Share

7

last update Last Updated: 2023-05-30 22:00:04

“Makasih, ya, Mas. Kata mamaku, makananya enak. Beli dimana?” tanya Sarah. 

Siang itu, mereka makan siang seperti biasa di kantin kantor. 

Mendengar pernyataan Sarah, Aditya yang duduk di hadapannya sambil mengaduk es jeruk tersenyum. 

“Buatan mama, Sar,” sahut Aditya penuh kebanggaan. Dia ingin menghadirkan pada Sarah, bahwa meskipun dia berasal dari keluarga biasa, namun ada kelebihan yang patut dibanggakan.

“Ohya? Mamamu bisa bikin kue seenak itu?” tanya Sarah. Terlihat raut muka tak menyangka, bercampur dengan bahagia. 

Aditya mengangguk. Meski di benaknya, tiba-tiba bayangan Intan menari-nari. ‘Maaf Tan, aku terpaksa berbohong.’ batinnya. 

Intan dan mamanya memang senang berkolaborasi dalam memasak. Tapi, biasanya Intan yang banyak berkontribusi. Bagaimanapun remaja putri itu anak dari pengusaha catering di kota kelahirannya. Trik-trik masak sudah mumpuni dikuasai. Dan karena itu pula, mamanya makin suka pada gadis itu saat dia tinggal di rumahnya. 

“Wah, nanti mamaku bisa pesen dong, kalo ada tamu lagi,” lanjut Sarah. 

Bagi Sarah, kue dengan rasa yang kemaren dibawakan oleh Aditya, belum pernah ditemukan di manapun. Jadi, akan menjadi cemilan special jika ada tamu datang ke rumahnya, jika menjamu dengan kue itu.

“Mamaku ngga terima pesanan, Sarah,” sahut Aditya. Lagipula, sebenarnya yang punya resep kue itu adalah Intan. Mamanya hanya memasak sesuai instruksi dari adik angkatnya itu.

Sarah mengangguk tanda mengerti. 

Keduanya lalu meninggalkan kantin karena jam makan siang sudah usai. 

“Mas, apakah artinya mamamu sudah bisa menerima aku?” tanya Sarah sesaat sebelum Aditya keluar dari lift. 

Kantor Sarah dan Aditya hanya berbeda lantai, tapi masih dalam satu gedung. 

Aditya mengangguk, lalu melambaikan tangannya. 

Bukan karena menghiyakan pernyataan Sarah yang tentu saja sejatinya jawabnya berlawanan. Hanya, Aditya tak ingin menyinggung perasaan kekasih hatinya itu. Biarlah waktu yang akan menjawabnya. 

Melihat anggukan Aditya, Sarah tersenyum lega. Akhirnya, apa yang dia khawatirkan selama ini tak beralasan. Ternyata keluarga Aditya dapat menerimanya. Terutama mamanya yang kala dia bertemu pertama kali terlihat jutek dan dingin. Jika tidak, tak mungkin mama Aditya repot-repot memberinya bingkisan. Bukan bingkisan yang dibeli. Tapi dibuat dengan tangannya sendiri!

“Ahhhh!” Aditya mendesah. “Kenapa bersamanya hidupku jadi penuh kebohongan. Inikah cinta?” desisnya kembali. 

***

Aditya melangkah gontai ke meja kerjanya. Dilihatnya, Dito, seniornya bermuram durja. Wajahnya terlihat kusut. 

“Kenapa, Mas?” sapa Aditya. 

Dito menatapnya sejenak. Lalu kolega Aditya itu menggeleng. 

“Bos marah?” tanya Aditya lagi. 

Dito masih menggeleng. 

Aditya lalu mencoba mengerti, mungkin hanya masalah pribadi. 

Drtttt

[Aku ada lembur, kamu duluan saja, Mas] Pesan Sarah masuk ke ponsel Aditya. 

Pemuda itu tak berniat membalasnya. Dia sibuk membereskan pekerjaan dan siap-siap hendak pulang. Pasti mamanya senang, sore ini ia bisa pulang tepat waktu. 

Sejak bersama Sarah, Aditya jarang pulang sore. Dia harus mengantar Sarah, bahkan kadang keluar makan atau sekedar jalan-jalan. Hal yang tak pernah dilakukan sebelumnya. Berduaan dengan seorang wanita yang bukan siapa-siapanya. 

“Mas Dito, kamu baik-baik saja?” tanya Adit saat diliriknya pria yang meja kerjanya bersebelahan dengannya, masih menerawang, melamun. 

“Aku temani ngopi, yuk. Barang kali kamu butuh teman ngobrol...” tawar Aditya. 

Setelah sekian lama dia hanya menghabiskan waktu dengan Sarah, ada baiknya juga dia menyisihkan waktu untuk teman kantornya. Barangkali ada banyak hal yang dapat dia ambil perlajaran darinya. 

