Wajah Bu Lestari yang keriput penuh dengan kesedihan mendalam saat dia bertemu pandangan penuh harap dari Danu dan Sari. Cahaya lampu minyak yang berkelap-kelip menciptakan bayangan lembut di seluruh ruangan, semakin menambah kesan berat yang menyelimuti suasana.
"Banyak generasi yang lalu," Bu Lestari mulai, suaranya rendah dan terukur, "leluhur kita membuat keputusan yang menentukan dan sejak saat itu menghantui orang-orang di Desa Tumbal. Mereka membuat perjanjian dengan roh hutan yang kuat dan pendendam, yang menuntut harga yang mengerikan untuk melindungi dan memakmurkan desa kita."
Danu menggenggam penanya erat-erat, buku jarinya memutih. "Perjanjian dengan roh hutan? Apa sebenarnya isi perjanjian itu?"
Bu Lestari menghela napas berat, matanya menerawang jauh. "Roh itu, yang marah karena leluhur kita telah masuk ke wilayah sakralnya, membuat tuntutan yang mengerikan. Sebagai gantinya untuk menjaga desa kita tetap aman dan lestari, roh itu meminta pengorbanan rutin – nyawa manusia, diambil saat bulan purnama."
Sari menarik napas tajam, tangannya secara naluriah meraih Danu. "Saudaraku," bisiknya, suaranya bergetar dengan campuran kesedihan dan tekad. "Mereka salah satu korban, bukan?"
Bu Lestari mengangguk pelan, tatapannya penuh empati. "Ya, anakku. Kelaparan roh itu tak pernah terpuaskan, dan telah merenggut banyak dari orang-orang yang kita cintai selama berabad-abad."
Danu merasakan dingin merayap di punggungnya, implikasi dari kata-kata Bu Lestari mulai meresap. "Jadi, hilangnya orang-orang yang kita dengar – itu semua bagian dari ritual ini? Penduduk desa dengan sukarela menyerahkan orang-orang mereka sendiri kepada... roh hutan ini?"
Bu Lestari menggelengkan kepala, ekspresinya penuh kesakitan. "Bukan sukarela, Danu. Perjanjian itu dibuat jauh sebelum kita semua lahir, dan Pak Tarman serta para tetua lainnya telah melakukan apa yang mereka bisa untuk melindungi orang-orang kita, meskipun itu berarti mengikuti perintah ritual tersebut."
Genggaman Sari pada tangan Danu menguat, matanya menyala dengan tekad yang kuat. "Tapi pasti ada cara untuk memutus kutukan ini, Bu. Pasti ada kebijaksanaan atau ritual kuno yang bisa membatalkan perjanjian ini dan membebaskan desa kita dari horor ini."
Tatapan Bu Lestari bertemu dengan putrinya, dan Danu bisa melihat beban trauma dan keputusasaan turun-temurun di matanya. "Aku telah menghabiskan bertahun-tahun mempelajari sejarah dan tradisi desa kita, Sari, dan aku telah mencari tanpa lelah untuk menemukan cara memutus kutukan ini. Tapi perjanjiannya sudah sangat kuno, dan cengkeraman roh itu pada kita sangat kuat."
Danu bersandar ke depan, suaranya penuh dengan tekad yang putus asa. "Tolong, Bu Lestari, ceritakan semua yang ibu ketahui. Pasti ada cara untuk menyelamatkan penduduk ibu, untuk mengakhiri pengorbanan tanpa arti ini sekali untuk selamanya."
Wanita yang lebih tua itu memandang Danu lama sekali, ekspresinya tak bisa dibaca. Akhirnya, dia mengangguk dan melanjutkan, suaranya berat dengan beban pengetahuan yang dia miliki.
"Perjanjian itu dibuat pada masa kekacauan dan ketakutan besar bagi leluhur kita. Mereka adalah orang-orang yang hampir diusir dari tanah leluhur mereka oleh kekuatan yang mendesak, dan mereka beralih ke roh hutan dalam upaya putus asa untuk mencari perlindungan."
Danu mendengarkan dengan saksama, penanya bergerak cepat di atas halaman-halaman buku catatannya sementara cerita Bu Lestari terungkap.
"Roh itu, merasakan kerentanan mereka, menuntut harga yang sangat tinggi sebagai imbalan untuk bantuannya. Ia meminta pengorbanan manusia setiap bulan purnama, nyawa yang harus diberikan sebagai upeti untuk menjaga keselamatan dan kemakmuran desa."
Wajah Sari penuh dengan rasa sakit, matanya berkilauan dengan air mata yang belum tumpah. "Dan orang-orang kita, mereka... mereka setuju dengan ini?"
