Intan masih sibuk dengan persiapan baksosnya esok hari.
Sejak tidak tinggal di rumah Bu Handoyo, Intan menyibukkan diri dengan kegiatan kampus.
Sejak dulu, dia sudah aktif di kegiatan kampus, meski tidak seaktif saat ini.
Kalau dulu jam lima sore sudah harus meninggalkan kampus, karena khawatir pulang terlalu malam. Jarak yang tidak dekat dan kadang macet, tentu membuat badannya lelah jika terlalu larut dalam kegiatan kampus.
Namun, sekarang dia bisa sampai malam di kampus, apalagi kosannya hanya belakang kampus.
Packing-packing hampir selesai setelah seharian sibuk menyortir pakaian pantas pakai. Intan kesal dengan perilaku orang-orang yang menyumbang pakaian tidak layak pakai. Kadang-kadang acara baksos seperti ini dijadikan ajang membuang barang. Padahal tidak seharusnya seperti itu.
Seharusnya orang-orang mulai menyadari untuk memberikan pakaian terbaiknya untuk orang yang membutuhkan. Bukan sebaliknya. Jika kita tidak mau memakai, apalagi orang lain. Akhirnya Intan malah mendapat tugas tambahan membuang sampah-sampah baju bekas tak layak pakai dibanding menyalurkannya ke masyarakat miskin. Beruntung, hasil menyortirnya masih tersisa dua karung yang layak pakai.
Drtttt
Suara getaran ponselnya, membuat Intan menghentikan aktivitasnya. Segera dirogoh ponsel dalam saku celana kulotnya.
[Besok Sabtu ke rumah Bude, ya, Nak] Sebuah pesan dari Bu Handoyo masuk ke aplikasi hijaunya.
[Maaf, Bude. Besok, Intan ada acara baksos] Intan pesan itu segera.
[Ahad?] Bu Handoyo masih menawar.
[Insyaalloh, Bude] Janji Intan.
Ia menutup ponselnya dan memasukkan kembali ke saku.
“Aryo, logistiknya masih ada beberapa yang belum dibeli. Bisa antar aku sama Desti belanja dulu, nggak?” tanya Intan pada Aryo, panitia urusan logistik yang masih menemani mengepak barang yang akan dipakai esok hari.
"Bisa!"
Mereka bertiga berangkat ke supermarket yang menyediakan beberapa logistik yang diperlukan. Intan sudah mencatatnya, sehingga tidak memakan waktu lama untuk berbelanja.
Bruggg.
“Eh, Mas, maaf...” Intan segera berdiri setelah limbung gara-gara menabrak seorang pemuda.
Pemuda itu hanya melongo.
Intan segera meninggalkan pemuda itu.
Dia tak sempat bertegur-sapa karena buru-buru.
“Siapa, Mas?” tanya Sarah yang berdiri di sebelah Aditya.
Pria berkaos navy itu masih terpaku sambil menatap gadis yang baru saja menabraknya. Namun, gadis itu sudah menjauh.
“Kamu kenal?” tanya Sarah lagi.
“Oh iya, anaknya teman mamaku,” sahut Aditya pendek.
Entah mengapa, ada sedikit penasaran di hati Aditya. Tak seperti biasanya yang dia sangat cuek pada Intan.
Sarah dan Aditya lalu bergegas menuju tempat parkir karena belanjanya sudah usai. Mereka segera masuk ke mobilnya.
Sebelum mobil dijalankan, terlihat Intan, Desti dan Aryo juga memasuki area parkir yang sama dengan trolly yang penuh dengan barang-barang perlengkapan baksos.
Rupanya mobil mereka terparkir sebelahan dengan mobil Sarah.
“Kenapa, Mas?” tanya Sarah dengan kening berkerut. Pandangannya ikut melihat kemana Aditya menatap.
Aditya intens mengamati tiga mahasiswa yang sibuk memasukkan belanjaan ke mobil.
“Nggak papa. Ayuk!” Aditya lalu mengalihkan pandangannya, begitu menyadari Sarah terlihat penasaran.
“Oh, ya, Mas. Aku nanti nitip ini, ya ke Mama,” ujar Sarah. Dia menunjukkan tas yang ada di bangku penumpang di belakang.
Serta merta Aditya ikut menoleh.
“Apa itu?” tanya Aditya dengan mengerutkan dahi.
“Kue aja sih. Buat mamanya Mas Adit,” sahut Sarah.
Aditya mengangguk.