Dito mengangguk. Pria itu mengambil tas kerjanya. 

Sementara, Aditya baru ingat jika dia tidak membawa kendaraan. Selama ini, motornya dia titipkan di warung kopi dekat rumah Sarah, karena dia mengantar dan menjemput Sarah setiap hari. 

“Cafe depan kantor aja, Mas. Nanti aku yang traktir, ya,” ujar Aditya. 

Dia khawatir seniornya ini menolak jika mengajaknya ke sana, karena café itu lumayan elit untuk ukuran kocek teman kantornya. 

Aditya dan Sarah tak pernah memikirkan harga secangkir kopi di sana karena keduanya masih lajang. Mungkin akan lain cerita jika sudah berkeluarga dan memiliki banyak kebutuhan.

“Kalau Mas Dito mau cerita, aku dengerin. Tapi mungkin aku ngga bisa ngasih solusi. Tapi dengan menjadi pendengar yang baik, barangkali bisa meringankan masalah Mas Dito.” Aditya memulai pembicaraan, karena seniornya ini masih membisu. Sepertinya masalahnya cukup berat. 

“Adikku di kampung menelpon kalau ibuku butuh uang untuk memperbaiki genting-genting ya bocor.” Dito membuka percakapan. Ada beban berat mengungkapkan. Sebagai lelaki, dia jarang berkeluh kesah, kepada siapapun. 

Sementara Aditya berusaha mendengarkan dengan seksama. 

“Istriku ngga kerja, Dit. Semua keuangan rumah tanggaku, dia yang pegang.”

Dito terdiam sejenak, lalu ia menghela napas. “Maaf ya Dit, kamu harus mendengar masalah rumah tangga.”

“Ngga papa, Mas. Aku bisa belajar. Trus masalahnya apa?” tanya Aditya. Pemuda itu masih mendengarkan dengan seksama dan berusaha mencerna. 

“Dulu, sebelum menikah, istriku sudah tahu kalau aku tulang punggung keluarga. Setelah kami menikah, istriku pun tidak melarang kami mengeluarkan uang bulanan untuk biaya sekolah adik-adikku. Tapi kini, setelah adik-adikku selesai, istriku hanya menyanggupi uang bulanan ibuku. Karena kebutuhan kami sendiripun makin lama makin besar.” 

Dito terdiam sejenak. 

Begitu juga Aditya. Ia tak berani berkomentar. Dalam hati hanya membatin, “Penghasilan Dito tidak sedikit. Jauh lebih besar dari penghasilannya, karena Dito karyawan senior. Tetapi, apakah sepelik itu masalahnya.” 

“Istriku berharap adik-adikku pun bisa ikut andil membantu ibuku. Kami sering cek-cok jika urusan yang menyangkut keluargaku.” Dito menghela napasnya kembali. Dia sudah menganggap Aditya sebagai adiknya sendiri. Pemuda yang halus budi bahasanya. Namun demikian, sebenarnya dia tak enak juga jika harus menceritakan peliknya kehidupan berumah tangga. 

“Maaf, ya ,Dit. Kamu jadi mendengar ceritaku,” ulang Dito. 

“Ngga papa, Mas. Aku minta maaf karena aku ngga bisa ngasih saran apa-apa,” sesal Aditya. 

Dia memang belum cukup menjangkau kepelikan masalah yang dihadapi oleh Dito. Namun batinnya meraba. Apakah demikian kehidupan rumah tangga? Akan menemui aral melintang, meski dari luar terlihat sempurna? 

“Ya, begitulah, Dit, liku-liku berkeluarga. Kita harus bisa menerima keluarga kita apa adanya. Apapun mereka, kita harus berlapang dada. Makasih, ya, Dit sudah mendengarkan keluhanku.” 

Dito menyesap kopi nya. Pria itu berulang menghela napasnya untuk menghalau keresahan sekaligus mengeluarkan batu ganjalan di rongga dadanya.

“Mas, kalau perlu, bisa pakai uangku dulu,” tawar Adit. Bukannya masalahnya ada di genteng yang bocor? Toh bulan depan saat gajian, bisa dikembalikan. 

Dito menggeleng. “Masalahnya bukan disitu, Dit. Kalau perkara uangnya, mungkin bisa dicari. Tapi masalahnya, bagaimana istriku bisa memahami posisiku. Tapi, makasih tawarannya.”

“Aku harus pulang, Dit. Nanti istriku menunggu,” lanjut Dito sambil berdiri. 

“Iya, Mas, Duluan saja. Saya masih nunggu seseorang,” sahut Aditya sambil membalas lambaian tangan Dito. 

Aditya terpekur sendiri. Ada sesal tak dapat membantu seniornya. Jangankan memberi saran, bahkan tawarannya meminjamkan uang saja, mungkin terdengar konyol. 