Bu Lestari mengangguk, ekspresinya khidmat. "Mereka tidak punya pilihan, anakku. Kemarahan roh itu sangat menakutkan, dan ancaman kehancuran terhadap desa kita terlalu besar untuk diabaikan. Jadi mereka membuat perjanjian itu, dan selama berabad-abad sejak itu, orang-orang Desa Tumbal hidup di bawah bayang-bayangnya."
Pikiran Danu berputar, jantungnya berdetak kencang dengan campuran horor dan tekad. "Tapi pasti ada cara untuk memutus kutukan ini, untuk membatalkan perjanjian dan membebaskan orang-orangmu dari siklus pengorbanan yang tak berujung ini."
Tatapan Bu Lestari bertemu dengan tatapan Danu, dan Danu terkejut oleh kesedihan mendalam yang memenuhi matanya. "Aku telah mencari cara itu, Danu, selama bertahun-tahun. Tapi perjanjiannya sangat tertanam dalam sejarah kita, terjalin dengan erat dalam kain kehidupan desa kita. Cengkeraman roh itu pada kita tak tergoyahkan, dan setiap upaya untuk melawan akan membawa kehancuran dan bencana pada kita semua."
Tangan Sari gemetar dalam genggaman Danu, suaranya hampir tidak terdengar. "Jadi saudaraku, dan semua orang yang telah diambil... mereka mati sia-sia?"
Bu Lestari meraih dan menggenggam tangan putrinya, jari-jarinya yang keriput menawarkan tekanan lembut yang menghibur. "Tidak, anakku. Pengorbanan mereka, meskipun tragis, telah mempertahankan desa kita dan melindungi orang-orang kita dari kemarahan roh itu. Ini adalah beban yang harus kita tanggung, harga yang harus kita bayar untuk memastikan kelangsungan hidup komunitas kita."
Danu merasakan gelombang kemarahan dan frustrasi, penanya terhenti saat dia berjuang untuk memproses beban dari kata-kata Bu Lestari. "Tapi bagaimana ibu bisa menerima ini, Bu Lestari? Bagaimana ibu bisa mengutuk orang-orang ibu sendiri pada siklus kematian dan keputusasaan yang tak berujung ini?"
Tatapan wanita tua itu mengeras, dan Danu terkejut oleh tekad yang membara di dalam dirinya. "Aku tidak menerimanya, Danu. Aku telah menghabiskan hidupku mencari cara untuk memutus kutukan ini, untuk menemukan solusi yang akan membebaskan orang-orangku dari nasib yang mengerikan ini. Tapi kekuatan roh itu sangat besar, dan perjanjiannya tidak bisa diputuskan."
Dia berhenti, matanya menyipit saat dia menatap Danu dengan tajam. "Itulah sebabnya aku tidak mengungkapkan kebenaran ini kepada penduduk desa, mengapa aku menyimpan beban ini untuk diriku sendiri dan beberapa orang terpilih. Aku tidak ingin mengambil risiko kemarahan roh dan kehancuran rumah kita."
Danu merasakan rasa hormat yang baru terhadap wanita di depannya, meskipun tekadnya untuk menemukan solusi semakin kuat. "Kalau begitu biarkan aku membantu ibu, Bu Lestari. Jika ada peluang, harapan sekecil apapun, untuk memutuskan kutukan ini, aku bersedia melakukan apa saja."
Mata Sari bersinar dengan rasa tujuan baru saat dia menggenggam tangan Danu. "Aku juga, Bu. Kita tidak bisa terus hidup di bawah bayang-bayang perjanjian ini. Kita harus menemukan cara untuk membebaskan desa kita, apapun biayanya."
Bu Lestari memandang kedua anak muda di depannya, secercah harapan terpancar di matanya yang lelah. "Baiklah, anak-anakku. Aku akan berbagi dengan kalian semua yang aku tahu, dan bersama-sama, kita akan mencari cara untuk memutus kutukan Desa Tumbal."
Saat malam semakin larut, Danu dan Sari mendengarkan dengan saksama, hati mereka penuh dengan beban pengungkapan yang terungkap di hadapan mereka. Jalan di depan penuh dengan bahaya, tetapi tekad untuk menyelamatkan desa mereka dari nasib kelam semakin kuat dengan setiap saat yang berlalu.
