Hari itu Hari Sabtu. Sejak pagi Aditya sengaja tidak mengaktifkan ponselnya. Ia ingat, hari itu adalah hari yang ditunggu oleh Sarah. Teman dekatnya itu ingin mendapatkan jawaban, apakah ia bersedia datang ke rumah untuk bertemu dengan ayah Sarah.
Hati Aditya menjadi gundah.
Bagaimanapun Sarah mungkin adalah cinta pertamanya. Selama ini, Aditya memang tak mau terjerat oleh cinta. Jika saja dia jatuh hati pada seorang wanita, serta merta dia akan membunuhnya dan mencari pelarian yang lain. Belajar, berorganisasi, atau segudang aktivitas lainnya.
Tapi kini, apakah yang dia rasakan pada Sarah itu adalah cinta? Apa benar itu cinta?
Aditya mengenal Sarah saat pertama kali masuk menjadi pegawai baru di kantornya. Sarah sudah lebih senior. Dari Sarah lah, Adit banyak mengenal seluk beluk kantor.
Wanita itu mendekati Aditya saat dirinya masih belum punya banyak kenalan di tempat kerja barunya. Sarah juga yang mengenalkan Aditya pada kolega kantornya yang lain.
Sarah adalah tipe wanita yang mandiri. Meskipun ayahnya seorang pengusaha, namun dia tak serta merta menggunakan kekuasaan ayahnya. Bahkan, Sarah memilih menjadi karyawati biasa di perusahaan lain dibanding bekerja dengan ayahnya.
"Masih memikirkannya?" Suara Bu Handoyo yang sedang membuka pintu kamar Aditya, mengangetkannya.
Kamar Aditya berada di lantai dua. Rumah keluarga itu tipe minimalis. Ada tiga buah kamar di lantai atas, dan satu buah kamar di lantai bawah.
Rumah tipe 21 itu sudah full bangunan, karena begitu anak-anak beranjak besar, mereka dibuatkan kamar masing-masing. Tidak besar, tapi cukup untuk satu buah tempat tidur ukuran single, meja belajar dan lemari pakaian.
"Jam 09.00 antar Mama ke pasar, ya," titah Bu Handoyo.
Aditya hanya mengangguk lesu. Namun, ini jelas lebih baik jika dibanding harus mencari alasan untuk menjawab pertanyaan Sarah yang memintanya datang.
Keluarga Bu Handoyo bukan keluarga kaya. Pak Handoyo sebagai kepala keluarga berprofesi sebagai staf di kantor kecamatan. Lelaki itu hanya tamatan SMA yang kemudian melanjutkan S1 saat sudah bekerja. Pangkatnya tentu tidak tinggi. Namun, gajinya cukup untuk makan sehari-hari dan menyekolahkan tiga anak lelakinya sampai perguruan tinggi.
Karena keuletan Bu Handoyo dalam mendidik anak-anaknya, ketiganya kini sudah tamat perguruan tinggi, meski tidak semuanya sarjana, ada yang mengambil program diploma. Bahkan Aditya bisa menamatkan Pendidikan S2 nya di luar negeri dengan beasiswa.
Saat Aditya kuliah di luar negeri, di rumahnya, pernah tinggal saudara jauh yang kebetulan sedang kuliah di kampus yang berada di kota tempat Aditya tinggal.
Bu Handoyo sengaja mengajaknya tinggal bersama, sebab sejak dulu dia menginginkan anak perempuan. Meski, Aditya tak pernah menyetujuinya.
Sikap Aditya yang tertutup pada wanita, membuatnya merasa risih jika ada perempuan lain tinggal di rumahnya. Apalagi, ukuran rumahnya yang sempit, mengharuskan selalu berinteraksi.
Intan nama gadis itu. Dialah yang biasa menemani Bu Handoyo ke pasar, membantu di dapur, membantu beres-beres rumah, atau apa saja yang dilakukan Bu Handoyo dengan senang hati saat dia tinggal bersama keluarga itu.
Namun, sejak Aditya kembali ke rumah usai studinya, Intan memilih indekos di dekat kampus. Ia menyadari Aditya tak menyukai jika dia tetap tinggal di rumah Bu Handoyo.
Entah mengapa Aditya merasa tidak cocok dengan Intan.
Gadis yang sehari-hari ceria dan rajin membantu Bu Handoyo itu sudah dianggap keluarga sendiri oleh keluarganya. Sayang, itu tidak berlaku bagi Aditya.