Dalam hati dia tersenyum senang. Pasti mamanya akan senang mendapatkan bingkisan dari Sarah. Ibu-ibu bukannya biasanya senang mendapat kejutan?
***
“Ma, ada titipan dari Sarah,” ujar Aditya sambal meletakkan tas berisi kue titipan dari Sarah di meja makan.
Dimas, sang kakak yang duduk di kursi makan, serta merta menggeser tas itu mendekat, lalu mengintip isinya.
“Wah, hantaran dari calon mantu nih, Ma!” celetuk Dimas.
Bukannya menyambut dengan senyum bahagia, Bu Handoyo semakin menampakkan rasa tidak sukanya.
“Di mana-mana yang memberi hantaran itu laki-laki, bukan perempuan. Mana harga dirinya?” kata Bu Handoyo ketus penuh emosi.
Wanita paruh baya itu terus saja menampakkan raut muka yang tidak senangnya. Bahkan, ia tidak tertarik sedikitpun dengan apa yang dibawa putra bungsunya.
Aditya hanya tertunduk lesu. Kegembiraannya serta merta pupus. Ada segumpal rasa kecewa memenuhi rongga sanubarinya. Lagi-lagi apa yang dilakukan Sarah salah. Salah di mata mamanya.
“Sabar, Dit!” Papa Aditya menepuk pundaknya, memberikan semangat pada putranya.
Aditya menoleh ke Pak Handoyo sembari tersenyum getir.
Lelaki paruh baya itu seolah dapat merasakan apa yang dirasakan anak bungsunya. Memang tak mudah menaklukkan hati istrinya yang keras.
***
Hari Ahad pagi, seluruh penghuni rumah, berkumpul.
“Assalamualaikum, Bude,” sapa Intan sambil memasuki ruang tamu.
Melihat gadis yang sudah dia anggap seperti anak gadisnya sendiri itu, raut muka Bu Handoyo seketika berseri-seri.
“Nah, ini yang ditunggu-tunggu sudah datang,” celetuk Pak Handoyo. Ia melirik ke istrinya saat Intan menyalaminya.
Seluruh penghuni rumah tahu, sejak Intan memutuskan keluar dari rumah itu, satu-satunya ratu rumah tangga itu cenderung mudah marah.
Biasanya, Bu Handoyo memiliki teman berbagi, sekedar mengusir jenuh. Cerita mengenai apa saja, dari menu masakan, model pakaian, hingga sesuatu yang sedang tren dibicarakan kaum hawa.
“Emang kenapa ditunggu-tunggu, Pakde?” tanya Intan polos.
Intan menatap Bu Handoyo dan Pak Handoyo yang sudah ia anggap seperti orang tuanya sendiri. Lalu tatapannya beralih pada Dimas yang sudah dianggap seperti kakaknya. Ketiganya tengah duduk santai di ruang tamu yang merangkap sebagai ruang keluarga itu.
“Iya lah, nggak ada temen nggosip! Selama kamu nggak ada, mama marah-marah mulu!” celetuk Dimas.
“Maaf nih, baru kesini. Sibuk banget acara kampus,” tukas Intan dengan rasa bersalah.
Gadis itu kemudian pamit ke kamarnya yang terletak di ujung belakang dekat dapur.
Sebuah kamar yang sempit. Dulunya kamar pembantu saat putra-putra Pak Handoyo masih balita.
Meski hanya kamar yang tak terlalu luas, Intan merasa nyaman di situ, karena di atas adalah kamar ketiga putera Pak Handoyo. Tak nyaman jika harus di kamar atas.
Usai meletakkan tasnya, Intan bergegas bergabung dengan penghuni rumah lainnya.
“Eh, Dik, nih ada kue,” kata Dimas seraya menyodorkan kotak kue.
Kotak yang dari semalam tak ada yang berani menyentuhnya.
“Wahh ini kan kue mahal! Kok masih banyak? Pada nggak suka, ya?” tanya Intan sambil membuka kotak kue itu.
Selama ini, dia hanya mendengar merek-merek kue mahal yang sering diceritakan teman-temannya, ataupun terlihat diiklan. Membelinya saja tak pernah berani setelah mengetahui harganya yang fantastis.
“Sttt! Makan aja dulu, nanya belakangan....” Dimas berbisik memberi kode dengan sebelah mata berkedip, sementara manik matanya melirik ke mamanya yang tiba-tiba berubah cemberut dikarenakan pembahasan kue.
“Ada apa, Mas? Wah kayaknya banyak yang berubah nih selama aku ngga di sini?” tanya Intan menyelidik.
