai berita dan pembaruan yang datang, merasa sedikit nyaman dengan rutinitas baru mereka. Tiba-tiba, suara notifikasi email memecah keheningan ruangan. Subjek email itu, "Dari Masa Lalu," menarik perhatiannya.Dengan penasaran dan sedikit rasa cemas, Danu mengklik email tersebut. Di dalamnya terdapat sebuah video dengan durasi singkat. Hatinya berdegup kencang ketika dia menekan tombol play. Gambar di layar menampilkan seorang wanita
Danu kembali ke New York dengan perasaan campur aduk. Meskipun sindikat berhasil dikalahkan, bekas luka fisik dan emosional masih membekas. Di tengah hiruk-pikuk kota yang tak pernah tidur, Danu berdiri di atap gedung apartemennya, merenungkan langkah berikutnya. Kilauan lampu kota menyapanya, mengingatkan pada kenangan pahit dan manis yang pernah ia alami di sini.Maya datang membawakan dua cangkir kopi. "Here, you might need this," kata Maya, menyodorkan secangkir kopi kepada Danu.Danu menerima cangkir itu dengan senyum tipis. "Thanks, Maya. It's been a while since we had a quiet moment like this."Maya duduk di sebelahnya, menikmati angin malam yang sejuk. "So, what's next for you, Danu?"Danu menghela napas panjang. "I've been thinking about setting up an independent investigation agency. Something that can operate without the bureaucratic red tape, focusing on international crimes."Maya mengangguk, memahami arah pikiran Danu. "That's a big step. But I think it's exactly what we