Setiap ada Intan di dekatnya, dada Aditya merasa bergemuruh, tak tenang. Bahkan, dia sering dilanda emosi. Apa saja yang dilakukan Intan seperti memancing kemarahannya. Anehnya, itu tidak terjadi pada anggota keluarga yang lain.
"Kalau ada Intan, kita ngga bakal kelaparan," keluh Dimas, kakak kedua Aditya suatu hari, saat Bu Handoyo sedang tak di rumah.
Dimas memang masih tinggal di rumah meskipun sudah bekerja. Baginya, meski rumah orangtuanya jauh dari tempat kerjanya, namun dia dapat menikmati masakan rumahan setiap hari, dibandingkan dia tinggal di kosan yang hanya selangkah dari kantor, namun harus makan masakan luar setiap hari.
"Emang kita tidak bisa order makanan saja? Kenapa mesti harus nunggu ada Intan?" timpal Aditya gusar.
Kakaknya selalu saja memuji wanita yang tak disukainya itu. Tentu saja, semua mata langsung menatapnya sambil menggelengkan kepala. Bahkan, semua orang di rumah menganggapnya iri akan keberadaan Intan.
“Ck!” Aditya berdecak. Apa sih pentingnya anak itu?
"Aditya! Ayo Mama udah siap!" Panggilan Bu Handoyo dari lantai bawah membuyarkan lamunan Aditya.
Setelah turun dari kamar, Aditya mengeluarkan motor matik yang terparkir di depan rumahnya.
Dia mengenakan jaket kulit dan juga helm full face yang biasa dipakainya. Panas sudah terik meskipun baru jam 9 pagi.
Tak lama Bu Handoyo sudah duduk di boncengan belakang.
Sejak Aditya dekat dengan Sarah, pria itu sudah jarang mengendarai motor jarak jauh. Setiap hari pria itu mengendarai motornya sampai gang dekat rumah Sarah. Setelah itu, dia akan berganti mengemudikan mobil milik Sarah. Mobil keluaran terbaru yang tergolong mewah. Bahkan, karena Sarah juga, Aditya kemudian kursus stir mobil dan memiliki SIM.
Aditya meminggirkan motornya saat sudah memasuki area pasar, tempat menurunkan mamanya. Wanita itu biasanya akan menelpon jika sudah usai berbelanja. Namun, hari ini Aditya sengaja tidak membawa ponsel.
“Ma, Adit tunggu di tempat bubur ayam, ya” ujar Aditya begitu mamanya turun.
Wanita paruh baya yang masih lincah dan energik itu mengangguk. Lalu ia menenteng tas belanjaannya masuk ke mulut pintu pasar.
Aditya menikmati semangkuk bubur ayam. Pikirannya menerawang saat merasakan panasnya udara pagi itu. Peluh mulai membasahi dahinya. Pria itu teringat, sejak bersama Sarah, dia hampir tak pernah makan di warung tenda atau kios pinggir jalan sederhana seperti saat ini. Minimal café dengan sentuhan penyejuk ruangan.
“Aku yang traktir, Dit!” Sarah selalu menolak jika dia hendak membayarnya. Katanya, itu sebagai ganti karena dia sudah mengantar jemputnya setiap hari.
Mendadak hati Aditya merasa ngilu mengingatnya. Aditya merasa malu, dia merasa hanya seperti supir yang setiap pagi dan sore mengantar dan menjemput Sarah.
"Melamun lagi?" Bu Handoyo menepuk bahu Aditya.
Ibunda Aditya meletakkan satu kantung besar belanjaan di sisi kaki Aditya yang duduk di bangku warung bubur ayam itu.
"Mama perhatikan, sejak kamu dekat sama gadis itu, kamu lebih banyak melamun dibanding bersuka hati," lanjut Bu Handoyo.
Wanita itu kemudian menarik kursi plastik di sebelah Aditya dan duduk di sana, lantas ia memesan es jeruk untuk melepas dahaganya.
"Kamu sudah dewasa. Sebuah hubungan harus jelas kemana arahnya. Jangan jadi pengecut." Bu Handoyo menambahkan.
Arahnya masih sama. Ketidaksukaan hubungan Aditya dengan wanita anak orang kaya.
"Dalam pernikahan, sepadan itu penting, Nak. Jangan sampai perbedaan latar belakang keluarga, kelak akan menimbulkan masalah," nasehat Bu Handoyo lagi.