Sesulit itukah hidup setelah menikah? Apakah karena ini juga mamanya begitu mencemaskannya saat dekat dengan Sarah? Mengapa kecemasan ini tidak terjadi saat kakaknya, Danang, dulu dalam memilih pasangan. Kenapa mamanya dulu langsung merasa cocok dengan kakak iparnya? Adakah rahasia dibalik pertentangan mama terhadap pilihannya? 

Aditya menatap keluar café. Mobil tampak lalu lalang. Tapi pikirannya jauh menerawang.

***

Hari masih sore. Matahari yang bersinar nyaris tenggelam ketika Aditya tiba di rumah. Biasanya Aditya tiba ketika matahari sudah ke peraduan. 

“Tumben sudah pulang, Nak?” tanya Mama Aditya tatkala mendengar salam dari putranya. Wanita itu masih sibuk memasak di dapur untuk menyiapkan makan malam. 

Rumah yang sempit, membuat interaksi antar penghuninya sangat mudah. 

“Iya, Ma. Sarah lembur,” sahut Aditya usai mencium punggung tangan mamanya. 

Pemuda itu seketika menyadari ada yang salah pada jawabannya tatkala  melihat perubahan raut muka mamanya. Aditya tahu, wanita yang telah melahirkannya ini tak suka nama Sarah disebut. 

“Oh ya, Ma. Kata Sarah, makanan yang Adit bawa kemaren, enak!” ujar Aditya berusaha mencairkan hati mamanya. Dia tahu, mamanya paling suka dipuji. Siapa tahu dengan menyebutkan Sarah telah memujinya, hati mamanya menjadi luluh. 

“Trus, dia bilang apa lagi?” sahut Bu Handoyo tanpa menoleh. Baginya, pembicaraan tentang Sarah tak pernah menarik. 

“Kata Sarah, kuenya beli di mana?” ujar Aditya polos. 

Pria itu duduk di kursi meja makan. Meski posisinya dekat dengan dapur, tapi sedikit terhalang tembok menyekat. 

“Dasar orang kaya sombong. Mereka pikir segalanya harus dibeli dengan uang!” tukas Bu Handoyo dengan ketus. 

Wanita itu berdiri di depan Aditya sambil meletakkan lauk pauk dan sayur yang sudah matang di meja makan. 

Aditya terperangah mendengar respon mamanya. Dia pikir, mamanya akan Bahagia mendengar pujian dari Sarah. Namun, mengapa malah semakin emosi?

“Bukan begitu, Ma,” ujar Aditya berusaha menjelaskan. “Katanya, Sarah mau pesen klo nanti ada tamu dirumahnya,” sambungnya. 

Bu Handoyo menghentikan pergerakannya menata meja makan. Mata Bu Handoyo membulat. Menatap tajam ke putra bungsunya. 

“Dia pikir kita pengusaha catering?” Suara Bu Handoyo meninggi.

Aditya menghela nafas. Kepalanya tertunduk lesu. 

Apapun tentang Sarah, selalu salah di mata mamanya. 

Dalam hati Aditya berjanji, akan berusaha membuka mata hati mamanya. Bahwa Sarah gadis yang baik. Sarah adalah orang yang tepat untuk jadi pendamping hidupnya. 

“Hai, Dit. Tumben dah pulang?” Dimas menepuk pundak Adiknya usai mengucap salam. 

Pria itu segera mencium punggung tangan mamanya yang masih berdiri di samping meja makan. 

Dia tahu, adik dan mamanya pasti sedang melakukan pembicaraan serius. Buktinya, roman muka keduanya tampak tak baik-baik saja. 

“Iya, Mas. Pengen makan malam di rumah, bareng Mama,” jawab Aditya pada kakaknya, sambil melirik ke mamanya. 

“Kamu udah ngga dijatah sama mama,” ledek Dimas. Pria itu lalu menarik kursi di sebelah adiknya dan duduk di sana. 

Sebenarnya, melihat pemandangan dua anak lelakinya di rumah saat hendak makan malam seperti ini, hati Bu Handoyo Bahagia. Sudah lama, mereka tak menikmati makan malam bersama. Tepatnya, setelah Aditya dekat dengan Sarah. 

“Assalamualaikum!” sapa Intan seraya masuk rumah. 

Semua mata menoleh ke arahnya. Gadis itu dengan senyum renyahnya berjalan mendekat, layaknya masuk ke rumahnya sendiri. Rumah yang sudah dua tahun dia tinggali, sebelum Aditya kembali ke rumah ini.