Matanya kembali melirik ke semua penghuni rumah. Masing-masing orang menampilkan raut muka yang tak biasa.
Pak Handoyo terkesan netral, sementara Dimas justru terkesan menggoda mamanya.
“Kamu nginep ‘kan?” Tiba-tiba Bu Handoyo mengalihkan pembicaraan.
“Iya, Bude. Tapi, besok pagi langsung ke kampus,” jawab Intan.
Raut muka Intan masih dipenuhi rasa penasaran. Apalagi, Dimas malah senyum-senyum tak jelas kala Intan meliriknya.
“Wah, sibuk bener kamu sekarang,” tukas Bu Handoyo lagi.
Wanita paruh baya itu beranjak menuju dapur karena sebentar lagi jam makan siang.
“Sedikit, Bude. Biar tidak banyak melamun. Di kosan Intan, semua sibuk soalnya. Kalau kita ngga ikut sibuk, bakal bengong saja di kamar. Ohya, mau masak apa hari ini, Bude?” tanya Sekar sambil mengikuti Bu Handoyo ke dapur.
“Bude kangen ada yang bantu gini, Nduk. Kamu ngga ada, Bude ngga semangat masak,” tukas Bu Handoyo melankolis.
Wanita itu lalu mengeluarkan isi kulkas yang akan segera dieksekusi.
“Tuh, Mas Dimas, dengerin. Cepetan cariin Bude mantu! Biar Bude ada yang bantu masak di dapur!” ujar Intan meledek kakak tengahnya dari arah dapur.
Rumah yang berukuran mungil, membuat suara dari dapur dapat terdengar hingga ruang depan.
Dimas hanya mencebik.
“Eh, Dik, kamu ‘kan ngga tau? Bentar lagi juga bakal ada mantu. Tuh, yang kirim kue premium!” sahut Dimas sambil melirik kotak kue yang masih teronggok di meja ruang tamu.
“Iya kah? Mas Dimas? Atau Mas Adit? Atau dua-dua nya bareng?” tanya Intan antusias.
Dia baru dengar gossip ini karena memang sudah tak serumah lagi sejak Aditya tinggal di rumah itu. Kalau pun main ke sana, hanya akhir pekan, itu pun tak tentu. Tergantung ada agenda lain atau tidak.
“Assalamualaikum…” suara bariton seorang pemuda terdengar dari arah teras.
Aditya masuk sambil membawa sesuatu.
“Ada bingkisan lagi dari calon mantu?” ledek Dimas.
Intan yang tadi antusias, langsung terdiam setelah melirik ke Bu Handoyo.
Wajahnya Bu Handoyo berubah menjadi kecut saat melihat kotak bingkisan yang baru saja diletakkan oleh Aditya di atas meja makan. Entah apa isinya.
“Besok lagi, tak perlu repot-repot bawa ginian!” ujar Bu Handoyo ketus. Matanya melirik ke kotak itu dengan tatapan tak suka.
Aditya menunduk lesu seraya menghela napas.
“Dengar kamu, Adit?” tanya Bu Handoyo dengan nada tinggi. Dia seolah meminta perhatian anak bungsunya itu.
“Iya, Ma,” sahut Aditya seraya menghembuskan napasnya.
Pria itu lalu berjalan dengan lesu menuju ke kamarnya.
Intan dan Dimas saling berpandangan.
***
“Padahal Ma, ngga apa-apa lagi dikasih kue-kue premium seperti ini. Kita ‘kan ngga bakal beli kue kayak gini,” ujar Dimas seraya melirik bungkus kue yang ada di meja. Tidak berani dia menyentuhnya. Apalagi mamanya terlihat tak suka.
Anak kedua Bu Handoyo ini cenderung rumahan. Dia memilih tinggal di rumah meski jarak kantor dan rumahnya cukup jauh. Saat di rumah seperti ini, dia luangkan waktu untuk bercengkerama dengan mamanya yang tampak mulai kesepian setelah anak-anaknya memiliki kesibukannya masing-masing.
“Kita ngga beli, bukan berarti ngga mampu.” Ketus Bu Handoyo menyahut.
“Dan mama ngga suka kita dibeginikan. Ini namanya menginjak harga diri kita,” lanjut Bu Handoyo.
Wanita paruh baya itu sedikit kesal dan merasa dianggap tidak mampu membeli kue yang lezat. Padahal bukan tak mampu, tapi memang tak mau. Apalagi, kalau sekedar kue bisa membuatnya sendiri. Jauh lebih enak dan sesuai selera.