"Kamu sekarang mungkin belum merasakan. Tapi percayalah. Hidup berkeluarga itu tidak sulit tapi juga tidak mudah. Menjadi mudah jika keduanya memiliki visi yang sama. Tapi akan menjadi sulit jika dari awal tidak dilandasi kesepemahaman..." ucap wanita yang meskipun hanya ibu rumah tangga, namun pemikirannya jauh ke depan.
Aditya menarik nafas berat, lalu menghembuskannya kembali. Ia memikirkan dan membenarkan apa kata mamanya.
Bubur ayam di mangkuk Aditya sudah tandas. Pria itu lalu meneguk teh tawar yang disajikan gratis kepada pembeli bubur.
Sementara, sang mama menyedot jus jeruk dengan perlahan. Ia menikmati aliran dingin cairan itu di tenggorokannya.
“Mama beli bumbu dapur dulu. Ada yang ketinggalan. Kamu tunggu di sini saja,” ujar wanita itu sebelum berjalan cepat menyusuri trotoar yang penuh pedagang sayuran, kembali ke dalam pasar.
Sementara Aditya hanya menatap punggung mamanya, hingga hilang di tikungan arah masuk ke pasar.
***ETW***
Aditya masih menyandarkan punggungnya di sandaran kursi plastik di warung itu. Cuaca terik tak membuatnya ingin bergeser dari posisinya. Pikirannya dipenuhi oleh nasehat mamanya akhir-akhir ini.
Aditya, pemuda berusia dua puluh lima tahun ini memang tidak pernah menjalin hubungan serius dengan wanita. Dari dulu dia tidak percaya dengan namanya pacaran. Dia lebih memilih menghindar dari jatuh cinta. Bukan karena tak ada yang menyukainya. Bahkan bisa dibilang banyak yang antri untuk mendapatkannya. Tapi dia tidak ingin merasakan sakitnya putus cinta.
Tapi kini, jalannya telah berubah. Usianya sudah cukup matang. Teman-teman seangkatannya sudah bergantian mengirimkan undangan pernikahan. Tapi tak satu jua pun hati tertambat padanya. Hingga Sarah, gadis cantik berkelas itu tiba-tiba mengisi hatinya.
Aditya mengacak rambutnya dengan kasar. Mengapa harus Sarah? Kenapa tidak yang lain? Di kantornya, banyak staf yang cantik dan pintar.
Awalnya, banyak gadis yang mencoba mencuri perhatiannya. Namun, setelah mengetahui kedekatannya dengan Sarah, tak satupun berani mendekat.
"Hebat kamu, Dit," kata Seno, teman sedivisinya suatu hari.
"Di kantor ini ngga ada yang berani mendekati Sarah. Semua keder. Hanya kamu yang berani," lanjut Seno.
Saat itu, Aditya belum tahu latar belakang Sarah.
"Emang kenapa, Kak?" tanya Aditya menyelidik. Digesernya kursi duduknya mendekati kursi Seno yang berada di sebelah kubikelnya. Ada rasa penasaran dengan apa yang dikatakan Seno barusan.
"Keluarganya tajir melintir. Ngga selevel sama kita. Mendingan kita mundur." kata Seno sambil mengesekkan ibu jari dengan jari tengahnya, sebagai isyarat banyaknya uang yang dimiliki oleh keluarga Sarah.
Setelah percakapannya dengan Seno dan penjelasan lelaki itu panjang lebar, Aditya mulai mencari alasan untuk tidak mundur.
Sarah, meskipun dari golongan kaya, tetapi dia sama sekali tidak sombong. Tetap rendah hati. Bahkan Aditya sampai tidak tahu jika ternyata keluarganya kaya.
Sarah rajin menolong. Dia memiliki jiwa dermawan. Sering Aditya melihatnya memberikan sedekah jika bertemu dengan orang yang tidak mampu dan membutuhkan.
"Sudah melamunnya?" kata Bu Handoyo sambil menepuk pundaknya.
Wanita yang telah melahirkannya itu sudah membawa tas jinjing berisi bumbu dapur dan aneka rupa sayuran. Padahal, di sebelah kaki Aditya sudah tergeletak tas besar berisi belanjaan. Wanita itu memang biasa berbelanja seminggu sekali ke pasar. Selebihnya, belanja dari tukang sayur.
"Langsung pulang atau kemana dulu, Ma?" tanya Aditya sambil mengaitkan tas belanjaan mamanya ke kaitan di motornya.