Hutan lebat dan menakutkan yang mengelilingi Desa Tumbal tampak menjulang di depan Danu, Sari, dan Ujang saat mereka menyusuri jalan berliku. Kanopi pohon-pohon tinggi menghalangi sinar matahari, membuat hutan tampak remang-remang seperti senja, yang membuat bulu kuduk Danu meremang.Sari memimpin jalan dengan langkah pasti dan penuh tujuan, seolah-olah dia telah berkali-kali melewati jalur ini. Ujang, teman masa kecilnya, mengikuti di belakangnya, matanya terus-menerus mengawasi bayangan mencari tanda bahaya.Danu, dengan buku catatannya yang tersimpan rapi di jaketnya, berusaha mengingat setiap detail dari lingkungan mereka. Udara terasa tebal dengan aroma tanah lembap dan bisikan-bisikan mengerikan dari pepohonan, seolah-olah hutan itu sendiri hidup dan mengawasi setiap gerakan mereka."Kamu yakin ini jalannya, Sari?" tanya Danu, suaranya hampir berbisik, seolah berbicara terlalu keras bisa menarik perhatian makhluk tak terlihat.Sari menoleh ke belakang, ekspresinya penuh keyakina
Danu, Sari, dan Ujang keluar dari hutan lebat, pakaian mereka robek dan wajah mereka kotor penuh dengan tanah. Berat dari teks kuno yang mereka temukan di kuil terlarang terasa menekan pundak mereka, menjadi bukti betapa mengerikannya penemuan mereka.Ketika mereka melangkah ke jalan-jalan Desa Tumbal yang familiar, ketiganya merasakan perubahan suasana. Penduduk desa yang biasanya tenang dan pendiam tampak lebih gelisah, gerakan mereka sembunyi-sembunyi dan pandangan mereka menghindar. Danu merasa tidak bisa menghilangkan perasaan bahwa mereka sedang diawasi, seolah-olah dinding desa itu sendiri berkonspirasi melawan mereka.Sari memimpin jalan, langkahnya penuh tekad dan ekspresinya mantap. Danu dan Ujang mengikuti dengan cermat, indra mereka semakin tajam, siap untuk menghadapi konfrontasi yang tak terelakkan.Mereka menuju rumah sederhana Pak Tarman, kepala desa, dan Sari berhenti di depan pintu, tangannya menyentuh kayu yang sudah lapuk. "Kalian berdua siap?" tanyanya, suaranya r
Dalam beberapa hari berikutnya, suasana Desa Tumbal yang biasanya tenang menjadi sangat sibuk dan penuh semangat. Danu, Sari, Pak Tarman, dan warga desa lainnya bekerja keras, wajah mereka menunjukkan campuran tekad dan ketakutan saat mereka mempersiapkan ritual yang akan menentukan nasib desa mereka.Danu sibuk membaca teks kuno yang mereka temukan di kuil terlarang, alisnya berkerut karena konsentrasi saat ia mempelajari detail-detail ritual dan artefak yang diperlukan untuk menenangkan roh hutan. Sari dan Ujang berkeliling desa, mengumpulkan relik dan barang-barang suci yang diperlukan, gerakan mereka cepat dan penuh tujuan.Pak Tarman, dengan wajahnya yang sudah tua dan lelah, mengkoordinasikan usaha para warga desa, memastikan setiap detail diperhatikan dengan teliti. Penduduk desa yang dulunya ragu-ragu kini bekerja dengan semangat baru, mata mereka bersinar dengan harapan yang sudah lama hilang.Seiring dengan berjalannya persiapan, Danu tidak bisa tidak merasa kagum dengan per
Sosok tinggi besar dengan tanduk dari roh hutan berdiri mengancam di atas desa, membuat Danu merasa sulit bernapas. Dia merasakan genggaman Sari di tangannya semakin erat saat mereka berdiri terpaku, mata mereka tertuju pada makhluk yang menakutkan itu.Penduduk desa sudah mundur ke pinggir alun-alun, tubuh mereka gemetar karena campuran rasa takut dan hormat. Pak Tarman melangkah maju, wajahnya serius saat dia mengangkat tangan sebagai tanda permohonan."Roh agung," panggilnya, suaranya menggema dalam keheningan yang mengejutkan, "kami datang untuk memberikan persembahan kami, untuk menenangkan lapar Anda dan menjaga perlindungan desa kami."Mata roh itu, menyala dengan kekuatan kuno dan liar, menatap kepala desa, tatapannya menembus dirinya. Suara gemuruh rendah terdengar di alun-alun, membuat Danu merinding.Di sampingnya, Sari bergerak gelisah, suaranya hampir tidak terdengar. "Danu, menurutmu persembahan ini cukup? Bagaimana kalau roh itu menginginkan lebih?"Danu menelan ludah,