Pekan ini adalah minggu tenang, karena pekan depan akan ujian. Semua tugas-tugas individu dan kelompok sudah tadi dikumpulkan. Intan memutuskan untuk menginap di rumah keluarga Handoyo. Ratu rumah itu sering mengirimkan pesan padanya, kapan akan ke rumah. Baginya, rumah sepi tanpa kehadiran Intan. 

“Bude, aku mau perbaikan gizi minggu ini. Biar ujian tenang,” seloroh Intan seraya menatap dua kakak lelakinya yang duduk di kursi meja makan bergantian. Sementara tangannya bergerak cepat turut membantu membereskan meja makan. 

“Halah kamu pake gaya kos segala. Mendingan di sini, biar mama ngga cepet tua,” timpal Dimas. Pemuda ini memang lebih cair dengan Intan dibanding adiknya. Dimas lebih pandai bergaul dan tidak kaku. 

“Emang kenapa Bude cepet tua? Bude kan masih rajin perawatan di salon. Ya kan, Bude?” sahut Intan teringat kebiasaan wanita di sebelahnya ini. 

Sejak anak-anaknya sudah bekerja, keuangan keluarga mulai membaik. Sehingga Bu Handoyo bisa menyisihkan sebagian uang belanja untuk merawat diri yang sudah lama dilupakannya. Dulu, Intan sering menggantarkan. Minimal, dapat bonus facial dan creambath. 

“Berantem terus sama Adit,” tukas Dimas sambil melirik ke adiknya. 

Aditya balik meliriknya sambil mendengus. 

“Mungkin Mas Adit ngga punya lawan berantem. Biasanya kan aku lawannya. Jadi sekarang pindah ke Bude,” ujar Intan sambil menahan tawa. 

Aditya sontak melebarkan matanya. “Kurang ajar nih bocah!” gerutunya dalam hati.

Memang benar. Aditya memang tak suka dengan Intan. Rasanya canggung jika ada Intan di rumahnya. Apalagi, rumah itu terlalu sempit jika ada orang asing turut tinggal di rumahnya. Sehingga, apapun yang dilakukan Intan, akan terlihat salah olehnya. 

Mungkin, ini juga yang dirasakan mamanya pada Sarah. Jika sudah ada rasa tak nyaman. Maka, apapun akan terlihat tak benar. 

“Nah, makanya kamu balik aja kesini. Biar dia ada lawan yang sepadan. Kalau nglawan mama terus kan bisa kualat. Ya, kan, Dim?” sahut Bu Handoyo, merasa ada yang berpihak padanya.  

Related chapters

  • JODOH PILIHAN MAMA   8 a

    “Adit, Mama minta sama kamu. Jangan memberi harapan palsu ke orang lain. Jika kamu tidak yakin, tinggalkan. Jangan dilanjutkan,” nasehat Bu Handoyo usai makan malam. Sebagai seorang ibu, dia dapat meraba keraguan putranya. Ketika seorang sudah yakin dengan pilihannya, tentu akan diperjuangkan. “Adit yakin, Ma. Hanya, Adit perlu waktu,” sahut pemuda itu. Wajah Aditya masih tertunduk. Dia tahu, mamanya pasti menatap tajam padanya, seperti sebelum-sebelumnya jika membahas mengenai Sarah. Pemuda itu tetap tak paham, mengapa mamanya demikian tak menyukainya. Hanya karena status sosial. Bahkan, Sarah pun pasti tak menginginkan diterima sebagai dirinya, apa adanya. “Mama hanya belum kenal Sarah saja. Adit yakin, jika Mama sudah mengenalnya, pasti dapat menerimanya,” sambung Aditya. Bu Handoyo bergeming. Dalam hati, wanita paruh baya ini mencoba memahami kata-kata putranya. Benar dia belum mengenal Sarah. Tapi, sebagai wanita yang punya banyak pengalaman hidup dan telah berinterak

    Last Updated : 2023-06-01
  • JODOH PILIHAN MAMA   8 b

    Tapi, Intan hanya bisa menaikkan kedua pundaknya. Takut tidak sopan, karena ada pakde dan budenya, yang harusnya memimpin pembicaraan. Baik Pak Handoyo dan Bu Handoyo tidak ada bahan untuk ditanyakan. Mereka memang tidak mau menyelidik siapa Sarah. Kalau bu Handoyo mungkin memang tidak mau tahu. Sedangkan Aditya merasa mati kutu. Sesekali diliriknya sang mama yang mengamati Sarah dengan lekat seperti hendak menguliti. “Supnya enak, Tante …” Akhirnya Sarah membuka suara. Dia ingin memuji untuk mencairkan suasana yang beku dan kaku. “Intan yang masak…” jawab Bu Handoyo dingin. Wanita itu tak hendak memperpanjang pembicaraan. Sarah menatap ke Intan. Gadis yang ditatapnya menganggukkan kepala sambil tersenyum. Sementara dalam benak Sarah masih bertanya-tanya. Siapa gadis ini? Kenapa dia ada di sini? Kenapa dia duduk satu meja dengannya? Apa posisinya di rumah ini? Saudara? Atau asisten rumah tangga? Sarah mulai frustasi dengan kondisi makan siang yang garing. Isi piringnya