"Pulang saja. Tapi, nanti mampir dulu ke penjahit langganan Mama, ya." Aditya mengangguk.
Padahal dia berharap mamanya akan belanja lagi atau kemana lagi yang memakan waktu lama. Aditya merasa ingin melarikan diri dari beban pikirannya.
"Memilih pasangan yang tepat itu bisa membuat kita nyaman dan bahagia, bukan menambah beban pikiran," ujar Bu Handoyo saat Aditya meminggirkan motornya di tukang jahit langganannya, seolah tahu jalan pikiran Aditya.
Penjahit langganan Bu Handoyo adalah penjahit rumahan. Letaknya di ujung gang kompleks perumahan berseberangan dengan perumahan di mana Aditya tinggal. Sama, perumahan kelas bawah padat penghuni. Bukan penjahit butik berkelas.
Tak lama, mamanya sudah keluar dengan menenteng tas agak besar berisi baju jahitan.
"Mbak Hani ini jahitannya bagus. Enak dipakai. Nanti kamu kalau menikah, calon istri kamu bisa menjahitkan kebaya di sini," kata Bu Handoyo, seolah menyentil Aditya.
Deg. Tiba-tiba jatungnya merasa bergemuruh.
Mana mau Sarah menjahitkan baju nikah di penjahit rumahan. Tempo hari saja untuk menyambut tamu makan malam, gaunnya buatan butik ternama.
Saat motor yang dikendarai Aditya hampir mendekati rumahnya, terlihat sebuah mobil terparkir di depan rumahnya.
"Ada tamu, Dit. Siapa, ya?" tanya Bu Handoyo. Kepalanya setengah melongok ke depan karena penasaran.
Mata Aditya serta-merta membulat.
Mobil itu adalah mobil yang setiap hari dikendarainya.
Ada apa Sarah datang ke rumah? Dari mana dia tahu rumah Aditya? Bukannya selama ini Aditya tak pernah memberitahukannya di mana rumahnya?
“Sarah? Ada apa?” tanya Aditya. Roman muka Aditya setengah terkejut mendapati Sarah sudah ada di ruang tamu. Wanita itu duduk di sofa yang biasa digunakan untuk menerima tamu. Sementara, Pak Handoyo terlihat terpaksa menemaninya karena tidak ada orang lain di rumah selain dirinya. Saat Bu Handoyo masuk rumah dan melihat Sarah di dalam, raut mukanya serta merta berubah menjadi suram. Tak seulas senyum pun terbit dari wajahnya, meski Sarah langsung menyambut untuk menyapa dan menyalaminya. Wanita paruh baya itu memilih segera masuk ke dalam tanpa kata disbanding ikut menemui tamu anaknya itu di ruang tamu. Sarah menatap ibunda Aditya yang meninggalkan ruang tamu itu dengan sendu. Ada rasa kaget sekaligus syok saat melihat ekspresi penolakan dari wanita yang telah melahirkan kekasih hatinya itu. Selama ini, tak seorangpun yang pernah menampakkan raut tak suka padanya. Gelimang harta yang dimiliki, membuat semua orang hormat dan tunduk padanya. Ditambah sikapnya yang selalu ram
Aditya sedang mematut diri. Dari pagi dia sudah beberapa kali berganti T-shirt. Mungkin karena grogi, rasanya semua bajunya seperti tidak pantas dipakainya. [Sudah siap? Papa sudah menunggumu] Sebuah pesan dari Sarah masuk Kembali ke ponsel Aditya. Jika sebelumnya Aditya sangat bersuka hati pergi dengan Sarah, hari ini, dia menjadi kesal. Dia bingung, apakah harus benar-benar datang, atau lebih baik mencari alasan. Ah, lelaki macam apa aku ini? Jangan sampai dibilang pengecut, batin Aditya terus saja berperang. “Kamu yakin mau ke sana?” tanya Bu Handoyo saat melihat Aditya turun dari lantai dua. Penampilan Aditya sudah rapi dengan kaus berkerah warna biru donker polos yang dimasukkan ke dalam celana jin warna senada, hingga memberi kesan santai namun elegan. Tak lupa ikat pinggang menambah penampilannya sedikit berwibawa. Ibunda Aditya itu masih tampak tidak meyakini jika anak bungsunya akan benar-benar datang untuk berkenalan dengan keluarga Sarah. “Jadilah dirimu sendiri