“Bukan begitu, Ma. Sarah kan sedang berusaha mengambil hati mama. Kita terima saja.” Pak Handoyo menimpali.
Lelaki itu ikutan mendekat dan duduk di sebelah putra keduanya.
Sementara, Bu Handoyo hanya melirik sekilas sambil melanjutkan memasaknya.
“Iya, Ma. Lagian ‘kan kita juga sering berbagi ke tetangga. Jadi, ya anggap aja ini yang ngasih tetangga,” timpal Dimas lagi, ingin meyakinkan mamanya.
Sayangnya, wanita paruh baya itu tetap pada pendiriannya.
“Kalau kalian mau makan, silahkan! Mama tidak!” ujar Bu Handoyo. Sorot matanya tajam menatap Dimas dan suaminya secara bergantian.
Pak Handoyo hanya menggeleng-geleng kepala, lalu menghela nafas. Ia mencoba memahami atau justru tak paham sama sekali jalan pikiran istrinya. Hanya perkara makanan saja, terjadi perang dingin dalam rumah.
“Padahal dulu, saat Mbak Indah masih pacaran sama Mas Danang, Mama ngga gini-gini amat sih,” kata Dimas seraya menyebut nama kakak sulungnya.
Dimas lalu membuka kotak kue di meja makan yang sedari tadi menjadi topik pembahasan utama. Meskipun mamanya belum berlapang dada, tapi rasanya mubadzir jika kue enak dianggurin.
“Indah beda. Indah itu anaknya sopan. Ke sini dikenalin baik-baik sama Danang. Bukan slonong sendirian pas ngga ada Adit,” timpal Bu Handoyo lagi.
Intan yang juga di dapur hanya setia jadi pendengar. Tiba-tiba dia teringat kejadian dua hari lalu.
“Oh jangan-jangan mbak-mbak yang bareng Mas Aditya itu yang sedang dibicarakan,” batin Intan. ‘Ngga ada yang salah, sih. Tapi, kenapa bude jadi senewen seperti ini?’
Sudah hampir dua jam Aditya mematut diri di depan cermin. Entah apa yang salah. Dia merasa tidak menjadi dirinya. Rasa kurang percaya diri tiba-tiba menyeruak. Padahal, selama ini dia adalah pribadi yang penuh percaya diri. Selain tampan menawan, pendidikan pun tak bisa diremehkan, demikian pula pekerjaan untuk lelaki seusia dirinya. Namun, rupanya hanya untuk pergi ke rumah Sarah menghadiri acara makan malam saja, semua yang dimilikinya seolah runtuh. Malam ini adalah acara makan malam keluarga di rumah orang tua Sarah bertepatan dengan perkenalan keluarga dengan calon suami kakak Sarah. Aditya terlanjur sudah menyanggupi untuk hadir di acara keluarga tersebut. Selain itu, rasanya perlu untuk mendekatkan diri ke keluarga Sarah, jika dia memang serius hendak menjalin hubungan dengan putri bungsu keluarga itu. Bu Handoyo dan Intan seharian sibuk memasak. Intan sengaja sudah membawa dus kemasan kue dan makanan. Ibu Intan adalah pengusaha catering di kota kelahirannya. Intan sudah ter
“Makasih, ya, Mas. Kata mamaku, makananya enak. Beli dimana?” tanya Sarah. Siang itu, mereka makan siang seperti biasa di kantin kantor. Mendengar pernyataan Sarah, Aditya yang duduk di hadapannya sambil mengaduk es jeruk tersenyum. “Buatan mama, Sar,” sahut Aditya penuh kebanggaan. Dia ingin menghadirkan pada Sarah, bahwa meskipun dia berasal dari keluarga biasa, namun ada kelebihan yang patut dibanggakan.“Ohya? Mamamu bisa bikin kue seenak itu?” tanya Sarah. Terlihat raut muka tak menyangka, bercampur dengan bahagia. Aditya mengangguk. Meski di benaknya, tiba-tiba bayangan Intan menari-nari. ‘Maaf Tan, aku terpaksa berbohong.’ batinnya. Intan dan mamanya memang senang berkolaborasi dalam memasak. Tapi, biasanya Intan yang banyak berkontribusi. Bagaimanapun remaja putri itu anak dari pengusaha catering di kota kelahirannya. Trik-trik masak sudah mumpuni dikuasai. Dan karena itu pula, mamanya makin suka pada gadis itu saat dia tinggal di rumahnya. “Wah, nanti mamaku bisa pesen