    Last Updated : 2023-06-01
  • JODOH PILIHAN MAMA   9

    Sore sepulang kerja, seperti biasa, Aditya mengantar Sarah pulang.Dalam benaknya, sering Aditya berfikir, hubungannya dengan Sarah memang kaku. Sarah yang terlihat sangat sopan, tidak banyak bercanda, dan juga tidak banyak teman. Dia hanya bicara yang penting-penting saja. Kadang Aditya merasa hubungannya dengan Sarah hanya sebatas formalitas.Aditya sering merasa tidak menjadi dirinya sendiri.Sejak dekat dengan Sarah, hubungan dengan teman-temannya menjadi terbatas. Yang tadinya dia bebas berteman dengan siapa saja. Ngobrol dengan siapa saja, sejak akrab dengan Sarah, dunianya hanya berputar di sekeliling Sarah.Meski Aditya akui, Sarah sangat berjasa di tempat kerjanya. Utamanya saat Adit masih jadi pegawai baru. Tapi, lama kelamaan Aditya pun bisa meluaskan lingkaran pertemanan. Sayangnya, lingkaran itu kembali mengecil setelah hubungannya dengan Sarah semakin intens.“Mas, gadis yang di rumahmu itu rajin ba

    Last Updated : 2023-06-01
  • JODOH PILIHAN MAMA   10

    “Kenapa kamu menemui adikku?” tanya Aditya pada Sarah saat jam makan siang. Tak seperti biasanya, pagi tadi, Aditya sengaja tidak menjemputnya. Sejak Sarah menuduh Intan sebagai pembantunya, Aditya sudah enggan menjadi supir pribadinya lagi. Kadang Aditya merasa kesal dengan dirinya sendiri. Kenapa mau-maunya dirinya berbulan-bulan antar jemput ke area yang berlawanan dengan arah kantornya. Inikah cinta? Benarkah cinta buta? "Adikmu?" Kening Sarah berkerut. Dia berfikir sejenak sembari mengingat sesuatu.Ada banyak kebingungan dalam benaknya. Kenapa Aditya menyebutnya adik? Bukannya tempo hari adik temannya? Tempo hari lagi jadi anak sahabat mamanya. Kini jadi adiknya. Besok apa lagi?“Oh, dia cerita ke kamu, Mas?” Sarah balik bertanya."Bukannya dia itu pembantumu?” Sarah bertanya retoris. Matanya tajam menatap Aditya menanti jawaban. Serta merta, suara kepalan tinju Aditya memukul meja terdengar membahana.Sarah terlonjak kaget. Jantungnya serasa mau lepas dari tempatnya tatkal

    Last Updated : 2023-06-02
  • JODOH PILIHAN MAMA   11

    “Adit! Intan?” Sontak keduanya menoleh ke sumber suara. Mata keduanya melebar saat menyadari siapa yang sedang berjalan mendekat. “Mas Danang?” guman Aditya. “Wah, wah! Nggak nyangka juga ketemu kalian di sini. Temannya mempelai, atau ... ?” Danang, kakak sulung Aditya, memberondong pertanyaan, sekaligus meledek adiknya. Menyadari ada Indah, istri Danang dan anak bayinya, Intan buru-buru menghampiri Indah. Intan sengaja membiarkan Aditya menjawab pertanyaan kakaknya. Tak mau ikut campur. “Sini, gendong sama Tante,” ucap Intan sambil meletakkan dua tangannya di pangkal ketiak Caca, bayi perempuan berusia sembilan bulan yang tengah digendongan Indah.Spontan bayi itu pun merentangkan kedua tangannya. Dia sudah terbiasa bermain dengan Intan saat diajak ke rumah Bu Handoyo, neneknya. “Eh, ternyata, kalian serasi banget, lho,” bisik Indah tepat di telinga Intan. Sontak Intan langsung mendelik. “Hah, serasi apaan? Kayak majikan dan pembantu!” kelakar Intan sambil mengayun-ayunkan Ca