Intan masih sibuk dengan persiapan baksosnya esok hari.Sejak tidak tinggal di rumah Bu Handoyo, Intan menyibukkan diri dengan kegiatan kampus. Sejak dulu, dia sudah aktif di kegiatan kampus, meski tidak seaktif saat ini. Kalau dulu jam lima sore sudah harus meninggalkan kampus, karena khawatir pulang terlalu malam. Jarak yang tidak dekat dan kadang macet, tentu membuat badannya lelah jika terlalu larut dalam kegiatan kampus. Namun, sekarang dia bisa sampai malam di kampus, apalagi kosannya hanya belakang kampus. Packing-packing hampir selesai setelah seharian sibuk menyortir pakaian pantas pakai. Intan kesal dengan perilaku orang-orang yang menyumbang pakaian tidak layak pakai. Kadang-kadang acara baksos seperti ini dijadikan ajang membuang barang. Padahal tidak seharusnya seperti itu. Seharusnya orang-orang mulai menyadari untuk memberikan pakaian terbaiknya untuk orang yang membutuhkan. Bukan sebaliknya. Jika kita tidak mau memakai, apalagi orang lain. Akhirnya Intan malah men
Sudah hampir dua jam Aditya mematut diri di depan cermin. Entah apa yang salah. Dia merasa tidak menjadi dirinya. Rasa kurang percaya diri tiba-tiba menyeruak. Padahal, selama ini dia adalah pribadi yang penuh percaya diri. Selain tampan menawan, pendidikan pun tak bisa diremehkan, demikian pula pekerjaan untuk lelaki seusia dirinya. Namun, rupanya hanya untuk pergi ke rumah Sarah menghadiri acara makan malam saja, semua yang dimilikinya seolah runtuh. Malam ini adalah acara makan malam keluarga di rumah orang tua Sarah bertepatan dengan perkenalan keluarga dengan calon suami kakak Sarah. Aditya terlanjur sudah menyanggupi untuk hadir di acara keluarga tersebut. Selain itu, rasanya perlu untuk mendekatkan diri ke keluarga Sarah, jika dia memang serius hendak menjalin hubungan dengan putri bungsu keluarga itu. Bu Handoyo dan Intan seharian sibuk memasak. Intan sengaja sudah membawa dus kemasan kue dan makanan. Ibu Intan adalah pengusaha catering di kota kelahirannya. Intan sudah ter
“Makasih, ya, Mas. Kata mamaku, makananya enak. Beli dimana?” tanya Sarah. Siang itu, mereka makan siang seperti biasa di kantin kantor. Mendengar pernyataan Sarah, Aditya yang duduk di hadapannya sambil mengaduk es jeruk tersenyum. “Buatan mama, Sar,” sahut Aditya penuh kebanggaan. Dia ingin menghadirkan pada Sarah, bahwa meskipun dia berasal dari keluarga biasa, namun ada kelebihan yang patut dibanggakan.“Ohya? Mamamu bisa bikin kue seenak itu?” tanya Sarah. Terlihat raut muka tak menyangka, bercampur dengan bahagia. Aditya mengangguk. Meski di benaknya, tiba-tiba bayangan Intan menari-nari. ‘Maaf Tan, aku terpaksa berbohong.’ batinnya. Intan dan mamanya memang senang berkolaborasi dalam memasak. Tapi, biasanya Intan yang banyak berkontribusi. Bagaimanapun remaja putri itu anak dari pengusaha catering di kota kelahirannya. Trik-trik masak sudah mumpuni dikuasai. Dan karena itu pula, mamanya makin suka pada gadis itu saat dia tinggal di rumahnya. “Wah, nanti mamaku bisa pesen
“Adit, Mama minta sama kamu. Jangan memberi harapan palsu ke orang lain. Jika kamu tidak yakin, tinggalkan. Jangan dilanjutkan,” nasehat Bu Handoyo usai makan malam. Sebagai seorang ibu, dia dapat meraba keraguan putranya. Ketika seorang sudah yakin dengan pilihannya, tentu akan diperjuangkan. “Adit yakin, Ma. Hanya, Adit perlu waktu,” sahut pemuda itu. Wajah Aditya masih tertunduk. Dia tahu, mamanya pasti menatap tajam padanya, seperti sebelum-sebelumnya jika membahas mengenai Sarah. Pemuda itu tetap tak paham, mengapa mamanya demikian tak menyukainya. Hanya karena status sosial. Bahkan, Sarah pun pasti tak menginginkan diterima sebagai dirinya, apa adanya. “Mama hanya belum kenal Sarah saja. Adit yakin, jika Mama sudah mengenalnya, pasti dapat menerimanya,” sambung Aditya. Bu Handoyo bergeming. Dalam hati, wanita paruh baya ini mencoba memahami kata-kata putranya. Benar dia belum mengenal Sarah. Tapi, sebagai wanita yang punya banyak pengalaman hidup dan telah berinterak