“Adit, Mama minta sama kamu. Jangan memberi harapan palsu ke orang lain. Jika kamu tidak yakin, tinggalkan. Jangan dilanjutkan,” nasehat Bu Handoyo usai makan malam. Sebagai seorang ibu, dia dapat meraba keraguan putranya. Ketika seorang sudah yakin dengan pilihannya, tentu akan diperjuangkan. “Adit yakin, Ma. Hanya, Adit perlu waktu,” sahut pemuda itu. Wajah Aditya masih tertunduk. Dia tahu, mamanya pasti menatap tajam padanya, seperti sebelum-sebelumnya jika membahas mengenai Sarah. Pemuda itu tetap tak paham, mengapa mamanya demikian tak menyukainya. Hanya karena status sosial. Bahkan, Sarah pun pasti tak menginginkan diterima sebagai dirinya, apa adanya. “Mama hanya belum kenal Sarah saja. Adit yakin, jika Mama sudah mengenalnya, pasti dapat menerimanya,” sambung Aditya. Bu Handoyo bergeming. Dalam hati, wanita paruh baya ini mencoba memahami kata-kata putranya. Benar dia belum mengenal Sarah. Tapi, sebagai wanita yang punya banyak pengalaman hidup dan telah berinterak
Tapi, Intan hanya bisa menaikkan kedua pundaknya. Takut tidak sopan, karena ada pakde dan budenya, yang harusnya memimpin pembicaraan. Baik Pak Handoyo dan Bu Handoyo tidak ada bahan untuk ditanyakan. Mereka memang tidak mau menyelidik siapa Sarah. Kalau bu Handoyo mungkin memang tidak mau tahu. Sedangkan Aditya merasa mati kutu. Sesekali diliriknya sang mama yang mengamati Sarah dengan lekat seperti hendak menguliti. “Supnya enak, Tante …” Akhirnya Sarah membuka suara. Dia ingin memuji untuk mencairkan suasana yang beku dan kaku. “Intan yang masak…” jawab Bu Handoyo dingin. Wanita itu tak hendak memperpanjang pembicaraan. Sarah menatap ke Intan. Gadis yang ditatapnya menganggukkan kepala sambil tersenyum. Sementara dalam benak Sarah masih bertanya-tanya. Siapa gadis ini? Kenapa dia ada di sini? Kenapa dia duduk satu meja dengannya? Apa posisinya di rumah ini? Saudara? Atau asisten rumah tangga? Sarah mulai frustasi dengan kondisi makan siang yang garing. Isi piringnya
Sore sepulang kerja, seperti biasa, Aditya mengantar Sarah pulang.Dalam benaknya, sering Aditya berfikir, hubungannya dengan Sarah memang kaku. Sarah yang terlihat sangat sopan, tidak banyak bercanda, dan juga tidak banyak teman. Dia hanya bicara yang penting-penting saja. Kadang Aditya merasa hubungannya dengan Sarah hanya sebatas formalitas.Aditya sering merasa tidak menjadi dirinya sendiri.Sejak dekat dengan Sarah, hubungan dengan teman-temannya menjadi terbatas. Yang tadinya dia bebas berteman dengan siapa saja. Ngobrol dengan siapa saja, sejak akrab dengan Sarah, dunianya hanya berputar di sekeliling Sarah.Meski Aditya akui, Sarah sangat berjasa di tempat kerjanya. Utamanya saat Adit masih jadi pegawai baru. Tapi, lama kelamaan Aditya pun bisa meluaskan lingkaran pertemanan. Sayangnya, lingkaran itu kembali mengecil setelah hubungannya dengan Sarah semakin intens.“Mas, gadis yang di rumahmu itu rajin ba
“Kenapa kamu menemui adikku?” tanya Aditya pada Sarah saat jam makan siang. Tak seperti biasanya, pagi tadi, Aditya sengaja tidak menjemputnya. Sejak Sarah menuduh Intan sebagai pembantunya, Aditya sudah enggan menjadi supir pribadinya lagi. Kadang Aditya merasa kesal dengan dirinya sendiri. Kenapa mau-maunya dirinya berbulan-bulan antar jemput ke area yang berlawanan dengan arah kantornya. Inikah cinta? Benarkah cinta buta? "Adikmu?" Kening Sarah berkerut. Dia berfikir sejenak sembari mengingat sesuatu.Ada banyak kebingungan dalam benaknya. Kenapa Aditya menyebutnya adik? Bukannya tempo hari adik temannya? Tempo hari lagi jadi anak sahabat mamanya. Kini jadi adiknya. Besok apa lagi?“Oh, dia cerita ke kamu, Mas?” Sarah balik bertanya."Bukannya dia itu pembantumu?” Sarah bertanya retoris. Matanya tajam menatap Aditya menanti jawaban. Serta merta, suara kepalan tinju Aditya memukul meja terdengar membahana.Sarah terlonjak kaget. Jantungnya serasa mau lepas dari tempatnya tatkal