    Last Updated : 2023-06-02
  • JODOH PILIHAN MAMA   12

    “Intan!”Terdengar suara memanggil, membuat Intan yang sedang memesan minum di kantin menoleh.Kening Intan seketika mengerut. Sosok yang memanggilnya tentu bukan sosok sembarangan. Bagaimana bisa Aditya nyasar ke kampus Intan?“Hei, Mas Adit! Kok bisa nyampe sini? Mau dipesenin minum juga? Jus jeruk?” tawar Intan.Tak heran jika dulu Aditya sering meledek Intan punya mental pembantu. Apa aja ditawarkan.Namun, gadis itu tak dapat menutupi keheranannya. Dia tak percaya. Ini suatu kebetulan apa kesengajaan, bisa bertemu Adit di kantin?Kemarin Sarah, hari ini Adit. Lalu besok?Aditya mengangguk, lalu ia beranjak mencari tempat duduk.“Kok bisa nyampe sini, Mas? Meeting sama Mbak Sarah?” tanya Intan sambil menarik kursi di depan Aditya.Gadis itu bertanya tanpa ada beban. Meski sering dicuekin dan dijutekin oleh Aditya, dia tak pernah berkecil hati. Baginya, manus

    Last Updated : 2023-06-03
  • JODOH PILIHAN MAMA   13

    Dimas mengikuti Aditya yang baru masuk rumah. Dimas yang sedari tadi sudah sampai di rumah, menanti adiknya itu. Dia tak sabar ingin berkomentar dengan apa yang ditemuinya tadi.Jika sebelumnya kakak sulung yang menjadi saksi mata Adit jalan sama Intan, kini, dia pun sudah membuktikan.“Jangan-jangan, benar mereka ada apa-apa.” Dimas tersenyum sambil membayangkan apa yang tengah dipikirkan.“Kenapa, Mas?” Aditya yang mau menutup pintu, karena mau ganti baju, urung karena melihat kakaknya mengikutinya hingga depan kamar sembari cengar-cengir.“Pokoknya Dik, kalau kamu sama Intan, Aku dukung 1000 persen. Yakin deh! Mama, Papa, Om Arman, Tante Mirna, Mas Danang, dan Indra, pasti semua ngedukung kamu. Beda sama orang kaya yang sombong kemarin.”Dimas tak peduli adiknya yang kegerahan mau ganti baju. Dia malah langsung duduk di kursi belajar Aditya.“Jangan bilang orang kaya

    Last Updated : 2023-06-04
  • JODOH PILIHAN MAMA   14a

    “Jadi gini, Bro. Kalau kita sudah kenalan sama orang tua nya, pertanda kita sudah serius,” ujar Dito menasehati. Keduanya bertemu di pantry saat hendak menyeduh kopi. Kesempatan ini dimanfaatkan oleh Aditya sekedar berbagi rasa.“Tapi Mas, mereka itu menganggap kehadiranku saja tidak. Buat apa aku menggapnya serius.” Aditya membela diri. Lelaki itu masih menyimpan kenangan buruk saat di berkunjung ke rumah Sarah. Kehadirannya, memang hanya dianggap sebagai teman Sarah. Bukan calon suami Sarah. Bahkan, justru dia merasa dihargai oleh supir keluarga itu, dibanding si tuan rumah.“Itu mungkin hanya perasaanmu saja. Atau waktu itu terjadi kesalahpahaman,” kata Dito membesarkan hati Aditya. “Menurut Mas, aku harus bagaimana?” tanya Aditya meminta saran. “Komunikasi itu penting. Begitu juga dalam berkeluarga. Jika komunikasi tersumbat, maka akan banyak masalah kesalahpahaman di sana. Coba kamu berkomunikasi dengan Sarah. Mungkin dia merasa kamu meninggalkannya begitu saja. Kalian kan me

    Last Updated : 2023-06-06

Latest chapter

  • JODOH PILIHAN MAMA   50b

    Sementara, di belahan timur pulau jawab, Sarah sudah tiba di hotel. “Wi, jadi kan kita ketemu?” Sarah mengirim pesan singkat ke Dewi, teman kuliahnya dulu. Meski dulu tak akrab dengannya, namun kekuatan sosial media, membuat mereka menjadi dekat. Banyak nostalgia di grup kadang membuat dulunya berjarak, menjadi akrab. “Jadi, dong. Apa yang enggak buat kamu." Dewi mengirimkan nama sebuah cafe di salah satu mall terkenal di kota pahlawan itu. “Wah, ini sih deket sama hotelku. Sampe ketemu ya!” Balas Sarah dengan riang. “Nanti aku ke sana pulang kerja, ya. Lagi banyak orderan bos. Nggak enak klo izin.” Meski janjiannya masih lama, di mall, Sarah tidak mati gaya. Dia berniat jalan-jalan berkeliling dulu di mall itu sambil membunuh waktu. Hingga kemudian, dia mengecek kembali waktu. Saat sudah dekat waktu janjiian, Sarah segera bergegas ke cafe yang dijanjikan. Suasana cafe tid