Tapi, Intan hanya bisa menaikkan kedua pundaknya. Takut tidak sopan, karena ada pakde dan budenya, yang harusnya memimpin pembicaraan. Baik Pak Handoyo dan Bu Handoyo tidak ada bahan untuk ditanyakan. Mereka memang tidak mau menyelidik siapa Sarah. Kalau bu Handoyo mungkin memang tidak mau tahu. Sedangkan Aditya merasa mati kutu. Sesekali diliriknya sang mama yang mengamati Sarah dengan lekat seperti hendak menguliti. “Supnya enak, Tante …” Akhirnya Sarah membuka suara. Dia ingin memuji untuk mencairkan suasana yang beku dan kaku. “Intan yang masak…” jawab Bu Handoyo dingin. Wanita itu tak hendak memperpanjang pembicaraan. Sarah menatap ke Intan. Gadis yang ditatapnya menganggukkan kepala sambil tersenyum. Sementara dalam benak Sarah masih bertanya-tanya. Siapa gadis ini? Kenapa dia ada di sini? Kenapa dia duduk satu meja dengannya? Apa posisinya di rumah ini? Saudara? Atau asisten rumah tangga? Sarah mulai frustasi dengan kondisi makan siang yang garing. Isi piringnya
Sore sepulang kerja, seperti biasa, Aditya mengantar Sarah pulang.Dalam benaknya, sering Aditya berfikir, hubungannya dengan Sarah memang kaku. Sarah yang terlihat sangat sopan, tidak banyak bercanda, dan juga tidak banyak teman. Dia hanya bicara yang penting-penting saja. Kadang Aditya merasa hubungannya dengan Sarah hanya sebatas formalitas.Aditya sering merasa tidak menjadi dirinya sendiri.Sejak dekat dengan Sarah, hubungan dengan teman-temannya menjadi terbatas. Yang tadinya dia bebas berteman dengan siapa saja. Ngobrol dengan siapa saja, sejak akrab dengan Sarah, dunianya hanya berputar di sekeliling Sarah.Meski Aditya akui, Sarah sangat berjasa di tempat kerjanya. Utamanya saat Adit masih jadi pegawai baru. Tapi, lama kelamaan Aditya pun bisa meluaskan lingkaran pertemanan. Sayangnya, lingkaran itu kembali mengecil setelah hubungannya dengan Sarah semakin intens.“Mas, gadis yang di rumahmu itu rajin ba
Sementara, di belahan timur pulau jawab, Sarah sudah tiba di hotel. “Wi, jadi kan kita ketemu?” Sarah mengirim pesan singkat ke Dewi, teman kuliahnya dulu. Meski dulu tak akrab dengannya, namun kekuatan sosial media, membuat mereka menjadi dekat. Banyak nostalgia di grup kadang membuat dulunya berjarak, menjadi akrab. “Jadi, dong. Apa yang enggak buat kamu." Dewi mengirimkan nama sebuah cafe di salah satu mall terkenal di kota pahlawan itu. “Wah, ini sih deket sama hotelku. Sampe ketemu ya!” Balas Sarah dengan riang. “Nanti aku ke sana pulang kerja, ya. Lagi banyak orderan bos. Nggak enak klo izin.” Meski janjiannya masih lama, di mall, Sarah tidak mati gaya. Dia berniat jalan-jalan berkeliling dulu di mall itu sambil membunuh waktu. Hingga kemudian, dia mengecek kembali waktu. Saat sudah dekat waktu janjiian, Sarah segera bergegas ke cafe yang dijanjikan. Suasana cafe tid