“Adit! Intan?” Sontak keduanya menoleh ke sumber suara. Mata keduanya melebar saat menyadari siapa yang sedang berjalan mendekat. “Mas Danang?” guman Aditya. “Wah, wah! Nggak nyangka juga ketemu kalian di sini. Temannya mempelai, atau ... ?” Danang, kakak sulung Aditya, memberondong pertanyaan, sekaligus meledek adiknya. Menyadari ada Indah, istri Danang dan anak bayinya, Intan buru-buru menghampiri Indah. Intan sengaja membiarkan Aditya menjawab pertanyaan kakaknya. Tak mau ikut campur. “Sini, gendong sama Tante,” ucap Intan sambil meletakkan dua tangannya di pangkal ketiak Caca, bayi perempuan berusia sembilan bulan yang tengah digendongan Indah.Spontan bayi itu pun merentangkan kedua tangannya. Dia sudah terbiasa bermain dengan Intan saat diajak ke rumah Bu Handoyo, neneknya. “Eh, ternyata, kalian serasi banget, lho,” bisik Indah tepat di telinga Intan. Sontak Intan langsung mendelik. “Hah, serasi apaan? Kayak majikan dan pembantu!” kelakar Intan sambil mengayun-ayunkan Ca
“Intan!”Terdengar suara memanggil, membuat Intan yang sedang memesan minum di kantin menoleh.Kening Intan seketika mengerut. Sosok yang memanggilnya tentu bukan sosok sembarangan. Bagaimana bisa Aditya nyasar ke kampus Intan?“Hei, Mas Adit! Kok bisa nyampe sini? Mau dipesenin minum juga? Jus jeruk?” tawar Intan.Tak heran jika dulu Aditya sering meledek Intan punya mental pembantu. Apa aja ditawarkan.Namun, gadis itu tak dapat menutupi keheranannya. Dia tak percaya. Ini suatu kebetulan apa kesengajaan, bisa bertemu Adit di kantin?Kemarin Sarah, hari ini Adit. Lalu besok?Aditya mengangguk, lalu ia beranjak mencari tempat duduk.“Kok bisa nyampe sini, Mas? Meeting sama Mbak Sarah?” tanya Intan sambil menarik kursi di depan Aditya.Gadis itu bertanya tanpa ada beban. Meski sering dicuekin dan dijutekin oleh Aditya, dia tak pernah berkecil hati. Baginya, manus
Sementara, di belahan timur pulau jawab, Sarah sudah tiba di hotel. “Wi, jadi kan kita ketemu?” Sarah mengirim pesan singkat ke Dewi, teman kuliahnya dulu. Meski dulu tak akrab dengannya, namun kekuatan sosial media, membuat mereka menjadi dekat. Banyak nostalgia di grup kadang membuat dulunya berjarak, menjadi akrab. “Jadi, dong. Apa yang enggak buat kamu." Dewi mengirimkan nama sebuah cafe di salah satu mall terkenal di kota pahlawan itu. “Wah, ini sih deket sama hotelku. Sampe ketemu ya!” Balas Sarah dengan riang. “Nanti aku ke sana pulang kerja, ya. Lagi banyak orderan bos. Nggak enak klo izin.” Meski janjiannya masih lama, di mall, Sarah tidak mati gaya. Dia berniat jalan-jalan berkeliling dulu di mall itu sambil membunuh waktu. Hingga kemudian, dia mengecek kembali waktu. Saat sudah dekat waktu janjiian, Sarah segera bergegas ke cafe yang dijanjikan. Suasana cafe tid
“Mau kemana, Mas?” tanya Intan, sesaat sebelum Aditya menutup pintu itu. Lelaki itu tersenyum menatap istrinya yang raut wajahnya menampakkan wajah cemburu. Aditya menanggapi kemarahan Intan dengan santai. Jika selama ini yang banyak mengalah adalah Intan, kini dunia seolah terbalik. Intan sedang dirundung rasa kesal terhadap suaminya yang sudah terlalu memperlakukan temannya yang sedang jatuh cinta padanya. “Aku mau ke bawah. Kamu nitip apa?" tanya Aditya datar. Tak terlihat ada rasa bersalah. Aditya sudah tahu, biasanya amarah Intan akan sedikit reda jika ditawarkan makanan. “Martabak?” tawar Aditya dengan sedikit mencondongkan kepalanya. Alisnya pun satu diangkat ke atas, hendak menggoda Intan. “Serah!” ketus Intan menjawab seraya menutup pintu. Aditya hanya menanggapinya dengan senyum. Kepalanya menggeleng. Dia teringat mamanya kalau ngambek sama papanya, persis seperti itu. Nanti j