Bentuk besar roh hutan menjulang di atas Danu, Sari, dan para penduduk desa, tatapannya yang membara tertuju pada mereka dengan kemarahan kuno yang tak kenal ampun. Danu merasakan jantungnya berdegup kencang saat dia menatap makhluk itu dengan tekad putus asa untuk menemukan cara mematahkan kutukan yang telah menghantui Desa Tumbal selama beberapa generasi."Baiklah, manusia," geram roh itu, suaranya seperti geraman dalam yang menggema. "Aku akan memberi kalian satu kesempatan terakhir untuk membuktikan nilai kalian dan memuaskan kelaparanku. Berhasil, dan aku akan mengangkat kutukan ini. Gagal, dan darah rakyatmu akan menjadi harga yang harus kalian bayar."Danu menelan ludah dengan susah payah, tenggorokannya mendadak kering. "Sebutin syarat-syaratmu, roh," katanya, suaranya tetap tenang meskipun rasa takut mengancam akan menguasainya. "Apapun yang kamu minta, kami akan melakukannya."Bibir roh itu melengkung menjadi seringai jahat, matanya berkilauan dengan sorot predator. "Artefak
Hutan kuno menjulang di depan Danu dan Sari, pohon-pohon tinggi itu melemparkan bayangan panjang yang menyeramkan yang menari-nari dalam cahaya gemerlap obor mereka. Udara penuh dengan aroma tanah lembab dan bisikan angin yang samar, sebuah pengingat konstan akan perjalanan berbahaya yang menanti di depan.Sari menggenggam tali ranselnya, jari-jarinya putih tegang. "Apakah kamu yakin akan ini, Danu? Kuil Para Leluhur dikatakan dijaga oleh perisai dan pesona yang kuat. Bagaimana jika kita tidak cukup kuat untuk mengalahkannya?"Danu meraih dan meremas tangan Sari dengan penuh keyakinan, wajahnya teguh. "Kita harus mencoba, Sari. Nasib orangmu berada di pundak kita, dan aku tidak akan mengecewakan mereka. Tidak setelah semua yang kita alami."Sari mengangguk, bibirnya dipadatkan. "Aku tahu, tapi tuntutan roh... mereka tak terbayangkan. Bagaimana jika kita tidak bisa menemukan liontin itu? Bagaimana jika kita gagal?"Pandangan Danu menjadi keras, rahangnya bertekad. "Kita tidak bisa berp
Danu dan Sari keluar dari Kuil Leluhur yang kuno, Amulet Sangkuriang digenggam erat di tangan Danu. Pakaian mereka robek dan wajah mereka berlumuran tanah, tetapi ekspresi mereka penuh dengan tekad baru dan harapan.Saat mereka bergegas melewati hutan yang lebat, suara gemuruh makhluk yang mengejar mereka terdengar di kejauhan, mengingatkan mereka akan tugas berbahaya yang menunggu di depan. Danu bisa merasakan kekuatan amulet itu berdenyut di telapak tangannya, energinya yang kuno bergetar dengan rasa tujuan."Kita berhasil, Sari," katanya, suaranya hampir tak terdengar. "Kita sudah menemukan amulet itu, seperti yang diminta roh. Sekarang kita harus kembali ke desa dan menghadapinya, sekali dan untuk selamanya."Sari mengangguk, ekspresinya teguh. "Aku tahu, Danu. Tapi setelah semua yang kita alami, aku tidak bisa menghilangkan rasa tidak nyaman ini. Tuntutan roh itu sangat berat, dan konsekuensi kegagalan sangat serius. Bagaimana jika kita tidak cukup kuat untuk memuaskannya?"Danu
Udara terasa tebal dengan aroma tanah lembap dan dedaunan yang membusuk saat Danu melangkah melalui hutan lebat yang mengelilingi Desa Tumbal. Sudah berbulan-bulan sejak kunjungan terakhirnya ke desa terkutuk itu, tapi kenangan pengalaman mengerikan tersebut masih menghantui, enggan terhapus dari ingatannya.Langkah Danu hati-hati, matanya memindai bayangan untuk mencari tanda-tanda kekuatan supranatural yang pernah mengancam komunitas itu. Sebagai jurnalis, dia tahu bahwa kebenaran masih ada di luar sana, terus mengintai di luar jangkauannya, memohon untuk ditemukan.Saat dia menerobos semak belukar, perasaan tak nyaman merayap di punggungnya. Hutan yang dulu penuh kehidupan, kini terasa menekan, seolah-olah pepohonan mengawasi setiap gerakannya. Danu tidak bisa menghilangkan perasaan bahwa kegelapan belum sepenuhnya sirna, bahwa kejahatan yang menghantui Desa Tumbal masih bersembunyi di bayang-bayang, menunggu untuk menyerang lagi.Dia terus maju, didorong oleh keinginan untuk memah