“Mau kemana, Mas?” tanya Intan, sesaat sebelum Aditya menutup pintu itu. Lelaki itu tersenyum menatap istrinya yang raut wajahnya menampakkan wajah cemburu. Aditya menanggapi kemarahan Intan dengan santai. Jika selama ini yang banyak mengalah adalah Intan, kini dunia seolah terbalik. Intan sedang dirundung rasa kesal terhadap suaminya yang sudah terlalu memperlakukan temannya yang sedang jatuh cinta padanya. “Aku mau ke bawah. Kamu nitip apa?" tanya Aditya datar. Tak terlihat ada rasa bersalah. Aditya sudah tahu, biasanya amarah Intan akan sedikit reda jika ditawarkan makanan. “Martabak?” tawar Aditya dengan sedikit mencondongkan kepalanya. Alisnya pun satu diangkat ke atas, hendak menggoda Intan. “Serah!” ketus Intan menjawab seraya menutup pintu. Aditya hanya menanggapinya dengan senyum. Kepalanya menggeleng. Dia teringat mamanya kalau ngambek sama papanya, persis seperti itu. Nanti j
Di kompleks perkantoran tempat mereka magang tak hanya di gedung yang berisi banyak kantor. Namun, di sebelah gedungnya pun juga perkantoran lain. Belum diseberang jalan. Apalagi, saat jam pulang kerja begini, maka akan mudah ditemui pekerja yang pulang kantor dan berjalan menuju tempat tinggal masing-masing. Di kompleks pemukiman belakang kantor itu, ada berbagai macam tipe rumah tinggal. Dari yang apartemen, kos-kosan elit, kos-kosan tipe menengah, hingga kamar yang disewakan bersama dengan pemilik rumah. Mau tipe yang ada AC dan internet plus kamar mandi di dalam, atau tipe dengan kipas angin pun tersedia. Harganya bervariasi. “Intan!” panggil Runi ketika melihat temannya tak sengaja menoleh ke arahnya. Sebenarnya Runi ingin menghindar saja dan menunggu Intan masuk. Namun, kepalang basah. Intan sudah lebih dahulu melihatnya. Mau-tak mau Runi harus menyapanya. Suasana lorong apartemen yang sepi membuat suara Run
Sarah menatap nanar ke arah Dimas yang duduk di ruang tunggu bandara. Meskipun lelaki itu pamit hendak keluar kota alasan bisnis, Sarah tidak mempercayainya begitu saja. Sudah sebulan Sarah bekerja di kantor milik papanya yang kini dikelola Dimas. Semua pembukuan sudah diambil alih olehnya. Sesuai dengan keahliannya sebelum bekerja di kantor itu. Hana, staf lama, yang dicurigai memiliki kedekatan dengan Dimas pun sudah sebulan dipindahkan ke kantor cabang. Sarah sudah menyelidiki semua pembukuan kantor itu. Tak satu pun transaksi mencurigakan ditemukan. Bahkan, transaksi atas nama Dimas, tak satupun mencurigakan. Mungkin, itu pula yang membuat hidup Dimas tak banyak berubah, meski perusahaan makin menggeliat. Bahkan, rumah pun masih tinggal di tempat yang sama. Dimas pun masih setia dengan motornya, meski kadang-kadang membawa mobil operasional kantor. Namun, kesederhanaan itu justru yang membuat Sarah makin curiga. Jangan-jangan, ada belanja yang lain diluar untuk keluarganya, s
“Mas, bisa nggak sih kalo kerja nggak pake main mata?” tanya Intan sambil menggigit satenya. Meski seharian dibuat gusar oleh tingkah Runi dan juga Aditya yang sok bijak di depan Runi hingga membuat gadis itu makin blingsatan, Intan sudah mulai belajar mengendalikan diri. Berkali-kali dia meneguk air mineral agar melarutkan emosi dalam darahnya. Sore tadi, sepulang kerja, Intan berpesan ke Aditya agar membeli sate di warung tenda belakang. Dia kesal dengan Aditya dan itu membuatnya malas memasak, khusus hari itu saja. Dia ingin menunjukkan kalau dia tengah marah. Apalagi, sejak Aditya tahu kalau teman-teman Intan juga magang di kantornya, Aditya makin malas pergi keluar dengan Intan. Bahkan lelaki itu rela membeli makan sendiri, demi agar tidak diketahui kedekatannya dengan sang istri. Bahkan, mereka pun pulang dan pergi terpaksa melewati jalan dan waktu yang berbeda, agar tidak diketahui hubungan keduanya. “Siapa juga yang mai