Di kompleks perkantoran tempat mereka magang tak hanya di gedung yang berisi banyak kantor. Namun, di sebelah gedungnya pun juga perkantoran lain. Belum diseberang jalan. Apalagi, saat jam pulang kerja begini, maka akan mudah ditemui pekerja yang pulang kantor dan berjalan menuju tempat tinggal masing-masing. Di kompleks pemukiman belakang kantor itu, ada berbagai macam tipe rumah tinggal. Dari yang apartemen, kos-kosan elit, kos-kosan tipe menengah, hingga kamar yang disewakan bersama dengan pemilik rumah. Mau tipe yang ada AC dan internet plus kamar mandi di dalam, atau tipe dengan kipas angin pun tersedia. Harganya bervariasi. “Intan!” panggil Runi ketika melihat temannya tak sengaja menoleh ke arahnya. Sebenarnya Runi ingin menghindar saja dan menunggu Intan masuk. Namun, kepalang basah. Intan sudah lebih dahulu melihatnya. Mau-tak mau Runi harus menyapanya. Suasana lorong apartemen yang sepi membuat suara Run
Sarah menatap nanar ke arah Dimas yang duduk di ruang tunggu bandara. Meskipun lelaki itu pamit hendak keluar kota alasan bisnis, Sarah tidak mempercayainya begitu saja. Sudah sebulan Sarah bekerja di kantor milik papanya yang kini dikelola Dimas. Semua pembukuan sudah diambil alih olehnya. Sesuai dengan keahliannya sebelum bekerja di kantor itu. Hana, staf lama, yang dicurigai memiliki kedekatan dengan Dimas pun sudah sebulan dipindahkan ke kantor cabang. Sarah sudah menyelidiki semua pembukuan kantor itu. Tak satu pun transaksi mencurigakan ditemukan. Bahkan, transaksi atas nama Dimas, tak satupun mencurigakan. Mungkin, itu pula yang membuat hidup Dimas tak banyak berubah, meski perusahaan makin menggeliat. Bahkan, rumah pun masih tinggal di tempat yang sama. Dimas pun masih setia dengan motornya, meski kadang-kadang membawa mobil operasional kantor. Namun, kesederhanaan itu justru yang membuat Sarah makin curiga. Jangan-jangan, ada belanja yang lain diluar untuk keluarganya, s
“Mas, bisa nggak sih kalo kerja nggak pake main mata?” tanya Intan sambil menggigit satenya. Meski seharian dibuat gusar oleh tingkah Runi dan juga Aditya yang sok bijak di depan Runi hingga membuat gadis itu makin blingsatan, Intan sudah mulai belajar mengendalikan diri. Berkali-kali dia meneguk air mineral agar melarutkan emosi dalam darahnya. Sore tadi, sepulang kerja, Intan berpesan ke Aditya agar membeli sate di warung tenda belakang. Dia kesal dengan Aditya dan itu membuatnya malas memasak, khusus hari itu saja. Dia ingin menunjukkan kalau dia tengah marah. Apalagi, sejak Aditya tahu kalau teman-teman Intan juga magang di kantornya, Aditya makin malas pergi keluar dengan Intan. Bahkan lelaki itu rela membeli makan sendiri, demi agar tidak diketahui kedekatannya dengan sang istri. Bahkan, mereka pun pulang dan pergi terpaksa melewati jalan dan waktu yang berbeda, agar tidak diketahui hubungan keduanya. “Siapa juga yang mai