  • JODOH PILIHAN MAMA   50a

    “Mau kemana, Mas?” tanya Intan, sesaat sebelum Aditya menutup pintu itu. Lelaki itu tersenyum menatap istrinya yang raut wajahnya menampakkan wajah cemburu. Aditya menanggapi kemarahan Intan dengan santai. Jika selama ini yang banyak mengalah adalah Intan, kini dunia seolah terbalik. Intan sedang dirundung rasa kesal terhadap suaminya yang sudah terlalu memperlakukan temannya yang sedang jatuh cinta padanya. “Aku mau ke bawah. Kamu nitip apa?" tanya Aditya datar. Tak terlihat ada rasa bersalah. Aditya sudah tahu, biasanya amarah Intan akan sedikit reda jika ditawarkan makanan. “Martabak?” tawar Aditya dengan sedikit mencondongkan kepalanya. Alisnya pun satu diangkat ke atas, hendak menggoda Intan. “Serah!” ketus Intan menjawab seraya menutup pintu. Aditya hanya menanggapinya dengan senyum. Kepalanya menggeleng. Dia teringat mamanya kalau ngambek sama papanya, persis seperti itu. Nanti j

  • JODOH PILIHAN MAMA   49b

    Di kompleks perkantoran tempat mereka magang tak hanya di gedung yang berisi banyak kantor. Namun, di sebelah gedungnya pun juga perkantoran lain. Belum diseberang jalan. Apalagi, saat jam pulang kerja begini, maka akan mudah ditemui pekerja yang pulang kantor dan berjalan menuju tempat tinggal masing-masing. Di kompleks pemukiman belakang kantor itu, ada berbagai macam tipe rumah tinggal. Dari yang apartemen, kos-kosan elit, kos-kosan tipe menengah, hingga kamar yang disewakan bersama dengan pemilik rumah. Mau tipe yang ada AC dan internet plus kamar mandi di dalam, atau tipe dengan kipas angin pun tersedia. Harganya bervariasi. “Intan!” panggil Runi ketika melihat temannya tak sengaja menoleh ke arahnya. Sebenarnya Runi ingin menghindar saja dan menunggu Intan masuk. Namun, kepalang basah. Intan sudah lebih dahulu melihatnya. Mau-tak mau Runi harus menyapanya. Suasana lorong apartemen yang sepi membuat suara Run

  • JODOH PILIHAN MAMA   49a

    Sarah menatap nanar ke arah Dimas yang duduk di ruang tunggu bandara. Meskipun lelaki itu pamit hendak keluar kota alasan bisnis, Sarah tidak mempercayainya begitu saja. Sudah sebulan Sarah bekerja di kantor milik papanya yang kini dikelola Dimas. Semua pembukuan sudah diambil alih olehnya. Sesuai dengan keahliannya sebelum bekerja di kantor itu. Hana, staf lama, yang dicurigai memiliki kedekatan dengan Dimas pun sudah sebulan dipindahkan ke kantor cabang. Sarah sudah menyelidiki semua pembukuan kantor itu. Tak satu pun transaksi mencurigakan ditemukan. Bahkan, transaksi atas nama Dimas, tak satupun mencurigakan. Mungkin, itu pula yang membuat hidup Dimas tak banyak berubah, meski perusahaan makin menggeliat. Bahkan, rumah pun masih tinggal di tempat yang sama. Dimas pun masih setia dengan motornya, meski kadang-kadang membawa mobil operasional kantor. Namun, kesederhanaan itu justru yang membuat Sarah makin curiga. Jangan-jangan, ada belanja yang lain diluar untuk keluarganya, s

  • JODOH PILIHAN MAMA   48b

    “Mas, bisa nggak sih kalo kerja nggak pake main mata?” tanya Intan sambil menggigit satenya. Meski seharian dibuat gusar oleh tingkah Runi dan juga Aditya yang sok bijak di depan Runi hingga membuat gadis itu makin blingsatan, Intan sudah mulai belajar mengendalikan diri. Berkali-kali dia meneguk air mineral agar melarutkan emosi dalam darahnya. Sore tadi, sepulang kerja, Intan berpesan ke Aditya agar membeli sate di warung tenda belakang. Dia kesal dengan Aditya dan itu membuatnya malas memasak, khusus hari itu saja. Dia ingin menunjukkan kalau dia tengah marah. Apalagi, sejak Aditya tahu kalau teman-teman Intan juga magang di kantornya, Aditya makin malas pergi keluar dengan Intan. Bahkan lelaki itu rela membeli makan sendiri, demi agar tidak diketahui kedekatannya dengan sang istri. Bahkan, mereka pun pulang dan pergi terpaksa melewati jalan dan waktu yang berbeda, agar tidak diketahui hubungan keduanya. “Siapa juga yang mai