Kebetulan Runi dan Mira tinggal di kosan yang sama. Sementara Intan beralasan ikut kakaknya. Jadi tidak gabung saat mencari kosan. Sedangkan Arfan, tentu tinggal di kosan khusus laki-laki. “Ehhh, maaf, Run. Nggak bisa. Kan aku sudah bilang, kalau aku tinggal sama kakakku cowo. Dia orangnya pemalu. Emang mau ngapain?” tanya Intan setelah menjelaskan alasannya.Selama ini, Intan selalu beralasan ikut di tempat kakak laki-lakinya. Jadi dia tak mengijinkan satu pun temannya untuk berkunjung. Bisa-bisa Aditya ngamuk kalau sampai ada yang berani datang. Lelaki itu sangat ketat terhadap privasi. “Nggak ada, sih. Cuma mau main aja. Habis dari magang, suka bengong di kontrakan,” kata Runi. Runi memang tidak terlalu cocok dengan Mira. Mira anaknya gaul, mudah dekat sama cowok. Sedangkan Runi cenderung pemalu. Mengobrol dengan Mira pun sering tidak nyambung. Karena keduanya berbeda selera. “Yaudah, aku saja yang main ke kosanmu ya,” kata Intan menawarkan diri. Kalau dengan Intan, Runi agak
“Tadi ada anak baru magang di kantorku,” kata Aditya sambil mengambil rawon ke mangkuknya. Biasanya makan nasi rawon, Intan selalu memisahkan rawon dengan nasinya.Intan sudah mencicil membeli perabot masak seadanya. Yang penting ada buat goreng, ngrebus, ngukus. Bahkan, kadang dia terpaksa menggunakan bumbu instan, karena tak memungkinkan bumbu lengkap. Ulekan atau blender belum dimilikinya. Lagi pula beli bumbu lengkap juga bakal busuk klo jarang-jarang masak.Intan hampir tersedak mendengar ucapan Aditya.“Minum dulu. Denger magang saja, kok kamu tersedak,” ucap Aditya datar.Lelaki itu sama sekali tak curiga. Malah dengan santainya menyendok telur asin yang sengaja digunakan untuk pendamping nasi rawon. Intan sengaja membawa telor asin dari rumah mertuanya. Praktis buat lauk. Tinggal membuat perkedel dan goreng emping saja buat pelengkap nasi rawon.“Ya maaf kalau aku nggak bantuin kam
Aditya masih sibuk dengan pekerjaannya, saat Hanafi, karyawan HRD masuk ke ruang kerjanya bersama seorang gadis dengan penampilan tertutup alias berjilbab rapi. “Dit, ini ada anak magang baru, ditempatkan di divisi ini. Kata Pak Bos, kamu yang akan pegang,” kata Hanafi sambil memperkenalkan gadis yang meskipun tampilannya tertutup namun, terlihat ramah. Sejenak Aditya terdiam. Namun kemudian dia teringat pesan atasannya yang sedang keluar kantor, kalau memang dia akan ditugaskan membimbing anak magang tiga bulan kedepan. “Oh Iya, Pak. Makasih ya,” sahut Aditya kemudian. “Runi, ini Pak Adit. Nanti Pak Adit yang akan membimbing kamu selama magang di sini.” Hanafi memberi pesan pada mahasiswi bernama Runi itu. Gadis itu menangguk takzim. Hanafi lalu meninggalkan ruangan Aditya. “Duduk dulu.” Aditya mempersilahkan Runi duduk. Mereka mengobrol di sofa yang biasa digunakan untuk menunggu tamu di ruangan itu. “Jadi nama kamu Runi?” Aditya membaca berkas dokumen yang diberikan Hanafi.
Intan bersikap biasa tatkala pagi hari, seolah tak pernah terjadi sesuatu tadi malam. Dia sengaja tak membahasnya hingga Aditya membuka percakapan. “Bener kamu nggak ingat semalam kamu ngapain?” ulang Aditya. Pagi itu Hari Minggu. Intan memasak nasi goreng untuk sarapan. Semalam, Intan sengaja memasak nasi agak lebih agar dapat dimasak untuk pagi hari. Dia sudah hafal kalau Aditya tak suka nasi kemarin, kecuali dibuat nasi goreng. Intan menggeleng. Dalam hati Intan berujar, “Aku nggak tahu kamu ngapain saja di sana, Mas.” Aditya menghela napas. Dia khawatir hal itu akan terjadi lagi saat malam hari dia tidak di rumah. “Mengerikan,” batinnya. “Kalau begitu, sebaiknya siang ini kita pulang. Rasanya lebih aman kamu di rumah dibanding di sini,” tambah Aditya. Di rumahnya, ada mamanya yang bisa mengawasi. Kalau di apartemen, saat dia pergi seperti semalam, siapa yang dapat menjamin Intan nggak kemana-mana.