Kebetulan Runi dan Mira tinggal di kosan yang sama. Sementara Intan beralasan ikut kakaknya. Jadi tidak gabung saat mencari kosan. Sedangkan Arfan, tentu tinggal di kosan khusus laki-laki. “Ehhh, maaf, Run. Nggak bisa. Kan aku sudah bilang, kalau aku tinggal sama kakakku cowo. Dia orangnya pemalu. Emang mau ngapain?” tanya Intan setelah menjelaskan alasannya.Selama ini, Intan selalu beralasan ikut di tempat kakak laki-lakinya. Jadi dia tak mengijinkan satu pun temannya untuk berkunjung. Bisa-bisa Aditya ngamuk kalau sampai ada yang berani datang. Lelaki itu sangat ketat terhadap privasi. “Nggak ada, sih. Cuma mau main aja. Habis dari magang, suka bengong di kontrakan,” kata Runi. Runi memang tidak terlalu cocok dengan Mira. Mira anaknya gaul, mudah dekat sama cowok. Sedangkan Runi cenderung pemalu. Mengobrol dengan Mira pun sering tidak nyambung. Karena keduanya berbeda selera. “Yaudah, aku saja yang main ke kosanmu ya,” kata Intan menawarkan diri. Kalau dengan Intan, Runi agak
“Tadi ada anak baru magang di kantorku,” kata Aditya sambil mengambil rawon ke mangkuknya. Biasanya makan nasi rawon, Intan selalu memisahkan rawon dengan nasinya.Intan sudah mencicil membeli perabot masak seadanya. Yang penting ada buat goreng, ngrebus, ngukus. Bahkan, kadang dia terpaksa menggunakan bumbu instan, karena tak memungkinkan bumbu lengkap. Ulekan atau blender belum dimilikinya. Lagi pula beli bumbu lengkap juga bakal busuk klo jarang-jarang masak.Intan hampir tersedak mendengar ucapan Aditya.“Minum dulu. Denger magang saja, kok kamu tersedak,” ucap Aditya datar.Lelaki itu sama sekali tak curiga. Malah dengan santainya menyendok telur asin yang sengaja digunakan untuk pendamping nasi rawon. Intan sengaja membawa telor asin dari rumah mertuanya. Praktis buat lauk. Tinggal membuat perkedel dan goreng emping saja buat pelengkap nasi rawon.“Ya maaf kalau aku nggak bantuin kam
Aditya masih sibuk dengan pekerjaannya, saat Hanafi, karyawan HRD masuk ke ruang kerjanya bersama seorang gadis dengan penampilan tertutup alias berjilbab rapi. “Dit, ini ada anak magang baru, ditempatkan di divisi ini. Kata Pak Bos, kamu yang akan pegang,” kata Hanafi sambil memperkenalkan gadis yang meskipun tampilannya tertutup namun, terlihat ramah. Sejenak Aditya terdiam. Namun kemudian dia teringat pesan atasannya yang sedang keluar kantor, kalau memang dia akan ditugaskan membimbing anak magang tiga bulan kedepan. “Oh Iya, Pak. Makasih ya,” sahut Aditya kemudian. “Runi, ini Pak Adit. Nanti Pak Adit yang akan membimbing kamu selama magang di sini.” Hanafi memberi pesan pada mahasiswi bernama Runi itu. Gadis itu menangguk takzim. Hanafi lalu meninggalkan ruangan Aditya. “Duduk dulu.” Aditya mempersilahkan Runi duduk. Mereka mengobrol di sofa yang biasa digunakan untuk menunggu tamu di ruangan itu. “Jadi nama kamu Runi?” Aditya membaca berkas dokumen yang diberikan Hanafi.
Intan bersikap biasa tatkala pagi hari, seolah tak pernah terjadi sesuatu tadi malam. Dia sengaja tak membahasnya hingga Aditya membuka percakapan. “Bener kamu nggak ingat semalam kamu ngapain?” ulang Aditya. Pagi itu Hari Minggu. Intan memasak nasi goreng untuk sarapan. Semalam, Intan sengaja memasak nasi agak lebih agar dapat dimasak untuk pagi hari. Dia sudah hafal kalau Aditya tak suka nasi kemarin, kecuali dibuat nasi goreng. Intan menggeleng. Dalam hati Intan berujar, “Aku nggak tahu kamu ngapain saja di sana, Mas.” Aditya menghela napas. Dia khawatir hal itu akan terjadi lagi saat malam hari dia tidak di rumah. “Mengerikan,” batinnya. “Kalau begitu, sebaiknya siang ini kita pulang. Rasanya lebih aman kamu di rumah dibanding di sini,” tambah Aditya. Di rumahnya, ada mamanya yang bisa mengawasi. Kalau di apartemen, saat dia pergi seperti semalam, siapa yang dapat menjamin Intan nggak kemana-mana.