  • JODOH PILIHAN MAMA   48a

    Kebetulan Runi dan Mira tinggal di kosan yang sama. Sementara Intan beralasan ikut kakaknya. Jadi tidak gabung saat mencari kosan. Sedangkan Arfan, tentu tinggal di kosan khusus laki-laki. “Ehhh, maaf, Run. Nggak bisa. Kan aku sudah bilang, kalau aku tinggal sama kakakku cowo. Dia orangnya pemalu. Emang mau ngapain?” tanya Intan setelah menjelaskan alasannya.Selama ini, Intan selalu beralasan ikut di tempat kakak laki-lakinya. Jadi dia tak mengijinkan satu pun temannya untuk berkunjung. Bisa-bisa Aditya ngamuk kalau sampai ada yang berani datang. Lelaki itu sangat ketat terhadap privasi. “Nggak ada, sih. Cuma mau main aja. Habis dari magang, suka bengong di kontrakan,” kata Runi. Runi memang tidak terlalu cocok dengan Mira. Mira anaknya gaul, mudah dekat sama cowok. Sedangkan Runi cenderung pemalu. Mengobrol dengan Mira pun sering tidak nyambung. Karena keduanya berbeda selera. “Yaudah, aku saja yang main ke kosanmu ya,” kata Intan menawarkan diri. Kalau dengan Intan, Runi agak

  • JODOH PILIHAN MAMA   47b

    “Tadi ada anak baru magang di kantorku,” kata Aditya sambil mengambil rawon ke mangkuknya. Biasanya makan nasi rawon, Intan selalu memisahkan rawon dengan nasinya.Intan sudah mencicil membeli perabot masak seadanya. Yang penting ada buat goreng, ngrebus, ngukus. Bahkan, kadang dia terpaksa menggunakan bumbu instan, karena tak memungkinkan bumbu lengkap. Ulekan atau blender belum dimilikinya. Lagi pula beli bumbu lengkap juga bakal busuk klo jarang-jarang masak.Intan hampir tersedak mendengar ucapan Aditya.“Minum dulu. Denger magang saja, kok kamu tersedak,” ucap Aditya datar.Lelaki itu sama sekali tak curiga. Malah dengan santainya menyendok telur asin yang sengaja digunakan untuk pendamping nasi rawon. Intan sengaja membawa telor asin dari rumah mertuanya. Praktis buat lauk. Tinggal membuat perkedel dan goreng emping saja buat pelengkap nasi rawon.“Ya maaf kalau aku nggak bantuin kam

  • JODOH PILIHAN MAMA   47a

    Aditya masih sibuk dengan pekerjaannya, saat Hanafi, karyawan HRD masuk ke ruang kerjanya bersama seorang gadis dengan penampilan tertutup alias berjilbab rapi. “Dit, ini ada anak magang baru, ditempatkan di divisi ini. Kata Pak Bos, kamu yang akan pegang,” kata Hanafi sambil memperkenalkan gadis yang meskipun tampilannya tertutup namun, terlihat ramah. Sejenak Aditya terdiam. Namun kemudian dia teringat pesan atasannya yang sedang keluar kantor, kalau memang dia akan ditugaskan membimbing anak magang tiga bulan kedepan. “Oh Iya, Pak. Makasih ya,” sahut Aditya kemudian. “Runi, ini Pak Adit. Nanti Pak Adit yang akan membimbing kamu selama magang di sini.” Hanafi memberi pesan pada mahasiswi bernama Runi itu. Gadis itu menangguk takzim. Hanafi lalu meninggalkan ruangan Aditya. “Duduk dulu.” Aditya mempersilahkan Runi duduk. Mereka mengobrol di sofa yang biasa digunakan untuk menunggu tamu di ruangan itu. “Jadi nama kamu Runi?” Aditya membaca berkas dokumen yang diberikan Hanafi.

  • JODOH PILIHAN MAMA   46b

    Intan bersikap biasa tatkala pagi hari, seolah tak pernah terjadi sesuatu tadi malam. Dia sengaja tak membahasnya hingga Aditya membuka percakapan. “Bener kamu nggak ingat semalam kamu ngapain?” ulang Aditya. Pagi itu Hari Minggu. Intan memasak nasi goreng untuk sarapan. Semalam, Intan sengaja memasak nasi agak lebih agar dapat dimasak untuk pagi hari. Dia sudah hafal kalau Aditya tak suka nasi kemarin, kecuali dibuat nasi goreng. Intan menggeleng. Dalam hati Intan berujar, “Aku nggak tahu kamu ngapain saja di sana, Mas.” Aditya menghela napas. Dia khawatir hal itu akan terjadi lagi saat malam hari dia tidak di rumah. “Mengerikan,” batinnya. “Kalau begitu, sebaiknya siang ini kita pulang. Rasanya lebih aman kamu di rumah dibanding di sini,” tambah Aditya. Di rumahnya, ada mamanya yang bisa mengawasi. Kalau di apartemen, saat dia pergi seperti semalam, siapa yang dapat menjamin Intan nggak kemana-mana.

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status